Diare merupakan kondisi umum yang ditandai dengan peningkatan frekuensi buang air besar (biasanya lebih dari tiga kali sehari) dengan konsistensi tinja yang lebih encer atau cair. Meskipun seringkali dianggap sebagai penyakit ringan, diare yang persisten, parah, atau disertai demam tinggi dan darah dapat mengindikasikan infeksi serius yang memerlukan intervensi medis.
Mayoritas kasus diare akut pada orang dewasa adalah self-limiting, yang berarti kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari (biasanya 1 hingga 7 hari) tanpa memerlukan pengobatan spesifik, termasuk antibiotik. Penyebab paling umum dari diare akut non-invasif adalah infeksi virus (seperti Rotavirus atau Norovirus) atau keracunan makanan ringan.
Namun, dalam konteks tertentu, diare disebabkan oleh patogen bakteri invasif yang memerlukan intervensi farmakologis. Keputusan untuk menggunakan antibiotik untuk diare dewasa bukanlah keputusan yang mudah dan harus didasarkan pada evaluasi klinis yang cermat, mempertimbangkan etiologi, keparahan gejala, dan kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan.
Penggunaan antibiotik secara empiris (tanpa hasil kultur) sangat tidak dianjurkan kecuali pada situasi klinis tertentu. Antibiotik hanya efektif melawan bakteri; penggunaannya pada diare yang disebabkan virus, parasit, atau non-infeksi (seperti IBD atau efek samping obat) tidak hanya tidak efektif tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian besar, terutama risiko resistensi antimikroba dan infeksi Clostridium difficile (kini disebut Clostridioides difficile).
Diagnosis Etiologi: Penggunaan antibiotik harus dipertimbangkan jika ada kecurigaan kuat terhadap diare invasif atau diare persisten yang disebabkan oleh bakteri patogen spesifik. Konfirmasi melalui kultur tinja atau PCR sangat ideal sebelum memulai terapi.
Terdapat beberapa skenario klinis di mana penggunaan antibiotik direkomendasikan untuk diare pada dewasa. Indikasi ini umumnya terkait dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi atau bukti infeksi bakteri yang agresif:
Diare yang disertai darah (disentri) sering mengindikasikan invasi mukosa usus oleh bakteri seperti Shigella, Campylobacter, atau Enteroinvasive E. coli (EIEC). Pada kasus disentri berat, terapi antibiotik diperlukan untuk mengurangi durasi penyakit dan membatasi penyebaran patogen.
Jika diare disertai demam tinggi (>38.5°C), menggigil, dan tanda-tanda dehidrasi atau toksisitas sistemik, ini menunjukkan infeksi sistemik atau bakteremia (bakteri dalam aliran darah). Kondisi ini sering terlihat pada infeksi Salmonella typhi (Tifoid) atau kasus Salmonella non-typhi pada pasien berisiko tinggi.
TD biasanya disebabkan oleh Enterotoxigenic E. coli (ETEC). Meskipun sering ringan, antibiotik dapat diberikan secara empiris atau profilaksis (dalam kasus tertentu) untuk mempercepat pemulihan, terutama jika perjalanan singkat dan penting, atau jika pasien memiliki kondisi medis yang mendasarinya.
Pasien dengan HIV/AIDS, penerima transplantasi, atau mereka yang menjalani kemoterapi memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi serius dari infeksi yang seharusnya ringan. Pada kelompok ini, terapi antibiotik sering dimulai lebih awal dan mungkin lebih agresif, bahkan untuk patogen seperti Salmonella non-typhi yang biasanya tidak diobati pada individu sehat.
CDI adalah kondisi diare yang disebabkan oleh proliferasi bakteri C. difficile, yang biasanya terjadi setelah penggunaan antibiotik spektrum luas sebelumnya. CDI memerlukan terapi antibiotik spesifik (seperti Vancomycin oral atau Fidaxomicin), dan tidak boleh diobati dengan antibiotik antidiare umum lainnya.
Pengobatan spesifik harus disesuaikan dengan patogen yang paling mungkin atau yang telah teridentifikasi. Pengawasan terhadap pola resistensi lokal sangat krusial dalam memilih regimen yang tepat.
E. coli memiliki beberapa strain yang menyebabkan diare. Terapi bervariasi tergantung strainnya:
ETEC melepaskan toksin yang menyebabkan sekresi cairan masif. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi durasi gejala.
Kedua patogen ini invasif, menyebabkan disentri. Resistensi telah menjadi masalah signifikan, terutama terhadap Ampicillin dan Trimethoprim-Sulfamethoxazole (TMP-SMX).
Strain ini memproduksi toksin Shiga yang dapat menyebabkan Kolitis Hemoragik dan Sindrom Uremik Hemolitik (HUS), terutama pada populasi rentan. Penting: Penggunaan antibiotik untuk EHEC dikontraindikasikan! Antibiotik dapat meningkatkan pelepasan toksin Shiga dan memperburuk risiko HUS. Tatalaksana utama adalah perawatan suportif intensif.
Salmonellosis dibagi menjadi Tifoid (oleh S. typhi) dan non-Tifoid (oleh S. enteritidis).
Pada individu sehat, antibiotik umumnya tidak direkomendasikan karena dapat memperpanjang masa pengeluaran bakteri (carrier state) dan meningkatkan risiko resistensi tanpa mempercepat pemulihan. Terapi hanya diindikasikan jika pasien termasuk dalam kelompok berisiko tinggi:
Pilihan Obat (Jika Diperlukan): Ciprofloxacin atau Ceftriaxone (injeksi).
Infeksi sistemik ini selalu memerlukan antibiotik, seringkali selama 7 hingga 14 hari.
Patogen ini sering menyebabkan demam, kram, dan diare berdarah. Infeksi biasanya sembuh sendiri.
CDI adalah penyebab diare paling penting yang terkait dengan perawatan kesehatan dan penggunaan antibiotik. Patogen ini menghasilkan toksin A dan B.
Pemilihan antibiotik tidak hanya didasarkan pada patogen tetapi juga pada profil farmakokinetik obat, termasuk bagaimana ia didistribusikan dalam tubuh dan apakah ia mencapai konsentrasi yang memadai di lumen usus atau di mukosa invasif.
Fluoroquinolon pernah menjadi obat lini pertama untuk berbagai macam diare bakterial, termasuk Shigella, Salmonella, dan Diare Pelancong. Mereka adalah antibiotik yang sangat baik untuk patogen invasif karena mencapai konsentrasi jaringan yang tinggi.
Azithromycin telah mengambil alih peran penting, terutama di area dengan resistensi Fluoroquinolon yang tinggi. Ia sangat efektif melawan Campylobacter dan Shigella, dan merupakan pilihan utama untuk Diare Pelancong yang diperoleh di beberapa wilayah (misalnya Thailand) di mana E. coli menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap Cipro.
Rifaximin adalah antibiotik unik yang diserap sangat sedikit dari usus. Konsentrasinya tetap tinggi di lumen usus, menjadikannya ideal untuk infeksi yang terbatas pada saluran cerna tanpa invasi sistemik.
Paromomycin adalah aminoglikosida yang juga diserap dengan buruk. Meskipun tidak umum digunakan untuk diare bakterial akut, ia menjadi pengobatan lini pertama untuk kista amuba (Entamoeba histolytica) di lumen usus dan beberapa infeksi parasit lainnya.
Metronidazole sangat efektif melawan parasit seperti Giardia lamblia dan Entamoeba histolytica, serta anaerob. Metronidazole jarang menjadi pilihan untuk diare bakterial akut yang murni, kecuali untuk C. difficile (meski bukan lagi lini pertama) atau jika infeksi campuran (bakteri dan parasit) dicurigai.
Penggunaan antibiotik untuk diare dewasa yang tidak tepat dapat menimbulkan konsekuensi serius, jauh melampaui kegagalan pengobatan. Kerugian ini merupakan alasan utama mengapa pendekatan konservatif (supportif) diutamakan dalam banyak kasus diare akut.
Ini adalah ancaman kesehatan global. Setiap penggunaan antibiotik memberikan tekanan selektif pada bakteri, memungkinkan strain yang resisten untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Pengobatan diare yang tidak perlu dengan antibiotik spektrum luas (misalnya, Ciprofloxacin untuk kasus ringan) mempercepat munculnya bakteri yang resisten terhadap obat penting.
Antibiotik spektrum luas tidak hanya membunuh patogen target, tetapi juga menghancurkan flora usus normal (mikrobiota). Gangguan keseimbangan ini (disbiosis) menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan Clostridioides difficile, bakteri yang tahan terhadap banyak antibiotik dan menyebabkan kolitis yang berpotensi fatal.
Semua antibiotik memiliki potensi efek samping, dari yang ringan hingga yang mengancam jiwa:
Seperti dijelaskan sebelumnya, penggunaan antibiotik untuk infeksi E. coli O157:H7 (EHEC) dapat memicu pelepasan toksin Shiga, secara signifikan meningkatkan risiko HUS, suatu kondisi gagal ginjal akut yang parah.
Karena sebagian besar kasus diare bersifat self-limiting dan risiko antibiotik tinggi, fokus utama pengobatan diare dewasa harus selalu pada tatalaksana suportif, yaitu mengatasi gejala dan mencegah komplikasi, terutama dehidrasi.
Rehidrasi Oral (ORS): Penggantian cairan dan elektrolit adalah intervensi paling penting dan menyelamatkan jiwa dalam tatalaksana diare akut, terlepas dari penyebabnya.
Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit melalui tinja encer. Oral Rehydration Solution (ORS) atau Oralit adalah standar emas. ORS mengandung rasio natrium, kalium, dan glukosa yang tepat untuk memfasilitasi penyerapan air melalui mekanisme kotransport glukosa-natrium di usus halus.
Penggunaan probiotik, khususnya strain Lactobacillus rhamnosus GG atau Saccharomyces boulardii, dapat membantu mempersingkat durasi diare dan mengurangi keparahan gejala dengan mengembalikan keseimbangan mikrobiota usus.
Obat seperti Loperamide (bekerja dengan memperlambat motilitas usus) dapat digunakan untuk meredakan gejala, namun harus digunakan dengan hati-hati.
Meskipun lebih sering ditekankan pada anak-anak, suplementasi Zinc (Zn) dapat membantu mengurangi volume dan durasi diare pada orang dewasa, terutama pada populasi yang mengalami defisiensi Zn kronis.
TD adalah sindrom klinis yang sering terjadi pada individu yang bepergian dari negara maju ke negara berkembang, disebabkan oleh paparan terhadap bakteri patogen, paling sering ETEC. Terapi antibiotik di sini sering diberikan secara empiris, mengingat keterbatasan akses ke pemeriksaan diagnostik selama perjalanan.
Jika seorang pelancong mengalami diare sedang hingga parah (3-5 kali BAB encer per hari, disertai kram atau mual), mereka dapat memulai terapi antibiotik mandiri (self-treatment) yang telah diresepkan sebelumnya. Durasi pengobatan biasanya sangat singkat (1-3 hari).
Penggunaan antibiotik untuk mencegah TD (profilaksis) umumnya tidak direkomendasikan karena risiko resistensi. Namun, dapat dipertimbangkan dalam situasi khusus:
Pada pasien HIV, transplantasi, atau terapi imunosupresif, spektrum penyebab diare jauh lebih luas dan seringkali melibatkan patogen oportunistik (misalnya, Cryptosporidium, CMV, atau Mycobacterium avium complex) selain patogen bakteri umum.
Prinsip: Setiap kasus diare pada pasien imunokompromais harus ditangani dengan serius. Diagnosis cepat melalui kultur, parasitologi, dan PCR sangat penting. Antibiotik sering diperlukan, tetapi pilihan harus didasarkan pada patogen yang terbukti, dan durasi pengobatan mungkin lebih lama.
Jika diare berlangsung lebih dari dua minggu, penyebabnya jarang adalah infeksi bakteri akut yang umum. Antibiotik yang diberikan secara empiris seringkali tidak efektif dan hanya menunda diagnosis yang benar. Penyebab yang harus dicari meliputi:
Dalam idealnya, terapi antibiotik untuk diare dewasa harus dipandu oleh bukti laboratorium. Pemeriksaan tinja dapat memberikan informasi penting yang membedakan antara diare yang memerlukan antibiotik dan yang tidak.
Mencari leukosit (sel darah putih) dalam tinja. Adanya leukosit menunjukkan proses inflamasi invasif (seperti Shigella, Campylobacter, atau IBD) dan meningkatkan kemungkinan perlunya antibiotik. Absennya leukosit (seperti pada ETEC atau virus) mendukung terapi suportif.
Kultur adalah standar emas untuk mengidentifikasi patogen bakteri spesifik (Salmonella, Shigella, Campylobacter). Hasil kultur juga memungkinkan pengujian sensitivitas (antibiogram), yang sangat penting untuk memilih antibiotik yang paling efektif dan menghindari kegagalan pengobatan akibat resistensi yang tidak diketahui.
Jika pasien memiliki riwayat penggunaan antibiotik baru-baru ini atau diare nosokomial (didapat di rumah sakit), tes untuk toksin A/B C. difficile harus dilakukan segera. Hasil positif secara langsung mengarahkan pada terapi Vancomycin atau Fidaxomicin, bukan antibiotik antidiare lainnya.
Panel PCR tinja modern dapat mengidentifikasi banyak patogen (bakteri, virus, parasit) secara simultan dengan cepat (dalam beberapa jam). Ini memungkinkan identifikasi cepat patogen yang memerlukan antibiotik (misalnya, Shigella) dari patogen yang dikontraindikasikan (misalnya, EHEC) atau yang tidak memerlukannya (virus), sehingga memandu keputusan terapi secara rasional dan cepat.
Setiap dokter dan pasien harus menyadari bahwa keputusan untuk meresepkan antibiotik untuk diare dewasa memiliki dampak ekologis yang luas. Konservasi antibiotik harus menjadi prinsip inti dalam kedokteran klinis.
Jika kasus diare akut, non-invasif, dan ringan hingga sedang, langkah yang paling aman dan bertanggung jawab adalah menghindari antibiotik sama sekali. Intervensi suportif seperti ORS, probiotik, dan istirahat harus diprioritaskan. Hanya ketika ada bukti jelas mengenai penyakit invasif, toksisitas sistemik, atau komorbiditas yang signifikan, barulah pertimbangan untuk memulai terapi antibiotik harus diambil.
Edukasi pasien sangat penting. Pasien harus memahami bahwa menghentikan diare dengan cepat bukanlah tujuan utama. Tujuan utamanya adalah mencegah dehidrasi dan menyelesaikan infeksi tanpa menciptakan risiko jangka panjang bagi diri sendiri atau masyarakat (yaitu, resistensi bakteri).
Pendekatan ini menjamin bahwa antibiotik — sumber daya berharga dan terbatas — dicadangkan untuk situasi di mana mereka benar-benar dapat menyelamatkan nyawa atau mencegah komplikasi serius. Penggunaan antibiotik yang rasional dalam tatalaksana diare dewasa adalah pilar penting dalam memerangi krisis resistensi antimikroba global. Ini adalah keseimbangan antara pengobatan yang efektif bagi pasien dan tanggung jawab ekologis terhadap kesehatan masyarakat di masa depan. Selalu konsultasikan dengan profesional kesehatan untuk diagnosis dan penentuan pengobatan yang tepat.
Peningkatan resistensi terhadap Ciprofloxacin (salah satu antibiotik yang paling umum digunakan untuk diare) pada patogen enterik seperti Campylobacter dan Shigella merupakan studi kasus yang kuat mengenai bahaya penggunaan sembarangan. Resistensi terhadap kuinolon sering terjadi melalui mutasi pada gen target (GyrA dan ParC) atau melalui pompa efluks yang secara aktif memompa obat keluar dari sel bakteri.
Pada Campylobacter, resistensi telah meningkat drastis dalam dua dekade terakhir. Banyak kasus infeksi Campylobacter yang awalnya dapat diobati dengan Ciprofloxacin kini memerlukan Azithromycin. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan Ciprofloxacin yang luas, baik dalam pengobatan manusia maupun dalam praktik peternakan (penggunaan pada hewan ternak). Pola resistensi ini memaksa perubahan pedoman pengobatan secara global, mendorong Azithromycin ke posisi lini pertama untuk diare yang dicurigai disebabkan Campylobacter.
Rifaximin adalah contoh dari strategi terapi yang dirancang untuk meminimalkan risiko resistensi sistemik. Karena kurang dari 0.4% obat diserap ke dalam aliran darah, ia menciptakan konsentrasi tinggi di usus yang membunuh bakteri lokal (terutama ETEC) tanpa memberikan tekanan selektif yang signifikan pada mikrobiota sistemik, yang merupakan sumber utama resistensi pada patogen lainnya. Ini menjadikannya alat yang sangat berharga dalam manajemen Diare Pelancong non-invasif, membatasi kebutuhan akan Ciprofloxacin yang memiliki spektrum luas.
Namun, harus ditekankan lagi, bahwa Rifaximin tidak boleh digunakan jika ada bukti invasi (demam atau darah dalam tinja) karena ketidakmampuannya untuk mencapai konsentrasi terapeutik di submukosa dan jaringan yang terinfeksi. Kegagalan membedakan diare non-invasif dari invasif saat menggunakan Rifaximin dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan dan perburukan kondisi.
Apabila seorang pasien dewasa mengalami episode diare akut berulang (tidak kronis), pendekatan diagnostik harus diperluas sebelum mempertimbangkan antibiotik. Seringkali, diare berulang dapat disebabkan oleh sumber air yang terkontaminasi secara berkala, paparan lingkungan kerja, atau infeksi parasit yang sulit diberantas. Dalam konteks ini, antibiotik spektrum luas hanya akan memperburuk disbiosis.
Jika infeksi parasit seperti Giardiasis atau Amoebiasis adalah penyebabnya, Metronidazole atau Tinidazole (diikuti Paromomycin untuk Amoebiasis) adalah pilihan yang tepat. Memberikan Ciprofloxacin secara berulang pada kasus diare berulang tanpa diagnosis spesifik adalah praktik yang merugikan. Pemeriksaan riwayat perjalanan, sumber makanan, dan kontak (terutama dengan hewan peliharaan yang sakit) menjadi sangat penting dalam penentuan etiologi diare yang kambuh.
Terkadang, antibiotik dapat dipertimbangkan dalam kasus diare yang secara fundamental bukan infeksi bakteri murni, tetapi di mana modulasi mikrobiota dianggap menguntungkan. Contohnya adalah terapi Rifaximin pada IBS (Irritable Bowel Syndrome) yang didominasi diare (IBS-D), yang dianggap bekerja dengan mengurangi beban bakteri berlebihan di usus halus (Small Intestinal Bacterial Overgrowth/SIBO), suatu kondisi yang sering menimbulkan gejala mirip diare infeksi. Penggunaan ini, bagaimanapun, terpisah dari penanganan diare infeksi akut.
Secara keseluruhan, strategi kunci dalam pengelolaan diare dewasa tetap berpusat pada tatalaksana suportif, penggunaan antibiotik yang sangat selektif, dan komitmen untuk diagnostik spesifik guna memastikan terapi yang ditargetkan dan efektif. Keputusan rasional ini bukan hanya tugas klinis, tetapi juga tugas moral dalam menjaga efikasi antibiotik untuk generasi mendatang.