Arsip Inaktif: Definisi, Mekanisme Pengelolaan, dan Perannya dalam Memori Institusi

Siklus Hidup Arsip Ilustrasi pergerakan dokumen dari status Aktif (digunakan sering) menuju Inaktif (disimpan) dan berakhir di Statis (diabadikan). Aktif Retensi INAKTIF (Frekuensi Penggunaan Menurun) Disposisi Statis

Diagram Siklus Hidup Arsip: Transisi dari Aktif ke Inaktif, hingga Disposisi Statis.

Inti Definisi: Arsip inaktif adalah arsip yang frekuensi penggunaannya telah menurun drastis, tetapi masih memiliki nilai guna administrasi, hukum, keuangan, dan/atau ilmiah yang memerlukan penyimpanan dan pemeliharaan untuk jangka waktu tertentu sesuai Jadwal Retensi Arsip (JRA) sebelum dimusnahkan atau dipermanenkan.

I. Konsep Dasar dan Posisi Arsip Inaktif dalam Siklus Hidup Dokumen

Pengelolaan kearsipan modern tidak bisa dilepaskan dari konsep daur hidup arsip (life cycle of records), yang membagi keberadaan dokumen menjadi tiga fase utama: arsip aktif, arsip inaktif, dan arsip statis. Pemahaman yang mendalam mengenai posisi dan karakteristik arsip inaktif adalah kunci untuk memastikan efisiensi administrasi sekaligus penyelamatan memori kolektif organisasi.

Arsip inaktif mewakili fase transisi yang paling krusial. Fase ini menandakan bahwa dokumen telah menyelesaikan fungsi operasional utamanya, namun masih menjadi bukti pertanggungjawaban legal dan finansial. Dalam konteks kearsipan Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, pengelolaan arsip inaktif merupakan tanggung jawab pencipta arsip (lembaga atau individu) sebelum diserahkan kepada Lembaga Kearsipan (Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI atau Lembaga Kearsipan Daerah).

Karakteristik Utama yang Membedakan Arsip Inaktif

Identifikasi status inaktif didasarkan pada beberapa parameter spesifik yang harus diukur secara objektif oleh unit kearsipan:

  1. Frekuensi Penggunaan: Penggunaan arsip aktif umumnya harian atau mingguan. Begitu frekuensi penggunaan dokumen turun menjadi kurang dari satu kali dalam setahun (atau sesuai kebijakan internal yang ditetapkan dalam JRA), dokumen tersebut memasuki status inaktif.
  2. Nilai Guna Administratif: Meskipun tidak lagi digunakan untuk operasi sehari-hari, arsip inaktif tetap memiliki nilai sekunder. Nilai ini mencakup nilai pertanggungjawaban (akuntabilitas), nilai hukum (bukti sah), dan nilai sejarah/ilmiah.
  3. Lokasi Penyimpanan: Arsip aktif disimpan di unit kerja pencipta arsip (filling cabinet atau server aktif). Arsip inaktif harus dipindahkan ke Pusat Arsip (Record Center) atau depo arsip inaktif yang dikelola secara terpusat untuk efisiensi ruang dan pengawasan.
  4. Prosedur Akses: Akses terhadap arsip aktif cepat dan mudah. Akses terhadap arsip inaktif memerlukan prosedur permintaan dan otorisasi yang lebih formal, seringkali melalui unit kearsipan.

Kegagalan dalam memindahkan arsip inaktif dari unit kerja aktif akan mengakibatkan penumpukan dokumen yang tidak relevan, yang dikenal sebagai 'fenomena gunung es' di meja kerja, menghambat kecepatan kerja, dan meningkatkan risiko kehilangan dokumen bernilai tinggi.

II. Landasan Hukum dan Kewajiban Pengelolaan Arsip Inaktif

Regulasi kearsipan di Indonesia secara tegas mengatur bahwa pengelolaan arsip, termasuk arsip inaktif, adalah kewajiban yang melekat pada setiap organisasi, baik lembaga negara, pemerintahan daerah, maupun organisasi swasta yang menerima dana negara. Kerangka kerja hukum ini memberikan batasan waktu penyimpanan dan prosedur yang harus diikuti.

Pentingnya Jadwal Retensi Arsip (JRA)

Instrumen paling vital dalam pengelolaan arsip inaktif adalah Jadwal Retensi Arsip (JRA). JRA merupakan daftar yang berisikan jangka waktu penyimpanan (retensi) yang wajib dipedomani oleh setiap pencipta arsip. JRA menentukan kapan sebuah arsip berubah status, mulai dari aktif, menjadi inaktif, hingga nasib akhirnya (musnah atau statis).

Proses penyusunan JRA harus melalui analisis fungsi organisasi (analisis tugas dan fungsi unit kerja) dan analisis substansi (isi) dokumen. Analisis ini menghasilkan keputusan berapa lama arsip harus disimpan dalam fase aktif dan berapa lama dalam fase inaktif. Sebagai contoh, dokumen keuangan tertentu mungkin memiliki retensi inaktif 10 tahun setelah laporan audit selesai, sedangkan dokumen kepegawaian mungkin memiliki retensi inaktif hingga 5 tahun setelah pegawai pensiun.

Kepatuhan terhadap JRA tidak hanya mencegah pemusnahan dokumen yang masih bernilai hukum, tetapi juga memastikan efisiensi ruang simpan dengan menyingkirkan dokumen yang masa retensinya sudah habis. JRA yang telah disahkan oleh ANRI atau pejabat yang berwenang menjadi payung hukum utama dalam proses penyusutan arsip.

Transformasi Legalitas Inaktif

Selama fase inaktif, nilai hukum arsip tetap tinggi. Misalnya, dokumen kontrak yang telah selesai dilaksanakan, meskipun tidak lagi digunakan harian (inaktif), harus tetap disimpan sebagai bukti sah jika terjadi sengketa di masa mendatang. Oleh karena itu, perlakuan fisik dan pengamanan terhadap arsip inaktif harus memenuhi standar yang sama ketatnya dengan arsip aktif, bahkan seringkali lebih ketat karena arsip inaktif merupakan akumulasi dari keputusan dan tindakan masa lalu yang tidak dapat diulang.

Pengelolaan arsip inaktif dalam konteks pemerintahan juga terikat pada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), di mana dokumen elektronik inaktif harus dikelola melalui Sistem Kearsipan Dinamis Terintegrasi (SRIKANDI) atau sistem serupa, memastikan metadata dan integritas dokumen tidak berubah selama periode retensi.

III. Mekanisme Pengelolaan Fisik Arsip Inaktif

Pengelolaan arsip inaktif jauh lebih kompleks daripada sekadar memindahkannya ke gudang. Proses ini melibatkan serangkaian kegiatan teknis kearsipan mulai dari penataan, penyimpanan, pemeliharaan, hingga penemuan kembali yang cepat dan akurat.

Prosedur Penataan dan Penyerahan (Transfer)

Langkah pertama setelah dokumen dinyatakan inaktif sesuai JRA adalah penataan dan persiapan transfer. Proses ini sering disebut pemberkasan inaktif atau penataan ulang. Tujuan dari penataan adalah untuk memastikan bahwa ketika arsip dibutuhkan kembali (retrieval), arsip tersebut dapat ditemukan dalam waktu singkat.

  1. Pemberkasan Ulang (Re-filing): Arsip yang sebelumnya mungkin disimpan berdasarkan nama atau tanggal di unit aktif, harus ditata ulang berdasarkan skema klasifikasi definitif yang konsisten di seluruh organisasi (sering kali berdasarkan Skema Klasifikasi Keamanan dan Akses Arsip/SKKAA dan Klasifikasi Indeks).
  2. Pembuatan Daftar Arsip Inaktif (DAI): Setiap unit kerja yang menyerahkan arsip wajib membuat DAI yang mencantumkan nomor definitif berkas, judul berkas, kurun waktu, jumlah volume, dan keterangan retensi (kapan arsip ini akan musnah/statis). DAI menjadi alat kontrol utama.
  3. Pengemasan Standar: Arsip fisik harus dimasukkan ke dalam boks arsip yang memenuhi standar kearsipan (bebas asam/acid-free, pH netral). Setiap boks diberi label identitas yang jelas sesuai DAI dan penempatan rak.
  4. Berita Acara Penyerahan (BAP): Transfer arsip dari unit pencipta ke Pusat Arsip Inaktif harus didokumentasikan melalui BAP. BAP ini mengalihkan tanggung jawab fisik dan administratif dari unit pencipta kepada unit kearsipan.

Manajemen Ruang Simpan (Record Center)

Tempat penyimpanan arsip inaktif adalah Pusat Arsip (Record Center) yang dirancang khusus untuk konservasi jangka menengah hingga panjang. Persyaratan fisik lingkungan penyimpanan sangat ketat:

A. Pengendalian Lingkungan

B. Keamanan dan Struktur

IV. Pelestarian dan Konservasi Arsip Inaktif

Meskipun statusnya inaktif, masa retensi arsip bisa mencapai puluhan tahun (misalnya, JRA untuk perkara hukum yang memiliki retensi 30 tahun). Oleh karena itu, upaya pelestarian harus dilakukan secara sistematis.

Konservasi Preventif

Fokus utama dalam pengelolaan arsip inaktif adalah konservasi preventif, yaitu tindakan pencegahan kerusakan sebelum terjadi. Ini mencakup:

  1. Fumigasi Periodik: Pengendalian hama (serangga dan rodensia) melalui fumigasi atau sistem perangkap yang tidak merusak dokumen.
  2. Restorasi Minor: Melakukan perbaikan sederhana pada dokumen yang sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan sebelum disimpan (misalnya, menghilangkan klip logam yang menyebabkan karat).
  3. Alih Media (Digitasi): Untuk arsip inaktif yang memiliki nilai sangat tinggi atau kondisi fisiknya mulai memburuk, alih media menjadi arsip elektronik merupakan strategi konservasi yang efektif, sekaligus mempermudah akses (dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya).
  4. Monitoring Rutin: Pemeriksaan suhu, kelembaban, dan keberadaan jamur harus dilakukan harian dan dicatat dalam logbook kontrol lingkungan.

Perawatan ini memastikan bahwa ketika masa retensi arsip inaktif berakhir dan dokumen tersebut diputuskan untuk menjadi arsip statis (diabadikan), kondisinya masih layak untuk diakses oleh generasi mendatang.

V. Penemuan Kembali dan Pemanfaatan Arsip Inaktif

Paradigma bahwa arsip inaktif adalah arsip yang 'tertidur' seringkali keliru. Meskipun frekuensi penggunaannya rendah, ketersediaan arsip inaktif yang cepat sangat vital, terutama dalam kasus audit, litigasi, atau penyelidikan historis/korporasi.

Sistem Penemuan Kembali (Retrieval System)

Efisiensi Record Center diukur dari kecepatan penemuan kembali dokumen. Ini membutuhkan sistem indeksasi yang sangat baik:

Nilai Guna Sekunder

Selain nilai guna primer (operasional), arsip inaktif memegang nilai guna sekunder yang strategis. Nilai ini meliputi:

  1. Akuntabilitas Institusi: Bukti bahwa sebuah keputusan telah diambil melalui prosedur yang sah, penting untuk pemeriksaan oleh auditor eksternal atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
  2. Hukum dan Bukti Sah: Menjadi alat bukti di pengadilan atau dalam sengketa kontrak.
  3. Sumber Penelitian dan Pendidikan: Data kumulatif dari arsip inaktif dapat dianalisis untuk perencanaan strategis, evaluasi kinerja, dan penelitian sejarah organisasi.

Tanpa pengelolaan inaktif yang baik, proses audit bisa terhambat, bahkan organisasi bisa kalah dalam kasus hukum karena gagal menyajikan bukti dokumen yang cepat dan valid.

VI. Penyusutan Arsip Inaktif: Dari Retensi Menuju Disposisi Akhir

Penyusutan (disposisi) adalah fase akhir dalam manajemen arsip dinamis. Ini adalah proses pengurangan jumlah arsip melalui pemindahan (transfer) ke arsip statis atau pemusnahan, berdasarkan JRA.

Proses Penentuan Nasib Akhir

Setelah masa retensi inaktif berakhir, arsiparis harus melakukan verifikasi nilai guna kembali (reappraisal). Arsip dibagi menjadi dua kategori nasib akhir:

  1. Arsip Permanen (Statis): Arsip yang memiliki nilai sejarah atau nilai guna kebuktian nasional yang sangat tinggi, yang wajib diserahkan kepada Lembaga Kearsipan (ANRI/LKD) untuk diabadikan selamanya.
  2. Arsip Musnah: Arsip yang nilai gunanya (administrasi, hukum, keuangan) sudah benar-benar hilang, dan JRA telah menetapkan bahwa dokumen tersebut boleh dimusnahkan.

Prosedur Pemusnahan yang Sah

Pemusnahan arsip inaktif bukanlah tindakan sembarangan; ini adalah tindakan hukum yang memerlukan otorisasi dan akuntabilitas tinggi. Prosedurnya sangat rinci dan harus dipatuhi untuk menghindari tuntutan di masa depan:

Proses penyusutan, terutama pemusnahan, merupakan indikator kesehatan manajemen arsip inaktif adalah. Proses yang berjalan lancar menunjukkan bahwa organisasi telah efektif dalam memisahkan arsip vital dari arsip tidak berguna.

VII. Tantangan dan Implementasi Arsip Inaktif Digital

Perkembangan teknologi telah memunculkan jenis arsip baru, yaitu arsip elektronik atau digital. Pengelolaan arsip inaktif digital menghadirkan tantangan yang berbeda dari arsip fisik, terutama terkait autentisitas, integritas, dan ketersediaan.

Integritas Metadata dan Otentisitas

Arsip inaktif adalah bukti. Dalam lingkungan digital, pembuktian ini sangat bergantung pada metadata. Metadata (data tentang data) harus menyimpan informasi vital seperti siapa yang menciptakan arsip, kapan dimodifikasi, dan status otentikasinya.

Tantangan utama arsip digital inaktif adalah risiko obsolescence teknologi (perangkat keras atau lunak menjadi usang). Oleh karena itu, diperlukan strategi migrasi data berkala (technology refresh) untuk memastikan arsip digital dapat terus dibaca di platform teknologi baru, tanpa mengubah integritas informasinya.

Pemanfaatan Sistem Kearsipan Dinamis Terintegrasi (SKDT)

Di Indonesia, implementasi SKDT (seperti SRIKANDI) bertujuan untuk mengelola arsip digital secara terintegrasi, termasuk otomatisasi transisi dari aktif ke inaktif. Dalam sistem digital, perubahan status inaktif dipicu secara otomatis oleh sistem berdasarkan JRA yang sudah diprogramkan. Ketika arsip inaktif, sistem harus memastikan:

Biaya Penyimpanan Digital vs. Fisik

Meskipun sering dianggap murah, penyimpanan digital jangka panjang (inaktif) memerlukan biaya substansial untuk pemeliharaan server, pencadangan data, mitigasi bencana, dan migrasi teknologi. Oleh karena itu, prinsip JRA juga diterapkan pada arsip digital; arsip yang tidak bernilai harus dihapus secara permanen dari semua media penyimpanan untuk efisiensi sistem.

VIII. Peran Sentral Arsiparis dalam Manajemen Inaktif

Keberhasilan manajemen arsip inaktif adalah sepenuhnya bergantung pada kompetensi dan profesionalisme arsiparis yang mengelolanya. Arsiparis tidak hanya bertugas sebagai penjaga gudang, tetapi sebagai manajer informasi strategis.

Kompetensi Spesifik yang Dibutuhkan

Arsiparis yang menangani arsip inaktif harus memiliki keahlian yang multidisiplin:

  1. Pengetahuan Hukum: Pemahaman mendalam tentang UU Kearsipan, PP terkait, dan regulasi lain yang memengaruhi retensi (misalnya, undang-undang perpajakan, hukum perdata).
  2. Manajemen Fasilitas: Kemampuan mengelola fisik Record Center, termasuk pengendalian hama, pengukuran suhu/kelembaban, dan perawatan sarana penyimpanan.
  3. Teknologi Informasi: Keterampilan dalam mengelola database kearsipan, sistem alih media, dan integritas arsip digital (e-records management).
  4. Kemampuan Negosiasi: Mampu bernegosiasi dengan unit kerja terkait penentuan JRA dan transfer arsip, seringkali harus meyakinkan unit kerja untuk melepaskan kontrol atas dokumen.

Pembentukan Budaya Sadar Arsip Inaktif

Tugas arsiparis juga mencakup edukasi. Mereka harus secara rutin menyosialisasikan pentingnya memisahkan arsip inaktif kepada seluruh pegawai organisasi. Budaya sadar arsip memastikan bahwa unit kerja tidak menahan arsip inaktif (yang memboroskan sumber daya) dan menyerahkannya tepat waktu sesuai JRA.

Pentingnya Audit Kearsipan

Untuk memastikan manajemen inaktif berjalan efektif, audit kearsipan internal dan eksternal harus dilakukan secara periodik. Audit ini mengevaluasi apakah JRA telah diterapkan dengan benar, apakah lingkungan penyimpanan memenuhi standar konservasi, dan apakah prosedur pemusnahan dilakukan sesuai hukum. Audit membantu mengidentifikasi risiko kehilangan bukti legal dan menjamin akuntabilitas institusi.

IX. Dampak Strategis Pengelolaan Arsip Inaktif yang Optimal

Manajemen arsip inaktif adalah bukan sekadar beban administratif, melainkan investasi strategis yang memberikan manfaat jangka panjang bagi organisasi:

1. Efisiensi Operasional dan Penghematan Biaya

Dengan memindahkan arsip inaktif dari kantor aktif, organisasi dapat menghemat ruang kantor bernilai tinggi. Pusat Arsip yang terpusat dan efisien mengurangi biaya operasional penyimpanan per meter persegi. Selain itu, dengan adanya JRA dan proses penyusutan yang jelas, organisasi tidak perlu menyimpan dokumen yang tidak lagi bernilai, yang secara signifikan mengurangi volume arsip yang harus dikelola, baik fisik maupun digital.

2. Mitigasi Risiko Hukum dan Finansial

Pengelolaan inaktif yang terstruktur memastikan bahwa semua dokumen yang dibutuhkan untuk pertanggungjawaban hukum tersedia dan otentik. Ini meminimalkan risiko denda, sanksi hukum, atau kekalahan dalam litigasi yang disebabkan oleh hilangnya bukti kunci. Ketersediaan data historis yang cepat juga memperlancar proses audit dan investigasi internal.

3. Mempertahankan Memori Institusional

Fase inaktif adalah filter sebelum dokumen menjadi statis. Melalui pengelolaan inaktif yang cermat, arsiparis memastikan bahwa hanya dokumen yang benar-benar bernilai sejarah yang dipertahankan, sementara dokumen yang tidak penting dikeluarkan. Hal ini menjamin bahwa memori institusi yang diwariskan kepada generasi mendatang adalah memori yang relevan, akurat, dan memiliki integritas sejarah yang tinggi.

X. Implementasi Detail Teknis Kearsipan Inaktif

Agar pengelolaan arsip inaktif berfungsi optimal, rincian teknis harus diperhatikan secara detail, mulai dari tingkat folder hingga tingkat rak depo penyimpanan. Ketelitian adalah prinsip utama dalam fase ini.

Detail Pemberkasan dan Pelabelan

Setiap boks arsip inaktif (Archival Box) harus memiliki label eksternal dan internal yang standar. Label eksternal harus mencantumkan:

Di dalam boks, berkas harus ditata sedemikian rupa sehingga mudah diidentifikasi. Penggunaan *folder guide* atau *sekat berkas* dengan warna yang berbeda dapat mempermudah pemisahan antar berkas. Semua penjepit logam (klip, staples) harus diganti dengan penjepit plastik atau tali rami untuk menghindari korosi, yang merupakan salah satu penyebab kerusakan kertas paling umum dalam depo inaktif.

Sistem Penjajaran (Shelving)

Prinsip penempatan arsip inaktif adalah berdasarkan asas tata ruang yang efektif dan efisien. Idealnya, penempatan dilakukan secara berurutan sesuai dengan kode klasifikasi atau nomor boks yang ditetapkan (sistem numerik). Namun, dalam banyak kasus, sistem penempatan yang digunakan adalah *relative placement*, di mana boks yang baru datang ditempatkan di ruang kosong terdekat. Jika ini dilakukan, ketepatan data lokasi di DAI (Daftar Arsip Inaktif) atau database adalah hal mutlak. Tanpa DAI yang akurat, arsiparis akan kehilangan jejak fisik dokumen.

Standar penataan rak juga mengharuskan adanya jarak aman dari dinding dan lantai. Jarak minimum 10-15 cm dari dinding mencegah kelembaban meresap ke dalam arsip, dan jarak 15 cm dari lantai mencegah risiko kerusakan jika terjadi genangan air. Tinggi tumpukan boks juga harus dibatasi, biasanya tidak lebih dari empat boks, untuk mencegah kerusakan fisik akibat beban terlalu berat.

XI. Aspek Sumber Daya Manusia dan Pelatihan Berkelanjutan

Pengelolaan arsip inaktif adalah pekerjaan yang memerlukan spesialisasi. Investasi dalam sumber daya manusia (SDM) kearsipan tidak boleh diabaikan, terutama dalam menghadapi volume arsip yang terus meningkat.

Spesialisasi Kearsipan Inaktif

Pelatihan berkala bagi arsiparis harus mencakup modul khusus, seperti:

Keterampilan ini memastikan arsiparis mampu beradaptasi dengan perubahan regulasi dan teknologi, serta mampu mengadvokasi kebutuhan kearsipan kepada pimpinan institusi.

Kerja Sama Lintas Unit

Arsiparis inaktif harus menjalin komunikasi yang intensif dengan:

Tanpa kolaborasi ini, JRA tidak akan berjalan efektif, dan arsip inaktif akan menjadi ‘pulau terpencil’ dalam organisasi.

XII. Mitigasi Risiko Bencana pada Arsip Inaktif

Mengingat arsip inaktif menyimpan sejarah yang tak tergantikan, perlindungan terhadap risiko bencana (kebakaran, banjir, gempa bumi) adalah prioritas tertinggi.

Perencanaan Kesiapsiagaan Bencana (Disaster Planning)

Setiap Record Center harus memiliki Rencana Penanggulangan Bencana Kearsipan (RPBK) yang detail, mencakup:

  1. Identifikasi Arsip Vital: Menentukan arsip inaktif mana yang paling penting (vital records) yang harus diselamatkan pertama kali. Seringkali, arsip vital ini diwujudkan dalam bentuk digital cadangan yang disimpan di lokasi geografis yang berbeda.
  2. Prosedur Evakuasi: Langkah-langkah detail untuk mengevakuasi arsip fisik (misalnya, penggunaan kantong plastik kedap air untuk arsip yang terendam).
  3. Prosedur Pemulihan (Recovery): Instruksi spesifik mengenai teknik penyelamatan dokumen yang basah (pengeringan beku/freeze drying) atau terbakar sebagian.
  4. Pelatihan Reguler: Tim arsiparis dan keamanan harus dilatih secara berkala dalam simulasi bencana untuk memastikan respons yang cepat dan tepat.

Kegagalan dalam RPBK dapat berarti hilangnya bukti kearsipan yang masa retensinya masih panjang, yang berpotensi merugikan organisasi secara finansial dan legal.

XIII. Analisis Nilai Guna Lanjutan (Reappraisal)

Proses penentuan apakah sebuah arsip inaktif adalah atau sudah statis (permanen) sering kali menjadi tantangan terbesar. Ini melibatkan penilaian nilai guna yang sangat subjektif, namun harus didasarkan pada metodologi ilmiah.

Kriteria Penilaian Arsip Statis

Ketika masa retensi inaktif berakhir, arsiparis melakukan penilaian ulang (appraisal) menggunakan kriteria nilai guna sekunder, antara lain:

Jika arsip memenuhi salah satu kriteria di atas, ia diusulkan untuk menjadi arsip statis dan diserahkan ke Lembaga Kearsipan. Jika tidak, ia akan dimusnahkan. Keputusan appraisal ini adalah salah satu fungsi paling penting dan sensitif dari arsiparis dalam manajemen arsip inaktif.

Secara ringkas, pengelolaan arsip inaktif adalah jembatan yang menghubungkan operasi harian sebuah institusi dengan sejarah dan akuntabilitas masa depannya. Sistem yang kuat menjamin bahwa bukti hukum dan memori kelembagaan tetap utuh dan dapat diakses, sekaligus membebaskan sumber daya untuk efisiensi operasional.

🏠 Homepage