Infeksi tenggorokan, atau faringitis, adalah keluhan kesehatan yang sangat umum terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Hampir setiap orang pernah mengalami rasa sakit, gatal, atau kesulitan menelan akibat radang tenggorokan. Meskipun gejalanya seringkali mengganggu, mayoritas kasus infeksi tenggorokan disebabkan oleh virus. Faktanya, diperkirakan bahwa lebih dari 85% kasus faringitis pada orang dewasa dan sebagian besar kasus pada anak-anak bersifat virus.
Namun, persepsi yang umum di masyarakat seringkali menuntut solusi cepat, dan antibiotik seringkali menjadi pilihan pertama yang dicari. Inilah titik kritisnya: antibiotik dirancang khusus untuk melawan bakteri, bukan virus. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat untuk infeksi virus tidak hanya tidak efektif—sama sekali tidak mempercepat penyembuhan—tetapi juga berkontribusi secara signifikan terhadap krisis kesehatan global yang serius: resistensi antibiotik.
Tujuan utama dari panduan ini adalah memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai kapan, mengapa, dan jenis antibiotik apa yang benar-benar dibutuhkan untuk infeksi tenggorokan, serta menekankan bahaya dan konsekuensi jangka panjang dari penggunaan obat-obatan ini secara sembarangan. Ketika infeksi tenggorokan memang disebabkan oleh bakteri, terutama Streptococcus pyogenes (Streptokokus Grup A), pengobatan yang tepat waktu dan memadai dengan antibiotik menjadi krusial untuk mencegah komplikasi serius seperti Demam Rematik.
Untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai pengobatan, kita harus terlebih dahulu membedakan jenis infeksi yang menyerang tenggorokan.
Infeksi ini paling sering disebabkan oleh rhinovirus, adenovirus, atau influenza. Gejala biasanya muncul secara bertahap dan seringkali disertai dengan gejala lain yang lebih umum dari flu biasa atau pilek.
Pengobatan untuk faringitis viral sepenuhnya bersifat suportif, berfokus pada peredaan gejala menggunakan obat pereda nyeri non-steroid (NSAID), lozenges, dan istirahat yang cukup. Antibiotik sama sekali tidak memiliki peran di sini.
Penyebab bakteri yang paling penting adalah Streptococcus pyogenes (Group A Strep/GAS), yang bertanggung jawab atas sekitar 5% hingga 15% kasus faringitis pada orang dewasa dan 20% hingga 30% pada anak-anak usia sekolah. Infeksi GAS yang tidak diobati adalah ancaman serius.
Bakteri Streptokokus A adalah target utama pengobatan antibiotik pada infeksi tenggorokan.
Peringatan Utama: Antibiotik hanya diindikasikan untuk faringitis yang dikonfirmasi disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (Strep Throat). Pemberian antibiotik sebelum diagnosis pasti adalah praktik yang berbahaya dan harus dihindari.
Alasan mendasar penggunaan antibiotik untuk infeksi Strep bukan hanya untuk meredakan gejala (yang akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari), tetapi untuk mencegah komplikasi yang non-supuratif, yaitu komplikasi yang tidak disebabkan oleh nanah lokal, melainkan respons imun abnormal tubuh terhadap bakteri:
Untuk mencapai pencegahan komplikasi ini, antibiotik harus dimulai dalam waktu 9 hari sejak onset gejala. Penicillin dan turunannya bekerja sangat efektif untuk membunuh GAS dan mencegah pelepasan antigen yang memicu respons imun berbahaya.
Dokter menggunakan kriteria klinis dan alat diagnostik untuk menentukan probabilitas Strep throat sebelum meresepkan antibiotik. Metode yang umum digunakan adalah kriteria Centor atau modifikasi McIsaac:
Total skor akan menentukan langkah selanjutnya. Jika skor tinggi, tes diagnostik cepat Strep (Rapid Strep Antigen Detection Test/RADT) atau kultur tenggorokan akan dilakukan untuk mengkonfirmasi keberadaan bakteri sebelum resep dikeluarkan. Resep antibiotik hanya diberikan jika tes menunjukkan hasil positif.
Tujuan utama terapi antibiotik adalah membunuh bakteri S. pyogenes dan mengurangi potensi penularan, serta, yang paling penting, mencegah Demam Rematik.
Penicillin dan Amoxicillin tetap menjadi standar emas (gold standard) karena efektivitasnya yang tinggi, spektrum sempit (yang membantu mengurangi resistensi pada flora normal), keamanan, dan biaya yang relatif rendah. Hingga saat ini, S. pyogenes belum menunjukkan resistensi yang signifikan terhadap Penicillin.
Jika pasien memiliki alergi terhadap Penicillin (terutama alergi tipe I atau anafilaksis), pilihan antibiotik harus diubah.
Ini adalah pilihan utama kedua, khususnya bagi mereka yang memiliki alergi serius terhadap Penicillin.
Makrolida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri, menghentikan pertumbuhan dan replikasi bakteri.
Jika alergi Penicillin bersifat ringan (misalnya, hanya ruam kulit yang tidak parah), Sefalosporin generasi pertama atau kedua seringkali aman untuk digunakan. Namun, perlu diperhatikan risiko alergi silang (cross-reactivity), yang bisa terjadi pada hingga 10% pasien alergi Penicillin.
Kepatuhan pada dosis dan durasi 10 hari (kecuali Azithromycin 5 hari) sangat krusial untuk mencegah resistensi dan komplikasi serius.
Beberapa antibiotik yang kuat dan berspektrum luas, seperti Fluoroquinolones (misalnya Ciprofloxacin) dan Tetracyclines, umumnya tidak direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk faringitis Strep. Quinolones terlalu berspektrum luas dan penting untuk dicadangkan melawan infeksi yang lebih serius. Tetracyclines tidak lagi efektif terhadap S. pyogenes karena resistensi yang meluas.
Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri bermutasi dan mengembangkan mekanisme pertahanan diri sehingga obat-obatan yang dirancang untuk membunuhnya menjadi tidak efektif. Resistensi ini tidak hanya membahayakan individu yang sakit, tetapi juga mengancam kemampuan kita untuk mengobati infeksi di masa depan—sering disebut sebagai 'pandemi diam-diam'.
Untuk Strep throat, durasi pengobatan 10 hari (untuk Penicillin atau Amoxicillin) adalah non-negosiabel. Ini bukan tentang menghilangkan gejala, tetapi tentang memastikan bahwa setiap koloni S. pyogenes telah dimusnahkan. Bahkan jika gejala hilang pada hari ke-3, bakteri masih mungkin bersembunyi di jaringan tonsil. Jika bakteri ini dibiarkan hidup, potensi risiko Demam Rematik tetap ada, dan resistensi dapat berkembang.
Penting bagi pasien untuk memahami bahwa mereka harus mengonsumsi setiap pil sesuai resep, bahkan jika mereka merasa pulih sepenuhnya. Ini adalah kontribusi individu dalam perang global melawan resistensi.
Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin membawa bakteri S. pyogenes di tenggorokan (menjadi karier) tanpa menunjukkan gejala sakit. Biasanya, para karier ini tidak menular dan memiliki risiko sangat kecil untuk mengembangkan Demam Rematik. Dokter biasanya tidak merekomendasikan antibiotik untuk karier yang asimtomatik. Pengobatan hanya dipertimbangkan jika ada riwayat Demam Rematik di keluarga, atau jika terjadi wabah di komunitas tertutup.
Karena tingginya risiko resistensi dan minimnya manfaat jika infeksi bersifat viral, diagnosis yang cermat adalah jembatan yang menghubungkan sakit tenggorokan dengan kebutuhan antibiotik.
RADT adalah tes usap tenggorokan yang hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 5 hingga 10 menit di klinik atau ruang praktik dokter. Tes ini mencari antigen Strep pada spesimen swab tenggorokan.
Kultur tenggorokan melibatkan pengiriman sampel swab ke laboratorium dan menunggu pertumbuhan koloni bakteri. Hasil biasanya tersedia dalam 24 hingga 48 jam.
Pendekatan modern yang optimal adalah menggunakan RADT terlebih dahulu. Jika positif, segera mulai antibiotik. Jika negatif, keputusan untuk kultur lebih lanjut tergantung pada usia pasien dan skor klinis (Centor/McIsaac).
S. pyogenes, bakteri Gram-positif yang bergerak dalam rantai, memiliki beberapa faktor virulensi yang memungkinkannya menyebabkan infeksi dan komplikasi. Protein M adalah salah satu faktor virulensi yang paling penting, karena membantu bakteri melekat pada sel epitel tenggorokan dan menghambat fagositosis (pembersihan oleh sel imun). Protein M inilah yang juga memiliki kesamaan struktural dengan protein pada jaringan tubuh manusia (terutama jantung dan ginjal), memicu respons autoimun yang berujung pada Demam Rematik dan Glomerulonefritis. Antibiotik bekerja cepat untuk mengeliminasi bakteri ini sebelum respons autoimun sempat terpicu.
Penicillin secara spesifik menargetkan enzim yang disebut Transpeptidase, yang merupakan bagian dari kelompok Protein Pengikat Penicillin (PBP). Enzim ini bertanggung jawab untuk melakukan ikatan silang peptidoglikan, komponen esensial yang memberikan kekuatan struktural pada dinding sel bakteri. Ketika Penicillin terikat pada transpeptidase, pembentukan dinding sel baru terhambat. Karena bakteri terus tumbuh dan mencoba mereplikasi diri, dinding sel yang lemah ini pecah (lisis), membunuh bakteri secara efektif. Ini adalah mekanisme kerja yang sangat spesifik dan, yang terpenting untuk GAS, Penicillin terus mempertahankan efektivitasnya karena GAS belum mengembangkan mekanisme untuk memproduksi enzim Beta-Laktamase yang mampu menonaktifkan Penicillin.
Meskipun Penicillin sangat efektif, sekitar 10-20% kasus mengalami kegagalan pengobatan. Kegagalan ini jarang disebabkan oleh resistensi Penicillin sejati pada GAS. Penyebab yang lebih mungkin meliputi:
Anak-anak usia 5 hingga 15 tahun adalah kelompok yang paling berisiko tinggi terkena Strep throat dan komplikasi Demam Rematik. Diagnosis yang cepat sangat penting. Karena anak-anak lebih rentan terhadap infeksi virus (yang gejalanya sering tumpang tindih), tes diagnostik (RADT dan Kultur) menjadi wajib sebelum memulai antibiotik.
Amoxicillin seringkali lebih disukai daripada Penicillin V pada anak-anak karena formulanya lebih mudah diminum (sirup) dan dosisnya lebih mudah disesuaikan berdasarkan berat badan. Kepatuhan 10 hari pada anak-anak membutuhkan pengawasan ketat dari orang tua.
Pengobatan Strep throat pada ibu hamil sangat penting untuk mencegah penularan ke bayi baru lahir (meskipun jauh lebih jarang daripada Strep B). Penicillin atau Amoxicillin dianggap aman selama kehamilan dan merupakan pilihan utama. Jika alergi Penicillin, Makrolida seperti Azithromycin biasanya merupakan pilihan yang aman, meskipun konsultasi spesialis diperlukan.
Pasien dengan sistem kekebalan yang tertekan (misalnya, pasien HIV, pasien kemoterapi) mungkin menunjukkan gejala yang tidak khas atau lebih rentan terhadap komplikasi. Durasi pengobatan antibiotik mungkin perlu diperpanjang, dan pengawasan yang lebih ketat diperlukan. Penggunaan antibiotik berspektrum luas harus dihindari kecuali ada indikasi jelas dari kultur.
Mengingat sebagian besar sakit tenggorokan adalah virus, manajemen gejala adalah pilar utama pengobatan. Bahkan ketika antibiotik diresepkan untuk Strep throat, perawatan suportif membantu pasien merasa lebih nyaman saat obat bekerja.
NSAID (seperti Ibuprofen) dan Acetaminophen (Paracetamol) adalah agen lini pertama untuk meredakan nyeri tenggorokan dan demam. NSAID memiliki keuntungan tambahan yaitu mengurangi peradangan lokal pada jaringan tenggorokan.
Obat kumur air garam hangat (saline gargle) adalah cara kuno yang efektif untuk mengurangi pembengkakan dan menghilangkan iritasi. Lozenges (permen hisap tenggorokan) yang mengandung anestesi lokal (seperti benzocaine atau hexylresorcinol) dapat memberikan peredaan nyeri yang cepat dan sementara.
Minum cairan yang cukup sangat penting untuk mencegah dehidrasi, terutama jika pasien demam atau kesulitan menelan. Minuman hangat (teh dengan madu) dapat menenangkan tenggorokan. Penggunaan pelembap udara (humidifier) di kamar tidur dapat membantu mengurangi kekeringan mukosa yang memperburuk rasa sakit.
Catatan Mengenai Antibiotik: Perawatan suportif tidak pernah boleh menggantikan antibiotik jika diagnosis Strep positif, tetapi mereka bekerja bersama-sama untuk meningkatkan kenyamanan pasien.
Pentingnya menyelesaikan terapi antibiotik 10 hari berakar pada perlindungan terhadap patofisiologi kompleks komplikasi non-supuratif, khususnya Demam Rematik Akut (ARF). Jika bakteri Strep tidak dieliminasi tuntas, risiko ARF meningkat secara eksponensial.
ARF adalah penyakit autoimun yang dimediasi oleh kekebalan tubuh (immune-mediated disease). Ini terjadi karena fenomena yang disebut mimikri molekuler. Struktur Protein M pada S. pyogenes sangat mirip dengan protein tertentu yang ditemukan di jaringan tubuh manusia, terutama: Miosin (di jantung), keratin (di kulit), dan glikoprotein (di sendi).
Ketika sistem imun menghasilkan antibodi untuk menyerang Protein M Strep, antibodi ini secara tidak sengaja mulai menyerang jaringan tubuh sendiri karena kesamaan struktural. Organ yang paling sering dan paling parah diserang adalah jantung, menyebabkan Pankarditis (radang seluruh lapisan jantung). Peradangan jangka panjang pada katup mitral dan aorta menyebabkan kerusakan permanen, yang dikenal sebagai Penyakit Jantung Rematik (RHD).
Pengobatan antibiotik yang dimulai dalam 9 hari efektif menghentikan produksi antigen Strep dan memotong siklus respons imun ini, mencegah pengembangan ARF.
PSGN adalah komplikasi yang melibatkan ginjal, biasanya terjadi 10 hari setelah infeksi tenggorokan. Ini disebabkan oleh pembentukan kompleks imun (gabungan antigen Strep dan antibodi tubuh) yang tersangkut di glomerulus ginjal, memicu peradangan. Gejala khas termasuk hematuria (darah dalam urin), proteinuria, dan edema (pembengkakan).
Berbeda dengan ARF, antibiotik yang diberikan setelah infeksi Strep tidak secara konsisten terbukti mencegah PSGN. Namun, antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran jenis Strep yang nefrogenik dalam komunitas.
Peran dokter sangat vital. Dokter harus menahan diri untuk meresepkan antibiotik "hanya untuk berjaga-jaga" atau "untuk memuaskan pasien". Komunikasi harus berpusat pada edukasi bahwa: a) Antibiotik tidak akan membantu sakit tenggorokan viral; b) Penggunaan yang salah akan merugikan kesehatan pasien di masa depan (resistensi) dan kesehatan masyarakat.
Jika infeksi dipastikan virus, dokter harus menjelaskan bahwa gejala bisa berlangsung 7-10 hari dan memberikan rencana manajemen gejala yang jelas.
Jika pasien telah menyelesaikan kursus antibiotik 10 hari namun gejala sakit tenggorokan kembali dalam beberapa minggu, ini dapat mengindikasikan:
Pada kasus kambuh, dokter akan melakukan tes Strep ulang. Jika tes positif, antibiotik lini kedua mungkin diresepkan, seperti Clindamycin atau Amoxicillin/Clavulanate, untuk mengatasi kemungkinan adanya bakteri pelindung.
Meskipun antibiotik adalah senjata utama melawan Strep, langkah pencegahan dapat membatasi kebutuhan pengobatan:
Terdapat perdebatan berkelanjutan dalam komunitas medis mengenai keseimbangan antara pengobatan cepat dan penghematan antibiotik. Konsep Stewardship Antibiotik (Pengelolaan Antibiotik) berusaha memastikan bahwa antibiotik digunakan hanya jika diperlukan, dengan dosis yang tepat, dan durasi yang optimal.
Di banyak negara maju, praktik 'Test and Treat' adalah wajib: tes harus positif sebelum resep diberikan. Namun, di lingkungan sumber daya terbatas atau di mana akses ke pengujian lab cepat sulit, terkadang dokter terpaksa memberikan 'Empirical Treatment' (pengobatan berdasarkan dugaan kuat klinis), terutama jika skor Centor/McIsaac sangat tinggi dan komplikasi Strep (Demam Rematik) masih merajalela.
Meskipun praktik empiris dapat menyelamatkan nyawa dari komplikasi, praktik ini juga meningkatkan total konsumsi antibiotik di masyarakat, sehingga memicu lebih banyak resistensi secara keseluruhan. Prinsip etis modern condong pada: lebih baik menunda pengobatan 48 jam untuk mendapatkan hasil kultur (standar emas) daripada memberikan Penicillin yang tidak perlu.
Masa depan pengelolaan Strep throat mungkin tidak melibatkan antibiotik sama sekali. Pengembangan vaksin yang efektif melawan Streptococcus pyogenes sedang dilakukan. Vaksin ini biasanya menargetkan Protein M yang bervariasi. Jika vaksin Strep A berhasil diproduksi dan diimplementasikan secara luas, beban penyakit dan kebutuhan akan antibiotik lini pertama akan berkurang secara signifikan, sehingga sangat membantu upaya global melawan resistensi.
Resistensi bukan hanya masalah klinis; ini adalah masalah ekonomi makro. Ketika Penicillin tidak lagi bekerja, dokter terpaksa beralih ke obat yang lebih mahal, lebih berspektrum luas, dan lebih banyak efek samping (seperti Vancomycin atau Ceftriaxone). Peningkatan biaya pengobatan infeksi yang dulunya sederhana dapat melumpuhkan sistem kesehatan, terutama di negara-negara berkembang.
Setiap resep antibiotik yang diberikan untuk sakit tenggorokan viral adalah kontribusi kecil, tetapi kumulatif, terhadap kerugian ekonomi dan sosial yang masif ini.
Antibiotik adalah salah satu penemuan terbesar dalam sejarah kedokteran, namun kekuatannya bergantung pada penggunaannya yang bijaksana. Dalam konteks infeksi tenggorokan, antibiotik adalah penyelamat yang tak tergantikan—tetapi hanya jika infeksi tersebut disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes.
Tindakan yang bertanggung jawab—yaitu, mencari diagnosis yang akurat melalui tes sebelum meminta atau meresepkan antibiotik—adalah tindakan medis dan etika yang paling penting. Bagi pasien, kepatuhan absolut terhadap jadwal 10 hari pengobatan adalah wajib, bukan pilihan, untuk menjamin eliminasi bakteri, mencegah komplikasi serius seperti Demam Rematik, dan melindungi efektivitas obat-obatan vital ini untuk generasi mendatang.
Kesehatan tenggorokan yang optimal dimulai dari diagnosis yang tepat dan penggunaan obat yang bijak.