Karakter Si Kabayan, ciptaan Mahmoed Yassin (MG St. Iskandar), adalah personifikasi kecerdasan sederhana rakyat Sunda. Dalam berbagai kisahnya, ia seringkali menampilkan keunikan yang memicu tawa sekaligus refleksi mendalam. Salah satu narasi yang menarik perhatian dan sering menjadi bahan diskusi adalah ketika Si Kabayan mengambil peran sebagai dukun. Peran ini bukan sekadar pelengkap komedi, melainkan wadah untuk menyampaikan amanat novel yang menyentuh isu sosial dan kepercayaan masyarakat.
Kritik Sosial Melalui Lensa Kelucuan
Ketika Si Kabayan 'menjadi dukun', tujuannya jarang sekali untuk benar-benar mengobati secara supranatural dalam artian serius. Sebaliknya, ini adalah satire tajam terhadap praktik perdukunan yang menjamur di masyarakat, di mana seringkali ada eksploitasi terhadap orang-orang yang sedang dalam kesulitan atau dilanda ketakutan. Si Kabayan, dengan kepolosannya, secara tidak sengaja membongkar kepalsuan para dukun palsu atau, dalam beberapa interpretasi, justru menjadi medium yang menunjukkan bahwa 'keajaiban' seringkali hanya bergantung pada sugesti dan ketulusan.
Amanat utama yang tersirat di balik kisah ini adalah pentingnya literasi dan pemikiran kritis. Kabayan tidak menggunakan ilmu tinggi; ia menggunakan akal sehat yang terbungkus dalam bahasa yang mudah dimengerti. Ini mengajarkan pembaca bahwa solusi atas permasalahan hidup—baik itu penyakit ringan, kesulitan ekonomi, atau persoalan rumah tangga—seringkali lebih efektif dicapai melalui pendekatan rasional daripada bergantung sepenuhnya pada takhayul atau janji-janji gaib yang ditawarkan para penipu berkedok spiritual.
Kejujuran Versus Kepalsuan
Novel-novel yang mengangkat tema Si Kabayan jadi dukun seringkali menempatkan karakternya dalam kontras langsung dengan dukun sungguhan yang licik. Kontras ini memperkuat pesan moral: kejujuran dan kepolosan—meskipun terlihat bodoh—jauh lebih berharga daripada tipu daya yang dibalut jubah kesakralan. Si Kabayan, dalam banyak kasus, berhasil 'mengalahkan' dukun palsu bukan karena ia lebih sakti, tetapi karena tindakannya didasari oleh niat baik yang murni.
Hal ini menyentuh aspek psikologis kepercayaan. Ketika masyarakat sangat rentan, mereka cenderung mencari jalan pintas spiritual. Novel ini mengingatkan kita bahwa kekuatan terbesar seringkali ada dalam komunitas dan kemampuan kita sendiri untuk saling membantu dengan cara yang nyata. Jika Si Kabayan berhasil ‘menyembuhkan’ orang, itu lebih karena ia berhasil menghilangkan rasa takut pasiennya melalui humor dan intervensi sederhana yang meyakinkan, bukan karena mantra ajaib.
Refleksi Budaya dan Modernitas
Kisah Kabayan selalu berakar kuat pada kultur Sunda, namun amanat novel ini bersifat universal. Di tengah arus modernisasi, di mana ilmu pengetahuan semakin maju, praktik-praktik kuno yang sarat takhayul masih sulit dihilangkan. Kisah Si Kabayan yang menjadi dukun adalah cermin yang menunjukkan bagaimana kepercayaan tradisional berinteraksi (dan seringkali bertabrakan) dengan nalar modern.
Secara substansial, ketika Kabayan mengambil peran tersebut, ia sedang melakukan dekonstruksi terhadap otoritas spiritual yang tidak berdasar. Ia mengubah yang sakral menjadi jenaka, sehingga otoritas para dukun yang menakut-nakuti masyarakat menjadi runtuh di hadapan tawa. Ini adalah strategi sastra yang brilian untuk mendidik publik tanpa terkesan menggurui.
Kesimpulannya, eksplorasi MG St. Iskandar terhadap persona Si Kabayan jadi dukun adalah sebuah karya kritik sosial yang elegan. Ia mengajarkan kita untuk selalu waspada terhadap janji-janji kosong, menghargai kesederhanaan akal sehat, dan memahami bahwa terkadang, humor adalah senjata paling efektif melawan ketakutan irasional yang sering dieksploitasi oleh oknum-oknum yang mengaku memiliki kekuatan spiritual.