Representasi visual dari alat distilasi sederhana yang menjadi inti dari produksi Arak GGH.
Arak, sebagai minuman distilasi tradisional yang berakar kuat dalam sejarah dan budaya kepulauan Nusantara, jauh melampaui sekadar minuman beralkohol. Ia adalah manifestasi dari kearifan lokal, teknologi kuno, dan sistem sosial yang terjalin erat. Di tengah berbagai varian arak yang ada, istilah “Arak GGH” sering kali mengacu pada sebuah kualitas premium atau metode pembuatan yang sangat spesifik, menghadirkan kompleksitas rasa dan tingkat kemurnian yang tinggi, menjadikannya sebuah entitas yang patut dihormati dan dipelajari.
Artikel ini akan membawa kita menelusuri seluk-beluk Arak GGH—mulai dari sejarahnya yang membentang ribuan tahun, bahan baku utama yang diperlakukan dengan penuh penghormatan, proses distilasi yang menuntut ketelitian artistik, hingga perannya yang tak tergantikan dalam ritual keagamaan dan ekonomi masyarakat setempat. Memahami Arak GGH berarti memahami sebuah segmen penting dari identitas kuliner dan budaya Indonesia yang kaya.
Distilasi, atau penyulingan, bukanlah praktik baru di Asia Tenggara. Jejak historis menunjukkan bahwa teknik memisahkan cairan ini telah dikenal di Nusantara bahkan sebelum kedatangan pengaruh Eropa secara masif. Arak, dalam konteks ini, adalah hasil evolusi panjang dari proses fermentasi nira (gula cair dari pohon kelapa atau lontar) atau beras, yang kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui panas dan pendinginan.
Kata "Arak" sendiri memiliki akar linguistik yang kuat di Timur Tengah dan Asia Selatan, dari bahasa Arab ‘araq’ (عرق) yang berarti 'keringat' atau 'getah', yang secara metaforis merujuk pada proses tetesan distilasi. Meskipun terminologi ini diadaptasi, praktik penyulingan bahan lokal sudah ada. Di Bali, misalnya, arak telah menjadi bagian integral dari sistem kepercayaan dan upacara sejak zaman kerajaan kuno, jauh sebelum teknologi distilasi modern diperkenalkan.
Arak GGH, dalam konteks sejarah, mungkin merujuk pada produk yang dihasilkan dengan standar ketat (seperti Gula, Garam, Halus—meskipun ini adalah interpretasi modern), yang membedakannya dari arak kualitas rendah atau arak oplosan yang muncul akibat industrialisasi. Arak tradisional GGH selalu mempertahankan kemurnian bahan baku dan metode penyulingan yang tidak terburu-buru.
Di banyak wilayah, terutama Bali dan beberapa bagian Jawa Timur, Arak bukan sekadar komoditas rekreasi. Ia memiliki fungsi sakral. Dalam upacara adat Hindu Dharma di Bali, Arak (bersama tuak dan berem) adalah bagian dari persembahan Bhuta Yadnya, yang ditujukan untuk menyeimbangkan alam semesta dan menenangkan energi negatif. Penggunaan Arak dalam ritual ini mensyaratkan kemurnian tertentu, yang mana Arak GGH idealnya penuhi. Cairan ini berfungsi sebagai sarana penghubung antara dunia manusia dan spiritual, digunakan untuk menyucikan, memberkati, atau bahkan sebagai obat tradisional.
Tingginya kadar alkohol dan kemurniannya membuat Arak GGH menjadi pilihan utama dalam ritual. Arak ini dipercaya membawa kekuatan spiritual yang lebih besar, dan kesalahan dalam proses pembuatannya dianggap bisa membawa kesialan. Oleh karena itu, para perajin Arak GGH sering kali melakukan ritual penyucian sebelum dan sesudah proses distilasi, menunjukkan betapa dalamnya integrasi minuman ini dengan filosofi hidup lokal.
Kualitas Arak GGH sangat ditentukan oleh bahan baku dan teknik fermentasi pra-distilasi. Tidak seperti spirit industri yang menggunakan bahan baku murni gula tebu, Arak GGH selalu mengutamakan nira (kelapa, lontar, atau siwalan) atau beras ketan pilihan, dipadukan dengan ragi alami yang diwariskan turun-temurun.
Di daerah pesisir, sumber utama fermentasi adalah nira kelapa. Proses pengambilan nira harus dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore, oleh para pemanjat yang ahli. Kualitas nira dipengaruhi oleh musim, usia pohon, dan metode penampungan. Untuk Arak GGH premium, nira harus dikumpulkan saat kondisinya paling manis dan segar, tanpa kontaminasi. Setelah nira dikumpulkan, ia akan segera menjalani proses fermentasi alami.
Fermentasi nira ini adalah tahap krusial. Nira secara alami mengandung ragi liar. Namun, banyak produsen GGH juga menambahkan ragi spesifik atau starter (sering disebut cikal atau laru) yang dibuat dari campuran beras, rempah, dan bubuk ragi tradisional. Starter ini memastikan proses fermentasi berjalan konsisten, mengubah gula menjadi etanol. Proses ini bisa memakan waktu 3 hingga 7 hari, tergantung suhu lingkungan dan tingkat kemanisan nira.
Di beberapa sentra produksi Arak GGH yang lebih mengandalkan hasil bumi pedalaman, beras ketan hitam atau putih digunakan sebagai substrat. Beras ini dimasak, didinginkan, dan kemudian dicampur dengan Ragi Tape (ragi tradisional yang mengandung jamur dan bakteri). Proses sakarifikasi (pengubahan pati menjadi gula) dan fermentasi (pengubahan gula menjadi alkohol) terjadi secara simultan. Spirit yang dihasilkan dari beras ketan cenderung memiliki profil rasa yang lebih kaya, lebih "berat," dan kadang-kadang sedikit lebih manis dibandingkan yang berasal dari nira.
Filosofi di balik pemilihan bahan baku Arak GGH adalah kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Produksi tidak boleh menggunakan bahan kimia tambahan, pemanis buatan, atau akselerator fermentasi. Kecepatan dikorbankan demi kualitas dan keotentikan rasa yang mencerminkan asal muasal bahan tersebut.
Yang paling membedakan Arak GGH dari arak biasa adalah proses penyulingan yang teliti dan sering kali dilakukan secara berulang. Distilasi adalah seni mengendalikan panas dan suhu untuk memisahkan etanol dari air dan metanol berbahaya.
Sebagian besar produsen Arak GGH masih menggunakan alat distilasi tradisional, umumnya terbuat dari tembaga atau kombinasi drum stainless steel dan tembaga. Tembaga sangat disukai karena kemampuannya bereaksi dengan senyawa sulfur yang tidak diinginkan dalam spirit, menghasilkan produk yang lebih bersih dan lembut di lidah. Tungku pemanas biasanya menggunakan kayu bakar atau arang, yang memerlukan kontrol suhu yang sangat manual dan intensif.
Desain alat distilasi GGH sering kali sangat sederhana: bejana fermentasi (kukusan), pipa kondensasi yang melingkar (sering didinginkan menggunakan air mengalir), dan wadah penampung. Kesederhanaan ini menuntut keahlian penyuling yang tinggi, yang harus mengandalkan indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran untuk menentukan kapan proses harus diubah atau dihentikan.
Untuk mencapai kemurnian yang dikaitkan dengan label GGH, seringkali proses penyulingan dilakukan dua hingga tiga kali. Ini adalah titik kunci yang meningkatkan kadar alkohol (ABV) sekaligus menghilangkan senyawa volatil yang tidak diinginkan, terutama metanol yang berbahaya.
Cairan hasil fermentasi (wine atau wash) dipanaskan perlahan. Hasil distilasi pertama ini, sering disebut low wine, memiliki kadar alkohol sekitar 25% hingga 35%. Tujuannya adalah memisahkan sebagian besar air. Spirit ini masih kasar dan beraroma kuat.
Low wine dicampur kembali dan disuling lagi. Pada tahap ini, penyulingan harus sangat hati-hati, melakukan pemotongan atau 'cuts' untuk memisahkan spirit berdasarkan suhu dan titik didihnya.
Untuk Arak GGH premium, distilasi ketiga mungkin dilakukan. Tujuannya adalah mencapai kemurnian optimal, seringkali hingga 50-60% ABV, dengan rasa yang sangat bersih. Distilasi ketiga ini memastikan semua kotoran sisa telah dikeluarkan, meninggalkan spirit yang lembut dan kompleks.
Pemotongan (Cuts) adalah langkah paling penting dan paling berbahaya. Distilasi menghasilkan tiga fraksi utama:
Perajin GGH yang berpengalaman hanya akan menggunakan 'Badan' murni, memastikan keamanan dan kualitas tertinggi, yang merupakan ciri khas produk premium ini.
Tidak ada satu pun rasa Arak GGH. Rasanya sangat dipengaruhi oleh terroir (lingkungan lokal), bahan baku spesifik, dan yang semakin penting: proses pematangan atau aging.
Secara tradisional, Arak segera dikonsumsi setelah distilasi. Namun, seiring meningkatnya permintaan untuk spirit premium, banyak produsen GGH mulai melakukan pematangan di tong kayu. Pematangan ini memberikan dimensi baru:
Penyimpanan Arak GGH dalam tong kayu jati lokal, atau bahkan tong bekas wine/bourbon, selama beberapa bulan atau tahun, menghasilkan Arak Aged. Spirit ini mengambil warna emas gelap, kelembutan yang lebih baik, dan menambahkan kompleksitas rasa seperti kayu manis, cengkeh, atau karamel. Proses aging ini adalah inovasi penting yang mendorong Arak GGH sejajar dengan spirit premium internasional lainnya.
Tong kayu bertindak sebagai filter alami dan memungkinkan oksigen masuk ke spirit dalam jumlah kecil, yang membantu menghilangkan kekasaran alkohol. Hasilnya adalah minuman yang jauh lebih halus, yang kehilangan karakteristik "pedas" dari arak yang baru keluar dari penyulingan.
Meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, Arak tradisional menghadapi tantangan besar, terutama terkait legalitas, standarisasi, dan isu keamanan konsumen.
Masalah paling serius yang dihadapi industri Arak adalah metanol. Metanol (atau spirit kayu) diproduksi secara alami selama fermentasi dan terkonsentrasi di fraksi 'Kepala' selama distilasi. Ketika proses distilasi dilakukan terburu-buru atau oleh produsen yang tidak bertanggung jawab (seringkali untuk memotong biaya dan waktu), metanol ini tidak dibuang, menyebabkan keracunan serius.
Arak GGH yang otentik adalah solusi terhadap masalah ini, karena prosedur GGH (mengasumsikan interpretasi "Halus" atau "Murni") menekankan pada pemotongan Kepala yang ketat, seringkali diulang dua hingga tiga kali. Konsumen yang mencari Arak GGH mencari jaminan bahwa proses keamanan dan kemurnian telah dipatuhi, seringkali melalui sertifikasi dan pengujian laboratorium.
Selama beberapa dekade, produksi Arak tradisional sering berada di zona abu-abu hukum. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah, terutama di Bali, telah mengambil langkah signifikan untuk melegalkan dan meregulasi Arak sebagai produk warisan budaya. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi perajin lokal, menjamin kualitas produk, dan mempromosikannya sebagai komoditas pariwisata yang aman.
Standarisasi yang diusung oleh pemerintah mendorong produsen Arak GGH untuk mendaftarkan produk mereka, menjalani inspeksi sanitasi, dan yang paling penting, melakukan pengujian kadar metanol secara rutin. Langkah ini adalah kunci untuk membedakan Arak GGH yang aman dan berkualitas dari produk ilegal di pasar gelap.
Langkah selanjutnya untuk Arak GGH adalah penetapan Indikasi Geografis (IG). Sama seperti Cognac atau Tequila yang dilindungi oleh wilayah pembuatannya, Arak GGH dari lokasi spesifik (misalnya, dari Karangasem atau Tabanan di Bali, yang terkenal dengan nira terbaik) berpotensi mendapatkan perlindungan IG. Hal ini tidak hanya melindungi perajin dari pemalsuan tetapi juga meningkatkan harga dan citra produk di pasar internasional.
Arak GGH, dengan penekanan pada proses otentik dan kemurnian tinggi, sangat layak untuk mendapatkan perlindungan ini. Ini akan memastikan bahwa hanya arak yang diproduksi dengan metode tradisional, menggunakan bahan baku lokal, dan melalui proses penyulingan yang terjamin keamanannya yang boleh menggunakan nama premium ini.
Produksi Arak GGH adalah tulang punggung ekonomi bagi banyak komunitas pedesaan di daerah produsen kelapa dan lontar. Dampak ekonominya meluas dari petani nira hingga perajin penyulingan dan industri pariwisata.
Industri Arak bersifat padat karya. Ia melibatkan banyak tahapan, dari pemanjat nira, pembuat ragi, penyuling, hingga pengemas. Bagi masyarakat yang bergantung pada pertanian subsisten, penjualan nira atau Arak GGH memberikan sumber pendapatan tunai yang stabil. Dengan adanya permintaan akan Arak GGH premium, terjadi dorongan untuk mempertahankan metode tradisional yang lebih memakan waktu tetapi menghasilkan spirit yang lebih bernilai jual.
Peningkatan legalitas dan popularitas telah memungkinkan para perajin untuk berinvestasi dalam peralatan yang lebih aman dan efisien, meskipun tetap mempertahankan esensi tradisional. Hal ini menciptakan siklus positif: kualitas yang lebih baik menghasilkan harga yang lebih baik, yang kemudian dapat diinvestasikan kembali dalam keamanan dan praktik berkelanjutan.
Di dunia pariwisata modern, Arak GGH mulai bertransformasi dari sekadar minuman keras lokal menjadi spirit premium yang dicari di bar-bar kelas atas. Bartender dan mixologist mulai mengakui keunikan profil rasa Arak GGH.
Arak GGH, karena kemurniannya, sangat serbaguna dalam koktail. Ia bisa menggantikan vodka atau rum dalam beberapa resep, tetapi dengan sentuhan terroir Indonesia yang khas. Munculnya koktail Arak GGH yang dicampur dengan rempah lokal (seperti kunyit, jahe, atau serai) telah menjadi daya tarik kuliner baru bagi wisatawan. Ini memposisikan Arak GGH bukan hanya sebagai produk konsumsi, tetapi sebagai duta gastronomi Indonesia.
Sektor pariwisata juga mulai menawarkan tur penyulingan Arak GGH tradisional, di mana wisatawan dapat menyaksikan seluruh proses dari pengambilan nira hingga distilasi akhir. Pengalaman ini memberikan apresiasi yang lebih dalam terhadap kerja keras dan kearifan lokal yang terkandung dalam setiap tetes Arak.
Di luar aspek ekonomi dan produksi, Arak GGH memiliki dimensi spiritual dan filosofis yang mendalam, terutama di Bali, tempat tradisi distilasi ini paling berakar.
Filosofi hidup masyarakat Bali, Tri Hita Karana (tiga penyebab keharmonisan), sangat terlihat dalam produksi Arak GGH. Prinsip-prinsip ini mencakup:
Oleh karena itu, Arak GGH bukan hanya produk akhir, tetapi hasil dari sebuah proses yang secara etis dan spiritual seimbang.
Dalam proses distilasi, ada simbolisme yang kuat terkait dengan panas dan dingin. Pemanasan yang terkontrol (api di tungku) melambangkan energi kreatif dan pemurnian, sementara pendinginan (air di kondenser) melambangkan kebijaksanaan dan penangkapan esensi. Hanya dengan keseimbangan antara keduanya, spirit murni dapat lahir. Filosofi ini mencerminkan kebutuhan manusia untuk menyeimbangkan antara gairah dan rasionalitas dalam hidup.
Agar Arak GGH dapat bertahan dan bersaing di pasar global, industri ini harus merangkul inovasi sambil tetap menjunjung tinggi tradisi. Keberlanjutan adalah kunci utama.
Salah satu kritik terhadap produksi Arak tradisional adalah penggunaan kayu bakar yang besar dan tidak efisien. Masa depan Arak GGH premium membutuhkan transisi menuju sumber energi yang lebih bersih, seperti gas atau listrik, atau minimal, tungku yang sangat efisien yang mengurangi emisi asap dan penggunaan kayu.
Selain itu, praktik pertanian yang berkelanjutan untuk nira dan beras juga harus diperkuat. Petani perlu didukung untuk tidak menggunakan pestisida dan menjaga kesehatan pohon-pohon yang menjadi sumber bahan baku utama Arak GGH.
Keahlian membuat Arak GGH adalah keahlian yang diwariskan secara lisan dan praktik. Agar tradisi ini tidak hilang, diperlukan program pendidikan formal dan informal untuk perajin muda. Pelatihan tidak hanya mencakup teknik distilasi kuno, tetapi juga sanitasi modern, manajemen kualitas, dan pengujian metanol yang aman. Dengan menggabungkan kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern, Arak GGH dapat menjamin konsistensi kualitas yang dibutuhkan pasar global.
Generasi muda perajin Arak GGH diharapkan dapat membawa spirit ini ke tingkat berikutnya, tidak hanya mempertahankan warisan, tetapi juga bereksperimen dengan teknik aging dan variasi rasa baru yang tetap menghormati akar tradisional.
Memahami Arak GGH secara ilmiah memerlukan analisis komposisi kimianya. Perbedaan antara Arak GGH premium dan Arak biasa terletak pada kadar non-etanolik yang sangat minim, yang biasa disebut sebagai congeners. Congeners ini adalah senyawa yang memberikan rasa (atau rasa tidak enak) dan aroma pada spirit.
Saat distilasi, spirit menghasilkan berbagai aldehida (seperti asetaldehida), ester, dan alkohol tingkat tinggi. Dalam Arak kualitas rendah, senyawa ini seringkali berlebihan, memberikan aroma "ketus" atau rasa yang keras dan menyebabkan mabuk yang lebih parah. Arak GGH, melalui proses distilasi tiga kali dan pemotongan yang teliti, memiliki kadar aldehida dan ester yang sangat rendah, sehingga spirit terasa lebih "bersih" dan lembut.
Ester, khususnya etil asetat, memberikan aroma seperti aseton atau pernis. Jika jumlahnya dikontrol, ia bisa menyumbang kompleksitas. Namun, Arak GGH bertujuan untuk meminimalkan ester berlebihan untuk menonjolkan rasa murni dari bahan baku dasarnya (nira atau beras). Pengujian laboratorium menunjukkan bahwa Arak GGH memiliki profil konjener yang lebih mirip dengan spirit putih kualitas tinggi seperti Vodka atau Gin dasar, tetapi dengan karakteristik rasa yang unik dari substrat tropis.
Meskipun Arak GGH premium memiliki ABV yang tinggi (hingga 50-60% setelah distilasi), banyak produsen akan mengencerkannya sedikit dengan air untuk mencapai kadar yang ideal untuk minum (sekitar 40-45%). Air yang digunakan harus sangat murni. Di kawasan tradisional, air yang diambil dari mata air alami atau air sumur yang disucikan sering kali digunakan, bukan hanya karena tradisi tetapi juga karena kandungan mineralnya yang rendah, yang tidak akan mengganggu kemurnian rasa Arak.
Kualitas air adalah faktor yang sering diabaikan. Air dengan kandungan mineral tinggi dapat menyebabkan Arak menjadi keruh (chill haze) ketika didinginkan. Arak GGH premium harus tetap bening kristal, baik pada suhu ruang maupun dingin.
Untuk menghargai Arak GGH seutuhnya, penting untuk membandingkannya dengan spirit distilasi lain di seluruh dunia. Spirit ini sering disamakan dengan spirit berbasis gula atau pati lainnya, namun memiliki keunikan tersendiri.
Jika Arak GGH dibuat dari nira kelapa yang merupakan produk olahan gula, ia sering dibandingkan dengan Rum atau Cachaça, yang dibuat dari molase atau sari tebu. Namun, Arak GGH tradisional jarang mengalami proses pematangan yang intensif seperti Rum, dan profil rasanya lebih kering serta mineral daripada manis. Distilasi ulangnya (GGH standard) juga membuatnya lebih murni dibandingkan kebanyakan Cachaça artisan.
Ketika Arak GGH dibuat dari beras (terutama beras ketan), ia memiliki kemiripan dengan Shochu Jepang atau Soju Korea. Perbedaannya terletak pada ragi yang digunakan. Arak menggunakan ragi tape tradisional Indonesia yang mengandung bakteri dan jamur yang berbeda, menghasilkan profil rasa yang unik, seringkali lebih beraroma tanah (earthy) dan kurang netral dibandingkan Soju modern.
Terlepas dari perbandingan, Arak GGH harus dipandang sebagai kategori spiritnya sendiri. Ia adalah hasil dari sistem pertanian tropis yang unik (kelapa dan lontar), teknik distilasi yang dikembangkan secara lokal (seringkali menggunakan api kayu bakar), dan yang terpenting, nilai sakral dan budaya yang melekat. Spirit lain mungkin murni atau beraroma, tetapi Arak GGH membawa serta narasi ritual dan kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh spirit distilasi lainnya.
Pengembangan Arak GGH ke pasar internasional memerlukan strategi branding yang kuat yang menekankan otentisitas, keamanan, dan warisan budaya.
Branding Arak GGH harus berfokus pada kisah di baliknya: proses yang memakan waktu lama, pemotongan ketat untuk keamanan, dan peran dalam upacara. Konsumen spirit premium global menghargai narasi, dan kisah Arak GGH—tentang pemurnian spiritual dan artisan tradisional—adalah aset besar. Setiap botol harus membawa informasi yang jelas mengenai sumber bahan baku dan metode penyulingan (misalnya, "Triple Distilled from Lontar Sap").
Untuk memerangi stigma metanol, produsen Arak GGH premium harus menggunakan teknologi otentikasi. Ini bisa berupa kode QR pada botol yang memungkinkan konsumen memindai dan melihat laporan pengujian laboratorium yang menunjukkan kadar metanol berada di bawah batas aman. Transparansi adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan dan memposisikan Arak GGH sebagai spirit yang aman dan berharga.
Pemanfaatan label GGH (sebagai standar kualitas) harus dipertahankan secara ketat oleh asosiasi perajin. Ini menciptakan sebuah kategori spirit, mirip dengan label "VSOP" atau "Single Malt," yang menunjukkan kualitas superior dan ketaatan pada proses tradisional yang aman.
Setelah distilasi dan pematangan (jika ada), proses paskadistilasi harus dilakukan dengan cermat untuk memastikan Arak GGH sampai ke tangan konsumen dalam kondisi terbaik.
Arak yang baru disuling mungkin memiliki ABV terlalu tinggi. Proses pengenceran menggunakan air murni harus dilakukan perlahan untuk mencegah spirit "terkejut" dan mempertahankan kejernihan. Setelah diencerkan, spirit sering kali disaring. Produsen GGH mungkin memilih untuk menggunakan filter karbon aktif ringan. Tujuannya bukan untuk menghilangkan rasa sepenuhnya (seperti pada vodka), tetapi untuk menghilangkan jejak residu berminyak yang mungkin lolos dari proses distilasi, memastikan kejernihan yang sempurna.
Botol Arak GGH premium harus mencerminkan nilai yang dipegangnya. Desain botol seringkali menggabungkan elemen tradisional Indonesia—ukiran, simbol budaya, atau bentuk yang terinspirasi dari alat penyulingan kuno—dengan estetika modern yang ramping. Kemasan harus melindungi spirit dari cahaya matahari dan mencantumkan informasi penting: ABV yang akurat, sumber bahan baku, dan label kualitas GGH.
Pengemasan yang baik juga mencerminkan penghormatan terhadap spirit di dalamnya. Botol Arak GGH bukanlah sekadar wadah, melainkan representasi visual dari warisan yang panjang dan proses pembuatan yang teliti.
Arak GGH adalah lebih dari sekadar minuman keras lokal; ia adalah simfoni budaya, sejarah, dan ketelitian artisan. Dari pengambilan nira di pucuk pohon, melalui proses fermentasi yang dibantu ragi alami, hingga distilasi berulang yang memastikan kemurnian dan keamanan, setiap langkah produksi Arak GGH adalah sebuah ritual yang sarat makna. Ia merangkum hubungan erat masyarakat Nusantara dengan alam dan tradisinya.
Di tengah modernisasi dan tantangan regulasi, Arak GGH berdiri sebagai pengingat akan pentingnya kearifan lokal. Dengan dukungan regulasi yang tepat, komitmen terhadap keamanan konsumen, dan inovasi yang menghormati tradisi, Arak GGH memiliki potensi besar untuk tidak hanya bertahan sebagai warisan, tetapi juga bersinar sebagai spirit premium Indonesia di panggung dunia, membawa rasa otentik dari kepulauan tropis ke setiap tegukan.
Masa depan Arak GGH terletak pada kemampuan perajin untuk terus menceritakan kisah mereka—kisah tentang api yang terkontrol, air yang murni, dan spirit yang lahir dari tradisi yang tak terputus.