Infeksi bakteri pada kulit yang menyebabkan pembentukan koreng memerlukan penanganan yang tepat, seringkali melibatkan agen antimikroba.
Koreng, atau krusta, adalah lapisan pelindung yang terbentuk di atas luka saat proses penyembuhan kulit. Secara alami, koreng berfungsi melindungi jaringan di bawahnya dari kerusakan fisik dan invasi mikroorganisme. Namun, seringkali koreng itu sendiri menjadi tanda atau justru lokasi berkembangnya infeksi bakteri sekunder, mengubah luka yang awalnya ringan menjadi kondisi yang membutuhkan intervensi medis, khususnya penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik untuk mengatasi koreng yang terinfeksi bukanlah sekadar langkah pengobatan biasa, melainkan sebuah keputusan klinis yang harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang jenis patogen, tingkat keparahan infeksi, dan potensi risiko resistensi. Artikel yang sangat mendalam ini akan membahas secara tuntas setiap aspek yang berkaitan dengan peran antibiotik dalam manajemen koreng, mulai dari identifikasi jenis infeksi, pilihan terapi topikal, hingga kebutuhan akan pengobatan sistemik, serta bagaimana pencegahan dapat meminimalkan kebutuhan intervensi farmasi yang kompleks.
Sebelum membahas antibiotik, penting untuk membedah mengapa koreng bisa terinfeksi. Koreng yang sehat terdiri dari fibrin, sel darah merah yang mengering, dan trombosit, yang semuanya adalah bagian dari respons hemostasis dan inflamasi tubuh. Ketika integritas kulit terganggu, bakteri yang secara alami menghuni kulit (flora normal), seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus pyogenes, dapat memasuki jaringan. Jika pertahanan inang (tubuh) lemah atau beban bakteri terlalu tinggi, terjadi kolonisasi yang cepat, yang berkembang menjadi infeksi lokal yang nyata.
Koreng yang memerlukan antibiotik biasanya menunjukkan tanda-tanda infeksi sekunder. Tanda-tanda klasik peradangan (rubor, dolor, calor, tumor) diperparah dengan produksi eksudat purulen (nanah), bau tak sedap, peningkatan nyeri yang signifikan, atau pembengkakan yang meluas di luar batas luka awal. Jika infeksi menyebar ke lapisan kulit yang lebih dalam, seperti pada kasus selulitis, atau jika muncul demam dan malaise umum, intervensi sistemik segera diperlukan.
Infeksi bakteri yang paling sering dikaitkan dengan koreng terinfeksi adalah Impetigo. Impetigo, baik yang bentuk bulosa maupun non-bulosa, biasanya dimulai sebagai luka kecil, gigitan serangga, atau ekskoriasi, yang kemudian dengan cepat ditutupi oleh krusta berwarna madu (honey-colored crusts). Patogen utama yang bertanggung jawab adalah Staphylococcus aureus (termasuk galur yang resisten) dan, pada tingkat yang lebih rendah, Streptococcus pyogenes. Pengenalan cepat terhadap karakteristik krusta kekuningan ini sangat vital karena penanganannya hampir selalu melibatkan agen antimikroba.
Selain Impetigo, kondisi lain seperti Ektima (versi Impetigo yang lebih dalam dan ulseratif) atau infeksi sekunder pada dermatitis (dermatitis yang terimpetiginisasi) juga menghasilkan koreng yang terinfeksi dan memerlukan pertimbangan antibiotik. Dalam semua skenario ini, keberadaan bakteri yang berproliferasi dan menghasilkan toksin yang merusak jaringanlah yang memicu kebutuhan akan terapi antimikroba.
Mengetahui musuh adalah kunci pengobatan. Dua bakteri Gram-positif mendominasi lanskap infeksi kulit primer dan sekunder:
Infeksi polimikrobial juga bisa terjadi, terutama pada luka kronis atau ulkus diabetik, namun pada konteks koreng akut pada kulit sehat, fokus utama tetap pada dua patogen Gram-positif di atas. Pemilihan antibiotik harus selalu mempertimbangkan efektivitasnya terhadap spektrum patogen ini.
Untuk infeksi yang terlokalisasi dan dangkal, seperti Impetigo non-bulosa atau koreng terinfeksi ringan, terapi topikal (oles) adalah lini pertama dan seringkali merupakan pilihan yang paling efektif dan paling kecil risikonya terhadap pengembangan resistensi sistemik. Keuntungan utama dari antibiotik topikal adalah konsentrasi obat yang sangat tinggi dapat dicapai langsung di lokasi infeksi, jauh melebihi konsentrasi yang mungkin dicapai melalui pengobatan oral tanpa menimbulkan toksisitas sistemik yang signifikan.
Agen topikal adalah pilihan pertama untuk infeksi koreng superfisial dan harus diaplikasikan setelah koreng dibersihkan secara lembut.
Pemilihan agen topikal didasarkan pada spektrum aktivitasnya terhadap S. aureus dan S. pyogenes, serta tingkat resistensi lokal. Tiga agen berikut adalah yang paling sering direkomendasikan secara global:
Mupirocin adalah antibiotik unik yang secara struktural tidak terkait dengan kelas antibiotik lain yang digunakan secara klinis, sehingga memiliki risiko resistensi silang yang sangat rendah. Mekanisme aksinya adalah menghambat sintesis protein bakteri dengan berikatan secara spesifik dan reversibel dengan isoleucyl-tRNA synthetase bakteri. Ini berarti bakteri tidak dapat memproduksi protein esensial untuk pertumbuhannya. Mupirocin sangat efektif terhadap sebagian besar galur S. aureus (termasuk MRSA yang diakuisisi komunitas, cMRSA) dan S. pyogenes. Mupirocin sering digunakan tidak hanya untuk mengobati koreng terinfeksi, tetapi juga dalam protokol dekontaminasi hidung untuk mengurangi pembawaan S. aureus.
Penggunaannya harus tepat: dioleskan 2 hingga 3 kali sehari, biasanya selama 5 hingga 7 hari. Durasi yang terlalu singkat dapat menyebabkan kegagalan pengobatan, sementara durasi yang terlalu panjang meningkatkan risiko iritasi atau, yang lebih penting, memicu resistensi mupirocin, meskipun ini masih relatif jarang dibandingkan resistensi terhadap antibiotik lain.
Asam fusidat adalah antibiotik bakteriostatik atau bakterisida (tergantung dosis), efektif melawan S. aureus. Seperti Mupirocin, ia mengganggu sintesis protein, tetapi melalui mekanisme yang berbeda—yaitu menghambat faktor elongasi G. Fusidic acid sangat populer di banyak negara Eropa dan Asia karena efektivitasnya yang tinggi terhadap S. aureus. Meskipun sangat efektif, munculnya resistensi fusidic acid telah menjadi perhatian. Oleh karena itu, penggunaannya harus dibatasi pada kasus yang terbukti terinfeksi dan tidak boleh digunakan sebagai profilaksis jangka panjang.
Fusidic acid menawarkan penetrasi kulit yang sangat baik, yang membuatnya efektif bahkan pada luka yang sedikit lebih dalam atau pada kulit dengan krusta tebal (setelah krusta dibilas). Dosisnya serupa dengan mupirocin, biasanya 3 kali sehari selama 7 hari.
Kombinasi ini, meskipun sering tersedia bebas, memiliki efektivitas yang lebih bervariasi dan profil risiko yang lebih tinggi, terutama karena Neomycin yang diketahui memiliki potensi alergi kontak yang signifikan (dermatitis kontak alergi). Neomycin dan Bacitracin menargetkan bakteri Gram-positif (seperti S. aureus), sementara Polymyxin B menargetkan Gram-negatif, memberikan spektrum yang lebih luas. Penggunaan rutin kombinasi ini tidak dianjurkan untuk Impetigo atau infeksi koreng sederhana, karena agen yang lebih spesifik seperti Mupirocin atau Fusidic Acid lebih disukai untuk membatasi paparan alergen dan risiko resistensi yang luas.
Keberhasilan terapi topikal sangat bergantung pada persiapan luka. Antibiotik tidak dapat menembus krusta tebal, jaringan nekrotik, atau nanah dengan efektif. Langkah-langkah penting meliputi:
Terapi topikal tidak memadai dalam beberapa situasi klinis. Indikasi untuk beralih ke antibiotik oral (sistemik) meliputi:
Antibiotik sistemik bekerja di seluruh tubuh, memastikan eradikasi bakteri tidak hanya di permukaan koreng tetapi juga di jaringan subkutan dan saluran limfatik. Pilihan obat oral dipandu oleh pola kerentanan bakteri lokal dan potensi resistensi MRSA.
Jika infeksi dianggap sensitif terhadap Methicillin (MSA) dan disebabkan oleh S. aureus atau S. pyogenes, antibiotik Beta-Laktam biasanya menjadi pilihan utama karena sejarah efektivitas dan profil keamanannya:
Dicloxacillin atau Flucloxacillin: Ini adalah agen pilihan utama di banyak negara. Mereka resisten terhadap Beta-Laktamase yang diproduksi oleh sebagian besar S. aureus. Dosis yang tepat dan kepatuhan selama 7 hingga 10 hari sangat penting untuk memastikan eradikasi total, mencegah kekambuhan dan mengurangi kemungkinan resistensi. Flucloxacillin, misalnya, memiliki bioavailabilitas oral yang baik dan merupakan standar emas untuk banyak infeksi kulit stafilokokus.
Cephalexin: Agen ini menawarkan cakupan yang sangat baik terhadap S. aureus dan S. pyogenes, sering dipilih karena tolerabilitas yang baik dan rejimen dosis yang nyaman. Cephalexin sering digunakan sebagai alternatif yang sangat baik bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi Penisilin non-alergi berat, atau ketika dibutuhkan cakupan spektrum yang sedikit lebih luas terhadap bakteri kulit Gram-positif.
Penisilin V (Fenoksimetilpenisilin): Meskipun sebagian besar S. aureus resisten terhadap Penisilin (karena produksi penisilinase), S. pyogenes (GAS) hampir selalu sensitif. Jika infeksi disebabkan murni oleh GAS (misalnya, Erysipelas), Penisilin V adalah pilihan paling efektif dan spesifik, sekaligus merupakan yang terbaik untuk mencegah komplikasi pasca-streptokokus. Namun, karena seringkali sulit untuk membedakan antara S. aureus dan S. pyogenes secara klinis, kombinasi atau penggunaan agen spektrum yang lebih luas (seperti Cephalexin) sering dipilih.
Di daerah dengan prevalensi MRSA yang tinggi, atau jika infeksi menunjukkan karakteristik yang mengarah ke MRSA (misalnya, kegagalan pengobatan Beta-Laktam awal, infeksi berulang, atau riwayat paparan rumah sakit), pilihan pengobatan harus diubah untuk menargetkan galur resisten Methicillin:
Clindamycin efektif melawan banyak galur MRSA dan juga merupakan pilihan yang baik jika S. pyogenes dicurigai. Namun, Clindamycin membawa risiko signifikan, yaitu menginduksi kolitis pseudomembranosa yang disebabkan oleh Clostridium difficile (C. diff). Oleh karena itu, penggunaannya harus dipantau dengan cermat, dan perhatian harus diberikan pada pengujian D-test untuk memastikan tidak adanya resistensi induksi terhadap Macrolide/Clindamycin (resistensi MLSb).
Obat-obatan Tetracycline ini menawarkan cakupan yang baik terhadap MRSA dan memiliki keuntungan sebagai agen yang relatif stabil. Namun, Doxycycline dikontraindikasikan pada anak di bawah usia 8 tahun karena potensi pewarnaan gigi permanen dan efek pada perkembangan tulang. Penggunaannya pada orang dewasa dan remaja untuk infeksi kulit MRSA yang tidak rumit adalah umum.
Sering disebut Cotrimoxazole, ini adalah pilihan umum dan efektif melawan sebagian besar strain MRSA yang diakuisisi komunitas. Ini sangat berguna di mana MRSA adalah kekhawatiran yang signifikan. Namun, TMP/SMX harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat alergi sulfa atau defisiensi G6PD.
Durasi pengobatan sistemik biasanya berkisar antara 7 hingga 14 hari, tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Penghentian dini dapat mengakibatkan kekambuhan dan memicu resistensi. Dokter harus selalu mempertimbangkan kultur luka jika infeksi berat, berulang, atau gagal merespons terapi empiris awal.
Pemilihan antibiotik bukan hanya tentang mengetahui nama obat, tetapi tentang menerapkan algoritma klinis yang mempertimbangkan faktor risiko, riwayat pasien, dan tampilan lesi.
Jika lesi terbatas, tanpa keterlibatan sistemik:
Jika infeksi menyebar atau Impetigo Bulosa dicurigai:
Koreng yang berkembang pada ulkus kronis, terutama pada pasien diabetes atau yang mengalami insufisiensi vena, hampir selalu terinfeksi oleh spektrum bakteri yang lebih luas (polimikrobial), seringkali melibatkan Gram-negatif (seperti Pseudomonas aeruginosa) selain S. aureus. Pengobatan di sini jauh lebih kompleks dan memerlukan pendekatan multidisiplin.
Dalam kasus luka kronis, antibiotik topikal seperti Metronidazole (untuk anaerob) atau perban yang mengandung Perak mungkin digunakan sebagai tambahan, tetapi mereka tidak akan pernah menggantikan kebutuhan akan terapi sistemik yang tepat untuk mengendalikan infeksi yang meluas.
Meskipun ini sedikit di luar lingkup koreng akibat trauma sederhana, prinsip pencegahan infeksi sekunder pada luka operasi (yang juga membentuk koreng/keropeng) penting. Antibiotik profilaksis diberikan sebelum, selama, dan terkadang setelah prosedur bedah. Namun, setelah koreng bedah terbentuk, jika terjadi infeksi, itu harus diperlakukan sebagai infeksi aktif, bukan sebagai kegagalan profilaksis, dan pengobatan diarahkan pada patogen yang paling mungkin menyebabkan infeksi di lingkungan rumah sakit atau komunitas.
Isu terbesar dalam penggunaan antibiotik, baik topikal maupun sistemik, adalah resistensi antimikroba (AMR). Bakteri dapat mengembangkan mekanisme untuk bertahan hidup dari obat yang dirancang untuk membunuhnya. Ketika ini terjadi pada infeksi koreng, pengobatan menjadi sangat sulit dan mahal.
Resistensi terhadap antibiotik yang digunakan untuk mengobati koreng umumnya terjadi melalui tiga mekanisme utama:
Resistensi S. aureus terhadap Methicillin (MRSA) adalah contoh paling nyata. MRSA yang menyebabkan koreng dan infeksi kulit sulit diobati karena memerlukan antibiotik yang lebih kuat dan berpotensi lebih toksik. Ini menekankan pentingnya dokter untuk melakukan pengawasan yang ketat dan memastikan diagnosis yang akurat sebelum meresepkan antibiotik.
Untuk meminimalkan kontribusi terhadap resistensi dari pengobatan koreng:
Penggunaan antibiotik hanya satu bagian dari persamaan. Perawatan luka yang berhasil untuk koreng terinfeksi membutuhkan manajemen luka yang holistik dan higienis.
Antiseptik adalah agen kimia yang diaplikasikan pada jaringan hidup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Berbeda dengan antibiotik (yang biasanya ditelan atau dioleskan dan spesifik terhadap bakteri), antiseptik memiliki spektrum aktivitas yang luas (bakteri, virus, jamur).
Penting untuk diingat: Antiseptik tidak menggantikan antibiotik. Jika infeksi sudah masuk ke jaringan yang lebih dalam, hanya antibiotik sistemik atau topikal yang dapat mencapai konsentrasi yang memadai untuk mengeliminasi patogen.
Tidak ada antibiotik, seberapa pun kuatnya, yang akan berhasil jika lingkungan luka tidak optimal. Prinsip dasar termasuk:
Setiap intervensi farmakologis membawa risiko. Penggunaan antibiotik untuk koreng harus ditimbang terhadap potensi efek samping.
Risiko jauh lebih signifikan pada terapi oral. Efek samping umum dan serius meliputi:
Selalu penting bagi pasien untuk melaporkan tanda-tanda alergi atau efek samping gastrointestinal yang parah kepada profesional kesehatan mereka segera. Jika seorang pasien memiliki riwayat alergi terhadap kelompok obat tertentu (misalnya, alergi Penisilin), pemilihan obat pengganti (misalnya, Macrolides, Clindamycin, atau Doxycycline) harus dilakukan dengan hati-hati setelah memverifikasi jenis dan keparahan alergi.
Manajemen koreng yang terinfeksi membutuhkan kedisiplinan dan kepatuhan pasien yang tinggi. Keberhasilan pengobatan dengan antibiotik, baik topikal maupun oral, berbanding lurus dengan ketepatan penggunaan, bukan hanya pada kekuatan obat itu sendiri.
| Kondisi Klinis | Terapi Pilihan Pertama (Empiris) | Pertimbangan Alternatif (MRSA/Alergi) |
|---|---|---|
| Koreng Terlokalisasi / Impetigo < 5 lesi | Mupirocin Topikal (5-7 hari) | Asam Fusidat Topikal; Kombinasi Bacitracin/Polymyxin B (kurang disukai) |
| Impetigo Luas / Selulitis Ringan | Cephalexin Oral atau Dicloxacillin Oral (7-10 hari) | Clindamycin Oral atau Doxycycline Oral (Jika MRSA dicurigai/terbukti) |
| Infeksi Streptococcus Murni | Penisilin V Oral | Erythromycin atau Clarithromycin (Macrolides) |
| Infeksi Koreng Berulang | Kultur luka; Dekontaminasi nasal Mupirocin (untuk pembawa S. aureus) | Pengobatan jangka panjang (3-6 bulan) dengan agen non-antibiotik, seperti pencuci klorheksidin. |
Edukasi pasien harus mencakup detail spesifik mengenai dosis, frekuensi, dan durasi. Kegagalan pasien untuk mematuhi rejimen seringkali menjadi penyebab utama kegagalan pengobatan atau perkembangan resistensi. Selain itu, aspek higienis sangat ditekankan:
Secara keseluruhan, antibiotik adalah alat yang sangat kuat untuk mengendalikan infeksi bakteri yang terjadi pada koreng. Namun, kekuatan ini harus digunakan dengan bijak, selalu di bawah pengawasan profesional kesehatan, dan dikombinasikan dengan perawatan luka dasar yang telaten. Menganggap setiap koreng yang meradang memerlukan antibiotik adalah kesalahan yang dapat mempercepat krisis resistensi global. Penilaian klinis yang cermat akan membedakan antara peradangan normal, yang dapat diobati dengan perawatan suportif sederhana, dan infeksi bakteri sejati yang memerlukan intervensi antimikroba.
Mengingat peran sentral agen topikal dalam manajemen koreng, perluasan pemahaman mengenai farmakologi, termasuk farmakokinetik dan farmakodinamik (PK/PD), sangat penting. Pilihan agen topikal ditentukan oleh kemampuan penetrasi stratum korneum dan bioavailabilitasnya di lokasi infeksi dermal. Koreng bertindak sebagai penghalang yang harus ditembus obat untuk mencapai bakteri yang berkolonisasi di dasar lesi.
Mupirocin adalah antibiotik yang, setelah diaplikasikan secara topikal, mengalami hidrolisis cepat menjadi asam monoic yang tidak aktif, yang membatasi absorpsi sistemiknya. Hal ini adalah keuntungan besar karena memastikan bahwa kadar plasma sistemik sangat rendah, sehingga mengurangi risiko efek samping sistemik dan membatasi seleksi strain resisten sistemik. Struktur kimia unik ini memungkinkan Mupirocin untuk mencapai konsentrasi tinggi secara lokal (seringkali 100 kali lebih besar dari Minimum Inhibitory Concentration, MIC, yang diperlukan untuk S. aureus). Karena sifatnya yang cepat tidak aktif ketika diserap, Mupirocin tidak pernah diberikan secara sistemik.
Namun, penetrasi Mupirocin dapat dipengaruhi oleh basis salep. Formulasi polietilen glikol (PEG) tertentu dapat meningkatkan penetrasi tetapi juga memiliki risiko toksisitas PEG pada pasien dengan gangguan ginjal jika diaplikasikan pada luka terbuka yang luas, meskipun risiko ini jarang terjadi pada aplikasi koreng sederhana. Formulasi salep petrolatum mungkin lebih disukai pada area kulit yang sensitif.
Asam Fusidat memiliki keunggulan penetrasi yang luar biasa. Ia adalah molekul lipofilik yang menembus kulit dan mencapai konsentrasi terapeutik yang efektif di jaringan subkutan, menjadikannya pilihan yang sangat baik untuk infeksi yang sedikit lebih dalam daripada yang biasanya ditangani oleh Mupirocin. Meskipun Absorpsi sistemik terjadi (tidak seperti Mupirocin), jumlahnya umumnya kecil dan tidak signifikan secara klinis pada aplikasi terbatas. Fusidic acid diberikan dalam sediaan krim atau salep, dan efektivitasnya telah dibuktikan dalam berbagai uji klinis untuk Impetigo dan infeksi kulit piogenik sekunder.
Tingkat resistensi terhadap Asam Fusidat telah diamati meningkat, terutama ketika obat ini digunakan secara tidak tepat. Resistensi dapat dimediasi oleh mutasi pada gen target, atau melalui adanya gen plasmid spesifik yang mempengaruhi permeabilitas dinding sel bakteri. Oleh karena itu, di wilayah dengan resistensi yang tinggi, Mupirocin menjadi pilihan yang lebih aman.
Kombinasi Polimiksin-Bacitracin-Neomycin, meskipun tersedia secara luas, sering kali dianggap sebagai pilihan kedua atau ketiga oleh dermatolog. Selain risiko alergi Neomycin yang telah disebutkan, Bacitracin juga dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi. Selain itu, spektrum aksinya tidak selalu optimal untuk Impetigo murni yang didominasi S. aureus atau S. pyogenes. Seringkali, penggunaannya dikaitkan dengan infeksi pada luka abrasif ringan di mana patogen Gram-negatif (yang dicakup oleh Polimiksin) mungkin menjadi perhatian, tetapi untuk koreng infeksi murni, pendekatan yang lebih spesifik lebih baik.
Keputusan untuk meresepkan antibiotik sistemik harus didasarkan pada kriteria yang jelas, termasuk luasnya area infeksi, kedalaman invasi, dan respons pasien. Untuk memastikan keberhasilan terapi, pilihan empiris harus mencakup patogen yang paling mungkin, dengan penekanan pada cakupan S. aureus dan S. pyogenes.
Kelas obat seperti Dicloxacillin dan Flucloxacillin tetap menjadi fondasi karena mereka adalah turunan Penisilin yang telah dimodifikasi secara sterik untuk menahan degradasi oleh Beta-Laktamase yang dihasilkan oleh S. aureus. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri. Mereka memiliki keamanan yang sangat baik dan efek samping yang relatif dapat ditoleransi, terutama risiko alergi yang serupa dengan Penisilin lainnya.
Penting untuk dicatat bahwa dosis harus adekuat dan diberikan dengan interval yang benar (misalnya, empat kali sehari) untuk mempertahankan konsentrasi di atas MIC sepanjang waktu, karena mereka adalah agen yang bergantung pada waktu (Time-Dependent Killing). Kepatuhan yang buruk terhadap jadwal dosis adalah alasan umum kegagalan terapi Flucloxacillin.
Erythromycin, Azithromycin, dan Clarithromycin (Macrolides) bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri (berikatan dengan subunit ribosom 50S). Mereka sering digunakan sebagai alternatif untuk pasien dengan alergi Penisilin. Namun, Macrolides menghadapi masalah resistensi yang signifikan, terutama di kalangan S. aureus. Resistensi Macrolide dapat berkorelasi dengan resistensi Clindamycin (efek MLSb). Oleh karena itu, jika Macrolide digunakan, dokter harus memiliki data yang menunjukkan tingkat resistensi lokal yang rendah.
Doxycycline adalah Tetracycline yang menghambat sintesis protein bakteri melalui ikatan dengan subunit ribosom 30S. Doxycycline tidak hanya efektif melawan MRSA tetapi juga memiliki sifat anti-inflamasi yang ringan, yang dapat bermanfaat pada infeksi kulit yang disertai dengan inflamasi parah. Efektivitasnya yang luas, termasuk cakupan terhadap beberapa organisme atipikal, menjadikannya pilihan berharga. Namun, profil efek sampingnya, termasuk fotosensitivitas dan iritasi gastrointestinal, harus dipertimbangkan. Selain itu, meskipun Doxycycline adalah pilihan yang bagus untuk MRSA, ia tidak direkomendasikan untuk infeksi S. pyogenes karena potensi kegagalan, sehingga perlu kombinasi jika infeksi polimikrobial dicurigai.
Meskipun sebagian besar koreng terinfeksi diobati secara empiris, infeksi yang tidak merespons pengobatan awal, infeksi rekuren, atau infeksi yang berat harus melalui diagnosis mikrobiologi formal.
Pengambilan sampel usap dari dasar lesi (setelah krusta dibersihkan) adalah standar emas untuk mengidentifikasi patogen dan menentukan sensitivitasnya terhadap antibiotik yang berbeda. Penting untuk mengambil sampel dari dasar luka, bukan hanya dari nanah atau krusta permukaan, karena mikroorganisme di permukaan mungkin hanya flora kontaminan. Hasil kultur dan sensitivitas (C&S) akan memandu transisi dari terapi empiris (dugaan) ke terapi terarah (spesifik), yang jauh lebih efektif dan merupakan langkah kunci dalam manajemen antibiotik yang bijak (Antimicrobial Stewardship).
Di banyak laboratorium, identifikasi S. aureus diikuti dengan pengujian kerentanan terhadap Methicillin (atau Oxacillin). Jika MRSA terdeteksi, langkah selanjutnya adalah pengujian kerentanan terhadap Clindamycin dan Macrolides. Uji induksi, yang dikenal sebagai D-Test, dilakukan untuk memastikan bahwa strain yang terlihat sensitif terhadap Clindamycin di laboratorium tidak memiliki mekanisme resistensi yang dapat diinduksi (iMLSb), yang akan menyebabkan kegagalan klinis jika Clindamycin digunakan. Pengujian ini sangat krusial dalam memilih pengobatan yang tepat untuk infeksi koreng MRSA.
Dalam situasi klinis yang mendesak, atau untuk infeksi yang membutuhkan diagnosis cepat, teknik amplifikasi asam nukleat (PCR) dapat digunakan. PCR dapat mendeteksi gen spesifik (misalnya, gen mecA yang bertanggung jawab atas resistensi Methicillin) dalam hitungan jam. Meskipun ini membantu dalam membuat keputusan pengobatan awal yang cepat, PCR biasanya tidak menggantikan perlunya kultur dan sensitivitas tradisional, terutama untuk menilai potensi resistensi terhadap obat non-Beta-Laktam lainnya.
Penggunaan antibiotik untuk koreng memiliki pertimbangan khusus pada kelompok usia ekstrem karena perbedaan dalam farmakokinetik, toksisitas, dan profil patogen.
Impetigo dan koreng terinfeksi sangat umum pada anak-anak. Pertimbangan utama adalah:
Lansia sering memiliki komorbiditas (diabetes, insufisiensi vaskular) dan fungsi ginjal atau hati yang menurun, yang mempengaruhi metabolisme dan ekskresi antibiotik. Selain itu, kulit yang rapuh dan mobilitas yang berkurang meningkatkan risiko koreng kronis dan infeksi ulkus.
Setelah infeksi bakteri berhasil diberantas dengan antibiotik, tantangan berikutnya adalah memfasilitasi penutupan luka dan meminimalkan jaringan parut. Ini adalah fase di mana peran koreng (krusta) sebagai pelindung sangat signifikan.
Setelah bakteri mati, koreng berfungsi untuk menjaga lingkungan luka tetap terlindungi. Upaya untuk menghilangkan koreng yang menempel kuat dan sehat (tidak terinfeksi lagi) seringkali kontraproduktif, karena dapat merusak lapisan epitel yang baru terbentuk di bawahnya, menyebabkan perdarahan, dan memperlambat penyembuhan. Perawatan luka pada fase ini berfokus pada menjaga kelembaban di bawah krusta agar sel-sel kulit dapat bermigrasi dengan bebas (epitelisasi).
Setelah krusta mulai lepas secara alami, atau jika sisa-sisa kulit kering tertinggal, penggunaan pelembab atau emolien yang lembut dapat membantu mengembalikan fungsi barrier kulit dan mengurangi rasa gatal yang dapat memicu garukan ulang (re-traumatisasi). Emolien bebas pewangi dan hipoalergenik harus dipilih untuk meminimalkan iritasi pada kulit yang masih sensitif. Krim yang mengandung urea atau asam laktat dapat membantu melunakkan kulit yang keras, tetapi harus dihindari di atas luka terbuka.
Jika infeksi koreng cukup dalam, seperti pada Ektima, jaringan parut mungkin tidak terhindarkan. Manajemen parut dimulai setelah luka tertutup sepenuhnya. Produk yang mengandung silikon (gel silikon atau lembaran silikon) adalah standar emas untuk mengurangi parut hipertrofik atau keloid. Penggunaan pelindung matahari pada area parut juga sangat penting untuk mencegah hiperpigmentasi pasca-inflamasi, terutama pada individu dengan warna kulit gelap.
Kesimpulan dari tinjauan ekstensif ini adalah bahwa penanganan koreng yang terinfeksi adalah proses yang dinamis, menuntut pemahaman mendalam tentang bakteriologi, farmakologi, dan prinsip-prinsip perawatan luka. Antibiotik adalah penyelamat hidup ketika digunakan dengan tepat, tetapi penggunaannya harus dibatasi, diarahkan, dan diawasi untuk melindungi efektivitasnya di masa depan.