Simbol Gerakan Mahasiswa dan Semangat Perubahan 1966.
Nama Arief Rachman Hakim mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh besar pendiri bangsa, namun dalam narasi sejarah Indonesia modern, khususnya periode transisi krusial dari Orde Lama menuju Orde Baru, namanya terukir sebagai titik balik yang menentukan. Ia adalah seorang mahasiswa, anggota Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang keberaniannya dibayar mahal dengan nyawa, mengubahnya dari seorang aktivis menjadi martir politik. Gugurnya Arief Rachman Hakim pada 24 Februari 1966 di tengah gejolak demonstrasi menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) bukan sekadar insiden tragis; ia adalah pemicu ledakan emosi publik yang mempercepat runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno yang saat itu tengah sakit-sakitan dan dikelilingi oleh ketidakstabilan politik yang akut.
Memahami peran Arief Rachman Hakim membutuhkan konteks mendalam mengenai situasi Indonesia pada pertengahan dekade 1960-an. Saat itu, negara berada di ambang kehancuran ekonomi dan politik. Kebijakan konfrontasi yang boros, hiperinflasi yang mencapai ratusan persen, dan dominasi politik oleh poros Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) telah menciptakan ketidakpuasan yang meluas di berbagai lapisan masyarakat, terutama di kalangan intelektual dan mahasiswa. Arief Rachman Hakim, sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), berada di episentrum kemarahan kaum muda terpelajar yang menolak warisan politik kekacauan.
Periode 1963 hingga 1965 merupakan masa yang sangat kompleks bagi Republik Indonesia. Presiden Sukarno, dengan konsep Demokrasi Terpimpin, memegang kendali penuh atas pemerintahan, didukung oleh militer (khususnya Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keseimbangan yang rapuh ini hancur total pasca-peristiwa G30S, meninggalkan kekosongan kekuasaan dan perseteruan ideologi yang mendalam. Meskipun Sukarno berusaha mempertahankan kabinetnya dan kebijakan Orde Lama, legitimasi politiknya telah terkikis habis.
Mahasiswa, yang pada dasarnya adalah kelompok non-partisan yang didorong oleh idealisme, melihat momentum ini sebagai panggilan moral. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan negara dari kehancuran ekonomi dan infiltrasi ideologi yang dianggap merusak. Pembentukan berbagai kesatuan aksi—KAMI (Mahasiswa), KAPPI (Pelajar), KASI (Sarjana), KAWI (Wanita), dan lain-lain—adalah manifestasi nyata dari perlawanan sipil terhadap status quo.
Tuntutan mahasiswa tidak muncul dari kekosongan. Tuntutan tersebut adalah respons langsung terhadap kegagalan pemerintah Orde Lama. Pada dasarnya, Tritura yang dideklarasikan pada 12 Januari 1966 merangkum tiga pilar utama yang dianggap fundamental bagi restorasi nasional. Tiga tuntutan tersebut, yang kemudian menjadi slogan abadi Gerakan 66, adalah:
Gerakan Tritura ini bukan sekadar protes pinggir jalan; ia adalah upaya terorganisasi dan masif yang melibatkan ribuan orang, memblokade jalan, menduduki gedung pemerintahan, dan secara terbuka menantang otoritas Presiden Sukarno. Dalam suasana yang tegang dan penuh ancaman kekerasan inilah Arief Rachman Hakim muncul sebagai salah satu tokoh garis depan.
Arief Rachman Hakim adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia. Latar belakangnya di FK UI menempatkannya dalam lingkungan yang secara tradisional memiliki kesadaran sosial dan politik yang tinggi. Pada masa itu, mahasiswa kedokteran sering kali dihormati karena dianggap sebagai calon profesional yang akan membangun masa depan bangsa, sehingga partisipasi mereka dalam aksi politik memiliki bobot moral yang signifikan.
Setelah meletusnya tragedi September 1965, KAMI dibentuk sebagai wadah koordinasi bagi berbagai organisasi mahasiswa untuk menyatukan kekuatan perlawanan. Arief Rachman Hakim aktif di dalam struktur KAMI. Ia dikenal sebagai sosok yang berani, teguh pada pendirian, dan memiliki integritas yang kuat. Dalam lingkungan mahasiswa, keberaniannya untuk berada di barisan terdepan dalam setiap demonstrasi menjadi legenda yang tersebar cepat.
Aksi-aksi KAMI dan KAPPI pada awal 1966 semakin intensif. Setelah Deklarasi Tritura, pemerintah Orde Lama mencoba meredam gerakan tersebut dengan berbagai cara, termasuk ancaman dan penangkapan. Namun, tekanan dari mahasiswa tak terbendung. Mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk menggulingkan rezim yang kaku adalah dengan mobilisasi massa yang besar dan berkelanjutan.
Pada bulan Januari dan Februari 1966, jalanan Jakarta menjadi medan pertempuran ideologi dan fisik. Mahasiswa sering berhadapan langsung dengan pasukan pengamanan yang loyal kepada Sukarno, atau bahkan dengan elemen-elemen pro-Orde Lama yang masih tersisa. Setiap demonstrasi adalah pertaruhan nyawa. Meskipun situasi sangat berbahaya, semangat idealisme yang diusung oleh Arief Rachman Hakim dan rekan-rekannya jauh lebih besar daripada rasa takut.
KAMI mendesak percepatan perombakan kabinet. Pada 21 Februari 1966, Sukarno mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora yang baru, namun hasilnya jauh dari harapan mahasiswa. Kabinet baru tersebut masih mencantumkan nama-nama yang dianggap pro-komunis atau setidaknya tidak dapat dipercaya untuk melakukan reformasi total. Reaksi mahasiswa adalah kemarahan yang memuncak. Mereka menganggap perombakan itu hanyalah kosmetik belaka, sebuah taktik untuk mengulur waktu.
Kegagalan Sukarno dalam merespons tuntutan perombakan kabinet secara substansial memicu demonstrasi besar-besaran yang puncaknya terjadi pada Kamis, 24 Februari 1966. Mahasiswa dan pelajar, yang jumlahnya mencapai ribuan, bertekad untuk beraksi lebih keras dari sebelumnya. Target utama mereka adalah kompleks Istana Negara dan Istana Merdeka, pusat kekuasaan yang menjadi simbol keengganan rezim untuk berubah.
Pagi itu, Jakarta diselimuti ketegangan. Barisan mahasiswa bergerak menuju Istana. Mereka membawa spanduk-spanduk berisi kecaman keras terhadap kabinet baru yang dijuluki "Kabinet 100 Menteri" atau "Kabinet Bebek". Atmosfer di sekitar Istana sangat mencekam. Tentara dari Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa) dikerahkan untuk menjaga ketat kompleks istana.
Saat massa mencoba merangsek masuk dan semakin mendekati pagar kompleks Istana, terjadi bentrokan fisik yang tidak terhindarkan. Para pengunjuk rasa berusaha menjebol barikade, dan pasukan pengamanan merespons dengan keras. Bentrokan ini bukan hanya adu dorong; ini adalah konfrontasi politik yang sarat emosi.
Dalam kekacauan tersebut, sekitar pukul 11.00 WIB, suara tembakan terdengar. Arief Rachman Hakim berada di garis depan, memimpin rekan-rekannya. Ia tertembak di bagian kepala atau dada. Informasi historis bervariasi mengenai detail penembakan, namun konsensus umum menyebutkan bahwa tembakan tersebut dilepaskan oleh anggota Cakrabirawa atau pasukan pengamanan yang bertugas menjaga keamanan Istana.
Kematian Arief Rachman Hakim seketika. Tubuhnya yang tergeletak di tengah jalanan beton Jakarta menjadi pemandangan yang mengerikan bagi ribuan mahasiswa yang menyaksikannya. Insiden ini mengubah dinamika gerakan Tritura secara radikal. Jika sebelumnya aksi-aksi adalah demonstrasi politik, kini ia berubah menjadi pertarungan moral yang menuntut pertanggungjawaban atas darah yang tertumpah.
Tragedi 24 Februari bukan hanya mencabut nyawa seorang mahasiswa idealis; ia mencabut keraguan terakhir di benak masyarakat dan militer bahwa rezim Sukarno harus diakhiri. Arief Rachman Hakim menjadi simbol pengorbanan yang tak bisa diabaikan oleh kekuatan manapun di Jakarta.
Pihak militer yang pro-aksi, khususnya Jenderal Soeharto dan stafnya di Angkatan Darat, segera mengeksploitasi tragedi ini. Mereka memastikan bahwa berita kematian Arief Rachman Hakim tersebar luas, menyoroti kekerasan yang dilakukan oleh pasukan yang loyal kepada Sukarno. Meskipun detail pasti mengenai siapa penembak (individu) sering kali kabur dalam catatan sejarah resmi Orde Baru, yang jelas adalah pertanggungjawaban politik diletakkan sepenuhnya pada pemerintah Orde Lama.
Pemerintah Sukarno pada saat itu berusaha meredam insiden tersebut, bahkan mencoba menyangkal bahwa penembakan terjadi. Namun, dengan banyaknya saksi mata dari kalangan mahasiswa dan liputan media yang didominasi oleh kelompok anti-komunis, upaya meredam itu gagal total. Kematian ARH menjadi ‘bahan bakar’ yang membakar habis sisa-sisa dukungan terhadap Sukarno.
Gugurnya Arief Rachman Hakim memicu gelombang kemarahan yang tak terhingga. Dalam budaya politik Indonesia yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap pahlawan dan martir, kematian seorang mahasiswa yang berjuang demi rakyat adalah pukulan telak bagi legitimasi rezim.
Beberapa hari setelah insiden tersebut, demonstrasi semakin membesar. KAMI, yang kini memiliki martir, bergerak dengan moral yang jauh lebih tinggi. Pada 25 Februari, mahasiswa melakukan upacara duka dan sumpah untuk melanjutkan perjuangan. Tekanan ini memaksa Presiden Sukarno mengambil langkah drastis. Pada 26 Februari 1966, Sukarno mengeluarkan keputusan untuk membubarkan dan melarang KAMI, dengan alasan bahwa organisasi tersebut telah menimbulkan kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum.
Namun, pelarangan ini justru menjadi bumerang. Mahasiswa tidak gentar. Mereka hanya mengubah taktik. Meskipun KAMI dibubarkan secara resmi, semangat dan jaringan mereka tetap utuh. Aksi-aksi terus berlanjut di bawah bendera KAPPI (pelajar) atau organisasi aksi lainnya, seringkali dengan dukungan diam-diam dari Angkatan Darat.
Kematian Arief Rachman Hakim memiliki dampak psikologis yang luar biasa. Ia adalah pahlawan pertama yang gugur dalam perjuangan Tritura. Di mata mahasiswa dan rakyat, ia adalah simbol kemurnian idealisme yang dikorbankan oleh kekerasan negara. Ini menempatkan mahasiswa pada posisi moral superior. Mereka tidak lagi hanya menuntut reformasi; mereka menuntut pembalasan atas darah martir mereka.
Pemakaman ARH menjadi demonstrasi massa terbesar pada saat itu. Ribuan orang membanjiri jalanan, bukan hanya untuk menghormati jenazah, tetapi untuk menunjukkan bahwa gerakan mereka tidak akan mati bersama gugurnya seorang pemimpin. Slogan-slogan yang tadinya hanya berfokus pada ekonomi, kini juga berfokus pada keadilan dan penghapusan tirani.
Gelombang demonstrasi pasca-24 Februari 1966 sangat efektif dalam mengisolasi Sukarno. Para jenderal yang sebelumnya ragu untuk bertindak lebih jauh kini memiliki alasan kuat untuk meningkatkan tekanan. Mereka dapat menunjukkan kepada publik bahwa mereka melindungi rakyat dan mahasiswa dari kekerasan rezim.
Tragedi Arief Rachman Hakim tidak bisa dipisahkan dari konteks historis yang paling penting pada tahun 1966: lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Meskipun Supersemar secara formal dikeluarkan dua minggu setelah kematian ARH, peristiwa penembakan tersebut telah menciptakan kondisi yang matang bagi pergeseran kekuasaan yang dramatis.
Pada awal Maret, situasi di Jakarta hampir lumpuh total. Mahasiswa dan pelajar terus-menerus melakukan blokade, unjuk rasa, dan bahkan pengrusakan properti yang berhubungan dengan pejabat pro-Orde Lama. Kabinet Sukarno berada di ambang kehancuran. Tekanan militer yang dipimpin oleh Soeharto semakin intensif.
Kematian Arief Rachman Hakim memberikan legitimasi moral yang dibutuhkan Soeharto. Soeharto bisa tampil sebagai penyelamat ketertiban dan pelindung generasi muda. Ketika Sukarno merasa terancam dan terkunci secara politik, ia dipaksa untuk mencari solusi darurat.
Pada 11 Maret 1966, setelah sidang kabinet yang penuh gejolak di Istana Bogor, Sukarno mengeluarkan Supersemar kepada Letjen Soeharto. Meskipun substansi Supersemar hingga kini masih diperdebatkan—apakah itu penyerahan kekuasaan penuh atau hanya perintah pengamanan—dampaknya tidak terbantahkan. Supersemar secara efektif mengalihkan kekuasaan eksekutif harian kepada Soeharto.
Sangat mungkin, tanpa gelombang emosi dan demonstrasi massal yang dipicu oleh kematian Arief Rachman Hakim, Sukarno akan memiliki lebih banyak ruang untuk bermanuver dan menunda penyerahan wewenang. Darah ARH adalah pelumas yang mempercepat putaran roda sejarah, memaksa Sukarno menyerah pada kehendak Angkatan Darat yang didukung oleh kekuatan sipil mahasiswa.
Tindakan pertama Soeharto setelah menerima Supersemar adalah segera memenuhi tuntutan Tritura yang pertama: pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Ini adalah kemenangan besar bagi Gerakan 66, dan kemenangan tersebut dibayar mahal oleh pengorbanan Arief Rachman Hakim.
Setelah Orde Baru berkuasa, Arief Rachman Hakim diangkat menjadi pahlawan dan martir resmi. Kematiannya digunakan sebagai narasi utama untuk membenarkan transisi kekuasaan dan menjelekkan kekejaman Orde Lama. Simbolisme yang melekat pada namanya sangat kuat, menjadikannya ikon bagi generasi aktivis berikutnya.
Arief Rachman Hakim menjadi Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia. Gelar ini bukan hanya sekadar label; ia adalah fondasi moral bagi legitimasi gerakan KAMI dan Orde Baru awal. Pemerintah Orde Baru memastikan bahwa setiap peringatan Gerakan 66 selalu menyebut namanya. Jalan, fasilitas publik, dan bahkan auditorium di Universitas Indonesia diberi nama untuk menghormatinya.
Penggunaan simbolisme ARH oleh Orde Baru adalah upaya strategis untuk mengaitkan kekuasaan baru dengan idealisme murni mahasiswa. Selama bertahun-tahun, cerita ARH menjadi bagian dari kurikulum sejarah, mengajarkan generasi muda tentang pentingnya berjuang melawan 'tirani' dan 'kekejaman' yang diasosiasikan dengan Sukarno dan PKI.
Ironisnya, simbolisme ARH kemudian dimanfaatkan untuk tujuan yang mungkin tidak ia dukung sepenuhnya. Meskipun ia berjuang melawan otoritarianisme Orde Lama, rezim Orde Baru yang ia bantu dirikan juga tumbuh menjadi otoritarianisme yang mendiamkan kritik mahasiswa di tahun-tahun berikutnya.
Kematian Arief Rachman Hakim menanamkan tradisi bahwa aktivisme mahasiswa di Indonesia adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan tertinggi. Ia menetapkan standar keberanian dan keteguhan hati. Setiap gerakan mahasiswa besar setelah 1966, termasuk gerakan 1974 (Malari) dan puncaknya gerakan 1998 (Reformasi), selalu merujuk kembali pada keberanian Angkatan 66 dan pengorbanan ARH.
Gerakan 66 membuktikan bahwa mahasiswa, meskipun tanpa senjata atau kekuasaan politik formal, dapat menjadi kekuatan penyeimbang yang mampu menggulingkan rezim yang kuat. Warisan ARH adalah bahwa keberanian moral massa dapat mengalahkan kekuatan militer. Hal ini menciptakan preseden yang berlanjut dalam sejarah politik Indonesia, di mana mahasiswa selalu dipandang sebagai ‘moral force’ negara.
Untuk benar-benar mengapresiasi signifikansi Arief Rachman Hakim, kita perlu melihat lebih jauh ke dalam suasana sosio-kultural yang melingkupi Jakarta pada saat itu. Masyarakat sedang mengalami disorientasi nilai yang parah. Setelah upaya kudeta yang gagal dan pembunuhan massal anti-komunis di berbagai daerah, Indonesia berada dalam keadaan trauma kolektif.
Pada 1966, media massa memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik. Koran-koran yang sebelumnya dikuasai oleh PKI atau pro-Sukarno segera dibekukan atau diambil alih oleh kelompok anti-komunis dan militer. Berita tentang penderitaan ekonomi dan kebobrokan politik disajikan secara masif. Kematian ARH, seorang pahlawan muda yang bersih, menjadi berita utama yang menyulut kemarahan. Foto-foto demonstrasi dan laporan saksi mata mengenai kekejaman pengawal istana disebar luaskan, menciptakan citra pemerintah yang brutal dan tidak manusiawi.
Propaganda yang berpusat pada Tritura sangat efektif karena ia menyentuh kebutuhan mendasar rakyat: pangan. Ketika mahasiswa menuntut penurunan harga, mereka tidak hanya berbicara politik elit, tetapi berbicara tentang perut rakyat jelata. Inilah yang membuat Gerakan 66 mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di kota-kota besar lainnya.
Peristiwa gugurnya Arief Rachman Hakim juga mempertegas aliansi strategis—meskipun bersifat sementara—antara mahasiswa dan Angkatan Darat (AD) di bawah Soeharto. AD memberikan perlindungan tidak langsung dan logistik kepada mahasiswa, membiarkan mereka beraksi, karena kepentingan mereka berdua sejalan: menyingkirkan Sukarno dan membersihkan sisa-sisa komunisme.
Namun, aliansi ini didasarkan pada tujuan jangka pendek. Mahasiswa ingin reformasi total dan pemerintahan yang bersih. AD ingin stabilitas politik dan kekuasaan. Kematian ARH adalah harga yang dibayar mahasiswa untuk mendapatkan dukungan kuat dari militer. Dalam banyak analisis sejarah, insiden 24 Februari 1966 dianggap sebagai pemicu resmi intervensi militer yang lebih terbuka dalam arena politik, yang berpuncak pada Supersemar.
Di luar analisis politik dan struktural, kisah Arief Rachman Hakim adalah kisah tentang pengorbanan kemanusiaan yang mendalam. Ia adalah seorang pemuda dengan masa depan cerah, yang memilih untuk meninggalkan kenyamanan studi kedokteran demi memperjuangkan nasib bangsanya. Pilihan ini adalah cerminan dari idealisme yang seringkali hanya dimiliki oleh generasi muda.
Kematian Arief Rachman Hakim tentu meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga, kerabat, dan teman-teman kuliahnya di FK UI. Kehilangan seorang putra dalam usia muda, yang gugur di tangan aparat negara yang seharusnya melindungi, adalah tragedi pribadi yang tak terbayangkan. Namun, pengorbanan pribadinya diubah menjadi kekuatan kolektif. Nama baiknya, semangatnya, dan darahnya menjadi sumpah bagi mahasiswa lain untuk tidak menyerah.
Para aktivis Gerakan 66 sering bercerita bagaimana insiden ARH membuat mereka semakin yakin bahwa mereka berada di jalur yang benar. Kematian adalah bukti bahwa pertarungan ini adalah pertarungan hidup dan mati melawan ketidakadilan, bukan sekadar demonstrasi biasa.
Kematian ARH juga menjadi pelajaran abadi tentang bahaya otoritarianisme. Ketika kekuasaan terpusat dan kritik dilarang, kekerasan fisik menjadi respons yang paling mungkin terhadap perbedaan pendapat. Penembakan di depan Istana Negara menjadi penanda bahwa pemerintah Orde Lama telah kehilangan kendali moral dan hanya bisa mempertahankan diri melalui penindasan.
Arief Rachman Hakim mengajarkan bahwa dalam menghadapi kekuasaan yang represif, terkadang harga kebebasan dan perubahan harus dibayar dengan darah. Semangat ini menjadi landasan etika perlawanan bagi banyak generasi setelahnya.
Meskipun peristiwa gugurnya Arief Rachman Hakim terjadi di tengah transisi kekuasaan yang sudah lama berlalu, resonansi historisnya tetap relevan. Sejarah Arief Rachman Hakim bukan hanya catatan masa lalu; ia adalah cermin yang merefleksikan peran mahasiswa dalam menjaga moralitas politik bangsa.
Perhatikanlah tuntutan Tritura (1966) dan tuntutan-tuntutan mahasiswa dalam gerakan-gerakan selanjutnya (1974, 1998, dan seterusnya). Pola tuntutan selalu berkisar pada tiga hal fundamental:
Ini menunjukkan bahwa meskipun nama rezim berubah, akar permasalahan yang ditanggapi oleh mahasiswa tetap konsisten: penyimpangan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang, dan penderitaan rakyat. Arief Rachman Hakim adalah simbol abadi dari konsistensi moral ini.
Pada akhirnya, Arief Rachman Hakim hidup dalam memori kolektif bangsa sebagai lambang pemuda yang berjuang tanpa pamrih. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari narasi pendirian Orde Baru, namun lebih penting lagi, ia adalah bagian dari narasi keberanian sipil. Perannya dalam sejarah adalah menegaskan bahwa agen perubahan tidak selalu harus datang dari kalangan militer atau elit politik, tetapi seringkali berasal dari suara idealis di jalanan, yang bersedia menghadapi bahaya demi cita-cita yang lebih besar.
Pengorbanan Arief Rachman Hakim adalah pengingat bahwa perubahan besar seringkali membutuhkan pemicu yang menyakitkan. Darahnya telah mengalirkan energi baru bagi sebuah revolusi senyap yang mengubah wajah politik Indonesia secara permanen. Ia adalah mahasiswa FK UI yang menjadi pahlawan nasional, bukan melalui perang senjata, tetapi melalui keberanian moral di bawah todongan moncong senjata, di tengah kemelut perebutan kekuasaan yang penuh intrik.
Warisan Arief Rachman Hakim harus dipahami sebagai panggilan abadi kepada setiap generasi untuk selalu waspada terhadap penyalahgunaan kekuasaan, menuntut akuntabilitas, dan berdiri tegak membela kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu sangat mahal harganya.
***
Untuk memahami sepenuhnya dampak kematian Arief Rachman Hakim, perluasan analisis mengenai taktik gerakan mahasiswa pada Februari 1966 menjadi esensial. Gerakan 66 tidak hanya mengandalkan jumlah massa; mereka menggunakan strategi yang cerdik untuk menekan pusat kekuasaan. Mahasiswa, yang dimotori oleh ARH dan rekan-rekannya, memanfaatkan kelemahan Sukarno pasca-G30S: hilangnya dukungan militer secara bulat dan fragmentasi politik di Jakarta.
Pengepungan Istana pada 24 Februari 1966 adalah aksi yang telah direncanakan untuk menciptakan efek dramatis. Istana Negara adalah simbol kedaulatan, dan dengan menyerbu hingga ke pintu gerbang, mahasiswa menunjukkan bahwa kedaulatan tersebut telah dirampas oleh rezim yang bobrok. Aksi ini bertujuan untuk memancing reaksi keras dari pengawal istana, Cakrabirawa, yang dikenal loyal secara ekstrem kepada Sukarno dan seringkali berkonflik dengan elemen Angkatan Darat lainnya.
Ketika tembakan dilepaskan dan ARH gugur, mahasiswa berhasil dalam tujuan mereka memancing respons. Kematian ARH membuktikan klaim mereka bahwa rezim ini represif dan bersedia menumpahkan darah rakyatnya sendiri. Peristiwa ini bukan kecelakaan, tetapi puncak dari konfrontasi yang dihadap-hadapkan secara sengaja untuk mempercepat proses politik.
KAMI, meskipun baru terbentuk, memiliki kemampuan mobilisasi yang luar biasa. Berkat jaringan organisasi ekstra-kampus berbasis agama (seperti HMI, PMKRI) dan jaringan non-agama yang kuat di UI dan ITB, KAMI mampu mengerahkan ribuan orang dalam hitungan jam. Arief Rachman Hakim, sebagai bagian dari inti gerakan, berperan penting dalam mengkoordinasikan Fakultas Kedokteran, yang saat itu merupakan salah satu pilar kekuatan intelektual Jakarta.
Kematiannya bukan hanya kehilangan satu individu; ia mengancam integritas dan keamanan seluruh jaringan KAMI. Namun, sebaliknya, ini justru memperkuat solidaritas. Mereka bersumpah bahwa pengorbanan ARH tidak akan sia-sia. Hal ini menunjukkan kekuatan organisasi non-struktural dalam menghadapi kekuatan negara yang terstruktur, sebuah pelajaran penting bagi ilmu politik Indonesia.
Peran ARH dalam sejarah seringkali disederhanakan sebagai "korban pertama Tritura." Namun, dampak sesungguhnya melampaui gelar martir. Kematiannya mengubah narasi politik dari perseteruan antara elit (Sukarno vs. Soeharto) menjadi konflik moral antara rakyat (mahasiswa) melawan kekuasaan yang tidak sah.
Insiden penembakan ARH secara tragis memberikan legitimasi pada penggunaan kekerasan politik oleh rezim Orde Lama, yang kemudian dijadikan justifikasi oleh Orde Baru untuk mengambil tindakan keras. Dengan menumpahkan darah ARH, Sukarno tanpa sadar telah memberikan izin moral bagi Soeharto untuk bertindak 'mengamankan' negara dengan kekuatan militer, karena klaim bahwa 'ketertiban' telah hilang dan 'kekejaman' telah terjadi.
Penyelidikan yang dangkal terhadap insiden penembakan ini di masa Orde Baru memastikan bahwa detail teknis tentang siapa yang menembak tidak pernah terungkap sepenuhnya. Fokus narasi selalu diarahkan pada kebrutalan sistem, bukan pada individu pelakunya, karena fokus pada sistem lebih efektif dalam menyingkirkan Sukarno.
Gerakan 66 yang dipicu oleh Tritura—dan yang dihidupkan oleh darah ARH—berhasil mencapai tujuannya untuk menggulingkan Orde Lama yang penuh ketidakpastian. Namun, hasil akhirnya adalah rezim baru yang menjanjikan stabilitas, tetapi mengorbankan demokrasi. Arief Rachman Hakim adalah simbol dari harapan untuk demokrasi yang lebih baik, tetapi realitas politik memaksanya menjadi fondasi bagi Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade.
Para sejarawan sering berdebat apakah ARH akan menyetujui arah Orde Baru di bawah Soeharto yang semakin represif. Mengingat idealisme dan semangatnya melawan otoritarianisme Orde Lama, sangat mungkin ia akan menjadi salah satu kritikus awal Orde Baru, sama seperti banyak rekan-rekannya di Angkatan 66 yang kemudian membelot dari rezim yang mereka bantu dirikan.
Arief Rachman Hakim seringkali ditempatkan dalam garis silsilah dengan martir mahasiswa lain di Indonesia, seperti Hariman Siregar (yang dipenjara pasca Malari 1974) atau para mahasiswa yang gugur di Tragedi Trisakti 1998. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam konteks gugurnya ARH.
Arief Rachman Hakim gugur pada momen transisi kekuasaan yang sesungguhnya. Kematiannya terjadi ketika rezim lama masih memegang kendali penuh, dan belum ada tanda-tanda jelas kekuasaan akan beralih. Ini berbeda dengan 1998, di mana kekuasaan Orde Baru sudah melemah dan berada di ambang kehancuran. Kematian ARH adalah 'batu pertama' yang memicu longsor, sementara kematian mahasiswa 1998 adalah 'batu terakhir' yang menyempurnakan kehancuran rezim.
Kematian ARH langsung mengarah pada tindakan politik yang radikal (Supersemar), sementara tragedi-tragedi mahasiswa berikutnya lebih sering mengarah pada konsolidasi perlawanan sipil atau janji reformasi yang lambat.
Pengorbanan ARH berhasil menyatukan hampir seluruh elemen masyarakat Jakarta saat itu: mahasiswa, pelajar, kelompok agama, dan militer yang anti-Sukarno. Ini adalah momen unik di mana idealisme mahasiswa bersatu padu dengan kepentingan strategis militer. Solidaritas yang muncul setelah 24 Februari 1966 sangat masif dan hampir tak tertandingi oleh gerakan mahasiswa lainnya, menjadikan Arief Rachman Hakim sebagai ikon pemersatu lintas sektor melawan tirani.
Sebagai mahasiswa kedokteran, latar belakang Arief Rachman Hakim menambah dimensi intelektual pada tragedi tersebut. Biasanya, Fakultas Kedokteran dipandang sebagai bidang yang lebih pragmatis dan kurang terlibat dalam politik garis keras. Kehadiran ARH di garis depan menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa 1966 adalah gerakan yang melibatkan seluruh spektrum intelektual, didorong oleh kesadaran bahwa krisis negara telah mencapai tingkat darurat yang membutuhkan intervensi moral dari setiap profesional terpelajar.
Kematian ARH mengirimkan pesan kuat kepada kaum intelektual dan profesional bahwa keahlian mereka tidak hanya terbatas di laboratorium atau ruang kelas. Dalam situasi krisis nasional, peran mereka meluas ke ranah politik praktis. Aksi ini menantang pandangan bahwa intelektual harus netral; sebaliknya, mereka harus menjadi garda terdepan dalam menjaga etika berbangsa.
Nama Arief Rachman Hakim diabadikan di lingkungan kampusnya di FK UI sebagai pengingat abadi akan tanggung jawab sosial seorang dokter dan ilmuwan. Ia mewariskan etos bahwa ilmu pengetahuan harus digunakan untuk melayani kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko tertinggi.
Arief Rachman Hakim bukanlah sekadar nama di buku sejarah. Ia adalah representasi konkret dari periode paling kritis dalam sejarah Indonesia modern, di mana idealisme berbenturan langsung dengan kekuasaan otoriter. Ia adalah wajah dari Angkatan 66, gerakan yang mengubah tatanan politik negara.
Pengorbanannya di jalanan Jakarta, di depan gerbang kekuasaan, mengajarkan bahwa ada kekuatan tak terduga dalam kesatuan dan keberanian moral. Darah yang tertumpah pada 24 Februari 1966 adalah tinta yang menulis ulang konstitusi politik Indonesia, menandai akhir dari Demokrasi Terpimpin dan mengantar Indonesia ke era baru, yang meskipun diwarnai kontradiksi, tetap tidak akan terwujud tanpa pengorbanan seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim.
Melalui kisah hidupnya yang singkat namun berdampak luar biasa, kita diajak merenungkan makna sejati dari tanggung jawab sebagai warga negara. Ia membuktikan bahwa seorang individu, didorong oleh keyakinan yang kuat dan keberanian yang tulus, dapat menjadi poros perubahan historis yang mampu menggoyahkan fondasi kekuasaan yang paling kokoh sekalipun.
Warisan Arief Rachman Hakim terus bergema, menuntut setiap generasi untuk tidak pernah diam saat keadilan diinjak-injak dan suara rakyat dibungkam. Ia adalah martir yang abadi, pelopor Tritura, dan simbol kebangkitan idealisme mahasiswa Indonesia.
***
Konflik yang melatarbelakangi gugurnya Arief Rachman Hakim adalah pertarungan filosofis yang mendalam, jauh melampaui sekadar perebutan jabatan politik. Ini adalah benturan antara Demokrasi Terpimpin—yang didasarkan pada kultus individu dan ideologi Nasakom yang cenderung sosialis-komunis—melawan semangat reformis Pancasilais yang diusung oleh mahasiswa dan militer anti-komunis.
Di bawah Orde Lama, Sukarno telah membangun kultus individu yang nyaris tak tersentuh. Kritik terhadapnya dianggap sebagai pengkhianatan terhadap revolusi. Mahasiswa, termasuk ARH, menentang absolutisme kekuasaan ini. Mereka menuntut sistem yang lebih transparan dan akuntabel, bukan pemerintahan yang bergantung pada kemauan satu orang. Aksi di depan Istana adalah penolakan frontal terhadap pusat kultus tersebut.
Gugurnya ARH, yang terjadi saat ia menuntut pertanggungjawaban dari pusat kekuasaan, menempatkannya sebagai antitesis dari kultus individu. Ia adalah representasi dari rakyat biasa yang berani menantang dewa politik yang sedang goyah. Kesuksesan Gerakan 66 adalah keberhasilan kolektif dalam mendepersonalisasi politik Indonesia, meskipun Orde Baru kemudian menciptakan kultus individunya sendiri, tetapi pada 1966, hal ini adalah kemenangan moral yang jelas.
Tuntutan Pembubaran PKI dalam Tritura menunjukkan betapa pentingnya pemurnian ideologi bagi Angkatan 66. Mereka melihat ideologi komunis sebagai racun yang merusak fondasi negara Pancasila. Arief Rachman Hakim, yang berani mengorbankan nyawanya, menegaskan bahwa perjuangan ini adalah perang ideologis. Bagi mahasiswa, tidak ada kompromi dalam hal Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam konteks ini, kematian ARH bukanlah pengorbanan politik biasa; itu adalah pengorbanan ideologis. Ia meninggal demi mempertahankan keyakinan fundamental tentang identitas bangsa Indonesia. Ini adalah alasan mengapa narasi tentang Arief Rachman Hakim sangat kuat dalam sejarah politik, karena ia menghubungkan perjuangan fisik dengan perjuangan batin mempertahankan ideologi negara.
Keberhasilan Tritura tidak hanya didorong oleh semangat, tetapi juga oleh logistik yang efisien. Di balik barisan Arief Rachman Hakim, ada dukungan infrastruktur yang memungkinkan gerakan massa bertahan di jalanan selama berminggu-minggu, bahkan setelah KAMI dibubarkan.
Demonstrasi 1966 didukung oleh dapur umum darurat yang diselenggarakan oleh para ibu, kelompok wanita (KAWI), dan simpatisan dari kalangan pedagang yang juga menderita akibat hiperinflasi. Solidaritas ini memastikan bahwa mahasiswa yang mogok kuliah dan turun ke jalan dapat terus berjuang tanpa kelaparan. Dukungan logistik ini adalah bukti bahwa Gerakan 66 bukan hanya gerakan mahasiswa, tetapi gerakan rakyat.
Kematian Arief Rachman Hakim, yang menyebar melalui mulut ke mulut dan melalui pamflet-pamflet darurat, secara instan meningkatkan arus dukungan logistik dan finansial bagi para aktivis. Rasa bersalah dan solidaritas publik terhadap martir ini memastikan bahwa persediaan makanan, obat-obatan, dan tempat persembunyian untuk aktivis tidak pernah kering.
KAPPI, yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA, memainkan peran vital setelah KAMI dibubarkan. Keberanian Arief Rachman Hakim menginspirasi pelajar yang lebih muda untuk melanjutkan aksi. Ketika mahasiswa dilarang beraktivitas, pelajar mengambil alih barikade, memastikan bahwa tekanan terhadap Istana tidak pernah berhenti. Ini membuktikan bahwa semangat perjuangan ARH telah menular ke generasi di bawahnya, menciptakan gelombang perlawanan yang tak pernah surut.
Arief Rachman Hakim, dengan demikian, adalah jembatan antara generasi 45 yang membangun revolusi kemerdekaan dan generasi 66 yang menuntut pemurnian revolusi. Ia adalah simbol keberlanjutan idealisme nasional, menjamin bahwa api perjuangan untuk pemerintahan yang bersih dan adil tidak pernah padam.
***