Selulitis didefinisikan sebagai infeksi bakteri akut yang menyebar dan melibatkan dermis serta jaringan subkutan. Infeksi ini ditandai dengan eritema (kemerahan), edema (pembengkakan), nyeri tekan, dan peningkatan suhu lokal. Meskipun selulitis sering dianggap sebagai kondisi yang umum, jika tidak ditangani dengan tepat dan cepat, selulitis dapat berkembang menjadi komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk bakteremia, sepsis, dan infeksi jaringan lunak nekrotik (Necrotizing Soft Tissue Infections/NSTI).
Mayoritas kasus selulitis disebabkan oleh bakteri Gram-positif. Memahami patogen penyebab adalah kunci fundamental dalam penentuan terapi antibiotik empiris yang efektif:
Identifikasi faktor risiko membantu memprediksi keparahan infeksi dan menentukan kebutuhan rawat inap versus rawat jalan:
Gambar 1: Representasi Selulitis yang Melibatkan Dermis dan Jaringan Subkutan.
Keputusan pemilihan antibiotik didasarkan pada spektrum aktivitas obat, penetrasi jaringan, farmakokinetik/farmakodinamik (PK/PD), potensi resistensi lokal, dan kondisi klinis pasien. Terapi selulitis dimulai secara empiris, yang berarti obat dipilih berdasarkan kemungkinan patogen, sebelum hasil kultur tersedia.
Tujuan primer dari terapi empiris adalah menargetkan *S. pyogenes* dan *S. aureus*. Pemilihan lini pertama tergantung pada apakah infeksi tersebut diklasifikasikan sebagai selulitis non-purulen (target utama GAS) atau selulitis purulen (target utama MSSA/MRSA).
Pada kasus ringan hingga sedang tanpa ciri purulen yang jelas, fokus utama adalah aktivitas anti-Streptococcus yang kuat. Sebagian besar regimen ini juga mencakup MSSA:
Kecurigaan MRSA muncul pada pasien dengan abses, riwayat MRSA, paparan rumah sakit, atau kegagalan terapi lini pertama. Dalam kondisi ini, diperlukan antibiotik yang memiliki aktivitas spesifik melawan MRSA, yang ditandai dengan perubahan protein pengikat penisilin (PBP2a) yang dikodekan oleh gen *mecA*.
Efektivitas antibiotik tidak hanya bergantung pada konsentrasi minimal penghambatan (MIC) tetapi juga pada bagaimana konsentrasi obat dipertahankan di lokasi infeksi (jaringan lunak). SSTIs, seperti selulitis, memerlukan perhatian khusus pada penetrasi jaringan dan parameter PK/PD:
Keputusan untuk merawat pasien di rawat jalan (oral) atau rawat inap (intravena/IV) sangat penting dan didasarkan pada tingkat keparahan infeksi, yang sering diklasifikasikan menggunakan sistem seperti klasifikasi Infectious Diseases Society of America (IDSA).
Pengelompokan ini memandu strategi terapi:
Terapi awal IV sangat penting untuk memastikan konsentrasi obat yang cepat dan tinggi di lokasi infeksi pada kasus sedang hingga berat.
Transisi dari IV ke Oral (Sequential Therapy):
Setelah pasien menunjukkan respons klinis yang jelas (penurunan demam, perbaikan eritema, stabilisasi tanda vital), transisi ke terapi oral (misalnya, dari Vankomisin IV ke Linezolid oral atau TMP/SMX oral) harus dilakukan secepat mungkin untuk mengurangi biaya, risiko yang terkait dengan kateter IV, dan memungkinkan pasien melanjutkan pemulihan di rumah. Kriteria transisi mencakup defervesensi (>24 jam) dan peningkatan gejala lokal yang substansial.
Durasi standar terapi antibiotik untuk selulitis tanpa komplikasi berkisar antara 5 hingga 14 hari. Studi terbaru mendukung durasi yang lebih pendek (5–7 hari) untuk infeksi ringan yang merespons cepat. Namun, kondisi tertentu memerlukan durasi yang lebih lama:
Tidak semua selulitis sama. Beberapa populasi pasien atau lokasi infeksi memerlukan penyesuaian signifikan pada regimen antibiotik empiris untuk memperluas spektrum liputan.
Infeksi pada kaki diabetik adalah kasus selulitis yang paling kompleks. Vaskulopati, neuropati, dan glukosa tinggi menciptakan lingkungan yang kondusif untuk infeksi polimikrobial, sering melibatkan Gram-negatif, anaerob, dan MRSA.
Regimen yang direkomendasikan (Spektrum Luas):
Penting: Kaki diabetik sering memerlukan debridement bedah yang agresif, terlepas dari terapi antibiotik. Antibiotik saja tidak akan mengatasi infeksi jika ada jaringan nekrotik atau abses yang belum didrainase.
Infeksi pada area ini berisiko tinggi menyebar ke struktur vital (sinus, otak, dan sinus kavernosus). Infeksi ini harus dianggap sebagai darurat medis.
Luka gigitan memasukkan flora mulut yang spesifik, termasuk bakteri anaerob dan organisme cepat (fastidious organisms).
Alergi penisilin adalah tantangan umum. Tingkat reaksi silang antara Penisilin dan Sefalosporin generasi pertama (seperti Sefaleksin) berkisar antara 2–5%, namun toleransi terhadap Sefalosporin generasi kedua dan ketiga umumnya tinggi.
Pilihan Alternatif:
Resistensi antimikroba adalah ancaman terbesar dalam penanganan SSTIs. Peningkatan prevalensi MRSA komunitas (CA-MRSA) dan resistensi yang muncul terhadap lini kedua (seperti Vankomisin-intermediate/VRSA) menuntut penggunaan antibiotik secara bijak dan pemahaman mendalam tentang mekanisme resistensi.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik beta-laktam dan agen lain menjadi faktor penentu dalam kegagalan pengobatan:
Untuk mengatasi masalah resistensi, beberapa antibiotik baru telah dikembangkan yang menargetkan MRSA dan SSTIs yang kompleks (cSSSTIs):
Gambar 2: Beta-Laktam menghambat sintesis dinding sel dengan mengikat Protein Pengikat Penisilin (PBP).
Meskipun antibiotik adalah inti pengobatan selulitis, keberhasilan klinis memerlukan manajemen suportif yang holistik serta tindakan pencegahan yang ketat, terutama karena selulitis memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi (hingga 50% dalam tiga tahun).
Abses dan infeksi purulen adalah kondisi bedah. Antibiotik memiliki penetrasi yang buruk ke dalam rongga abses yang padat. Insisi dan drainase (I&D) adalah langkah penting untuk menghilangkan beban bakteri, mengurangi tekanan jaringan, dan memungkinkan terapi antibiotik sistemik bekerja lebih efektif. Kultur dari cairan drainase harus selalu diambil, terutama jika MRSA dicurigai atau jika pasien gagal merespons terapi empiris.
Edema adalah komponen kunci inflamasi pada selulitis. Elevasi ekstremitas yang terinfeksi membantu mengurangi pembengkakan, meningkatkan aliran balik limfatik dan vena, serta secara teoritis membantu pengiriman antibiotik ke lokasi infeksi. Kompres dingin dapat membantu mengurangi nyeri dan inflamasi lokal.
Selulitis berulang adalah masalah klinis yang serius dan sering disebabkan oleh kerusakan integritas kulit kronis (misalnya, tinea pedis, limfedema). Strategi pencegahan meliputi:
Meskipun sebagian besar selulitis merespons terapi oral, pengakuan dini terhadap komplikasi yang mengancam jiwa adalah wajib. Kegagalan terapi antibiotik empiris dalam 48–72 jam harus memicu evaluasi ulang total.
Ini adalah infeksi jaringan lunak yang paling mematikan. Gejala yang harus diwaspadai meliputi:
Terapi NSTI: Kombinasi antibiotik spektrum sangat luas (misalnya, Karbapenem/Piperasilin-Tazobaktam) PLUS Klindamisin (untuk menghambat produksi toksin streptokokus) PLUS Vankomisin/Linezolid (untuk MRSA) PLUS debridement bedah darurat.
Selulitis dapat menyebabkan bakteremia. Jika pasien menunjukkan tanda disfungsi organ (misalnya, hipotensi, peningkatan laktat, penurunan output urin), manajemen sepsis harus dimulai, termasuk resusitasi cairan dan vasopresor. Jika dicurigai endokarditis, terutama pada pengguna obat IV, pencitraan dan konsultasi spesialis diperlukan.
Jika perbaikan klinis tidak terjadi setelah 48–72 jam terapi IV, pertimbangkan faktor-faktor berikut:
Untuk mencapai kedalaman yang komprehensif, penting untuk menguraikan subkelas utama antibiotik yang digunakan dalam penanganan selulitis dan alasan spesifik mengapa mereka dipilih atau dihindari.
Beta-laktam adalah kelas antibiotik yang paling sering digunakan, termasuk Penisilin, Sefalosporin, Karbapenem, dan Monobaktam. Mereka bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel. Penghambat beta-laktamase (misalnya, Klavulanat, Sulbaktam, Tazobaktam) ditambahkan untuk melindungi obat dari penghancuran oleh enzim bakteri.
Contoh Penting:
Tantangan: Kegagalan menargetkan MRSA. Diperlukan penambahan obat jika MRSA dicurigai.
Vankomisin adalah molekul besar yang bekerja dengan mengikat ujung D-Ala-D-Ala pada prekursor peptidoglikan. Ini memberikan aktivitas yang kuat melawan hampir semua *Staphylococcus* dan *Streptococcus*, termasuk MRSA.
Optimasi Dosis Vankomisin: Karena variabilitas PK dan risiko nefrotoksisitas, dosis Vankomisin biasanya disesuaikan berdasarkan berat badan dan fungsi ginjal. Pemantauan level serum (trough levels) sangat penting, seringkali menargetkan trough 10-20 mg/L, atau 15-20 mg/L untuk infeksi SSTI yang lebih berat, untuk memastikan rasio AUC/MIC yang adekuat sambil meminimalkan toksisitas.
Linezolid memiliki aktivitas spektrum Gram-positif yang serupa dengan Vankomisin (MRSA, VRE). Keunggulannya adalah bioavailabilitas oral 100%, menjadikannya pilihan transisi IV ke oral yang sangat baik untuk MRSA. Namun, penggunaan jangka panjang (>2 minggu) dapat menyebabkan toksisitas hematologi (trombositopenia) dan neuropati perifer.
Klindamisin adalah pilihan yang kuat untuk kasus Strep dan anaerob. Selain membunuh bakteri, efek penghambatan toksinnya sangat berharga dalam infeksi yang dimediasi toksin (misalnya, Streptococcal Toxic Shock Syndrome). Namun, Klindamisin memiliki risiko tertinggi menyebabkan infeksi *Clostridioides difficile* (C. diff associated diarrhea/CDAD).
Pemantauan yang cermat diperlukan untuk membedakan antara perbaikan, kegagalan terapi, dan reaksi obat yang merugikan (ADRs). Parameter yang digunakan untuk menilai respons meliputi suhu, leukositosis, dan luasnya eritema/edema.
Di lingkungan klinis, luasnya eritema harus ditandai dengan spidol (penanda kulit) saat terapi dimulai. Perluasan di luar batas yang ditandai setelah 24–48 jam terapi yang tepat menunjukkan kegagalan terapi, resistensi, atau diagnosis alternatif yang mendasarinya.
Penurunan suhu (defervesensi) dan normalisasi jumlah sel darah putih (WBC) adalah tanda yang paling dapat diandalkan dari respons sistemik. Perhatikan bahwa peningkatan WBC sementara dapat terjadi dalam 24 jam pertama karena mobilisasi sel inflamasi, tetapi ini harus segera turun setelahnya.
Penggunaan antibiotik spektrum luas, terutama IV, memerlukan pemantauan fungsi organ. Contoh ADRs yang relevan untuk selulitis meliputi:
Kultur darah seringkali negatif pada selulitis tanpa komplikasi (hanya positif pada 2–5% kasus). Namun, kultur wajib dilakukan pada abses yang didrainase, selulitis pada pasien yang sakit parah (kategori III/IV), pasien neutropenia, atau pasien yang gagal merespons terapi empiris.
Kultur ini memungkinkan transisi dari terapi empiris (berdasarkan prediksi) ke terapi definitif (berdasarkan sensitivitas), yang memastikan penggunaan antibiotik tersempit dan tersingkat yang diperlukan untuk menekan resistensi antimikroba.
Penanganan selulitis harus disesuaikan secara cermat pada kelompok pasien yang rentan, di mana keseimbangan antara efikasi dan keamanan sangat kritis.
Selulitis pada anak-anak memerlukan perhatian pada dosimetri yang tepat berdasarkan berat badan dan penggunaan agen yang aman. Patogen utama masih *S. aureus* dan *S. pyogenes*.
Lansia sering memiliki fungsi ginjal yang terganggu dan berbagai komorbiditas (misalnya, malnutrisi, insufisiensi vaskular). Hal ini meningkatkan risiko toksisitas obat dan kegagalan pengobatan. Penyesuaian dosis antibiotik (terutama Vankomisin dan beta-laktam yang dikeluarkan melalui ginjal) berdasarkan klirens kreatinin sangat penting.
Pasien IVDU sering mengalami infeksi yang lebih dalam dan atipikal (misalnya, selulitis yang disebabkan oleh Gram-negatif atau jamur) akibat kontaminasi saat menyuntik. Mereka berisiko tinggi terkena endokarditis. Terapi harus mencakup cakupan untuk MRSA dan *Pseudomonas* jika infeksi tampak berat, seringkali menggunakan regimen seperti Vankomisin plus Piperasilin-Tazobaktam, sampai kultur membuktikan sebaliknya.
Selulitis adalah infeksi umum namun berpotensi serius yang membutuhkan diagnosis yang akurat dan intervensi antibiotik yang tepat waktu. Strategi keberhasilan terletak pada identifikasi patogen yang paling mungkin (Streptococcus vs. Staphylococcus/MRSA), penentuan rute pemberian obat berdasarkan keparahan infeksi (IV untuk infeksi sistemik, oral untuk infeksi ringan), dan pengakuan dini terhadap faktor risiko (Diabetes, limfedema) yang memerlukan perluasan cakupan antibiotik.
Dalam era resistensi antimikroba yang terus meningkat, keputusan terapi harus didasarkan pada data resistensi lokal dan prinsip PK/PD untuk memastikan dosis optimal dan durasi sesingkat mungkin. Pendekatan holistik yang menggabungkan antibiotik yang terencana dengan manajemen suportif (drainase, elevasi, dan pencegahan kekambuhan) adalah kunci untuk meningkatkan hasil klinis dan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa seperti fasciitis nekrotikans atau sepsis.
Pemantauan yang ketat selama 48 hingga 72 jam pertama terapi empiris adalah imperatif. Kegagalan respons harus segera memicu evaluasi ulang, pencitraan, dan, jika perlu, konsultasi bedah untuk menyingkirkan infeksi jaringan lunak yang lebih dalam. Dengan pemilihan antibiotik yang bijaksana, selulitis dapat diatasi secara efektif, meminimalkan morbiditas dan mortalitas yang terkait.
Mengingat kompleksitas mekanisme resistensi dan variabilitas patogen pada selulitis kompleks, edukasi pasien mengenai pencegahan kekambuhan, terutama melalui manajemen tinea pedis dan limfedema, merupakan garis pertahanan jangka panjang yang tak terpisahkan dari manajemen antibiotik.