Mencermati Penggunaan Antibiotik dalam Penanganan Faringitis: Pilar Kedokteran yang Bertanggung Jawab
Faringitis, atau peradangan tenggorokan, adalah salah satu keluhan kesehatan yang paling umum ditemukan di praktik klinis. Keluhan ini seringkali menjadi pintu masuk bagi permintaan penggunaan antibiotik, baik dari pasien maupun praktik kedokteran yang kurang cermat. Namun, pemahaman yang komprehensif mengenai etiologi faringitis—apakah disebabkan oleh virus atau bakteri—adalah kunci utama dalam menjaga praktik medis yang bertanggung jawab dan mencegah krisis resistensi antibiotik global.
Artikel ini menyajikan eksplorasi mendalam, mencakup diferensiasi diagnosis, peran sentral Streptococcus pyogenes (GAS), protokol antibiotik yang tepat berdasarkan pedoman klinis, serta tantangan besar terkait kepatuhan pengobatan dan ancaman resistensi antimikroba.
I. Definisi dan Spektrum Etiologi Faringitis
Faringitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan rasa sakit di tenggorokan, seringkali disertai dengan kesulitan menelan (odinofagia). Meskipun gejalanya serupa, penyebabnya sangat beragam. Mayoritas kasus faringitis pada orang dewasa dan anak-anak disebabkan oleh agen viral, sementara infeksi bakteri hanya menyumbang persentase kecil, namun signifikan karena potensi komplikasinya.
1. Faringitis Viral (Penyebab Mayoritas Kasus)
Diperkirakan 70% hingga 95% kasus faringitis pada orang dewasa dan 60% hingga 80% pada anak-anak disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik pada kasus ini tidak hanya tidak efektif tetapi juga merugikan. Agen viral yang umum meliputi:
Adenovirus: Seringkali menyebabkan gejala mirip flu, konjungtivitis, dan faringitis.
Rhinovirus dan Coronavirus: Penyebab umum pilek biasa.
Virus Influenza dan Parainfluenza: Menyebabkan gejala sistemik yang lebih berat.
Epstein-Barr Virus (EBV): Penyebab mononukleosis infeksiosa, sering ditandai dengan pembengkakan kelenjar getah bening yang masif dan eksudat tonsil yang menyerupai infeksi bakteri.
Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes Simplex Virus (HSV).
2. Faringitis Bakteri (Target Antibiotik)
Penyebab bakteri yang paling penting dan memerlukan intervensi antibiotik adalah Streptococcus pyogenes, dikenal sebagai Streptokokus Grup A (GAS). Infeksi GAS sangat penting untuk didiagnosis dan diobati karena risiko komplikasi non-supuratif serius.
Streptococcus Grup A (GAS): Menyumbang sekitar 5% hingga 15% faringitis pada dewasa dan 15% hingga 30% pada anak-anak. Ini adalah satu-satunya penyebab bakteri yang secara rutin memerlukan antibiotik.
Penyebab Bakteri Lain yang Jarang: Termasuk Arcanobacterium haemolyticum, Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan Neisseria gonorrhoeae (terkait praktik seksual). Infeksi ini biasanya hanya diobati dalam konteks klinis spesifik atau wabah.
II. Pilar Diferensiasi: Menentukan Kebutuhan Antibiotik
Diferensiasi Etiologi: Langkah Kritis Sebelum Pemberian Antibiotik
Kekeliruan paling umum dalam penanganan faringitis adalah pemberian antibiotik secara empiris (tanpa tes) berdasarkan gejala semata. Dokter harus secara aktif membedakan faringitis viral dari GAS, karena pengobatan GAS adalah satu-satunya yang memerlukan intervensi antimikroba untuk mencegah komplikasi, bukan sekadar meringankan gejala.
1. Kriteria Klinis: Skor Centor/McIsaac
Sistem skoring klinis seperti Skor Centor atau modifikasi McIsaac digunakan untuk memperkirakan kemungkinan adanya infeksi GAS, membantu dokter memutuskan apakah pengujian laboratorium (swab) diperlukan.
A. Komponen Skor McIsaac (Point Score):
Eksudat Tonsil atau Pembengkakan: +1 poin (Adanya nanah atau lapisan putih pada amandel).
Absennya Batuk: +1 poin (Batuk adalah gejala khas infeksi viral; absennya batuk mendukung GAS).
Riwayat Demam: +1 poin (Suhu > 38°C).
Usia:
3–14 tahun: +1 poin (Puncak insiden GAS).
15–44 tahun: 0 poin.
> 45 tahun: -1 poin (Insiden GAS sangat rendah).
B. Interpretasi Skor McIsaac:
Skor 0 atau 1 (Probabilitas rendah < 10%): Antibiotik tidak diindikasikan. Pengujian laboratorium (RAT atau kultur) tidak diperlukan. Pengobatan suportif.
Skor 2 atau 3 (Probabilitas sedang 15–35%): Pengujian laboratorium (Rapid Antigen Detection Test/RADT atau kultur) sangat direkomendasikan. Antibiotik diberikan hanya jika hasil tes positif.
Skor 4 atau 5 (Probabilitas tinggi > 50%): Beberapa pedoman (terutama di wilayah dengan prevalensi tinggi) mengizinkan pengobatan empiris, namun pengujian RADT tetap direkomendasikan untuk konfirmasi dan mencegah penggunaan berlebihan.
2. Prosedur Diagnostik Laboratorium
Diagnosis pasti faringitis GAS memerlukan identifikasi bakteri. Mengandalkan hanya gejala klinis menyebabkan overdiagnosis dan overuse antibiotik hingga 50%.
Rapid Antigen Detection Test (RADT/RAT): Memberikan hasil dalam beberapa menit. Jika positif, terapi antibiotik dimulai. Jika negatif pada anak-anak dan remaja, harus dikonfirmasi dengan kultur tenggorokan (throat culture) karena sensitivitasnya yang tidak sempurna. Pada orang dewasa, hasil negatif RAT umumnya cukup untuk menyingkirkan GAS, mengingat risiko komplikasi yang lebih rendah.
Kultur Tenggorokan (Gold Standard): Membutuhkan 24–48 jam, namun memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Ini digunakan sebagai tes konfirmasi bila RAT negatif, terutama pada anak-anak.
Penting untuk ditekankan: Faringitis viral tidak memerlukan antibiotik. Pengobatan harus selalu ditujukan untuk infeksi GAS yang terkonfirmasi, kecuali pada kasus klinis yang sangat mendesak.
III. Peran Sentral Streptococcus Grup A (GAS) dan Risiko Komplikasi
Mengapa GAS menjadi fokus utama? Karena infeksi GAS yang tidak diobati secara adekuat dapat memicu respons autoimun dalam tubuh yang menyebabkan komplikasi non-supuratif yang parah. Antibiotik diberikan bukan untuk mempercepat penyembuhan gejala (yang biasanya akan hilang sendiri dalam 3-5 hari), tetapi untuk mengeradikasi bakteri dan mencegah komplikasi serius.
1. Komplikasi Non-Supuratif Primer
Antibiotik terbukti mencegah dua kondisi autoimun berikut, asalkan diberikan dalam 9 hari pertama onset gejala:
Demam Rematik Akut (DRA): Komplikasi paling ditakuti, yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada katup jantung (penyakit jantung rematik/PJR), artritis, korea (gerakan tak terkontrol), dan nodul subkutan. Pencegahan DRA adalah alasan utama terapi antibiotik pada GAS.
Glomerulonefritis Pasca-Streptokokus Akut (GNPSA): Peradangan ginjal yang dapat terjadi setelah infeksi GAS pada tenggorokan atau kulit. Berbeda dengan DRA, pencegahan dengan antibiotik tidak sepenuhnya terbukti efektif untuk GNPSA, sehingga fokus tetap pada pencegahan DRA.
2. Komplikasi Supuratif (Lokal)
Komplikasi ini timbul dari penyebaran bakteri ke jaringan sekitar dan biasanya dicegah oleh antibiotik:
Abses peritonsil (kumpulan nanah di belakang amandel).
Selulitis peritonsil.
Limfadenitis servikal (infeksi kelenjar getah bening yang parah).
Mastoiditis atau otitis media (jarang).
IV. Protokol Pengobatan Antibiotik Spesifik untuk Faringitis GAS
Pilihan Obat dan Durasi Kritis
Pilihan antibiotik untuk GAS sangat spesifik karena S. pyogenes tidak pernah menunjukkan resistensi yang signifikan terhadap Penisilin. Penisilin tetap menjadi obat pilihan pertama karena efikasi tinggi, spektrum sempit (meminimalisir kerusakan mikrobiota normal), dan biaya yang rendah.
1. Terapi Lini Pertama (Pilihan Utama)
A. Penisilin V (Fenoksimetilpenisilin)
Ini adalah pilihan obat utama (lini pertama) untuk faringitis GAS. Penisilin V harus diminum selama 10 hari penuh untuk memastikan eradikasi total bakteri dan pencegahan DRA. Durasi 10 hari adalah kunci, karena durasi yang lebih pendek (misalnya 5 hari) terkait dengan tingkat kegagalan eradikasi yang lebih tinggi.
Dosis Dewasa: 250 mg atau 500 mg, dua hingga empat kali sehari selama 10 hari.
Dosis Anak: 250 mg, dua hingga tiga kali sehari selama 10 hari.
Keuntungan Utama: Tidak ada resistensi GAS yang terdeteksi, murah, spektrum sempit.
Tantangan: Harus diminum beberapa kali sehari, yang menurunkan kepatuhan (adherensi) pasien.
B. Amoksisilin
Meskipun memiliki spektrum yang sedikit lebih luas daripada Penisilin V, Amoksisilin sering disukai pada anak-anak karena rasanya yang lebih enak dan dapat diberikan dua kali sehari, yang meningkatkan kepatuhan.
Dosis Dewasa: 500 mg, dua kali sehari selama 10 hari.
Dosis Anak: 50 mg/kg/hari dibagi dua dosis, maksimal 1000 mg/hari, selama 10 hari.
C. Penisilin G Benzatin (Injeksi)
Pilihan ini direkomendasikan jika kepatuhan pasien diragukan, atau pada pasien yang memiliki riwayat Demam Rematik. Pemberian dosis tunggal injeksi memastikan dosis penuh telah diterima dan menjamin eradikasi. Walaupun menyakitkan, ini merupakan jaminan pencegahan DRA.
Dosis Dewasa: 1.2 juta unit, dosis tunggal IM (intramuskular).
Dosis Anak (> 27 kg): 1.2 juta unit, dosis tunggal IM.
Dosis Anak (< 27 kg): 600.000 unit, dosis tunggal IM.
2. Terapi Lini Kedua (Untuk Pasien Alergi Penisilin)
Bagi pasien yang memiliki alergi terhadap antibiotik beta-laktam (Penisilin dan Amoksisilin), pilihan alternatif harus digunakan. Keputusan didasarkan pada tingkat keparahan reaksi alergi.
A. Alergi Non-Anafilaksis (Ruam Kulit Ringan): Sefalosporin
Sefalosporin generasi pertama (misalnya Sefaleksin atau Sefadroksil) sering digunakan. Ada risiko reaktivitas silang (sekitar 1-5%) dengan Penisilin, tetapi umumnya aman untuk alergi ringan.
Sefaleksin: Diberikan dua kali sehari selama 10 hari.
Sefadroksil: Dapat diberikan sekali sehari selama 10 hari (keuntungan kepatuhan).
B. Alergi Anafilaksis (Alergi Berat): Makrolida atau Klindamisin
Makrolida atau Klindamisin digunakan ketika ada risiko alergi berat terhadap beta-laktam.
Azitromisin: Memiliki keuntungan durasi pengobatan yang sangat singkat (5 hari). Diberikan dosis tunggal 500 mg pada hari pertama, diikuti 250 mg selama 4 hari berikutnya. Harus dicatat bahwa resistensi GAS terhadap makrolida (termasuk Azitromisin dan Eritromisin) semakin meningkat di beberapa wilayah, sehingga penggunaannya harus dipertimbangkan.
Klindamisin: Pilihan yang sangat baik untuk kasus alergi berat atau pada kasus di mana terapi Penisilin gagal (kemungkinan karena GAS bersembunyi di dalam sel atau adanya enzim yang merusak Penisilin dari flora normal). Diberikan tiga kali sehari selama 10 hari.
Eritromisin: Lini kedua klasik, tetapi sering digantikan oleh Azitromisin karena masalah gastrointestinal.
Prinsip Kepatuhan 10 Hari: Mengapa Durasi Kritis?
Bakteri S. pyogenes memerlukan paparan antibiotik yang sustained (berkelanjutan) selama minimal 10 hari untuk memastikan eradikasi total. Durasi yang lebih singkat berisiko meninggalkan sisa bakteri yang dapat memicu respons autoimun (DRA) atau menyebabkan kekambuhan. Kesalahan umum pasien adalah menghentikan obat setelah gejala mereda (biasanya 2-3 hari), yang harus dihindari dengan edukasi yang ketat.
Apabila pasien lupa minum obat selama 1-2 hari dan sudah melewati hari ke-7, dokter mungkin perlu mempertimbangkan perpanjangan terapi atau pengulangan kultur untuk memastikan bakteri telah hilang.
V. Tantangan Global: Resistensi Antibiotik dan Kegagalan Terapi
Meskipun S. pyogenes tetap sensitif terhadap Penisilin, penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada faringitis (yaitu, mengobati faringitis viral dengan Amoksisilin) telah menjadi kontributor utama terhadap krisis resistensi antimikroba global. Pemberian Amoksisilin untuk virus bukan hanya tidak mengobati tenggorokan, tetapi juga membunuh bakteri sensitif lain di tubuh, memungkinkan bakteri resisten tumbuh.
1. Penyebab Kegagalan Terapi Penisilin
Jika pasien didiagnosis GAS dan diobati dengan Penisilin 10 hari, tetapi gejala kembali atau kultur masih positif, ini jarang disebabkan oleh resistensi Penisilin. Penyebab kegagalan yang lebih mungkin meliputi:
Kepatuhan yang Buruk: Pasien berhenti minum obat terlalu cepat.
Adanya Beta-Laktamase: Flora normal orofaring (seperti Haemophilus influenzae atau Staphylococcus aureus) dapat menghasilkan enzim beta-laktamase yang merusak Penisilin sebelum mencapai target. Dalam kasus ini, Klindamisin (yang kebal terhadap beta-laktamase) atau Amoksisilin/Klavulanat (namun ini memiliki spektrum yang sangat luas) dapat dipertimbangkan.
Bakteri Intraseluler: GAS dapat bertahan hidup secara intraseluler di dalam sel epitel faring, yang sulit ditembus oleh Penisilin.
Reinfeksi: Pasien terpapar kembali pada GAS dari anggota keluarga atau kontak dekat lainnya yang tidak diobati.
2. Resistensi Makrolida yang Meningkat
Resistensi S. pyogenes terhadap makrolida (Eritromisin, Azitromisin) telah menjadi masalah signifikan di Eropa dan beberapa wilayah Asia. Jika makrolida digunakan sebagai lini kedua, dokter harus menyadari pola resistensi lokal. Penggunaan makrolida hanya untuk 5 hari (seperti Azitromisin) harus diimbangi dengan pengetahuan bahwa tingkat kegagalan eradikasi mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan regimen 10 hari Penisilin atau Sefalosporin.
VI. Pendekatan Komprehensif dalam Pengobatan Simptomatik
Terlepas dari etiologinya (viral atau bakteri), faringitis menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan. Pengobatan simptomatik sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, terutama saat menunggu hasil tes atau selama masa pemulihan infeksi viral.
1. Analgesik dan Antipiretik
Obat-obatan ini membantu mengurangi nyeri tenggorokan dan demam:
Asetaminofen (Parasetamol): Pilihan aman untuk demam dan nyeri.
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS): Seperti Ibuprofen atau Naproxen. Sangat efektif untuk mengurangi nyeri tenggorokan karena sifat antiinflamasinya. Mereka mengurangi peradangan lokal, yang merupakan penyebab utama nyeri.
2. Terapi Lokal
Terapi lokal dapat memberikan bantuan cepat untuk nyeri akut:
Larutan Kumur Salin (Air Garam): Kumur dengan air hangat yang dicampur garam membantu mengurangi edema dan membersihkan tenggorokan.
Lozenges (Permen Pelega Tenggorokan): Mengandung bahan anestesi lokal (seperti benzocaine atau dyclonine) yang memberikan mati rasa sementara.
Semprotan Tenggorokan: Mengandung antiseptik atau anestesi.
3. Perawatan Suportif
Hidrasi Adekuat: Cairan hangat (teh dengan madu) atau dingin (es loli) dapat meredakan rasa sakit dan mencegah dehidrasi.
Istirahat: Membantu pemulihan sistem imun.
Humidifikasi Udara: Menggunakan pelembab udara (humidifier) dapat mencegah kekeringan mukosa yang memperparah iritasi.
VII. Implementasi Program Pengawasan Antibiotik (Stewardship) di Klinik
Mengingat faringitis adalah salah satu indikasi antibiotik yang paling sering disalahgunakan, program pengawasan antibiotik (Antibiotic Stewardship) harus diterapkan pada tingkat layanan primer. Tujuannya adalah memastikan bahwa antibiotik hanya digunakan ketika diindikasikan secara klinis dan mikrobiologis.
1. Kebutuhan Kultural
Di banyak negara, terdapat tekanan budaya yang kuat dari pasien untuk mendapatkan antibiotik sebagai "jaminan" kesembuhan. Dokter harus mampu melakukan komunikasi yang efektif untuk mendidik pasien mengenai perbedaan antara infeksi viral dan bakteri, serta menjelaskan risiko penggunaan antibiotik yang tidak perlu (efek samping, resistensi).
2. Strategi “Delayed Prescribing”
Pada kasus faringitis dengan skor Centor/McIsaac 2 atau 3 (probabilitas menengah), di mana tes tidak segera tersedia, beberapa dokter menggunakan strategi resep tertunda (delayed prescribing). Dokter memberikan resep antibiotik, tetapi menginstruksikan pasien untuk baru memulainya jika gejala tidak membaik dalam 48–72 jam atau jika hasil tes GAS positif. Strategi ini membantu memenuhi harapan pasien sementara tetap membatasi penggunaan antibiotik jika kondisi ternyata viral.
3. Peran Pendidik Kesehatan
Setiap profesional kesehatan harus berperan aktif dalam edukasi publik. Pesan kunci meliputi:
Antibiotik tidak bekerja melawan virus.
Faringitis viral biasanya sembuh sendiri.
Hanya faringitis GAS yang membutuhkan antibiotik untuk mencegah komplikasi.
Jika antibiotik diresepkan, pasien harus menyelesaikan seluruh siklus pengobatan, bahkan jika mereka merasa lebih baik.
VIII. Mekanisme Kerja Obat Pilihan Secara Detail
Untuk memahami sepenuhnya tanggung jawab dalam meresepkan, penting untuk meninjau secara mendalam bagaimana obat lini pertama bekerja melawan S. pyogenes, dan mengapa mereka tetap menjadi pilihan utama meskipun ada obat baru yang lebih kuat (dan berspektrum luas).
1. Penisilin dan Beta-Laktam Lainnya
Penisilin termasuk dalam kelas Beta-Laktam. Mekanisme kerjanya adalah mengganggu sintesis dinding sel bakteri. Secara spesifik, mereka mengikat dan menghambat Protein Pengikat Penisilin (PBP), yang merupakan transpeptidasi yang bertanggung jawab untuk membuat ikatan silang peptidoglikan. Tanpa ikatan silang yang kuat, dinding sel menjadi lemah, menyebabkan lisis (pecah) bakteri.
Keunggulan pada GAS:S. pyogenes tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan beta-laktamase (enzim yang merusak Penisilin), yang menjelaskan mengapa bakteri ini hampir secara universal tetap sensitif terhadap obat ini sejak diperkenalkan. Ini adalah kasus langka dalam mikrobiologi modern.
Kerugian Potensial: Jika terdapat bakteri komensal lain yang menghasilkan beta-laktamase di dalam faring, mereka dapat melindungi GAS dari Penisilin. Dalam kasus kegagalan terapi, Klindamisin lebih diutamakan karena penetrasi ke jaringan yang baik dan kebal terhadap beta-laktamase.
2. Makrolida (Azitromisin, Eritromisin)
Makrolida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Mereka mengikat subunit ribosom 50S bakteri, mencegah translokasi dan perpanjangan rantai peptida. Ini bersifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan) pada dosis yang lebih rendah dan bakterisida (membunuh) pada dosis yang lebih tinggi.
Isu Resistensi: Resistensi terhadap makrolida pada GAS umumnya terjadi melalui mekanisme modifikasi target, di mana bakteri menghasilkan metilase yang mengubah target ribosom, mencegah pengikatan makrolida (mekanisme ermB). Karena resistensi ini bersifat lokal dan sporadis, makrolida harus digunakan dengan hati-hati dan hanya jika alergi Penisilin telah dikonfirmasi.
Azitromisin (5 hari): Durasi pendeknya menarik tetapi memiliki risiko kegagalan eradikasi yang lebih tinggi dibandingkan 10 hari Penisilin, terutama di wilayah resistensi makrolida.
3. Klindamisin
Klindamisin juga menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit ribosom 50S, mirip dengan makrolida, namun biasanya efektif melawan strain yang resisten makrolida (tergantung mekanisme resistensinya). Klindamisin memiliki kemampuan penetrasi jaringan yang sangat baik, menjadikannya pilihan utama untuk infeksi parah atau kegagalan terapi berulang.
IX. Faringitis pada Populasi Khusus: Anak-anak dan Dewasa
Protokol pengobatan dan alasan intervensi antibiotik sangat bervariasi antara anak-anak dan orang dewasa, terutama terkait risiko komplikasi dan prevalensi penyakit.
1. Anak-anak (Usia 3–14 Tahun)
Kelompok ini memiliki insiden GAS tertinggi (hingga 30%) dan, yang paling penting, memiliki risiko tertinggi untuk mengembangkan Demam Rematik Akut (DRA). Oleh karena itu, strategi pengobatan pada anak harus sangat agresif dalam pengujian dan pengobatan.
Pengujian Kritis: Pada anak, hasil RAT yang negatif HARUS selalu dikonfirmasi dengan kultur tenggorokan (throat culture) sebelum GAS disingkirkan.
Tujuan Utama: Pencegahan DRA.
Pilihan Obat: Amoksisilin sering disukai karena kemudahan dosis dan rasa yang enak. Penisilin G Benzatin (injeksi) adalah pilihan yang sangat kuat jika ada kekhawatiran besar tentang kepatuhan orang tua atau jika anak memiliki riwayat DRA.
2. Dewasa (> 15 Tahun)
Pada orang dewasa, insiden GAS jauh lebih rendah (5–15%), dan risiko DRA sangat minim (meskipun tidak nol, terutama pada populasi rentan). Fokus pada orang dewasa adalah membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
Pengujian: Jika RAT negatif pada orang dewasa, kultur lanjutan umumnya tidak diperlukan (pedoman IDSA/Infectious Diseases Society of America).
Fokus: Jika dewasa didiagnosis dengan GAS, pengobatan tetap diperlukan 10 hari, terutama untuk memperpendek durasi infeksi dan mencegah penyebaran lokal serta penularan. Namun, pembenaran pengobatan didominasi oleh manajemen infeksi akut, bukan pencegahan DRA.
3. Faringitis Berulang dan Pembawa (Carriers)
Beberapa pasien, terutama anak-anak, mungkin mengalami faringitis GAS berulang. Penting untuk membedakan infeksi berulang dari keadaan pembawa kronis (chronic carriers).
Pembawa Kronis: Ini adalah individu yang memiliki GAS dalam tenggorokan mereka (kultur positif) tetapi tanpa gejala atau respons antibodi. Pembawa kronis umumnya TIDAK memerlukan antibiotik karena: (a) mereka memiliki risiko DRA yang sangat rendah, dan (b) upaya untuk memberantas GAS pada pembawa seringkali gagal dan hanya meningkatkan resistensi.
Kapan Mengobati Pembawa: Pengobatan hanya dipertimbangkan jika ada riwayat DRA dalam keluarga, atau jika terjadi epidemi DRA di komunitas, atau sebelum tonsilektomi. Regimen yang digunakan biasanya adalah Klindamisin atau Amoksisilin/Klavulanat (spektrum luas) untuk mengatasi flora pelindung.
X. Isu Sensitif: Antibiotik Profilaksis Jangka Panjang
Untuk pasien yang telah didiagnosis menderita Penyakit Jantung Rematik (PJR) akibat Demam Rematik Akut (DRA), pencegahan sekunder seumur hidup atau jangka panjang dengan antibiotik sangat penting.
1. Indikasi Profilaksis Sekunder
Tujuan dari profilaksis sekunder adalah mencegah infeksi GAS berikutnya yang dapat memicu episode DRA berulang, memperburuk kerusakan katup jantung. Regimen pilihan adalah:
Penisilin G Benzatin Injeksi: 1.2 juta unit (untuk dewasa dan anak > 27 kg) IM setiap 3 atau 4 minggu. Ini adalah pilihan terbaik karena menjamin kepatuhan 100%.
Penisilin V Oral: Alternatif jika injeksi tidak mungkin, tetapi kepatuhan harus sangat ketat.
2. Durasi Profilaksis
Durasi profilaksis sangat panjang, bervariasi berdasarkan tingkat keparahan kerusakan jantung:
DRA tanpa Karditis (Peradangan Jantung): Profilaksis selama 5 tahun atau sampai usia 21 tahun (mana yang lebih lama).
DRA dengan Karditis namun tanpa Sisa Kerusakan Katup: Profilaksis selama 10 tahun atau sampai usia 21 tahun (mana yang lebih lama).
DRA dengan Kerusakan Katup Jantung Permanen (PJR): Profilaksis seumur hidup atau sampai usia 40 tahun, tergantung penilaian kardiolog.
XI. Mengatasi Misinformasi dan Ekspektasi Pasien
Sebagian besar permintaan antibiotik yang tidak perlu berasal dari kurangnya pemahaman tentang perbedaan virus dan bakteri, serta harapan yang tidak realistis terhadap obat. Dokter harus mengedukasi pasien secara proaktif.
1. Dampak Antibiotik yang Tidak Perlu
Ketika Amoksisilin diberikan untuk faringitis viral, pasien harus diberi tahu mengenai risiko konkretnya:
Diare dan Gangguan Pencernaan: Mengganggu mikrobiota usus yang sehat.
Reaksi Alergi Obat: Potensi ruam atau reaksi serius lainnya.
Resistensi: Bakteri normal di usus dan saluran pernapasan menjadi resisten, membuat infeksi di masa depan sulit diobati.
Superinfeksi: Peningkatan risiko infeksi sekunder seperti infeksi jamur (candidiasis oral atau vaginal).
2. Kekhususan Amoksisilin/Ampisilin dan Mononukleosis
Satu poin edukasi klinis yang penting adalah menghindari pemberian Amoksisilin atau Ampisilin jika ada dugaan Mononukleosis Infeksiosa (disebabkan oleh EBV). Sekitar 80% pasien mono yang menerima Amoksisilin akan mengalami ruam makulopapular yang parah dan tidak disebabkan oleh alergi sejati terhadap Penisilin, tetapi oleh interaksi obat dengan EBV. Jika ada dugaan EBV (misalnya, pembengkakan kelenjar getah bening yang masif, kelelahan ekstrem), antibiotik harus dihindari, dan tes heterophile/monospot harus dipertimbangkan.
XII. Kesimpulan: Bertanggung Jawab dalam Setiap Resep
Penanganan faringitis adalah ujian fundamental terhadap komitmen praktik kedokteran yang bertanggung jawab. Walaupun keluhan sakit tenggorokan sangat umum, pemberian antibiotik harus merupakan keputusan yang dipertimbangkan dengan matang, didukung oleh data klinis (skor Centor/McIsaac) dan konfirmasi mikrobiologis (RAT/kultur) untuk mengidentifikasi Streptococcus pyogenes.
Penisilin dan Amoksisilin tetap menjadi lini pertama yang tak tergantikan karena efikasi dan spektrum sempitnya, sementara makrolida dan Klindamisin dicadangkan untuk kasus alergi atau kegagalan terapi. Adherensi ketat terhadap siklus pengobatan 10 hari adalah kunci untuk mencegah komplikasi paling serius: Demam Rematik Akut. Melalui edukasi pasien yang kuat dan kepatuhan terhadap pedoman pengawasan antibiotik, kita dapat memastikan bahwa obat penyelamat ini tetap efektif untuk generasi mendatang.