Arjunasasrabahu, atau yang sering disebut sebagai Kartavirya Arjuna, adalah salah satu figur paling menonjol dan sekaligus tragis dalam lembaran epik mitologi Hindu, terutama dalam Uttara Kanda dari Ramayana dan Purana. Namanya secara harfiah berarti ‘Arjuna yang Memiliki Seribu Lengan’ (Sahasra = seribu, Bahu = lengan/tangan). Ia adalah Raja Agung dari Wangsa Haihaya yang berpusat di Mahishmati, sebuah kota yang masyhur dan megah di tepian Sungai Narmada. Kisahnya bukan hanya sekadar catatan kekuasaan militer, tetapi juga studi mendalam tentang puncak pencapaian seorang kshatriya (kasta kesatria) yang mendapatkan anugerah ilahi, serta kejatuhannya yang spektakuler akibat kesombongan dan pelanggaran Dharma.
Dalam tradisi teologis, Arjunasasrabahu sering kali diyakini sebagai penjelmaan (inkarnasi parsial) dari Cakra Sudarsana, senjata pamungkas Dewa Wisnu. Penjelmaan ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmis dan menunjukkan kekuatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang disucikan melalui tapa brata yang ekstrem. Meskipun ia dikenal sebagai raja yang saleh, bijaksana, dan adil pada masa pemerintahannya, nasibnya terjalin erat dengan dua figur mitologis yang mengubah tatanan dunia: Ravana, sang Raja Rakshasa dari Lanka yang ia taklukkan dan permalukan, serta Parashurama, brahmana-kshatriya murka yang akhirnya mengakhiri garis keturunannya.
Kisah Arjunasasrabahu memiliki resonansi yang kuat di Nusantara, diabadikan dalam karya sastra agung Jawa Kuno, Kakawin Arjunawijaya, yang digubah oleh Mpu Tantular pada masa Majapahit. Kakawin ini tidak hanya menceritakan pertempurannya melawan Ravana, tetapi juga menanamkan ajaran moral dan filosofis tentang kekuasaan, keadilan, dan batas-batas ambisi duniawi. Untuk memahami sosok ini, kita harus menyelami sumber kekuatannya, luasnya kerajaannya, dan detail konflik dramatis yang mengantarkannya pada takdir yang tak terhindarkan.
Arjunasasrabahu dilahirkan sebagai Kartavirya, putra dari Raja Kritavirya dari Wangsa Haihaya. Wangsa Haihaya sendiri merupakan cabang penting dari Dinasti Yadu, yang menelusuri garis keturunan mereka kembali ke Yadu, putra Raja Yayati. Lokasi utama kekuasaannya adalah Mahishmati, yang pada masa kejayaannya digambarkan sebagai pusat peradaban yang tak tertandingi, melintasi wilayah India bagian tengah.
Wangsa Haihaya dikenal memiliki sejarah panjang persaingan dengan Wangsa Surya (Solar Dynasty). Mereka adalah ksatria yang perkasa, namun Kartavirya Arjuna-lah yang membawa nama wangsa ini pada puncak kemasyhuran absolut. Kehadiran Arjunasasrabahu di atas takhta bukan hanya melanjutkan tradisi kekuasaan, melainkan mengubahnya menjadi era keemasan di mana keadilan ditegakkan dengan kekuatan yang hampir supranatural.
Meskipun ayahnya, Kritavirya, adalah seorang raja, kerajaan Haihaya menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal. Kartavirya Arjuna muda, yang saat itu masih dikenal dengan nama aslinya, menunjukkan tanda-tanda kebesaran sejak dini, namun fisiknya digambarkan memiliki kekurangan atau kelemahan yang menghalanginya menjadi kshatriya sempurna—sebuah kondisi yang ia coba atasi melalui pengabdian spiritual yang luar biasa.
Menyadari keterbatasan duniawi, Kartavirya Arjuna memutuskan untuk melakukan tapa brata (pertapaan keras) yang belum pernah dilakukan oleh raja sebelumnya. Pertapaan ini bukan ditujukan kepada Brahma atau Shiwa, melainkan kepada Dattatreya, yang merupakan wujud Trimurti (Brahma, Wisnu, Shiwa) dalam satu kesatuan. Pengabdian ini adalah kunci utama yang membuka gerbang kekuatan ilahi dan mengubah nasibnya secara permanen. Ia mendambakan bukan hanya kekuatan militer, tetapi juga otoritas spiritual yang tak terbantahkan, dan terutama, keadilan yang mampu menaungi seluruh kerajaannya.
Tapa brata yang dilakukan oleh Kartavirya Arjuna adalah salah satu yang paling sulit dalam Purana. Ia berhasil memuaskan Dattatreya—wujud Trimurti—yang kemudian menampakkan diri dan menawarkan anugerah. Arjuna, dengan kebijaksanaan yang langka, tidak hanya meminta kekuatan fisik, tetapi juga karunia spiritual yang memastikan pemerintahannya berjalan sesuai Dharma.
Arjuna meminta lima anugerah utama yang secara kolektif menjadikannya penguasa tak tertandingi:
Seribu lengan bukan hanya keajaiban fisik, tetapi representasi simbolis dari kemampuan ilahi yang melampaui batas manusia. Dalam konteks mitologi Hindu, seribu sering kali melambangkan kelengkapan, universalitas, atau kekuasaan absolut. Lengan-lengan ini melambangkan:
A. Kekuasaan Otonom: Kemampuan untuk mengontrol elemen-elemen alam. Dalam satu momen, ia bisa menahan aliran sungai, menguasai cuaca, dan pada saat yang sama, memegang busur dan pedang. Kekuatan ini membuatnya setara dengan dewa-dewa penjaga.
B. Omnipresensi dalam Pemerintahan: Lengan-lengan tersebut memungkinkannya untuk melakukan seribu tugas pemerintahan sekaligus. Keadilan ditegakkan dengan cepat, administrasi berjalan lancar, dan perlindungan diberikan kepada setiap sudut kerajaannya tanpa penundaan. Ia adalah raja yang 'hadir' di mana-mana.
C. Penguasaan Yoga dan Indra: Seribu lengan mencerminkan kontrol sempurna atas indra (indriya) dan penguasaan teknik yoga yang mendalam. Ia menggunakan kekuatannya tidak hanya untuk perang, tetapi juga untuk melakukan pengorbanan suci dan ritual keagamaan.
Salah satu demonstrasi kekuatan paling terkenal adalah ketika Arjunasasrabahu menggunakan seribu lengannya untuk menahan dan membelokkan aliran Sungai Narmada. Kekuatan ini bukan hanya untuk pamer; ia menggunakan Narmada untuk membangun bendungan raksasa, menciptakan danau besar di mana ia dan rombongannya bisa bersenang-senang atau bermeditasi dengan tenang. Aksi ini menjadi sangat penting karena secara langsung melibatkan dan menyinggung Ravana, yang saat itu sedang melakukan pemujaan di hilir sungai.
Di bawah kekuasaan Arjunasasrabahu, Kerajaan Haihaya mencapai puncaknya. Mahishmati menjadi pusat Dharma yang ditegakkan dengan ketegasan militer dan spiritual. Ia dikenal sebagai 'Chakravartin' (penguasa dunia) yang sesungguhnya. Rakyat hidup dalam kemakmuran dan keamanan, terlindungi dari segala bentuk bahaya, baik dari perampok maupun bencana alam.
Arjuna memastikan bahwa tidak ada kejahatan yang luput dari hukuman. Kekuatan seribu lengannya digambarkan sebagai seribu mata yang mengawasi keadilan. Para pencuri dan pelanggar Dharma tidak berani memasuki wilayahnya, dan jika mereka berani, mereka akan dengan cepat ditangkap oleh salah satu dari ribuan tangan yang sigap. Keadilan ini adalah manifestasi langsung dari karunia Dattatreya.
Sebagai raja yang ideal, Arjunasasrabahu memberikan penghormatan tertinggi kepada para brahmana dan orang suci. Ia mensponsori Yajna (persembahan suci) yang tak terhitung jumlahnya dan memastikan bahwa studi Veda berkembang pesat di seluruh kerajaannya. Hubungannya dengan para rishi (pertapa) sangat baik, meskipun ironisnya, pelanggaran terhadap seorang rishi-lah yang akhirnya menjadi awal kejatuhannya.
Kekuatan militernya memungkinkan dia untuk menaklukkan raja-raja lain tanpa kesulitan. Ia tidak berperang untuk memperluas wilayah semata, tetapi untuk menyebarkan tatanan Dharma. Ia menaklukkan klan Naga, suku barbar (Mleccha), dan semua kshatriya yang menolak untuk tunduk pada prinsip keadilannya. Penaklukan ini membawanya ke selatan, hingga mencapai tepian Sungai Narmada, di mana ia bertemu dengan tantangan paling besar (dan paling memalukan bagi musuhnya): Ravana.
Konflik antara Arjunasasrabahu dan Ravana adalah salah satu pertarungan kekuasaan yang paling ikonik dalam mitologi, melambangkan benturan antara Raja Kshatriya yang berpegang pada Dharma dengan Raja Rakshasa yang arogan. Kisah ini menjadi inti utama dari Kakawin Arjunawijaya.
Suatu ketika, Arjunasasrabahu sedang bersenang-senang dan bermeditasi bersama para istrinya di hulu Sungai Narmada. Untuk menciptakan ketenangan dan kedalaman air yang ideal, ia menggunakan seribu lengannya untuk menahan aliran sungai, membentuk bendungan sementara yang sangat besar. Di hilir sungai, Ravana, Raja Lanka yang pada saat itu berada di puncak kekuasaannya dan sangat sombong, sedang melakukan pemujaan kepada Dewa Shiwa.
Tiba-tiba, banjir besar melanda tempat pemujaan Ravana. Air yang sebelumnya tenang menjadi keruh dan deras karena bendungan di hulu dilepaskan sebentar. Ravana, yang kemarahannya tak tertandingi, menganggap ini adalah penghinaan langsung dari seorang kshatriya yang mencoba mengganggu pemujaannya. Ia bersumpah akan menemukan dan menghancurkan siapapun yang berani melakukan perbuatan tersebut.
Ravana, ditemani oleh menteri utamanya, mencari sumber gangguan tersebut dan bertemu dengan Arjunasasrabahu di tepi sungai. Ravana dengan angkuh menuntut Arjuna untuk melepaskan bendungan tersebut. Arjuna, yang tidak terkesan sama sekali dengan kesombongan Ravana, menolak dan menantang Ravana. Ia tahu betul siapa Ravana, dan ia melihat kesempatan untuk menegaskan keunggulan kshatriya yang saleh di atas kekuatan rakshasa yang brutal.
Pertempuran pun pecah. Ravana menggunakan seluruh kekuatan mistisnya, senjata-senjata ilahi yang ia peroleh dari Dewa Shiwa, dan pasukan rakshasa. Namun, ia terkejut menghadapi lawan yang memiliki keunggulan kuantitas dan kualitas. Setiap serangan Ravana ditangkis oleh puluhan tangan Arjuna. Ketika Ravana berhasil menghancurkan beberapa senjata, ratusan tangan lain siap menggantikannya.
Pertempuran itu singkat dan menentukan. Arjunasasrabahu menunjukkan mengapa ia mendapatkan anugerah Dattatreya. Dengan kekuatan seribu lengannya, ia berhasil melumpuhkan Ravana. Dalam adegan yang paling ikonik, Arjuna menangkap Ravana, mengikatnya dengan tali mistis yang terbuat dari belitan lengannya sendiri. Ravana, yang telah menaklukkan banyak dewa dan makhluk gaib, kini dipermalukan di hadapan istri-istri Arjuna dan seluruh pasukannya.
Ravana kemudian ditahan sebagai tawanan kehormatan di Mahishmati. Para dewa dan rishi sangat gembira melihat kesombongan Ravana telah dihancurkan oleh seorang raja manusia. Ravana hanya bisa dibebaskan setelah kakeknya, Resi Pulastya, datang dan memohon belas kasihan Arjuna. Resi Pulastya mengingatkan Arjuna tentang Dharma, bahwa seorang kshatriya yang bijaksana harus menunjukkan kemurahan hati terhadap musuh yang telah dikalahkan. Arjuna pun setuju dan membebaskan Ravana, bahkan memberinya penghormatan dan senjata sebelum ia kembali ke Lanka. Kejadian ini menjadi bukti tak terbantahkan atas keunggulan Arjunasasrabahu sebagai penguasa dunia.
Meskipun Arjunasasrabahu mencapai puncak keagungan, kekuasaan yang tak terbatas sering kali melahirkan kesombongan (mada). Kejatuhan Arjunasasrabahu tidak disebabkan oleh musuh di medan perang, melainkan oleh penyalahgunaan otoritas terhadap seorang brahmana. Kisah ini menjadi latar belakang utama bagi munculnya Parashurama.
Suatu hari, saat sedang berburu bersama pasukannya, Arjunasasrabahu singgah di ashrama (tempat pertapaan) Resi Jamadagni, ayah dari Parashurama. Resi Jamadagni menyambut raja dan pasukannya dengan perjamuan mewah yang luar biasa. Arjuna terkejut bagaimana seorang resi miskin dapat menyediakan hidangan sebanyak itu. Ia kemudian mengetahui bahwa Jamadagni memiliki Kamadhenu, sapi suci yang dapat memenuhi segala keinginan.
Terbutakan oleh keserakahan, Arjunasasrabahu berpikir bahwa sapi suci itu harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa, bukan seorang pertapa. Ia menuntut agar Jamadagni menyerahkan Kamadhenu. Ketika Jamadagni menolak, dengan alasan sapi itu adalah milik para dewa, Arjuna memerintahkan pasukannya untuk merampas sapi itu secara paksa. Dalam proses perampasan itu, ashrama Jamadagni dihancurkan dan para pengikutnya dibunuh atau disiksa.
Pada saat kejadian, Parashurama (Bhargava Rama), yang merupakan inkarnasi Dewa Wisnu dan seorang brahmana yang menguasai ilmu kshatriya (brahmana-kshatriya), sedang tidak berada di ashrama. Ketika ia kembali dan menemukan ayahnya, Jamadagni, berduka atas hancurnya pertapaan dan perampasan Kamadhenu, kemarahannya tak tertahankan.
Parashurama bersumpah untuk membalaskan dendamnya dan menghukum bukan hanya Arjunasasrabahu, tetapi seluruh kasta kshatriya yang menyimpang dari Dharma. Ia merasa bahwa kshatriya telah menjadi terlalu kuat dan sombong, melanggar batas-batas yang ditetapkan oleh Veda, dan harus dimurnikan. Sumpah ini mengarah pada misinya untuk melenyapkan kasta kshatriya dari muka bumi sebanyak dua puluh satu kali.
Pertarungan antara Arjunasasrabahu dan Parashurama adalah bentrokan antara dua kekuatan ilahi: Raja yang merupakan manifestasi Cakra Sudarsana melawan Brahmana-Kshatriya yang merupakan manifestasi Kapak (Parashu) Dewa Shiwa dan kekuatan ilahi Wisnu. Perang ini melambangkan konflik Dharma dan Adharma, serta pemurnian kasta kesatria.
Parashurama, dipersenjatai dengan kapak mistisnya (Parashu) dan didorong oleh kemarahan suci atas penghinaan terhadap ayahnya dan Dharma, menantang Arjunasasrabahu. Raja Haihaya, meskipun menyadari besarnya kekuatan Parashurama, menerima tantangan tersebut dengan sombong, percaya bahwa anugerah Dattatreya menjamin kemenangannya.
Pertarungan tersebut digambarkan dalam Purana sebagai bencana kosmis. Arjunasasrabahu mengerahkan seribu lengannya, memegang seribu senjata—busur, pedang, gada, dan tombak. Ia bahkan menggunakan kekuatan mistisnya untuk meluncurkan serangan elemental. Namun, Parashurama, yang merupakan inkarnasi yang lebih sempurna dan memiliki kendali spiritual yang lebih tinggi, mampu menangkis setiap serangan.
Meskipun memiliki seribu tangan, Arjuna gagal mengimbangi kecepatan dan fokus Parashurama. Parashurama, dengan kapaknya yang mematikan, tidak hanya menebas tangan-tangan Arjuna satu per satu, tetapi juga secara sistematis menghancurkan setiap manifestasi kekuatan raja. Setiap lengan yang jatuh melambangkan hilangnya sebagian dari anugerah dan Dharma Arjuna.
Akhirnya, setelah seluruh seribu lengannya terpotong, Arjunasasrabahu tersisa dalam bentuk fisiknya yang fana. Parashurama kemudian menebas kepalanya. Kematian Arjuna terjadi persis seperti yang ia minta: di tangan seseorang yang jauh lebih unggul dalam kebajikan dan spiritualitas, membuktikan bahwa ia telah menyimpang dari jalannya sendiri. Kematiannya menandai akhir dari Dinasti Haihaya yang perkasa.
Konsekuensi dari kematian Arjunasasrabahu sangat besar, memicu permusuhan antara klan Bhargava (Parashurama) dan klan Haihaya, yang kemudian meluas menjadi pemusnahan massal kshatriya di seluruh dunia oleh Parashurama.
Kisah Arjunasasrabahu lebih dari sekadar legenda perang; ia adalah parabola filosofis tentang bahaya kekuasaan absolut dan pentingnya keseimbangan antara otoritas spiritual dan temporal.
Arjunasasrabahu mewakili puncak ideal seorang kshatriya: kuat, adil, dan berorientasi pada Dharma. Namun, karunia seribu lengan—yang merupakan manifestasi cakra Sudarsana—menguji batas moralnya. Ketika ia merampas Kamadhenu, ia melanggar Dharma kshatriya, yaitu melindungi brahmana, dan menggunakan kekuatannya untuk tujuan egois. Kejatuhannya mengajarkan bahwa bahkan inkarnasi ilahi pun dapat gagal jika didorong oleh keserakahan duniawi.
Kamadhenu (sapi keinginan) sering melambangkan kekayaan spiritual, kesuburan, dan Veda itu sendiri. Ketika Arjuna mencuri Kamadhenu, ia mencoba mencuri otoritas spiritual dari para brahmana dan menyatukannya dengan otoritas militer (kshatriya). Tindakan ini mengganggu tatanan Varna yang telah ditetapkan, memicu reaksi keras dari Parashurama, yang mewakili garis spiritual yang murni.
Parashurama tidak sekadar membalas dendam pribadi. Ia bertindak sebagai agen pemurnian kosmis. Karena Arjunasasrabahu adalah raja paling agung dari semua kshatriya, kematiannya dianggap sebagai deklarasi bahwa kasta kshatriya telah mencapai batas kesombongan dan memerlukan pembersihan total. Ini adalah momen penting dalam siklus waktu, di mana keseimbangan harus dipulihkan sebelum zaman baru (misalnya Ramayana) dapat dimulai.
Di Indonesia, khususnya Jawa dan Bali, kisah Arjunasasrabahu hidup kuat melalui Kakawin Arjunawijaya yang disusun oleh Mpu Tantular pada era Majapahit, di bawah pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Karya ini merupakan salah satu kakawin terpenting yang memadukan ajaran Siwa dan Buddha (Bhinneka Tunggal Ika).
Tidak seperti Purana India yang berfokus pada kejatuhannya oleh Parashurama, Kakawin Arjunawijaya Majapahit lebih banyak menyoroti kemenangan dan kebesaran Arjuna. Bagian yang paling banyak dielaborasi adalah pertempurannya melawan Ravana. Dalam tradisi Jawa, konflik ini berfungsi sebagai alegori politik: Ravana mewakili kekuasaan yang tidak sah dan brutal, sementara Arjuna mewakili kekuasaan Majapahit yang sah dan berlandaskan Dharma.
Meskipun sering tertutup oleh popularitas Arjuna Pandawa dari Mahabharata, sosok Arjunasasrabahu (yang dalam pewayangan Jawa sering disebut Prabu Arjunasasrabahu, Raja Maespati) tetap menjadi simbol keperkasaan dan kekuatan tak tertandingi. Ia sering digambarkan sebagai sosok dengan lengan yang tak terhitung jumlahnya yang mampu berubah bentuk menjadi raksasa yang sangat besar saat marah, menegaskan kekuatan mistis yang dimilikinya.
Mpu Tantular menggunakan kisah ini untuk menyampaikan pesan tentang pengendalian diri dan pentingnya kebijaksanaan dalam memimpin. Kemenangan Arjuna atas Ravana adalah kemenangan Dharma. Meskipun kakawin ini jarang membahas kekalahannya melawan Parashurama, ada pemahaman implisit bahwa kekuatan militer sejati harus dibalut dengan etika spiritual yang kuat, sebuah pesan yang sangat relevan bagi kekuasaan Majapahit saat itu.
Secara lebih mendalam, pemisahan antara Kartavirya Arjuna dan Parashurama merefleksikan perdebatan filosofis kuno mengenai siapa yang berhak memegang otoritas tertinggi: kshatriya (otoritas fisik dan politik) atau brahmana (otoritas spiritual dan moral). Dalam pandangan Purana, otoritas spirituallah yang harus mendominasi, dan ketika kshatriya mengklaim superioritas atas brahmana (seperti yang dilakukan Arjuna dengan mencuri Kamadhenu), kekacauan kosmis akan terjadi. Kehancuran dinasti Haihaya oleh kapak Parashurama adalah pengembalian paksa kepada tatanan lama, sebuah pelajaran yang tidak terlupakan bagi generasi kshatriya berikutnya, termasuk Rama dan Pandawa.
Warisan Arjunasasrabahu terletak pada dilema yang ia tinggalkan: Apakah mungkin bagi seorang manusia untuk mencapai keilahian dan mempertahankan kemanusiaannya? Ia diberi kekuatan ilahi Cakra Sudarsana—senjata yang melambangkan penghancuran kejahatan—tetapi sebagai manusia fana, ia terperangkap dalam noda matsarya (kecemburuan) dan lobha (keserakahan) terhadap kepemilikan spiritual Jamadagni. Seribu tangannya, yang seharusnya digunakan untuk menopang dunia, malah digunakan untuk menghancurkan kedamaian pertapaan.
Banyak ahli Purana menafsirkan Arjunasasrabahu sebagai representasi 'kekuatan yang belum matang' atau 'kekuatan yang belum diselaraskan'. Ia memiliki kemampuan teknis untuk mengalahkan Ravana, simbol kejahatan, namun ia gagal mengalahkan musuh internalnya sendiri: ego. Sementara Rama (inkarnasi penuh Wisnu) harus menghadapi Ravana di Lanka, Arjunasasrabahu, sebagai inkarnasi parsial, hanya mampu menaklukkan Ravana secara fisik. Kelemahan moralnya sendiri yang menghalangi dia untuk mencapai status pahlawan abadi seperti Rama.
Penyebaran kisahnya di Asia Tenggara, terutama dalam tradisi Kakawin, menunjukkan universalitas tema kekuasaan dan etika. Mpu Tantular mengambil narasi yang sangat spesifik dan menjadikannya relevan dengan konteks Majapahit yang pluralistik. Meskipun ajaran Bhinneka Tunggal Ika adalah tema utama dalam kakawin lain (Sutasoma), Arjunawijaya menekankan persatuan politik melalui kekuatan yang beretika. Bahkan kekuasaan tertinggi di dunia (mengalahkan Ravana) harus dihormati oleh Raja Agung.
Penghormatan terhadap Raja Seribu Lengan dalam sastra tradisional Jawa juga sering dibandingkan dengan tokoh Bima atau Kresna, yang juga memiliki kekuatan luar biasa. Namun, kekuatan Arjuna Haihaya jauh lebih eksplisit dan mencolok—seribu lengan—menarik bagi imajinasi kolektif tentang apa artinya menjadi penguasa absolut, seorang penguasa yang mampu memanipulasi alam dan menaklukkan rakshasa terbesar. Keahliannya dalam panah, perang, dan mantra, yang semuanya dapat dieksekusi oleh seribu tangan secara simultan, menjadikannya sosok yang tak tertandingi.
Lebih lanjut mengenai konflik dengan Jamadagni: Kejadian ini sering dilihat sebagai katalisator untuk perubahan zaman. Pencurian Kamadhenu bukan sekadar pencurian sapi; ini adalah penolakan terhadap otoritas kasta. Arjuna menempatkan dirinya di atas brahmana dan dewa. Dalam tata karma, kshatriya harus melindungi brahmana, sementara brahmana memberikan panduan spiritual. Ketika Arjuna melanggar sumpah ini, ia secara efektif mendeklarasikan perang terhadap tatanan alam semesta. Hal ini memberikan Parashurama legitimasi moral yang tak terbantahkan untuk memusnahkannya.
Bahkan sebelum insiden Kamadhenu, terdapat catatan purana lain yang mengindikasikan kecenderungan Arjuna terhadap kesombongan. Misalnya, ia pernah menculik Naga Karkotaka dan memenjarakannya, hanya untuk melepaskannya kemudian atas permohonan dewa-dewa lain. Ini menunjukkan bahwa meskipun ia adalah raja Dharma, ia memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuatannya untuk mendominasi, bukan hanya untuk melindungi. Seribu lengan memberinya kemampuan untuk mendominasi, dan dominasi itu perlahan mengikis keadilannya.
Dalam teks purana Vayu, Arjunasasrabahu digambarkan memerintah selama 85.000 tahun, sebuah durasi yang menunjukkan bahwa pemerintahannya dianggap monumental dalam sejarah kosmis. Selama periode yang luar biasa ini, ia melaksanakan sepuluh ribu Yajna (pengorbanan suci), menegaskan kesalehan spiritualnya yang mendalam. Namun, durasi kekuasaan yang sedemikian panjang mungkin juga berkontribusi pada kesombongannya. Setelah puluhan ribu tahun tanpa tantangan nyata, Raja Seribu Lengan melupakan batasan-batasannya.
Kita perlu memahami bahwa konflik antara Arjuna Haihaya dan Ravana, yang diabadikan oleh Mpu Tantular, memiliki lapisan kontekstual yang kaya. Ketika Ravana dipermalukan, ia adalah raja yang dikenal sebagai penyembah Shiwa yang ekstrem, namun juga penuh kekerasan. Kemenangan Arjuna adalah kemenangan tatanan Wisnu (Dharma) di atas kekacauan. Namun, fakta bahwa Arjuna sendiri kemudian dihukum oleh inkarnasi Wisnu lainnya (Parashurama) menunjukkan betapa sulitnya bagi kekuasaan duniawi untuk tetap murni. Kekuatan, bahkan yang dianugerahkan oleh Dewa, adalah ujian moral yang tak terhindarkan.
Ketika Arjuna mengikat Ravana, ia tidak hanya mengikat raja Rakshasa, tetapi juga mengikat ego Ravana. Namun, ketika Arjuna mencuri Kamadhenu, ia mengikat ego Jamadagni, yang diwakili oleh kehormatan dan spiritualitas. Tindakan pertama (menaklukkan kejahatan) adalah terpuji; tindakan kedua (melanggar kesucian) adalah dosa. Ironi mitologis ini adalah inti dari tragedi Arjunasasrabahu.
Pemahaman mengenai kekuatan seribu lengan ini juga dapat dilihat dari kacamata manajemen militer dan sumber daya. Seribu lengan memungkinkan Arjuna mengendalikan seribu aspek perang atau administrasi. Ini adalah model kepemimpinan yang ideal, di mana raja memiliki kemampuan multifungsi yang tak tertandingi. Seluruh mesin birokrasi dan militer kerajaan Mahishmati dapat bergerak secepat pikiran raja, karena raja sendiri adalah seluruh angkatan bersenjata dan seluruh kabinet pemerintahan. Sayangnya, kekompakan ini juga menjadi kelemahannya—tidak ada yang dapat memberinya nasihat atau mengendalikan keangkuhannya ketika seribu lengannya bergerak serentak mengikuti satu ego.
Dalam konteks kekalahan Ravana, ada beberapa versi yang menyebutkan bahwa Ravana sendiri terkesima oleh kekuatan Arjuna dan mengakui bahwa hanya dia yang pernah mengalahkannya. Pengakuan ini meningkatkan status Arjunasasrabahu di mata semua makhluk. Bahkan setelah dibebaskan, Ravana, meskipun penuh dendam, tidak pernah lagi menantang Arjuna, menunjukkan bahwa kekalahan tersebut adalah pelajaran yang sangat mahal bagi Raja Lanka.
Namun, pelajaran ini hanya berlaku bagi Ravana. Bagi Arjuna sendiri, kemenangannya atas penakluk dunia justru memompa kesombongan yang tidak terbatas. Ia mulai berpikir bahwa ia adalah penguasa mutlak, dan tidak ada hukum spiritual yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Inilah yang membawanya pada pandangan bahwa harta seorang brahmana (Kamadhenu) harus tunduk pada kekayaan seorang kshatriya.
Arjunasasrabahu adalah contoh sempurna dari bagaimana kekuasaan dan anugerah ilahi dapat merusak. Ia memulai sebagai kshatriya ideal yang tunduk pada Dattatreya, namun berakhir sebagai tiran yang dihukum oleh agen Dharma yang lebih tinggi. Kisahnya berfungsi sebagai pengingat abadi bagi setiap penguasa: kekuatan fisik harus selalu sejalan dengan kekuatan spiritual dan moral. Tanpa kendali moral, seribu lengan hanyalah seribu cara untuk menghancurkan diri sendiri.
Keseluruhan narasi ini—dari puncak kejayaan hingga kejatuhan yang tragis—menjadi fondasi penting dalam tradisi Purana, menjembatani era awal Veda dengan era Ramayana dan Mahabharata. Arjunasasrabahu adalah jembatan sejarah, simbol dari zaman kshatriya yang terlalu perkasa dan harus dimurnikan sebelum Dewa Wisnu dapat muncul kembali sebagai Rama untuk menuntaskan takdir Ravana.
Penggambaran Arjunasasrabahu dalam seni ukir di candi-candi kuno, terutama di Jawa Timur dan Bali, seringkali menekankan atribut-atribut kepahlawanannya: mahkota yang megah, postur yang gagah, dan tentu saja, banyak tangan yang memegang senjata. Penggambaran ini memastikan bahwa meskipun kisahnya berakhir tragis, ia tetap dikenang sebagai salah satu kshatriya terkuat yang pernah ada, sebuah standar keperkasaan yang jarang tertandingi.
Lebih jauh mengenai analisis spiritualitasnya, penjelmaan Cakra Sudarsana ini dimaksudkan untuk menunjukkan batas kekuasaan material. Cakra Sudarsana adalah simbol keteraturan kosmik; ia hanya membunuh musuh-musuh Dharma. Ketika Arjuna mulai melayani egonya, ia tidak lagi menjadi sarana bagi Cakra Sudarsana, tetapi malah menggunakannya untuk tujuan duniawi. Konsekuensinya, kekuatan ilahi menarik diri, dan yang tersisa hanyalah tubuh fana yang rentan terhadap murka Dewa yang diwakili oleh Parashurama.
Dapat disimpulkan bahwa Arjunasasrabahu adalah cermin bagi kepemimpinan. Ia adalah Raja yang tak terkalahkan secara militer, tetapi sangat rentan secara moral. Ia membuktikan bahwa kekebalan fisik tidak menjamin kekebalan spiritual. Pelajaran abadi ini menjadikannya figur yang kompleks, dihormati karena kekuatannya namun dikasihani karena kejatuhannya.
Dalam esensi Kakawin Arjunawijaya, pesan yang disampaikan Mpu Tantular sangat jelas: Raja Majapahit harus memiliki otoritas dan kekuatan seperti Arjuna, yang mampu mengalahkan musuh terkuat. Namun, ia juga harus menghindari keangkuhan yang menenggelamkan Arjuna ke dalam kesombongan. Kekuasaan adalah anugerah, tetapi anugerah itu harus digunakan dengan pemahaman mendalam tentang Dharma dan kewajiban kshatriya untuk melindungi, bukan merampas. Tanpa keseimbangan ini, seluruh seribu lengan dan kerajaan megah pun tidak ada artinya di hadapan kapak keadilan spiritual.
Kejayaan dan kejatuhan Raja Haihaya ini terus menjadi subjek interpretasi dan studi. Ia adalah pahlawan yang melangkah terlalu jauh, seorang manusia yang mencoba memegang kekuasaan dewa dan akhirnya membayar harga tertinggi. Warisan seribu lengannya tetap menjadi pengingat akan potensi tak terbatas manusia, dan pada saat yang sama, batas-batas moral yang tak boleh dilanggar. Kisahnya adalah epik keagungan yang diakhiri oleh kepedihan, sebuah narasi yang mendefinisikan batas antara raja yang agung dan tiran yang sombong.
Sosok Raja Arjunasasrabahu mengajarkan kita bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui tapa dan berkah ilahi memiliki tanggung jawab yang lebih berat. Seribu lengan yang dimilikinya memberikan kemampuan luar biasa untuk mengendalikan air, memerintah bumi, dan menaklukkan langit, namun justru gagal mengendalikan gejolak kecil dalam hatinya sendiri. Kejatuhan ini adalah peringatan tentang bahaya narsisme kekuasaan (rājadharma-māda). Ia mengalahkan Ravana, simbol kejahatan eksternal, namun dikalahkan oleh Ravana internalnya sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa tradisi purana, istri Arjunasasrabahu memainkan peran kecil namun signifikan dalam mencoba menasihatinya, namun karena kesombongan kekuasaan, nasihat mereka diabaikan. Ini menambah dimensi tragis pada karakternya, menunjukkan isolasi yang dialami seorang penguasa absolut, di mana bahkan suara kebijaksanaan terdekat pun tidak didengar.
Kisah ini juga secara halus mempersiapkan panggung bagi kedatangan Rama, pahlawan Ramayana. Kekuatan kshatriya harus dimurnikan agar kedatangan Rama dapat menjadi kemenangan Dharma yang sempurna. Arjunasasrabahu, melalui kesalahannya, secara tidak sengaja membantu proses pemurnian tersebut, sehingga memungkinkan zaman baru yang lebih etis untuk dimulai. Dengan demikian, meskipun ia jatuh sebagai antagonis (dari sudut pandang Parashurama), ia tetap menjadi bagian integral dari siklus kosmik Wisnu.
Penggambaran seribu lengan juga dapat dibandingkan dengan Vishwarupa Krishna dalam Bhagavad Gita, wujud kosmik yang menunjukkan kelengkapan dan universalitas. Namun, Arjunasasrabahu hanya memanifestasikan sebagian dari universalitas tersebut, hanya pada tingkat kshatriya. Ini adalah perbedaan penting: Krishna menampilkan kekuasaan ilahi tanpa ego, sementara Arjuna menampilkan kekuasaan ilahi yang disaring melalui ego manusia.
Kepopuleran Kakawin Arjunawijaya di Nusantara juga disebabkan oleh kualitas puitis Mpu Tantular dalam mendeskripsikan pertempuran dan keagungan istana Mahishmati. Deskripsi yang detail tentang keindahan alam, kemegahan upacara, dan kepahlawanan Arjuna menciptakan citra ideal tentang kerajaan Majapahit. Dengan menempatkan Ravana sebagai antagonis utama, kakawin ini secara efektif menghubungkan tradisi lokal dengan epik besar India, memberikan bobot kultural yang mendalam bagi identitas Majapahit.
Dalam seni pertunjukan, adegan penangkapan Ravana oleh Arjuna sering menjadi klimaks yang memukau, menunjukkan manipulasi tata ruang dan waktu yang dilakukan oleh Raja Seribu Lengan. Kemampuan Arjuna untuk melakukan hal yang mustahil membuatnya dikenang sebagai entitas semi-ilahi, jauh di atas kshatriya biasa, bahkan jika kekuasaannya berumur pendek akibat pelanggaran Dharma.
Pada akhirnya, Arjunasasrabahu adalah studi kasus tentang ambisi. Ia adalah kshatriya yang sangat ambisius, yang keinginannya untuk menjadi yang terbaik diwujudkan melalui anugerah. Ia mencapai ambisi itu, namun ia tidak bisa mengendalikan konsekuensinya. Warisan utamanya bukanlah kemenangan atas Ravana, melainkan peringatan akan kerapuhan kemanusiaan di hadapan kekuasaan tak terbatas.
Arjunasasrabahu adalah raja yang namanya selamanya terukir dalam sejarah kosmik sebagai penguasa yang puncak kejayaannya begitu tinggi sehingga hanya kekuatan ilahi lain yang mampu menjatuhkannya. Ia adalah pengejawantahan dari Dharma yang keliru, sebuah mitos yang mengajarkan bahwa kekuatan terhebat bukanlah jumlah lengan yang Anda miliki, melainkan kontrol atas diri Anda sendiri.
Kisah Arjunasasrabahu, dengan segala kompleksitasnya, adalah salah satu narasi paling penting dalam siklus Purana, menawarkan kontras tajam antara kebaikan dan keburukan, anugerah dan kutukan. Ia meninggalkan Mahishmati dan seluruh dunia kshatriya dalam kekacauan, yang pada akhirnya harus diperbaiki oleh inkarnasi Wisnu yang lebih sabar dan sempurna, yaitu Sri Rama.
Maka, kita mengenang Arjunasasrabahu bukan hanya sebagai penakluk Ravana, tetapi juga sebagai peringatan abadi tentang bahaya ketika otoritas politik melampaui batas-batas moralitas spiritual. Seribu lengan Raja Haihaya adalah simbol kekuatan yang gagal memahami batasan ilahinya sendiri.
Arjunasasrabahu, Raja Haihaya dari Mahishmati, adalah sosok yang monumental dalam mitologi Hindu. Ia mencapai puncak kekuasaan kshatriya yang jarang tertandingi, mendapatkan anugerah seribu lengan dari Dattatreya, dan berhasil menaklukkan Ravana, raja raksasa yang paling ditakuti. Pemerintahan Arjunasasrabahu adalah era keemasan Dharma yang ditegakkan dengan kekuatan absolut.
Namun, kisahnya menjadi pelajaran tentang kejatuhan seorang pahlawan karena kesombongan (mada). Pelanggarannya terhadap Resi Jamadagni dan perampasan Kamadhenu membuktikan bahwa kekuatan fisik dan militer harus selalu tunduk pada otoritas spiritual dan Dharma. Kehancuran yang diakibatkan oleh Parashurama menjadi penutup tragis bagi kehidupan yang begitu agung, memastikan bahwa kekuasaan absolut tanpa moralitas akan selalu berakhir dengan kehancuran.
Di Nusantara, melalui Kakawin Arjunawijaya, Raja Seribu Lengan dikenang sebagai simbol keagungan dan keperkasaan, menjadi inspirasi bagi raja-raja Jawa untuk mencontoh kepahlawanannya dalam menaklukkan kejahatan, sambil tetap menjaga keseimbangan spiritual dan etika dalam pemerintahan.