Antibiotik dalam Pengelolaan Infeksi Saluran Pencernaan: Tinjauan Komprehensif
Infeksi saluran pencernaan (GI) adalah masalah kesehatan global yang sering kali menimbulkan pertanyaan kritis: Kapan antibiotik benar-benar diperlukan? Mengingat sebagian besar kasus diare akut disebabkan oleh virus dan akan sembuh sendiri, penggunaan antibiotik haruslah bijak, terarah, dan hanya untuk indikasi spesifik demi mencegah resistensi antimikroba dan gangguan mikrobiota usus.
I. Memahami Infeksi Saluran Pencernaan dan Peran Antibiotik
Infeksi saluran pencernaan mencakup berbagai kondisi yang memengaruhi lambung, usus halus, dan usus besar, dengan gejala utama berupa diare, muntah, nyeri perut, dan demam. Patogen penyebabnya sangat beragam, meliputi virus (paling umum, seperti Rotavirus dan Norovirus), bakteri, parasit, dan jamur. Penentuan etiologi adalah kunci, karena terapi antibiotik hanya efektif untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan, dalam kasus tertentu, parasit tertentu yang sensitif terhadap agen antibakteri tertentu (seperti Metronidazole yang juga memiliki sifat antiprotozoa).
1. Etiologi dan Kebutuhan Terapi
Pendekatan empiris (pemberian obat sebelum hasil kultur didapatkan) sering digunakan pada kasus berat. Namun, ini membawa risiko penggunaan berlebihan. Data klinis menunjukkan bahwa lebih dari 90% kasus diare akut pada negara maju dan berkembang bersifat swasirna (self-limiting). Antibiotik hanya diindikasikan pada kondisi spesifik, seperti diare berdarah (disentri), demam tinggi persisten, diare pada pasien immunocompromised, infeksi yang melibatkan organ sistemik (seperti demam tifoid), atau kolitis parah yang mengancam jiwa.
2. Risiko Penggunaan Antibiotik pada Kasus Non-Bakteri
Pemberian antibiotik tanpa indikasi jelas, terutama pada kasus diare akibat infeksi E. coli penghasil toksin Shiga (STEC O157:H7), dapat memicu pelepasan toksin dalam jumlah besar, meningkatkan risiko sindrom uremik hemolitik (HUS). Ini menekankan pentingnya diagnostik cepat sebelum memulai terapi. Selain itu, setiap paparan antibiotik berisiko mengganggu keseimbangan mikrobiota normal usus, yang merupakan benteng pertahanan pertama melawan patogen.
Aksi terarah antibiotik pada infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri. Ketepatan pemilihan agen sangat krusial.
II. Patogen Bakteri Utama yang Memerlukan Intervensi Antibiotik
Tidak semua bakteri menyebabkan penyakit yang memerlukan antibiotik. Fokus utama adalah pada bakteri yang memiliki potensi invasi sistemik, menyebabkan penyakit parah (demam, toksisitas), atau memerlukan eradikasi untuk mencegah komplikasi jangka panjang.
1. Salmonella spp. (Non-Typhi dan Typhi)
Infeksi oleh Salmonella non-Typhi (penyebab gastroenteritis umum) biasanya tidak memerlukan antibiotik, karena obat justru dapat memperpanjang masa pengeluaran bakteri di tinja. Namun, antibiotik harus diberikan jika terjadi infeksi sistemik (bakteremia), pada pasien yang sangat muda (bayi di bawah 3 bulan), atau pada pasien imunokompromais.
Demam Tifoid (Salmonella Typhi): Ini adalah infeksi sistemik yang mutlak memerlukan antibiotik. Pilihan lini pertama sering mencakup fluoroquinolone (seperti Ciprofloxacin), Azithromycin, atau Cephalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone), tergantung pada pola resistensi lokal. Pengobatan harus berlangsung setidaknya 7 hingga 14 hari untuk mencegah kekambuhan dan status karier kronis.
2. Shigella spp. (Disentri)
Infeksi Shigella (Shigellosis) sering menyebabkan diare berdarah (disentri) yang parah, demam, dan kram perut. Karena infeksi ini invasif dan dosis infektifnya sangat rendah, antibiotik biasanya diindikasikan untuk mengurangi durasi penyakit, membatasi penyebaran, dan mencegah komplikasi, terutama pada anak-anak. Pilihan utama saat ini adalah Azithromycin atau Ceftriaxone, mengingat tingginya resistensi terhadap Ampicillin dan Trimethoprim-Sulfamethoxazole.
3. Vibrio Cholerae (Kolera)
Kolera menyebabkan diare cair profus dan dehidrasi parah. Meskipun rehidrasi adalah pengobatan utama, antibiotik (seperti Doxycycline, Azithromycin, atau Ciprofloxacin) diberikan pada kasus berat untuk mengurangi volume tinja, memperpendek durasi penyakit, dan membatasi penyebaran epidemiologis. Azithromycin sering menjadi pilihan pada anak-anak atau wanita hamil.
Infeksi C. difficile (C. diff) hampir selalu terjadi setelah paparan antibiotik lain yang mengganggu mikrobiota usus. Ini adalah kondisi serius yang paradoksnya diobati dengan antibiotik spesifik (Vancomycin oral atau Fidaxomicin) yang bekerja di lumen usus atau Metronidazole (untuk kasus ringan hingga sedang). Resistensi dan kekambuhan adalah masalah besar, mendorong penggunaan transplantasi mikrobiota tinja (FMT) pada kasus rekuren yang sulit diatasi.
5. Helicobacter Pylori (Penyakit Tukak Lambung)
H. pylori adalah bakteri yang menyebabkan gastritis kronis dan sebagian besar tukak lambung dan duodenum. Pengobatan eradikasi adalah salah satu regimen antibiotik paling kompleks, sering melibatkan terapi kombinasi triple atau quadruple, yang terdiri dari Inhibitor Pompa Proton (PPI) dan dua atau tiga agen antimikroba (misalnya, Amoxicillin, Clarithromycin, Metronidazole, dan Bismuth) yang diberikan selama 10 hingga 14 hari. Kegagalan terapi sering terjadi karena resistensi Clarithromycin.
Kompleksitas pengobatan H. pylori terletak pada lingkungan lambung yang asam dan kemampuan bakteri untuk bersembunyi di lapisan mukosa. Regimen standar, seperti terapi tripel (PPI, Klaritromisin, Amoksisilin/Metronidazole), semakin tidak efektif di banyak wilayah karena meningkatnya resistensi terhadap Klaritromisin dan Metronidazole. Oleh karena itu, pedoman klinis modern semakin merekomendasikan terapi kuadrupel berbasis Bismuth atau terapi sekuensial. Pemilihan regimen harus dipandu oleh peta resistensi regional. Kegagalan eradikasi tidak hanya menyebabkan kekambuhan tukak tetapi juga meningkatkan risiko kanker lambung (MALT limfoma).
III. Kelas Antibiotik Kunci dan Pertimbangan Farmakologi
Pemilihan antibiotik untuk infeksi GI harus didasarkan pada lokasi infeksi (lumen vs. invasif sistemik), spektrum aktivitas, profil efek samping, dan potensi interaksi obat. Terdapat beberapa kelas yang dominan digunakan dalam gastroenterologi:
Kelas ini pernah menjadi pilar pengobatan untuk diare pelancong, tifoid, dan disentri, karena penetrasi jaringan yang baik dan spektrum luas terhadap Gram-negatif. Mereka bekerja dengan menghambat DNA girase dan topoisomerase IV bakteri, yang penting untuk replikasi DNA. Namun, resistensi terhadap Ciprofloxacin (terutama pada Salmonella dan Shigella) telah meningkat secara drastis di seluruh dunia, membatasi penggunaannya sebagai terapi empiris lini pertama.
Indikasi Utama: Demam tifoid (jika sensitif), diare pelancong berat (jarang, karena resistensi), infeksi intra-abdomen terkomplikasi (biasanya dikombinasikan).
Kekhawatiran: Risiko tendinopati, ruptur tendon, neuropati perifer, dan efek samping pada sistem saraf pusat. Penggunaannya semakin dibatasi, terutama pada kasus ringan.
2. Macrolides (Contoh: Azithromycin)
Azithromycin adalah pilihan yang sangat berharga karena memiliki risiko resistensi yang relatif lebih rendah dibandingkan fluoroquinolones, terutama untuk infeksi seperti Shigellosis, Kolera, dan Campylobacteriosis. Azithromycin bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada subunit ribosom 50S. Ia juga memiliki durasi paruh yang panjang, memungkinkan dosis yang lebih pendek (biasanya 3-5 hari).
Keunggulan: Pilihan yang aman dan efektif pada anak-anak dan wanita hamil yang tidak dapat menerima Tetrasiklin atau Fluoroquinolones.
3. Nitroimidazoles (Contoh: Metronidazole)
Metronidazole sangat efektif melawan bakteri anaerob (misalnya, dalam abses intra-abdomen, divertikulitis) dan protozoa tertentu (seperti Giardia lamblia dan Entamoeba histolytica). Metronidazole bekerja dengan membentuk metabolit reaktif yang merusak DNA seluler, yang hanya dapat terjadi dalam kondisi anaerob.
Indikasi Utama: Kolitis C. difficile (kasus ringan-sedang), infeksi protozoa GI (Amebiasis, Giardiasis), infeksi intra-abdomen anaerob.
Peringatan: Efek disulfiram-like (reaksi parah terhadap alkohol), neuropati perifer pada penggunaan jangka panjang.
4. Antibiotik Non-Sistemik (Contoh: Rifaximin)
Rifaximin adalah turunan Rifampicin yang unik karena penyerapan sistemiknya sangat minimal (kurang dari 0.4%). Ini berarti konsentrasi obat yang sangat tinggi dapat dicapai di lumen usus, menjadikannya ideal untuk kondisi yang berpusat di usus. Ia efektif melawan bakteri Gram-negatif dan Gram-positif.
Manfaat: Efek minimal terhadap mikrobiota usus sistemik dan potensi resistensi yang lebih rendah karena paparan sistemik yang rendah.
5. Terapi untuk Infeksi Berat dan Khusus (Vancomycin, Fidaxomicin)
Untuk kasus C. difficile yang parah, Vancomycin diberikan secara oral. Bentuk oral ini tidak diserap dan bekerja langsung di usus untuk membunuh C. difficile. Fidaxomicin, antibiotik spektrum sempit yang mahal, juga digunakan untuk C. difficile, terutama pada pasien berisiko tinggi kekambuhan, karena efeknya yang lebih sedikit mengganggu mikrobiota non-C. diff.
Antibiotik harus dipilih dengan hati-hati agar tidak merusak mikrobiota usus (bakteri hijau) secara berlebihan, yang dapat menyebabkan superinfeksi.
IV. Kriteria Pemberian Antibiotik pada Gastroenteritis Akut
Gastroenteritis (diare akut) adalah skenario paling umum di mana antibiotik sering salah digunakan. Keputusan untuk meresepkan agen antibakteri harus didasarkan pada tingkat keparahan, durasi, dan profil risiko pasien, bukan hanya adanya diare.
1. Kasus Ringan hingga Sedang (Swasirna)
Sebagian besar diare yang tidak disertai demam tinggi atau darah pada tinja harus ditangani dengan rehidrasi oral (oralit) dan penyesuaian diet. Antibiotik tidak memperpendek durasi penyakit secara signifikan dan meningkatkan risiko efek samping dan resistensi.
2. Indikasi Jelas untuk Terapi Empiris
Terapi empiris (segera sebelum hasil lab) diindikasikan pada kondisi berikut:
Demam Tifoid yang Dicurigai: Pada daerah endemik, demam persisten (>39°C) dan gejala sistemik berat memerlukan inisiasi cepat Azithromycin atau Fluoroquinolone.
Diare Berdarah Parah (Disentri): Jika pasien terlihat toksik, dehidrasi, atau mengalami demam tinggi, Shigellosis mungkin menjadi penyebab. Terapi empiris dengan Azithromycin sering dimulai.
Pasien Immunocompromised: Individu dengan HIV/AIDS, penerima transplantasi, atau pasien kemoterapi memiliki risiko tinggi infeksi invasif dari patogen enterik, memerlukan ambang batas yang lebih rendah untuk terapi antibiotik.
Traveler’s Diarrhea yang Mengganggu: Pada pelancong yang harus melanjutkan aktivitas penting, Rifaximin atau Azithromycin dapat digunakan untuk mempersingkat durasi penyakit yang disebabkan oleh enterotoksigenik E. coli (ETEC).
3. Pertimbangan Pediatrik
Penggunaan antibiotik pada anak-anak harus dilakukan dengan kehati-hatian ekstrem. Fluoroquinolones umumnya dihindari karena kekhawatiran tentang kartilago. Azithromycin dan Ceftriaxone adalah pilihan utama untuk Shigellosis atau demam tifoid pada anak. Penyakit yang disebabkan oleh E. coli penghasil toksin Shiga adalah kontraindikasi untuk sebagian besar antibiotik karena risiko HUS.
Lebih lanjut mengenai manajemen demam tifoid: Karena resistensi global terhadap Ciprofloxacin telah meningkat drastis, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, pilihan harus beralih ke Azithromycin atau Ceftriaxone intravena. Pengobatan demam tifoid harus selalu diselesaikan sesuai durasi yang direkomendasikan (biasanya 10 hari untuk Ceftriaxone atau 7 hari untuk Azithromycin) bahkan jika pasien membaik cepat. Kegagalan mematuhi durasi ini meningkatkan risiko status 'karier kronis', di mana individu terus mengeluarkan bakteri tanpa menunjukkan gejala, menjadi sumber penularan di komunitas. Karier kronis (Salmonella di kandung empedu) sering memerlukan kolesistektomi dikombinasikan dengan terapi antibiotik yang sangat panjang (hingga 6 minggu) dengan obat-obatan yang memiliki penetrasi baik ke kantung empedu.
Pada kasus disentri parah, diagnosis cepat antara Shigella, Salmonella non-Typhi, dan Campylobacter sangat penting. Shigella memiliki kecenderungan cepat menimbulkan komplikasi neurologis dan sepsis pada anak-anak. Jika dicurigai Shigella, Azithromycin adalah pilihan utama. Dosis spesifik dan durasi (biasanya 3 hari) harus dipatuhi. Penggunaan obat anti-motilitas (seperti Loperamide) dikontraindikasikan pada disentri karena dapat memperpanjang kontak toksin dengan mukosa usus, memperburuk kondisi klinis.
V. Tantangan Global: Resistensi Antimikroba dan Disbiosis
Infeksi saluran pencernaan adalah garis depan dalam perang melawan resistensi antimikroba (AMR). Penggunaan antibiotik yang tidak perlu menyebabkan tekanan seleksi yang kuat, menghasilkan strain bakteri yang resisten, yang kemudian dapat menyebar melalui rantai makanan dan lingkungan.
1. Peningkatan Resistensi pada Patogen Enterik
Resistensi multidrug (MDR) menjadi masalah serius pada Salmonella Typhi dan Shigella. Salmonella yang resisten terhadap Ampicillin, Chloramphenicol, dan Trimethoprim-Sulfamethoxazole (T/S) sudah umum. Kini, muncul Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) pada E. coli dan Klebsiella yang menyebabkan infeksi intra-abdomen. Fenomena ini memaksa klinisi untuk menggunakan antibiotik lini terakhir, seperti Carbapenems, bahkan untuk infeksi GI yang awalnya tidak mengancam jiwa.
2. Disbiosis dan Komplikasi Jangka Panjang
Mikrobiota usus (sekumpulan triliunan mikroorganisme) memainkan peran penting dalam metabolisme, fungsi imun, dan pencegahan kolonisasi patogen. Antibiotik spektrum luas yang diserap secara sistemik menghancurkan ekosistem ini, menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai disbiosis.
Infeksi Sekunder: Disbiosis adalah prasyarat utama untuk berkembangnya infeksi C. difficile, di mana hilangnya bakteri kompetitor memungkinkan C. diff berkembang biak dan menghasilkan toksin.
Gangguan Fungsional: Bukti menunjukkan bahwa perubahan mikrobiota akibat antibiotik dapat berkontribusi pada pengembangan kondisi fungsional jangka panjang, seperti Sindrom Iritasi Usus Pasca-Infeksi (PI-IBS).
3. Strategi Mengatasi Resistensi
Manajemen resistensi memerlukan pendekatan multi-cabang:
Peningkatan Diagnostik: Investasi dalam pengujian PCR cepat dan kultur untuk mengidentifikasi patogen spesifik dan profil resistensinya sebelum pengobatan dimulai.
De-eskalasi Terapi: Memulai dengan antibiotik spektrum luas (jika diperlukan secara empiris) dan segera beralih ke antibiotik spektrum sempit setelah hasil sensitivitas tersedia.
Penggunaan Terapi Non-Sistemik: Memanfaatkan obat seperti Rifaximin yang membatasi tekanan seleksi pada bakteri sistemik.
Mekanisme resistensi: Antibiotik tidak lagi dapat berinteraksi dengan situs target pada bakteri, menyebabkan kegagalan pengobatan.
VI. Protokol Pengobatan untuk Infeksi Gastrointestinal Kompleks
Pada infeksi yang melibatkan invasi jaringan atau membutuhkan eradikasi jangka panjang, regimen antibiotik menjadi lebih kompleks, seringkali melibatkan kombinasi dan durasi pengobatan yang ketat.
1. Eradikasi Helicobacter Pylori
Eradikasi H. pylori memerlukan kepatuhan tinggi dan regimen yang tepat:
Terapi Kuadrupel Berbasis Bismuth (Lini Pertama di Area Resistensi Tinggi): PPI dosis ganda, Bismuth subsalicylate, Metronidazole, dan Tetracycline. Diberikan selama 10 hingga 14 hari.
Terapi Konkomitan: PPI, Amoxicillin, Clarithromycin, dan Metronidazole. Diberikan bersamaan selama 10-14 hari.
Kegagalan Terapi Lini Pertama: Jika gagal, pengobatan harus beralih ke regimen yang belum pernah digunakan, sering melibatkan Levofloxacin atau Rifabutin sebagai bagian dari terapi tripel penyelamatan. Kegagalan berulang memerlukan pengujian kultur dan sensitivitas endoskopi.
Non-Parah Pertama Kali: Vancomycin Oral (125 mg empat kali sehari) selama 10 hari atau Fidaxomicin (200 mg dua kali sehari) selama 10 hari. Metronidazole oral hanya digunakan jika Vancomycin atau Fidaxomicin tidak tersedia.
Parah atau Fulminan: Vancomycin Oral (125-500 mg q.i.d.) ditambah Metronidazole IV (500 mg setiap 8 jam). Pada kasus ileus (usus tidak bergerak), Vancomycin mungkin perlu diberikan melalui jalur rektal.
Kasus Rekuren: Penggunaan Fidaxomicin lebih diutamakan, atau pemberian Vancomycin secara taper-pulse (dosis yang dikurangi secara bertahap selama beberapa minggu). Transplantasi Mikrobiota Tinja (FMT) adalah opsi paling efektif untuk pencegahan kekambuhan kedua dan seterusnya.
3. Peritonitis dan Infeksi Intra-Abdomen
Infeksi intra-abdomen (misalnya, abses, peritonitis, divertikulitis yang mengalami perforasi) bersifat polimikrobial, melibatkan Gram-negatif aerob (seperti E. coli) dan anaerob. Pengobatan memerlukan antibiotik spektrum luas yang mencakup keduanya, seringkali dikombinasikan:
Regimen Kombinasi: Cephalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone) atau Fluoroquinolone (Ciprofloxacin) ditambah Metronidazole.
Regimen Monoterapi: Ertapenem atau Piperacillin/Tazobactam (untuk spektrum sangat luas, termasuk ESBL dan anaerob).
Durasi: Biasanya 4-7 hari setelah sumber infeksi (misalnya, apendiks yang meradang) telah dikontrol atau dibuang melalui operasi (kontrol sumber).
Dalam konteks peritonitis sekunder, penentuan regimen harus mempertimbangkan faktor risiko pasien terhadap bakteri resisten. Pasien dengan riwayat perawatan di rumah sakit baru-baru ini atau penggunaan antibiotik sebelumnya berisiko tinggi terhadap ESBL atau resistensi multidrug. Dalam kasus ini, Monoterapi Carbapenem (Imipenem/Meropenem) mungkin diperlukan sebagai terapi empiris awal. Setelah kultur cairan intra-abdomen kembali, terapi harus segera dipersempit (de-eskalasi) untuk meminimalkan paparan Carbapenem, menjaga keefektifannya untuk kasus yang benar-benar resisten.
Pengelolaan divertikulitis akut yang tidak terkomplikasi umumnya tidak memerlukan antibiotik, kecuali pada pasien yang immunocompromised atau memiliki gejala sistemik parah. Jika antibiotik diperlukan, rejimen oral seperti Amoxicillin/Clavulanate atau kombinasi Ciprofloxacin dan Metronidazole sering dipilih. Untuk divertikulitis terkomplikasi (abses atau perforasi), penanganan medis agresif, sering melibatkan drainase perkutan, dan antibiotik intravena spektrum luas sangat penting.
VII. Peran Terapi Adjuvan dan Monitoring
Penggunaan antibiotik selalu harus disertai dengan manajemen suportif yang kuat dan monitoring yang cermat terhadap respons klinis dan efek samping.
1. Rehidrasi dan Nutrisi
Pada gastroenteritis, rehidrasi tetap menjadi intervensi penyelamat jiwa yang paling penting, jauh melebihi antibiotik. Pemberian cairan dan elektrolit (terutama pada kolera dan diare volume tinggi lainnya) harus menjadi prioritas utama. Dukungan nutrisi yang cepat membantu pemulihan mukosa usus.
2. Probiotik dan Mikrobiota
Probiotik (mikroorganisme hidup) sering digunakan sebagai terapi adjuvan untuk mengurangi risiko Diare Terkait Antibiotik (AAD) dan mendukung pemulihan pasca-infeksi. Spesies seperti Saccharomyces boulardii dan beberapa strain Lactobacillus telah menunjukkan efikasi dalam mengurangi risiko CDI rekuren atau diare setelah eradikasi H. pylori. Namun, probiotik tidak boleh menggantikan terapi antibiotik primer pada infeksi berat.
3. Pemantauan dan Kegagalan Pengobatan
Pemantauan yang cermat sangat penting. Jika gejala tidak membaik dalam 48–72 jam setelah memulai terapi empiris, klinisi harus curiga terhadap:
Resistensi antibiotik terhadap agen yang dipilih.
Diagnosis yang salah (misalnya, penyebab virus atau parasit non-sensitif).
Komplikasi (misalnya, perforasi, abses).
Pada kasus ini, pengujian diagnostik ulang (kultur, PCR, pencitraan) harus dilakukan, dan regimen antibiotik mungkin perlu diubah berdasarkan sensitivitas baru.
Edukasi pasien mengenai kepatuhan dosis adalah faktor krusial dalam keberhasilan terapi dan pencegahan resistensi. Pasien sering menghentikan antibiotik setelah gejala mereda, terutama pada infeksi seperti tifoid atau H. pylori yang memerlukan durasi panjang. Pasien harus selalu diberitahu tentang pentingnya menyelesaikan seluruh rejimen yang diresepkan, meskipun mereka merasa sudah sembuh total.
Selain itu, kebijakan manajemen antibiotik (Antimicrobial Stewardship) di tingkat rumah sakit dan komunitas harus fokus pada gastroenterologi. Ini mencakup batasan penggunaan fluoroquinolone untuk diare akut yang ringan, dan dorongan untuk pengujian diagnostik cepat. Dengan meningkatnya ancaman resistensi yang muncul dari patogen GI, pendekatan konservatif, terarah, dan berbasis bukti adalah satu-satunya cara untuk melestarikan efektivitas agen antimikroba yang ada bagi generasi mendatang.
Dalam situasi di mana infeksi parasit seperti Giardiasis didiagnosis, agen antiprotozoa seperti Metronidazole atau Tinidazole digunakan, bukan antibiotik tradisional. Meskipun Metronidazole secara teknis adalah antibiotik, ia dipilih di sini karena spektrum antiprotozoanya. Penting untuk membedakan antara infeksi bakteri invasif yang memerlukan intervensi kuat dan infeksi parasit yang memerlukan kelas obat yang berbeda, atau infeksi virus yang hanya memerlukan dukungan cairan.
Penggunaan Rifaximin dalam pengobatan Ensefalopati Hepatik (EH) adalah contoh yang menarik dari antibiotik yang digunakan untuk tujuan non-infeksi murni. Di sini, Rifaximin mengurangi jumlah bakteri penghasil amonia (terutama E. coli) di usus, sehingga menurunkan kadar amonia sistemik dan memperbaiki fungsi otak. Hal ini menegaskan bahwa penggunaan agen antimikroba dalam GI tidak selalu bertujuan untuk menyembuhkan diare, tetapi untuk memodulasi populasi bakteri untuk efek sistemik atau lokal lainnya.
Kesimpulannya, keputusan untuk meresepkan antibiotik untuk infeksi saluran pencernaan adalah keputusan yang kompleks yang harus mempertimbangkan etiologi, keparahan penyakit, risiko resistensi lokal, dan dampak potensial pada mikrobiota. Kehati-hatian, ditambah dengan diagnostik yang baik, adalah landasan pengobatan yang bertanggung jawab.