Belalang Sembah dalam pose "berdoa" yang ikonik.
Alur cerita Belalang Sembah, yang populer dalam dongeng dan cerita moral di berbagai budaya, seringkali berpusat pada tema kesombongan, kepura-puraan, dan konsekuensi dari tindakan yang salah. Karakter utamanya adalah seekor Belalang Sembah, serangga yang dikenal dengan postur tubuhnya yang sering terlihat seolah-olah sedang berdoa atau menunggu dengan khusyuk. Dalam narasi ini, Belalang Sembah seringkali digambarkan sebagai sosok yang religius atau sangat saleh di mata luar.
Latar cerita biasanya adalah sebuah ekosistem sederhana, seperti padang rumput atau tepi sungai, di mana ia hidup bersama serangga-serangga lain, seperti kupu-kupu, semut, atau capung. Perbedaan mendasar antara citra publik Belalang Sembah (yang tampak tenang dan taat) dengan sifat aslinya (yang merupakan predator yang cerdik dan kejam) menjadi inti dari konflik utama cerita ini.
Alur cerita biasanya dimulai ketika Belalang Sembah mulai memanfaatkan penampilannya yang santun. Ia menggunakan postur 'sembah'-nya sebagai kamuflase sosial. Serangga lain yang naif melihat perilakunya sebagai tanda kesucian atau kehati-hatian, sehingga mereka cenderung mendekat tanpa curiga. Ini adalah fase di mana Belalang Sembah membangun reputasi palsu.
Konflik memuncak ketika Belalang Sembah secara sengaja mengincar mangsa yang paling rapuh atau yang paling percaya padanya. Misalnya, ia mungkin pura-pura membutuhkan bantuan, atau bahkan pura-pura sedang beribadah dengan sangat khusyuk, membuat mangsa merasa aman untuk berinteraksi. Ketika mangsa sudah berada dalam jarak yang aman—tertipu oleh fasad kesalehannya—Belalang Sembah tiba-tiba melancarkan serangan mematikan dengan kaki depannya yang tajam. Perubahan mendadak dari sosok yang damai menjadi predator buas inilah yang menciptakan ketegangan dramatis dalam alur cerita.
Klimaks seringkali melibatkan satu serangga yang lebih cerdas atau lebih waspada yang menyadari tipu muslihat Belalang Sembah. Serangga cerdas ini mungkin telah mengamati perilaku predatornya sebelumnya atau menerima peringatan dari korban sebelumnya. Bagian ini biasanya menampilkan upaya pengejaran atau penyelamatan.
Jika cerita berfokus pada narasi di mana Belalang Sembah berhasil memangsa banyak korban, klimaksnya bisa berupa pembalasan dendam kolektif dari komunitas serangga lain yang akhirnya bersatu untuk mengusir atau mengalahkan predator licik tersebut. Namun, dalam versi yang paling umum, klimaks adalah momen ketika satu karakter berhasil lolos karena melihat kilatan sifat predator di balik topeng kesalehan.
Resolusi dari cerita Belalang Sembah hampir selalu mengarah pada satu kesimpulan yang tegas: jangan menilai buku dari sampulnya. Setelah serangkaian insiden, komunitas serangga akhirnya mengerti bahwa penampilan luar yang tenang, sopan, atau saleh tidak menjamin integritas karakter yang sebenarnya.
Pesan moral yang paling kuat adalah peringatan terhadap hipokrisi dan pentingnya kewaspadaan terhadap orang (atau serangga) yang terlalu menonjolkan kesalehan mereka. Dalam konteks kehidupan manusia, ini mengajarkan kita untuk berhati-hati terhadap janji-janji muluk dan penampilan luar yang terlalu sempurna, karena sifat asli seseorang seringkali tersembunyi di balik topeng tersebut. Cerita ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa integritas sejati terlihat dari tindakan nyata, bukan sekadar pose atau retorika.
Alur cerita Belalang Sembah mengajarkan bahwa sementara beberapa makhluk hidup memang tulus dalam persembahan mereka, yang lain menggunakannya sebagai alat manipulasi. Oleh karena itu, kebijaksanaan menuntut kita untuk mengamati perilaku konsisten dan melihat melampaui presentasi yang dibuat-buat. Kisah sederhana ini tetap relevan karena ia menyentuh dilema universal antara apa yang terlihat dan apa yang sebenarnya ada di dalam hati.