Dalam lautan ajaran Islam yang luas, terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang secara spesifik menyoroti prinsip-prinsip fundamental yang membentuk karakter seorang Muslim dan komunitasnya. Salah satu sorotan penting ini terdapat pada surah Ali Imran ayat 104 dan 105. Ayat-ayat ini bukan sekadar pengingat historis, melainkan panduan abadi mengenai peran strategis umat Islam dalam menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta pentingnya menjadi umat pertengahan (wasathiyah) yang teguh pendirian.
Surah Ali Imran ayat 104 menegaskan sebuah kewajiban kolektif bagi umat Islam: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." Ayat ini secara gamblang mendefinisikan peran penting yang diemban oleh umat yang beriman. Kata "dakwah" dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada penyampaian ajaran agama secara verbal, tetapi mencakup segala upaya untuk mengajak manusia menuju kebaikan dalam segala aspek kehidupan, baik spiritual, moral, maupun sosial. Menyeru kepada kebaikan berarti menginspirasi, membimbing, dan memberikan contoh positif agar individu dan masyarakat terangkat derajatnya.
Lebih lanjut, ayat ini menekankan dua pilar utama dalam aktivitas dakwah: "menyuruh kepada yang ma'ruf" dan "mencegah dari yang mungkar". Konsep "ma'ruf" merujuk pada segala sesuatu yang baik, benar, dan sesuai dengan fitrah manusia serta syariat Allah. Ini meliputi tindakan kejujuran, keadilan, kasih sayang, tanggung jawab, dan segala perbuatan terpuji lainnya. Sementara itu, "munkar" adalah kebalikan dari ma'ruf, yaitu segala sesuatu yang buruk, salah, dan bertentangan dengan ajaran agama, seperti kebohongan, ketidakadilan, kekerasan, dan kemaksiatan.
Pentingnya peran ini digarisbawahi dengan frasa "merekalah orang-orang yang beruntung". Keberuntungan yang dijanjikan di sini bukanlah sekadar kenikmatan duniawi semata, melainkan keberuntungan hakiki yang meliputi kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Keberuntungan ini adalah buah dari pengorbanan, ketulusan, dan konsistensi dalam menjalankan tugas mulia tersebut.
Beranjak ke ayat 105, Al-Qur'an memberikan peringatan keras dan sekaligus arahan strategis: "Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah berpisah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." Ayat ini menyoroti bahaya perpecahan dan perselisihan di kalangan umat beriman. Sejarah telah menunjukkan bahwa umat yang terpecah belah akan menjadi lemah dan rentan terhadap pengaruh luar serta kehilangan kekuatan untuk menjalankan misi dakwahnya.
Peringatan ini datang setelah perintah untuk menjadi agen kebaikan. Ini menunjukkan bahwa dakwah yang efektif sangat bergantung pada persatuan dan kekompakan. Ketika umat Islam terpecah, fokus mereka akan teralihkan dari tugas utama, dan energi mereka akan terkuras dalam konflik internal. Ayat ini mengingatkan agar umat Islam tidak mengikuti jejak umat-umat terdahulu yang telah diperingatkan dengan jelas namun tetap memilih jalan perpecahan, yang pada akhirnya berujung pada konsekuensi yang berat.
Kemudian, surah Ali Imran ayat 106-107 (meskipun fokus utama adalah 104-105, konteks ini penting) menjelaskan siapa yang akan mendapatkan anugerah dari Allah dan siapa yang diazab. Ayat 106-107 berbunyi: "Pada hari ketika wajah-wajah (orang-orang beriman) berseri-seri dan wajah-wajah (orang-orang kafir) muram; Adapun orang-orang yang berwajah muram itu (dikatakan kepada mereka): 'Mengapa kamu kafir setelah kamu beriman?' Maka rasakanlah siksa disebabkan kekafiranmu itu." Ini menegaskan kembali bahwa keteguhan iman dan sikap yang benar akan menghasilkan kebahagiaan di akhirat, sementara perpecahan dan penolakan kebenaran akan berujung pada penyesalan dan siksa.
Dalam semangat ayat-ayat ini, konsep "umat pertengahan" atau "umat wasathiyah" menjadi sangat krusial. Istilah ini merujuk pada umat yang berimbang, adil, dan memiliki posisi tengah yang tidak ekstrem. Mereka adalah umat yang mampu mengintegrasikan ajaran agama dengan kehidupan dunia, yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara spiritualitas dan rasionalitas, serta antara keadilan dan kasih sayang. Umat pertengahan adalah umat yang teguh pada prinsip namun tetap bijaksana dalam berinteraksi.
Menjadi umat pertengahan berarti menolak segala bentuk ekstremisme, baik itu dalam pemahaman agama maupun dalam tindakan. Ini berarti menghindari sikap kaku yang menolak kemajuan dan pembaharuan yang sejalan dengan syariat, sekaligus juga menghindari sikap liberal yang mengabaikan nilai-nilai fundamental agama. Keseimbangan inilah yang memungkinkan umat Islam untuk senantiasa menjadi rahmat bagi semesta alam dan menjadi agen perubahan yang positif.
Dengan memahami dan mengamalkan kandungan surah Ali Imran ayat 104 dan 105, umat Islam diingatkan kembali akan tanggung jawabnya untuk menyebarkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan senantiasa menjaga persatuan serta menjadi umat yang pertengahan. Hal ini merupakan fondasi kokoh untuk membangun peradaban yang mulia dan meraih keberuntungan hakiki di dunia dan akhirat.