Pondasi yang Tergerus Waktu
Surau itu bukan sekadar bangunan; ia adalah denyut nadi kehidupan kami selama beberapa generasi. Dibangun dari kayu jati pilihan saat desa kami masih berupa perkampungan kecil, strukturnya pernah menjulang gagah menantang badai. Namun, waktu adalah musuh yang paling sabar. Perlahan namun pasti, alur robohnya surau kami mulai terlihat bukan dari satu guncangan besar, melainkan dari serangkaian pengabaian kecil. Dimulai dari pelapukan kayu di bagian bawah, terutama di sekitar tiang utama yang selalu lembap karena kontur tanah yang menurun ke arah sungai.
Kami ingat betul bagaimana uap air selalu naik dari lantai kayu saat hujan baru reda. Para tetua pernah mengingatkan, "Jaga kakinya, agar badannya tegak." Namun, renovasi skala besar terasa mustahil bagi kas desa yang sumber dayanya kian menipis. Perbaikan hanya sebatas tambal sulam—mengganti papan yang sudah keropos dengan kayu baru yang terkadang tidak sepadan kekuatannya. Ketidakseragaman material ini menciptakan titik lemah yang tak terlihat, menunggu momentum yang tepat untuk memicu keruntuhan.
Tanda-Tanda yang Terabaikan
Proses keruntuhan ini memiliki alur yang dramatis jika direnungkan. Tahap awal adalah hilangnya kekakuan. Dulu, saat imam mengucapkan takbiratul ihram, semua terasa kokoh. Belakangan, terasa ada sedikit "bergoyang" saat jamaah berdiri serentak untuk rukuk. Guncangan ringan ini adalah peringatan akustik yang sering kami abaikan, menganggapnya sebagai dampak getaran kendaraan yang melintas di jalan desa yang semakin ramai.
Kemudian, muncul masalah struktural yang lebih jelas. Miringnya kiblat menjadi isu sentral yang tidak bisa diabaikan lagi. Dinding samping yang menopang struktur atap melengkung ke luar. Kami mencoba menahannya dengan tali baja seadanya, sebuah solusi darurat yang hanya menunda kepastian. Langit-langit mulai menunjukkan jejak rembesan air yang semakin luas. Cat putih yang dulu suci kini dihiasi guratan cokelat yang menandakan kayu di baliknya telah menjadi sarang jamur dan rayap. Setiap kali terjadi hujan deras, kekhawatiran akan menelan kami hidup-hidup.
Puncak Keruntuhan yang Tak Terhindarkan
Puncak dari alur robohnya surau itu terjadi bukan saat musim badai, melainkan saat musim kemarau panjang. Ironisnya, kekeringan membuat kayu yang selama ini sedikit melunak karena kelembaban menjadi sangat kering dan rapuh. Ditambah beban berat dari atap genteng lama yang seharusnya sudah diganti, salah satu tiang penopang utama di sisi barat akhirnya patah secara tiba-tiba. Tidak ada suara gemuruh dahsyat seperti di film, melainkan suara "krak" yang panjang dan mengerikan, diikuti desahan kayu yang menyerah pada gravitasi.
Atap itu ambruk ke dalam, meratakan area shalat sunah di bagian belakang. Untungnya, kejadian itu terjadi di luar waktu shalat wajib, dan tidak ada korban jiwa. Namun, kehilangan itu terasa mendalam. Surau kami roboh bukan karena satu pukulan telak, melainkan akumulasi dari daya dukung material yang telah melebihi batas kemampuannya akibat usia, kelembaban yang tidak teratasi, dan renovasi parsial yang gagal menangani akar masalah.
Refleksi dan Masa Depan
Kisah robohnya surau kami menjadi pelajaran pahit bagi seluruh warga. Kami belajar bahwa memelihara warisan spiritual memerlukan perhatian yang konsisten dan jujur terhadap kondisi sesungguhnya. Keindahan luar bisa tertipu jika fondasi dan penopangnya telah rapuh dimakan usia. Saat ini, kami sedang mengumpulkan kekuatan dan dana untuk membangun kembali, kali ini dengan perencanaan teknis yang lebih matang, memastikan bahwa generasi mendatang tidak perlu menyaksikan lagi alur kehancuran yang sama terulang. Membangun kembali adalah cara kami menghormati ingatan yang pernah ada di bawah naungan atap yang kini telah tiada itu.