Dalam lautan ayat-ayat suci Al-Qur'an, terdapat permata-permata hikmah yang terus menerus memberikan pencerahan bagi umat manusia. Salah satu ayat yang kaya makna dan relevan sepanjang masa adalah Surah Ali Imran ayat 49. Ayat ini tidak hanya membahas tentang tuntunan praktis dalam kehidupan seorang hamba, tetapi juga merangkum esensi dari ketaatan, pemahaman spiritual, dan rahmat pengampunan dari Sang Pencipta. Mari kita selami lebih dalam makna dan implikasi dari ayat yang mulia ini.
"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu ketika Aku menguatkanmu dengan Ruhul Qudus. Engkau berbicara kepada manusia ketika dalam buaian dan ketika sudah dewasa; dan ingatlah ketika Aku mengajarkan kepadamu Al Kitab, hikmah, Taurat dan Injil, dan ketika engkau menjadikan ketentuan dari daging burung dengan seizin-Ku, lalu engkau menghidupkan burung-burung itu dengan seizin-Ku, dan engkau menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku, dan ingatlah ketika engkau selesai dari (menciptakan) sesuatu berbentuk burung dengan seizin-Ku, lalu engkau meniupkan (ke dalamnya) roh, maka jadilah ia seekor burung dengan seizin-Ku, dan engkau (berupaya) menyembuhkan orang buta sejak dalam kandungan dan orang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menahan bani Israil dari (pembunuhan)mu ketika engkau (Isa) telah datang membawa keterangan-keterangan, lalu orang-orang kafir dari mereka berkata, 'Ini tidak lain (sihir) yang nyata.'"
(QS. Ali Imran: 49)
Ayat Ali Imran 3:49 secara spesifik menyoroti berbagai mukjizat yang dianugerahkan kepada Nabi Isa Al-Masih 'alaihissalam. Perintah Allah untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa ini ditujukan kepada Nabi Isa sendiri, namun melalui penyampaiannya dalam Al-Qur'an, umat Islam di seluruh zaman diingatkan akan kekuasaan mutlak Allah dan peran para nabi sebagai utusan-Nya. Mukjizat yang disebutkan meliputi kemampuan berbicara sejak dalam buaian, pengajaran kitab suci, hikmah, Taurat, dan Injil, serta kemampuan menciptakan burung dari tanah liat dan menghidupkannya.
Kemampuan ini bukanlah atas dasar kekuatan pribadi Nabi Isa, melainkan murni atas izin dan pertolongan Allah (dengan seizin-Ku). Penekanan berulang pada frasa "dengan seizin-Ku" menegaskan bahwa mukjizat tersebut adalah bukti nyata dari kemahakuasaan Sang Pencipta, bukan kemampuan inheren sang nabi. Ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap pencapaian besar, setiap kebaikan yang terwujud, pada hakikatnya berasal dari Allah SWT.
Perintah untuk "mengingat" nikmat Allah memiliki makna yang mendalam. Mengingat adalah proses introspeksi yang mendewasakan spiritual. Dengan mengingat nikmat, seseorang menjadi lebih bersyukur, lebih sadar akan kelemahan diri, dan lebih dekat kepada Sang Pemberi nikmat. Bagi Nabi Isa, mengingat nikmat Allah adalah pengingat atas posisinya sebagai hamba yang taat dan terpilih, yang senantiasa berada di bawah perlindungan dan pertolongan-Nya.
Dalam konteks yang lebih luas, bagi umat manusia, ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa merenungkan karunia-karunia Allah dalam kehidupan kita, baik yang besar maupun yang kecil. Mulai dari karunia akal untuk berpikir, kesehatan untuk beraktivitas, hingga kesempatan untuk beribadah dan berbuat baik. Kesadaran akan nikmat ini akan menumbuhkan rasa rendah hati dan kepatuhan yang tulus.
Penyebutan "Ruhul Qudus" (Malaikat Jibril) sebagai penguat Nabi Isa 'alaihissalam menunjukkan betapa pentingnya peran wahyu dan dukungan spiritual dalam menjalankan tugas kenabian. Ruhul Qudus adalah perantara wahyu dan kekuatan ilahi yang meneguhkan hati para nabi. Bagi umat Islam, Ruhul Qudus adalah Malaikat Jibril, pembawa risalah Islam kepada Nabi Muhammad SAW.
Ketergantungan Nabi Isa pada Ruhul Qudus mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan fisik atau kecerdasan semata, melainkan pada koneksi yang kuat dengan sumber segala kekuatan, yaitu Allah SWT, melalui bimbingan wahyu dan dukungan spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mencontohnya dengan memperbanyak doa, memohon bimbingan, dan berusaha memahami serta mengamalkan ajaran agama.
Ayat ini juga menyentuh realitas yang dihadapi oleh para nabi, yaitu penolakan dan tuduhan dari kaum yang tidak beriman. Ketika Nabi Isa datang dengan mukjizat-mukjizat yang jelas, kaumnya, yaitu Bani Israil, sebagian ada yang mengingkarinya dan menuduhnya sebagai sihir. Hal ini menunjukkan bahwa jalan dakwah dan kebenaran seringkali diiringi dengan ujian, keraguan, dan fitnah.
Namun, di tengah penolakan tersebut, Allah tetap memberikan perlindungan-Nya. Ayat ini mengisahkan bagaimana Allah menahan Bani Israil untuk membunuh Nabi Isa. Ini adalah bukti nyata dari janji Allah untuk melindungi para utusan-Nya yang berpegang teguh pada kebenaran.
Surah Ali Imran ayat 49 adalah pengingat abadi bagi kita untuk senantiasa meneladani para nabi dalam hal ketaatan, rasa syukur, dan tawakal. Dengan merenungi mukjizat Nabi Isa, kita diingatkan akan kebesaran Allah, kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan kasih sayang-Nya yang meliputi segalanya. Kita belajar bahwa setiap keberhasilan adalah anugerah, setiap kesulitan adalah ujian, dan bahwa pertolongan Allah selalu menyertai hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan.
Marilah kita jadikan ayat ini sebagai motivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah kita, memperdalam pemahaman kita tentang agama, dan selalu berserah diri kepada Allah SWT dalam setiap keadaan. Dengan begitu, kita akan menjadi hamba-hamba yang dicintai dan diridhai oleh-Nya, serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.