Dalam lautan luas ayat-ayat Al-Qur'an, terdapat permata-permata hikmah yang senantiasa memberikan petunjuk dan kedamaian bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sarat makna dan seringkali menjadi renungan adalah Surah Ali Imran ayat 197. Ayat ini tidak hanya sekadar lantunan kata yang indah, tetapi mengandung pelajaran berharga mengenai siklus kehidupan dunia, tipu daya, dan orientasi akhirat. Memahami dan meresapi ayat ini dapat mengubah cara pandang kita terhadap kenyataan dan mengarahkan langkah menuju keberkahan.
Ayat ke-197 dari Surah Ali Imran berbunyi:
لَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوْا۟ وَيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ ٱلْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
"Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang bergirang dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka kalau dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan terlepas dari siksaan; dan bagi mereka azab yang pedih."
Ayat ini secara lugas memberikan peringatan keras kepada dua jenis golongan manusia: pertama, mereka yang senang dengan pencapaian duniawi yang mereka dapatkan, seolah itu adalah puncak dari segalanya. Kedua, mereka yang ingin dipuji atas perbuatan baik yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Kedua sifat ini, ketika bercampur dengan kebanggaan diri dan ketidakjujuran, adalah racun yang menggerogoti jiwa dan menjauhkan dari keridaan Ilahi.
Kata "taḥsabanna" (janganlah kamu mengira) diulang dua kali, menekankan pentingnya peringatan ini. Ini bukan sekadar ramalan, tetapi sebuah kepastian dari Allah SWT. Orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut tidaklah berada dalam posisi aman, meskipun mungkin terlihat berjaya atau dihormati di mata manusia. Kebanggaan pada pencapaian duniawi yang berlebihan bisa membuat seseorang lupa akan tujuan sejatinya diciptakan, yaitu beribadah kepada Allah dan meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
Lebih berbahaya lagi adalah keinginan untuk dipuji atas sesuatu yang tidak pernah dikerjakan. Ini mencerminkan kemunafikan dan kebohongan. Mereka membangun citra palsu demi mendapatkan sanjungan, namun di hadapan Allah, segala kepalsuan itu akan terungkap. Al-Qur'an telah berulang kali mengingatkan tentang bahaya riya' (pamer) dan sum'ah (ingin didengar), yang merupakan manifestasi dari keinginan untuk dipuji.
Al-Imran 197 secara implisit mengajarkan tentang keseimbangan orientasi hidup. Dunia ini adalah ladang untuk beramal, namun menjadikannya sebagai tujuan akhir adalah kekeliruan fatal. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta, tahta, atau pujian semata, melainkan pada kesadaran diri akan kewajiban kepada Sang Pencipta dan pencapaian ridha-Nya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala kesenangan dan pujian duniawi sifatnya sementara dan penuh tipu daya. Allah SWT berfirman dalam ayat lain, "Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS. Al-Hadid: 20). Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk terus mengoreksi diri, memperbaiki niat, dan memastikan setiap amal yang dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji manusia.
Bagi mereka yang terus menerus bergelimang dalam kesenangan semu dan kebohongan demi sanjungan, azab yang pedih telah disiapkan. Ini bukan ancaman kosong, melainkan kabar dari Zat Yang Maha Mengetahui segala isi hati. Mereka mungkin merasa aman di dunia, namun di akhirat, tiada tempat berlindung bagi orang-orang yang mendustakan diri sendiri dan Allah.
Setelah memahami makna mendalam dari Al-Imran 197, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari:
Dengan merenungkan Al-Imran 197, kita diingatkan untuk senantiasa menjaga hati dari penyakit-penyakit yang dapat menghalangi keberkahan. Dunia ini sementara, dan pertanggungjawaban di akhirat adalah keniscayaan. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa beramal dengan ikhlas, mendapatkan petunjuk-Nya, dan terhindar dari azab-Nya yang pedih.