Warisan Budaya Tak Benda dan Jati Diri Bangsa yang Terukir dalam Aksara dan Tutur
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, merupakan rumah bagi keragaman linguistik yang tiada bandingnya di dunia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat setidaknya 718 bahasa daerah yang telah teridentifikasi dan diverifikasi. Kekayaan ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan sejarah panjang, interaksi budaya, dan identitas lokal yang membentuk mozaik bangsa. Bahasa-bahasa ini, selain berfungsi sebagai alat komunikasi sehari-hari, juga menyimpan kearifan lokal, ritual, serta jalur historis yang menghubungkan generasi masa kini dengan leluhur mereka.
Memahami sepuluh bahasa daerah terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara adalah langkah awal untuk mengapresiasi kedalaman warisan ini. Bahasa-bahasa ini dipilih berdasarkan jumlah penutur, pengaruh budaya, serta cakupan wilayahnya. Masing-masing memiliki sistem fonologi, morfologi, dan sosiolinguistik yang unik, menunjukkan bagaimana manusia di kepulauan ini telah beradaptasi dan berinteraksi selama ribuan tahun.
Bahasa Jawa (Basa Jawa) merupakan bahasa daerah dengan jumlah penutur terbesar di Indonesia, terpusat di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, serta tersebar di Suriname, Malaysia, dan wilayah transmigrasi lainnya. Bahasa ini adalah tulang punggung kebudayaan Jawa yang kaya, berakar dari tradisi kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram Kuno, Majapahit, hingga Kesultanan Mataram Islam.
Jawa Kuno, fase awal bahasa ini, dituturkan sekitar abad ke-9 hingga ke-14 Masehi dan dicatat dalam prasasti-prasasti serta karya sastra epik seperti Kakawin Ramayana dan Kakawin Arjunawiwaha. Bahasa ini sangat dipengaruhi oleh Sansekerta, yang bukan hanya menyumbang kosakata tetapi juga memberikan struktur sastra yang kompleks. Ketika Islam masuk, kosakata Arab diserap, membentuk Jawa Baru yang kita kenal saat ini. Namun, intisari klasifikasi Austronesian tetap dipertahankan, terutama dalam struktur kalimat dasar.
Fitur paling khas dan paling rumit dari Bahasa Jawa adalah sistem tingkat tuturnya, yang disebut Undha-usuk Basa atau unggah-ungguh. Sistem ini mewajibkan penutur untuk memilih kosakata yang berbeda berdasarkan usia, status sosial, dan tingkat keakraban lawan bicara. Terdapat tiga tingkatan utama:
Sistem ini mencerminkan filosofi hidup Jawa yang sangat menghargai harmoni sosial dan hirarki. Kesalahan dalam penggunaan tingkat tutur dapat dianggap sebagai pelanggaran etika yang serius. Struktur kompleks ini memastikan bahwa setiap interaksi sosial diselimuti dengan kesadaran akan posisi masing-masing individu.
Meskipun memiliki bahasa baku (Jawa Standar, berbasis Surakarta dan Yogyakarta), Jawa memiliki variasi dialek yang signifikan:
Warisan Jawa juga terabadikan dalam aksara tradisional, yaitu Aksara Jawa (Hanacaraka), yang merupakan salah satu sistem penulisan turunan Brahmi yang paling estetis dan filosofis di Asia Tenggara. Meskipun kini penggunaan Aksara Jawa sehari-hari telah digantikan oleh huruf Latin, Aksara ini tetap menjadi bagian penting dalam pendidikan dan pelestarian manuskrip kuno.
Bahasa Sunda (Basa Sunda) dituturkan oleh sekitar 40 juta orang, menjadikannya bahasa daerah terbesar kedua. Wilayah utamanya meliputi seluruh Jawa Barat dan Banten, dengan pengaruh kuat hingga perbatasan Jawa Tengah. Bahasa Sunda adalah representasi utama dari kebudayaan Pasundan, yang menjunjung tinggi keindahan alam, spiritualitas, dan kesantunan.
Secara linguistik, Sunda termasuk dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat, dan memiliki kekerabatan dekat dengan Jawa dan Madura, meskipun perbedaan strukturalnya cukup mencolok. Akar historisnya terkait erat dengan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang mencapai puncak kejayaan melalui Kerajaan Pajajaran (abad ke-14 hingga ke-16). Naskah-naskah kuno seperti Carita Parahyangan ditulis dalam Sunda Kuno, memberikan wawasan mendalam tentang kosmologi dan hukum adat masyarakat pra-Islam.
Mirip dengan Jawa, Sunda juga memiliki sistem tingkatan bahasa (Undak-Usuk Basa atau tata krama), yang mengatur pemilihan kata dan intonasi. Namun, sistem Sunda cenderung lebih sederhana dan saat ini banyak dipengaruhi oleh tren modern, yang terkadang mengurangi ketatnya penggunaan tingkatan baku. Tingkatannya meliputi:
Dalam bahasa Sunda, perbedaan kosakata tidak hanya terletak pada kata kerja (seperti makan: dahar vs. tuang), tetapi juga pada partikel penjelas dan kata sifat. Konsistensi dalam menggunakan *Basa Lemes* menjadi indikator utama karakter penutur yang dianggap *cageur, bageur* (sehat dan baik hati).
Meskipun wilayah Sunda relatif homogen, perbedaan dialek tetap ada, yang sering dibagi berdasarkan geografis:
Sunda juga dikenal memiliki tradisi sastra lisan yang kuat, seperti pantun Sunda (bentuk narasi epik yang dinyanyikan), yang seringkali menggunakan metafora alam dan petuah bijak. Hal ini mencerminkan kedekatan masyarakat Sunda dengan alam pegunungan (Parahyangan, 'tempat tinggal dewa').
Bahasa Batak adalah sebutan kolektif untuk sekelompok bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Batak di Sumatera Utara. Penting untuk dipahami bahwa "Bahasa Batak" bukanlah satu bahasa tunggal, melainkan rumpun dialek dalam sub-cabang Sumatera Utara dari Austronesian. Pengelompokan ini mencakup Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak, dan Angkola.
Dalam rumpun Batak, perbedaan antara satu dialek dengan dialek lainnya sangat signifikan, bahkan seringkali mencapai tingkat yang menghambat saling pengertian. Misalnya, bahasa Karo dan bahasa Toba hanya berbagi sekitar 70% kosakata dasar. Klasifikasi internalnya dibagi menjadi:
Batak Toba, yang berpusat di sekitar Danau Toba dan Samosir, adalah dialek yang paling banyak dikenal dan memiliki jumlah penutur terbesar. Toba memiliki kekayaan tradisi lisan dan ritual yang sangat terstruktur, terutama dalam upacara adat pernikahan (adat perkawinan) dan kematian (adat kematian).
Salah satu peninggalan linguistik paling berharga adalah Aksara Batak (Surat Batak atau Surat Sisingamangaraja), yang digunakan untuk menulis pada kulit kayu, bambu, atau tanduk kerbau dalam bentuk manuskrip yang disebut Pustaha Laklak. Pustaha ini berisi ramalan, kalender, mantra, dan resep obat tradisional. Pelestarian aksara ini menunjukkan sistem pengetahuan yang kompleks dan terstruktur di masa lalu.
Perbedaan fonologis antara Batak Utara dan Selatan seringkali menjadi penanda identitas. Misalnya, Batak Toba (Selatan) cenderung menggunakan konsonan /h/ di akhir kata yang pada dialek Karo (Utara) dihilangkan. Selain itu, Batak Toba terkenal dengan penggunaan vokal schwa (/ə/) yang unik, yang memengaruhi pengucapan kata-kata tertentu.
Bahasa Karo dikenal memiliki sistem kekerabatan yang sangat detail dan kompleks, yang tercermin dalam kosakata spesifik untuk memanggil setiap anggota keluarga dan kerabat melalui garis ibu dan ayah (contohnya: bere-bere, kalimbubu, anak beru). Bahasa ini memainkan peran sentral dalam ritual adat dan penamaan marga (klan) yang menjadi fondasi identitas sosial Batak.
Bahasa Melayu (Bahasa Melayu) adalah bahasa yang paling tersebar luas di Asia Tenggara maritim. Walaupun kini Bahasa Indonesia telah distandardisasi dan diresmikan sebagai bahasa nasional, akarnya tetaplah Melayu Pasar (Melayu Rendah) dan Melayu Riau (Melayu Tinggi).
Bahasa Melayu telah menjadi lingua franca perdagangan dan komunikasi antar-etnis di kepulauan Nusantara setidaknya sejak abad ke-7 Masehi. Bukti tertua ditemukan dalam Prasasti Kedukan Bukit (683 M) di Palembang, ditulis dalam Melayu Kuno menggunakan aksara Pallawa. Keberadaan bahasa ini difasilitasi oleh Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kekuatan maritim besar, menyebarkan bahasa Melayu sebagai alat administrasi dan perdagangan ke seluruh pesisir Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Kalimantan.
Pada abad ke-19, Melayu terbagi menjadi dua kelompok besar berdasarkan penggunaan dan strata sosial:
Ketika Sumpah Pemuda dicetuskan pada 1928, Melayu Pasar dipilih sebagai dasar Bahasa Indonesia karena sifatnya yang inklusif, sederhana, dan sudah dikenal luas. Pengangkatan ini merupakan langkah jenius untuk menyatukan ratusan suku tanpa memberikan keunggulan kultural kepada salah satu suku mayoritas (seperti Jawa atau Sunda).
Meskipun Bahasa Indonesia distandardisasi, dialek-dialek Melayu lokal terus hidup dan berevolusi, seringkali menciptakan bahasa kreol baru yang menyerap unsur-unsur lokal:
Melayu Riau sendiri, sebagai kerangka dasar, dicirikan oleh tata bahasanya yang relatif analitis (tidak bergantung pada infleksi) dan penggunaan partikel penegas seperti '-lah' dan '-kah'.
Bahasa Minangkabau, atau Baso Minang, dituturkan oleh suku Minangkabau di Sumatera Barat, serta perantau Minang yang tersebar luas di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia (Negeri Sembilan). Secara linguistik, Minang seringkali diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok Melayu, namun perbedaannya cukup signifikan sehingga sering dianggap bahasa tersendiri (M. Paul Lewis, Ethnologue).
Minang memiliki ciri khas fonologis yang membedakannya secara jelas dari Melayu standar. Seringkali, vokal 'a' pada posisi terbuka di akhir kata berubah menjadi 'o'. Contoh: *Ke mana?* menjadi *Ka ma’no?*, *Lima* menjadi *Limo*. Penggunaan diftong yang sering juga memberikan irama tersendiri pada bahasa ini.
Morfologi Minang memiliki kecenderungan untuk menggabungkan partikel penegas dan penunjuk arah, menghasilkan kata-kata yang padat makna. Selain itu, Minang dikenal karena memiliki kosakata yang sangat kaya dalam hal sistem kekerabatan dan hukum adat, terutama yang berkaitan dengan sistem warisan matriarki mereka.
Bahasa Minang sangat terikat erat dengan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat berlandaskan syariat, syariat berlandaskan Al-Qur'an). Hal ini tercermin dalam penggunaan bahasa di ranah publik dan dalam pidato adat (sastra lisan formal) yang disampaikan oleh para mamak (paman dari pihak ibu) dan penghulu (pemimpin adat).
Sastra lisan Minang, termasuk Kaba (cerita rakyat) dan Pantun, merupakan sumber utama pelestarian bahasa ini. Pidato adat adalah bentuk komunikasi yang paling formal, menggunakan metafora tinggi, dan tata bahasa yang kaku, yang bertujuan menjaga marwah (martabat) tradisi.
Dialek Minang dibagi menjadi beberapa sub-dialek berdasarkan wilayah Luhak (darat) dan Rantau (pesisir):
Peran perantau Minang sangat penting dalam penyebaran bahasa ini. Di kota-kota besar di luar Sumatera Barat, bahasa Minang berfungsi sebagai kode identitas yang kuat, menjadi pembeda antara sesama Minang dan masyarakat lokal, sekaligus menunjukkan keberanian dan kemampuan berdagang yang menjadi ciri khas etnis tersebut.
Bahasa Bugis (Basa Ugi) adalah bahasa utama di Sulawesi Selatan, dituturkan oleh suku Bugis, yang dikenal sebagai salah satu suku pelaut dan pedagang ulung di Nusantara. Wilayah utamanya meliputi Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, dan Parepare.
Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan dari keluarga Austronesia, berkerabat dekat dengan Makassar, Mandar, dan Toraja. Bahasa ini memiliki sistem penulisan tradisional yang unik dan khas, yaitu Aksara Lontara. Aksara Lontara, yang berasal dari turunan aksara Brahmi, digunakan secara luas untuk mencatat silsilah kerajaan (lontaraq), hukum adat, dan epos heroik.
Bahasa Bugis dikenal memiliki kekayaan fonem, termasuk penggunaan konsonan prenasalisasi (seperti *ng*, *ny*, *mp*, *nd*) dan vokal ganda yang dapat membedakan makna kata. Ciri khas lainnya adalah penggunaan infiks dan sufiks yang menunjukkan aspek waktu (tens) dan modus (mood) dalam kata kerja. Tidak seperti Jawa dan Sunda, Bugis tidak memiliki sistem tingkat tutur yang hierarkis, namun kesopanan diwujudkan melalui penggunaan partikel tertentu dan intonasi yang rendah.
Pusat dari tradisi Bugis adalah sastra mereka, khususnya I La Galigo, sebuah epik penciptaan dan kepahlawanan yang diyakini sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia. I La Galigo diceritakan dan dilestarikan oleh para Bissu (pendeta transgender), dan menjadi sumber utama bagi mitologi, sejarah, dan nilai-nilai sosial Bugis. Bahasa yang digunakan dalam La Galigo adalah Bugis Kuno, yang memerlukan interpretasi khusus agar dapat dipahami oleh penutur Bugis modern.
Aktivitas pelayaran Bugis, terutama melalui kapal Phinisi, menyebabkan bahasa Bugis tersebar luas, bukan hanya di Nusantara tetapi juga hingga ke Australia Utara dan Madagaskar. Diaspora Bugis membawa serta bahasa dan budaya mereka, menjadikannya salah satu bahasa dengan pengaruh geografis maritim terluas di luar bahasa Melayu.
Bahasa Bali (Basa Bali) dituturkan oleh mayoritas penduduk Pulau Bali dan juga sebagian kecil di Lombok dan Pulau Jawa (terutama di Banyuwangi). Bahasa ini merupakan pilar utama kebudayaan Hindu Dharma di Indonesia.
Bahasa Bali termasuk dalam kelompok Bali-Sasak-Sumbawa. Secara historis, bahasa ini telah menyerap sejumlah besar kosakata dari Sansekerta dan Jawa Kuno, terutama yang berkaitan dengan ritual keagamaan, kasta (wangsa), dan administrasi kerajaan (seperti Majapahit yang mengungsi ke Bali). Pengaruh Jawa Kuno begitu kuat sehingga literatur klasik Bali Kuno seringkali memerlukan pengetahuan tentang Jawa Kuno untuk dipahami sepenuhnya.
Seperti Jawa dan Sunda, Bali juga memiliki tingkat tutur yang sangat penting, yang disebut sor singgih basa. Tingkatan ini terkait erat dengan sistem kasta (Catur Wangsa) dalam masyarakat Bali:
Penggunaan tingkat tutur yang salah dapat menyebabkan ketegangan sosial yang signifikan. Dalam konteks upacara agama, penutur biasanya menggunakan Basa Bali Lumrah (Basa Alus) untuk menghormati dewa dan roh leluhur.
Aksara Bali adalah sistem penulisan yang kompleks, juga turunan dari Brahmi, yang masih digunakan hingga kini untuk menulis naskah-naskah lontar suci. Naskah-naskah ini berisi mantra (wedha), hukum adat (awig-awig), dan sejarah (babad). Pelestarian aksara pada daun lontar menjadi bagian integral dari upaya pelestarian budaya Bali secara keseluruhan.
Secara geografis, Bali memiliki dua dialek utama:
Istilah "Bahasa Dayak" mencakup ratusan bahasa dan dialek yang dituturkan oleh berbagai sub-etnis Dayak di Kalimantan. Untuk pembahasan ini, kita fokus pada Bahasa Dayak Ngaju, yang merupakan salah satu bahasa Dayak terbesar dan paling berpengaruh di Kalimantan Tengah.
Dayak Ngaju termasuk dalam kelompok Barito Barat (Austronesia). Bahasa ini secara tradisional digunakan di sepanjang sungai-sungai besar seperti Sungai Kahayan, Kapuas, dan Barito, yang merupakan jalur komunikasi dan perdagangan utama di Kalimantan Tengah. Ibu kota Palangkaraya adalah pusat utama penutur bahasa ini.
Dayak Ngaju memiliki struktur fonologi yang relatif sederhana dan jelas. Yang menarik adalah penggunaan prefiks dan sufiks yang menunjukkan peran gramatikal yang berbeda dalam kalimat. Misalnya, partikel penegas 'itu' atau 'ini' seringkali melekat pada kata benda untuk menekankan kepemilikannya.
Salah satu kekhasan linguistik Dayak Ngaju adalah kosakata yang sangat detail mengenai lingkungan sungai, hutan, dan teknik berburu/bertani. Ada banyak kata yang spesifik untuk jenis ikan, bentuk perahu, atau tahapan menanam padi ladang, menunjukkan keterikatan budaya mereka terhadap ekosistem setempat.
Bahasa Dayak Ngaju memainkan peran sentral dalam ritual keagamaan Kaharingan, terutama upacara kematian Tiwah. Dalam ritual ini, narasi, mantra, dan nyanyian (talenta) disampaikan dalam bahasa Ngaju kuno atau bahasa ritual, yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara dunia manusia dan dunia roh leluhur. Pelestarian ritual ini juga berarti pelestarian bentuk bahasa yang paling murni dan sakral.
Ngaju memiliki beberapa sub-dialek seperti Katingan, Kapuas, dan Bakumpai. Bakumpai, yang berlokasi lebih dekat ke Kalimantan Selatan, menunjukkan tingkat pengaruh Melayu dan Banjar yang lebih tinggi dibandingkan Ngaju murni di pedalaman, mencerminkan akulturasi linguistik yang terjadi di perbatasan etnis.
Malayu Ambon adalah salah satu bentuk bahasa Melayu Kreol yang paling mapan di Indonesia Timur. Bahasa ini dituturkan di Maluku, khususnya di Pulau Ambon, Saparua, dan Seram, dan telah menjadi lingua franca perdagangan dan komunikasi di seluruh Maluku.
Malayu Ambon berawal dari Melayu Pasar yang dibawa oleh pedagang Muslim dari Sumatera dan Sulawesi sejak abad ke-16. Namun, selama masa penjajahan Portugis dan Belanda, bahasa ini menyerap kosakata Eropa secara masif. Proses kreolisasi ini menghasilkan struktur tata bahasa yang jauh lebih sederhana dan cepat dibandingkan Melayu standar, menghilangkan banyak prefiks dan sufiks Melayu asli.
Malayu Ambon memiliki peran vital dalam budaya Maluku. Bahasa ini digunakan secara luas dalam musik populer (seperti genre pop Ambon), lagu-lagu gereja (karena Ambon adalah pusat Kristen yang signifikan di Indonesia), dan komunikasi sehari-hari lintas agama dan etnis. Karena posisinya yang sentral, Malayu Ambon membantu menyatukan keragaman etnis di Maluku yang menuturkan ratusan bahasa non-Austronesia kecil.
Meskipun Malayu Ambon adalah kreol, ia tetap memiliki variasi regional. Misalnya, Malayu Ternate/Tidore (di Maluku Utara) menunjukkan pengaruh bahasa Ternate dan Galela yang lebih kuat, sementara Malayu Banda memiliki kekhasan tersendiri karena isolasi geografisnya. Bahasa ini berfungsi sebagai pengikat identitas Maluku, seringkali digunakan untuk menunjukkan kehangatan dan keterbukaan khas masyarakat kepulauan tersebut.
Berbicara tentang linguistik di Papua berarti memasuki dunia bahasa non-Austronesia (Papuan Languages) yang memiliki struktur yang sangat berbeda dari sembilan bahasa sebelumnya. Pulau Papua adalah pusat keragaman linguistik terbesar di dunia, dengan ratusan bahasa yang seringkali tidak memiliki kekerabatan yang jelas.
Untuk mewakili kekayaan ini, kita fokus pada Bahasa Asmat, yang merupakan salah satu kelompok bahasa besar di Papua Selatan dan terikat erat dengan tradisi seni pahat dan ritual kepala suku mereka.
Bahasa-bahasa Papua, termasuk Asmat, seringkali sangat kompleks dalam morfologinya. Mereka cenderung bersifat polisintetik, yang berarti banyak informasi gramatikal (seperti subjek, objek, waktu, dan tempat) digabungkan menjadi satu kata kerja. Struktur ini sangat berbeda dari bahasa Austronesia yang lebih analitis.
Bahasa Asmat memiliki sejumlah besar dialek (misalnya, Central Asmat, North Asmat, Yaosakor) yang mencerminkan cara suku-suku ini terisolasi oleh rawa-rawa dan sungai. Perbedaan fonologis antar dialek bisa signifikan, tetapi mereka berbagi inti leksikal yang sama, yang berhubungan dengan ekosistem hutan bakau dan sungai.
Dalam budaya Asmat, bahasa merupakan media utama untuk menyampaikan kosmologi mereka, terutama yang berkaitan dengan arwah leluhur dan hubungan antara manusia dan alam. Kosakata Asmat sangat kaya akan istilah yang berhubungan dengan ukiran kayu (mbis), perahu (ci), dan ritual perang. Seni pahat mereka, yang kini terkenal di dunia, adalah ekspresi fisik dari narasi lisan yang disampaikan dalam bahasa Asmat.
Bahasa-bahasa Papua menghadapi tantangan pelestarian yang unik. Karena jumlah penutur setiap bahasa seringkali kecil (beberapa hanya ratusan atau ribuan orang), dan tekanan dari Bahasa Indonesia semakin besar, banyak dari bahasa-bahasa ini terancam punah. Upaya pelestarian di Papua seringkali berfokus pada pendokumentasian, penciptaan kamus, dan penggunaan bahasa ibu dalam pendidikan dasar.
Bahasa Asmat, dengan struktur non-Austronesianya yang khas, menjadi pengingat penting bahwa kekayaan linguistik Indonesia melampaui rumpun Melayu-Polinesia yang mendominasi bagian barat Nusantara. Setiap kata dalam bahasa Asmat membawa warisan dan cara pandang dunia yang unik dan tak tergantikan.
Bahasa Madura (Basa Madhura) dituturkan di Pulau Madura dan beberapa wilayah pesisir Jawa Timur, seperti Situbondo, Bondowoso, dan Jember, hasil dari migrasi dan transmigrasi. Bahasa ini termasuk dalam rumpun Austronesia dan memiliki kekerabatan yang dekat dengan Jawa dan Bali, tetapi perkembangannya yang terisolasi telah menciptakan fonologi dan struktur yang sangat khas.
Ciri khas utama dari Bahasa Madura adalah fonem implosif dan aspirasi yang kuat. Pelafalan konsonan seringkali terdengar "keras" atau "berat," misalnya pada bunyi /bʰ/ dan /dʰ/. Hal ini memberikan intonasi khas yang berbeda dari bahasa Jawa yang cenderung lebih lembut. Struktur fonologi yang unik ini menjadikan Madura sebagai bahasa yang sulit dipelajari oleh penutur Austronesia lainnya.
Madura terbagi menjadi beberapa dialek utama:
Madura juga mengenal sistem tingkat tutur yang berfungsi sebagai penanda hierarki sosial, meskipun tidak serumit Jawa. Sistem ini mencakup Jâ-Bhâsa (bahasa sehari-hari/akrab) dan Enjâ’-Iya (bahasa halus). Penggunaan bahasa halus (bhâsa) sangat ditekankan ketika berinteraksi dengan orang yang dihormati, mencerminkan nilai budaya Madura yang sangat menghargai pemimpin agama (ulama) dan orang tua.
Kosakata Madura juga sarat dengan istilah yang berkaitan dengan maritim, karena mayoritas masyarakatnya adalah nelayan atau pedagang garam. Kehidupan sosial Madura yang komunal dan nilai-nilai kepatuhan terhadap tradisi sangat tercermin dalam bahasanya.
Bahasa Banjar (Basa Banjar) adalah bahasa daerah yang dominan di Kalimantan Selatan, serta digunakan secara luas sebagai lingua franca di sebagian besar Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, dibawa oleh perantau dan pedagang Banjar.
Secara linguistik, Banjar sering diklasifikasikan sebagai bagian dari rumpun Melayik, namun dengan ciri-ciri yang sangat berbeda dari Melayu standar. Bahasa Banjar diyakini terbentuk melalui proses kontak bahasa yang intens, menggabungkan kosakata dasar Melayu (dibawa oleh Kerajaan Banjar) dengan unsur-unsur leksikal dan gramatikal dari bahasa-bahasa Dayak lokal, terutama Dayak Ngaju dan Bakumpai.
Campuran ini menghasilkan bahasa yang unik. Walaupun secara struktur dasar mirip Melayu, banyak kosakata intinya diambil dari sumber non-Melayu atau mengalami perubahan fonologis yang ekstrem. Misalnya, banyak kata dalam Banjar yang berakhir dengan 'i' atau 'u' yang dalam Melayu berakhir dengan 'a'.
Bahasa Banjar umumnya dibagi menjadi dua dialek besar berdasarkan geografis dan aktivitas ekonomi:
Peran Banjar sebagai bahasa perdagangan di Kalimantan sangat vital, mirip dengan peran Melayu di Sumatera. Banjar menjadi bahasa wajib di pasar-pasar tradisional di seluruh Kalimantan Selatan dan Tengah. Bahasa ini juga memiliki tradisi sastra lisan yang kuat, termasuk mamanda (teater tradisional) dan berbagai bentuk pantun yang menceritakan sejarah dan petuah hidup.
Eksplorasi terhadap sepuluh bahasa daerah ini—Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Minangkabau, Bugis, Bali, Dayak Ngaju, Malayu Ambon, Madura, dan Banjar—menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah 'laboratorium' linguistik global. Setiap bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah museum hidup yang menyimpan sejarah migrasi, interaksi antar-budaya, sistem kepercayaan, dan kearifan lokal yang tidak tertulis.
Meskipun Bahasa Indonesia telah berhasil menyatukan bangsa, penting untuk menyadari bahwa vitalitas bahasa daerah adalah indikator kesehatan budaya bangsa. Ketika sebuah bahasa daerah punah, yang hilang bukan hanya kosakata, tetapi juga cara berpikir, sistem klasifikasi pengetahuan alam, dan ribuan tahun sejarah lisan. Tantangan di masa depan adalah menyeimbangkan antara penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan upaya pelestarian dan revitalisasi bahasa-bahasa lokal, memastikan bahwa kekayaan linguistik Nusantara tetap bersemarak bagi generasi yang akan datang.
Pentingnya Revitalisasi: Upaya pelestarian tidak hanya mencakup pendokumentasian. Langkah krusial adalah memastikan bahasa-bahasa ini tetap digunakan secara aktif oleh penutur muda, baik di rumah, sekolah, maupun dalam konteks digital, agar jejak kata Nusantara tidak terputus oleh waktu.