Di tengah hiruk pikuk Jakarta, berdiri tegak sebuah kompleks arsitektur yang melambangkan jantung demokrasi dan kedaulatan rakyat Indonesia: Kompleks Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bangunan megah dengan atap melengkung yang khas ini bukan sekadar struktur beton dan baja, melainkan sebuah monumen filosofis yang menyimpan sejarah panjang, ambisi politik, dan visi seorang arsitek terkemuka. Tokoh sentral di balik perwujudan fisik cita-cita bangsa ini adalah Soejoedi Wirjoatmodjo.
Soejoedi, seorang maestro arsitektur modern Indonesia, tidak hanya merancang sebuah gedung, melainkan sebuah narasi spasial. Karyanya ini berdiri sebagai jembatan antara semangat revolusi, idealisme kemerdekaan, dan kebutuhan akan fungsionalitas modern sebuah negara yang baru meniti jalannya. Untuk memahami makna sejati kompleks parlemen, kita harus menyelami pemikiran Soejoedi, konteks politik saat desain tersebut lahir, serta detail struktural yang menjadikannya salah satu karya arsitektur paling signifikan di Asia Tenggara.
Sketsa geometris yang merepresentasikan bentuk atap cangkang tipis Gedung Nusantara I, ciri khas rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo.
Kisah pembangunan kompleks parlemen bermula dari sebuah proyek ambisius yang jauh berbeda dari fungsi legislatifnya saat ini. Awalnya, situs di Senayan ini dialokasikan untuk pembangunan pusat Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, CONEFO), sebuah inisiatif monumental dari Presiden Sukarno yang berupaya menandingi pengaruh blok-blok besar dunia. Kompleks CONEFO direncanakan sebagai pusat pertemuan internasional bagi negara-negara yang tidak terikat pada paham kapitalisme maupun komunisme, mencerminkan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Ketika situasi politik nasional mengalami perubahan fundamental, terutama pasca-peristiwa G30S dan beralihnya kekuasaan ke era Orde Baru, proyek CONEFO dihentikan. Namun, struktur yang sudah mulai dibangun — terutama fondasi utama — dipertahankan. Pemerintah kemudian memutuskan bahwa lokasi strategis dan desain megah ini lebih tepat dialokasikan untuk fungsi paling penting dalam tatanan kenegaraan yang baru: tempat berkumpulnya wakil rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Keputusan untuk mengubah fungsi ini memerlukan penyesuaian besar. Soejoedi Wirjoatmodjo, yang saat itu telah menunjukkan reputasi cemerlang sebagai arsitek progresif yang mampu memadukan kearifan lokal dengan teknik konstruksi modern, dipercaya untuk mengadaptasi dan menyempurnakan rancangan tersebut. Peran Soejoedi tidak sekadar meneruskan, melainkan memberikan jiwa baru pada struktur yang ada, mentransformasikannya dari sebuah simbol kekuatan global menjadi sebuah wadah kedaulatan rakyat. Transisi ini bukan hanya perubahan fungsi, tetapi juga perubahan ideologi arsitektural yang mendalam.
Soejoedi Wirjoatmodjo (1928–2019) adalah salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah arsitektur Indonesia modern. Pendidikan formalnya dimulai di Technische Hogeschool Delft, Belanda, sebuah lembaga yang sangat menghargai inovasi dan solusi struktural yang berani. Pengalaman internasional ini memberinya bekal kuat dalam penguasaan teknik beton bertulang dan struktur cangkang tipis (shell structure), teknik yang sangat diandalkan untuk mewujudkan atap ikonik Gedung Nusantara I.
Namun, yang membedakan Soejoedi adalah kemampuannya menanamkan identitas keindonesiaan ke dalam bentuk-bentuk modern yang ia pelajari di Barat. Ia menolak pendekatan arsitektur yang sekadar meniru Barat, tetapi juga menghindari arsitektur yang terjebak dalam romantisme tradisional tanpa memperhatikan fungsionalitas dan iklim tropis. Soejoedi berpegang pada prinsip bahwa arsitektur nasional harus adaptif dan jujur dalam material dan konstruksi.
Pada saat merancang kompleks parlemen, Soejoedi berada pada puncak karirnya. Ia menghadapi tantangan ganda: memenuhi kebutuhan ruang rapat yang masif untuk ribuan anggota MPR, sambil tetap menghasilkan sebuah ikon visual yang kuat, merefleksikan persatuan dan kekuatan negara. Hasilnya adalah sebuah sintesis yang brilian, di mana teknik struktural mutakhir dari era modernisme Eropa digunakan untuk menciptakan bentuk yang sarat dengan interpretasi budaya Nusantara.
Gedung utama kompleks parlemen, yang dikenal sebagai Gedung Nusantara I, adalah mahakarya geometris yang menjadi fokus utama rancangan Soejoedi. Atapnya yang ikonik sering disebut sebagai 'atap keong' atau 'rumah siput' karena bentuk spiralnya yang menawan. Secara teknis, ini adalah struktur cangkang tipis (thin-shell structure) dari jenis hiperbolik paraboloid, sebuah bentuk yang secara inheren kuat dan ringan, memungkinkan bentangan lebar tanpa tiang penyangga internal yang masif.
Bagi Soejoedi, bentuk tersebut sarat makna. Ia menamainya sebagai "Lingkarang Setan" (dalam konteks Soejoedi, ini lebih merujuk pada lingkaran energi atau aura kekuatan, bukan konotasi negatif). Ia ingin agar bentuk ini menyerupai sebentuk cangkang yang menaungi rakyat, sekaligus melambangkan stabilitas dan gerakan yang berkelanjutan. Bentuk ini secara filosofis juga mencoba menangkap citra persatuan yang bergerak: kubah besar tersebut seolah-olah ditarik dari berbagai arah, merepresentasikan berbagai suku dan pandangan yang disatukan di bawah satu atap persidangan.
Lebih jauh, bentuk atap tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sayap yang mengepak, sering dikaitkan dengan sayap Garuda atau bahkan siluet dari Wayang Purwa, elemen-elemen budaya yang sangat dikenal di Indonesia. Sudut kemiringan dan lipatan betonnya dirancang sedemikian rupa sehingga menciptakan efek visual dinamis, mencerminkan dinamika politik yang terjadi di dalamnya.
Kompleks DPR/MPR tidak hanya terdiri dari satu bangunan, melainkan sebuah kluster terencana yang memungkinkan pengembangan di masa depan. Soejoedi merancang kompleks ini berdasarkan tiga fungsi utama:
Pembagian kluster ini menunjukkan visi arsitek yang jauh ke depan, memahami bahwa kebutuhan ruang legislatif akan terus bertambah seiring perkembangan negara. Desain ini memastikan bahwa ekspansi di masa depan (seperti penambahan Nusantara II dan III, yang dibangun belakangan) dapat dilakukan tanpa mengganggu integritas arsitektural dan filosofi keseluruhan kompleks yang dipimpin oleh Nusantara I.
Pembangunan Gedung Nusantara I merupakan pencapaian teknik sipil yang luar biasa pada masanya. Struktur atapnya membentang sekitar 90 meter tanpa kolom internal di area persidangan utama. Struktur cangkang tipis beton bertulang (reinforced concrete thin shell) ini adalah pilihan Soejoedi untuk mencapai kemegahan visual dan fungsionalitas ruang bebas hambatan. Beton hanya digunakan setebal 10 hingga 15 sentimeter pada beberapa bagian atap, yang memerlukan perhitungan presisi yang sangat tinggi untuk memastikan integritas struktural, terutama mengingat lokasi Jakarta yang rentan terhadap aktivitas seismik.
Penggunaan material lokal ditekankan. Meskipun tekniknya modern, Soejoedi memastikan bahwa tenaga kerja dan sebagian besar material didatangkan dari dalam negeri, menegaskan semangat kemandirian proyek nasional ini. Proses pengerjaan cetakan (formwork) untuk atap melengkung ini sangat rumit. Dibutuhkan perencanaan yang cermat dan penggunaan perancah yang masif sebelum beton cor dapat mengeras dan menopang beban dirinya sendiri.
Ketepatan perancangan lengkungan ini berfungsi ganda: ia menciptakan akustik yang luar biasa alami di ruang paripurna, memudahkan penyampaian pidato tanpa memerlukan amplifikasi yang berlebihan pada masa awal pembangunan; sekaligus memungkinkan ventilasi pasif yang terbatas, meskipun kenyamanan termal modern akhirnya menuntut instalasi sistem pendingin udara yang canggih.
Meskipun tampak masif, Soejoedi memasukkan elemen desain yang merespons iklim tropis. Fasad bangunan kerja (Nusantara II dan III) menggunakan sistem kisi-kisi (louvers) vertikal dan horizontal yang berfungsi ganda sebagai peneduh matahari sekaligus estetika yang ritmis. Jendela-jendela besar yang diletakkan di bawah naungan atap melengkung di Nusantara I memungkinkan cahaya alami masuk, namun meminimalkan panas langsung dari matahari. Ini adalah penerapan prinsip arsitektur tropis modern yang dianut oleh Soejoedi, mencari keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan terhadap cuaca ekstrem.
Penggunaan kolom-kolom besar yang kokoh di area serambi tidak hanya menopang beban struktural, tetapi juga menciptakan area transisi yang teduh dan luas, memungkinkan anggota dewan dan pengunjung bergerak nyaman di antara bangunan tanpa langsung terpapar panas. Kolom-kolom ini sering diinterpretasikan sebagai representasi tiang-tiang penyangga negara, menambah dimensi simbolis pada desain yang sebenarnya sangat fungsional.
Gedung Nusantara I adalah inti dari seluruh kompleks. Begitu memasuki ruang Paripurna, pengunjung disajikan dengan pengalaman ruang yang dramatis. Langit-langit yang melengkung tinggi menciptakan perasaan lapang dan monumentalitas. Desain interior ruang sidang ini adalah studi kasus tentang bagaimana arsitektur dapat mempengaruhi psikologi dan hierarki sebuah pertemuan politik.
Tata letak tempat duduk dirancang secara melingkar dan bertingkat, bukan persegi panjang seperti di banyak parlemen Barat. Bentuk melingkar ini secara inheren mendukung prinsip musyawarah dan mufakat, karena secara teoritis tidak ada satu pun kursi yang ‘lebih unggul’ dari yang lain dalam lingkaran, meskipun posisi pimpinan sidang tetap diakui secara jelas. Lingkaran ini mencerminkan semangat demokrasi Pancasila yang mengutamakan kekeluargaan dalam pengambilan keputusan.
Material yang digunakan di interior, seperti marmer lokal dan kayu jati, dipilih untuk menciptakan suasana resmi namun hangat. Elemen dekoratif sering kali diambil dari motif tradisional Indonesia, tetapi disederhanakan dan dimodernisasi agar selaras dengan garis-garis arsitektur bangunan yang tegas. Pola geometris berulang yang digunakan dalam pelapis dinding dan lantai menciptakan kesan ketertiban dan disiplin yang diharapkan dalam proses legislasi.
Ruang Paripurna ini harus mampu menampung ribuan orang, terutama saat sidang umum MPR yang melibatkan seluruh anggota dewan perwakilan dan utusan daerah. Kapasitas yang masif ini adalah salah satu tuntutan desain yang paling menantang. Soejoedi berhasil mengakomodasi jumlah ini dengan perencanaan kursi yang efisien dan penggunaan balkon serta lantai bertingkat. Sirkulasi manusia di dalam gedung juga dirancang dengan sangat hati-hati, memastikan bahwa anggota dewan dapat mengakses ruang sidang dan ruang komisi dengan efisien, sebuah pertimbangan krusial dalam konteks mobilitas politik yang serba cepat.
Di bawah area utama sidang terdapat fasilitas pendukung vital, termasuk ruang kerja pimpinan, ruang komisi kecil, dan area penerimaan tamu penting. Perancangan tata letak ini merupakan contoh nyata dari integrasi fungsional: bagaimana sebuah bangunan ikonik harus tetap melayani kebutuhan praktis harian dari operasional pemerintahan.
Meskipun Nusantara I berfungsi sebagai wajah dan jantung ideologis kompleks, aktivitas sehari-hari DPR dan MPR memerlukan ruang kerja yang substansial. Seiring bertambahnya jumlah anggota dewan dan kompleksitas tugas legislasi, kebutuhan akan ruang kantor dan rapat komisi meningkat drastis. Inilah peran dari Gedung Nusantara II dan Nusantara III.
Gedung Nusantara II, yang sering disebut sebagai gedung "perkantoran", dirancang sebagai blok tinggi berbentuk persegi panjang. Arsitekturnya lebih pragmatis dan fungsionalis dibandingkan Nusantara I. Struktur ini, meskipun berbeda dalam bentuk, tetap menjalin dialog arsitektural dengan Nusantara I melalui penggunaan material dan modulasi fasad yang serupa. Mereka dihubungkan oleh jembatan penghubung yang memudahkan akses, menegaskan bahwa meskipun berbeda fungsi, mereka adalah bagian dari kesatuan lembaga legislatif.
Nusantara III berfungsi sebagai ruang komisi dan rapat gabungan, juga mengadopsi bentuk balok yang efisien. Bentuk-bentuk ini, yang lebih lurus dan vertikal, memberikan kontras yang menarik terhadap kelengkungan dinamis Nusantara I. Kontras ini dapat dibaca sebagai oposisi antara kerja praktis yang terstruktur (blok kantor) dan momen kedaulatan yang monumental (kubah Paripurna).
Salah satu keberhasilan perancangan Soejoedi adalah bagaimana ia menciptakan kerangka kerja arsitektur yang kuat sehingga pengembangan selanjutnya tidak terasa asing atau tempelan. Meskipun Nusantara II dan III dibangun dalam fase yang berbeda dan mungkin melibatkan tim pelaksana yang berbeda, mereka tetap mempertahankan skala dan ritme yang ditetapkan oleh masterplan awal. Prinsip modularitas dan pengulangan elemen fasad membantu menyatukan kompleks, menciptakan harmoni yang diperlukan dalam sebuah institusi negara yang besar.
Pengembangan ini tidak berhenti pada Nusantara II dan III. Kompleks ini mencakup pula Gedung Sekretariat Jenderal, yang menampung staf administrasi dan birokrasi pendukung, serta kompleks perumahan anggota dewan yang terpisah namun masih dalam cakupan masterplan awal kawasan Senayan. Setiap komponen, dari yang paling monumental hingga yang paling fungsional, dirancang untuk mendukung operasional lembaga negara secara menyeluruh.
Seperti halnya banyak proyek raksasa yang lahir di era modernisme, kompleks parlemen tidak luput dari kritik. Salah satu kritik utama yang sering dilontarkan adalah mengenai skala bangunan. Kritikus berpendapat bahwa kemegahan yang luar biasa dari Nusantara I, dengan atapnya yang dramatis, cenderung menciptakan jarak psikologis antara wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili. Ada pandangan bahwa arsitektur seharusnya lebih humanis, lebih membumi, dan kurang menantang.
Kritik lain tertuju pada masalah fungsionalitas jangka panjang. Meskipun desainnya brilian secara struktural, pemeliharaan struktur cangkang tipis yang kompleks dan kebutuhan untuk terus memperbarui infrastruktur di dalam bangunan yang berusia puluhan memerlukan biaya operasional yang sangat tinggi. Perawatan rutin, terutama sistem pendingin udara di ruangan yang sangat besar, menjadi tantangan teknis dan finansial yang berkelanjutan.
Soejoedi Wirjoatmodjo dikenal sebagai arsitek yang teguh pada visinya. Ia sering membela karyanya dengan menekankan bahwa sebuah institusi negara yang mewakili kedaulatan rakyat harus memiliki ekspresi arsitektur yang bermartabat dan monumental. Baginya, skala besar adalah refleksi dari tanggung jawab besar yang diemban oleh para legislator. Ia melihat bangunan ini bukan sebagai kantor biasa, melainkan sebagai katedral sipil, sebuah tempat suci bagi proses demokrasi.
Ia juga menekankan bahwa bentuk melengkung dan dinamis bukanlah sekadar estetika belaka, tetapi merupakan solusi struktural paling logis untuk menciptakan ruang bebas hambatan seluas itu. Dengan demikian, keindahan dan kemegahan yang ditawarkan adalah hasil sampingan dari kejujuran struktural, sebuah prinsip utama dalam arsitektur modern yang ia anut.
Skema denah yang menunjukkan hubungan spasial antara Gedung Nusantara I (inti paripurna) dengan bangunan kerja (Nusantara II dan III), merefleksikan masterplan kluster Soejoedi.
Arsitektur Tropis Modern adalah gerakan yang berusaha memanfaatkan material dan teknik modern, seperti beton dan baja, sambil secara cerdas beradaptasi dengan kondisi iklim panas dan lembap di wilayah tropis. Soejoedi adalah penganut teguh aliran ini. Dalam merancang kompleks DPR/MPR, ia menghadapi tantangan besar untuk mendinginkan ruang yang masif tanpa mengorbankan estetika monumental.
Penggunaan atap yang menjorok lebar pada Nusantara I dan kisi-kisi pada Nusantara II dan III adalah manifestasi dari arsitektur tropis. Atap yang lebar melindungi dinding kaca dari sinar matahari langsung, mengurangi transfer panas ke dalam ruangan. Selain itu, penempatan kolam air dan lanskap terbuka di sekitar kompleks membantu menciptakan efek pendinginan mikro (micro-climate effect) melalui penguapan, meskipun efek ini tentu saja tidak mencukupi untuk seluruh kebutuhan pendinginan di Jakarta yang panas.
Penting untuk dicatat bahwa dalam arsitektur tropis, sirkulasi udara alami sering menjadi kunci. Meskipun ruang Paripurna kini sangat bergantung pada AC, desain awal Soejoedi memungkinkan ventilasi silang yang baik di area serambi dan lobi. Ia memanfaatkan ketinggian plafon yang dramatis untuk memungkinkan udara panas naik dan keluar, sebuah teknik yang dikenal sejak zaman kolonial tetapi diterapkan dengan material modern.
Soejoedi sangat menekankan penggunaan material Indonesia. Selain beton bertulang yang dominan, pemilihan batu alam, marmer, dan jenis kayu tertentu bukan sekadar keputusan estetika, melainkan pernyataan identitas. Marmer yang digunakan di interior seringkali berasal dari Sulawesi atau Jawa, sementara kayu jati yang kuat dan tahan lama digunakan untuk panel dan perabot. Filosofi ini selaras dengan semangat kemandirian ekonomi pasca-revolusi, di mana proyek negara harus sebisa mungkin memanfaatkan kekayaan sumber daya alam domestik.
Tekstur material, seperti beton yang dibiarkan terekspos di beberapa area (honest expression of material), menunjukkan pendekatan modernis, tetapi cara penataan dan penyelesaiannya memberikan nuansa kehangatan yang khas Indonesia. Kombinasi antara beton kasar yang jujur dan kayu yang halus menciptakan dialog antara teknik industri global dan kerajinan lokal.
Pembangunan kompleks parlemen pada periode transisi politik Indonesia memiliki arti yang sangat penting. Setelah periode penuh gejolak (Era Demokrasi Terpimpin) dan lahirnya Orde Baru, diperlukan sebuah simbol stabilitas dan institusionalisasi yang kuat. Kompleks DPR/MPR adalah jawaban fisik terhadap kebutuhan tersebut.
Arsitektur Soejoedi berfungsi sebagai alat komunikasi politik yang efektif. Bentuknya yang kokoh dan berorientasi ke atas memproyeksikan citra negara yang kuat, terorganisir, dan berdaulat. Keberadaan kompleks ini di tengah pusat ibu kota, berdampingan dengan Gelora Bung Karno yang monumental, menegaskan sentralitas lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan yang baru.
Penggunaan istilah "Nusantara" untuk menamai setiap gedung dalam kompleks bukanlah kebetulan. Nama ini merujuk pada kepulauan Indonesia secara keseluruhan, menekankan bahwa keputusan yang diambil di dalamnya adalah demi seluruh bangsa, dari Sabang sampai Merauke. Soejoedi, melalui penamaan dan bentuk, berhasil menanamkan rasa kepemilikan nasional terhadap bangunan ini.
Dalam kurun waktu puluhan tahun beroperasi, Kompleks DPR/MPR mengalami penyesuaian fungsional dan teknis yang signifikan. Teknologi komunikasi dan informasi, misalnya, telah mengubah cara kerja komisi dan rapat. Bangunan-bangunan yang dirancang di era pra-digital harus dirombak internalnya untuk mengakomodasi jaringan internet, sistem voting elektronik, dan studio penyiaran modern. Tantangan bagi para perencana dan arsitek penerus adalah bagaimana melakukan modernisasi fungsi tanpa merusak warisan arsitektur asli Soejoedi.
Modifikasi terbesar terjadi pada interior, di mana kebutuhan ruang kerja individual, ruang rapat tertutup, dan keamanan yang ditingkatkan memaksa adanya perubahan tata letak. Namun, di bawah kubah Nusantara I, upaya maksimal dilakukan untuk mempertahankan nuansa asli ruang sidang utama, sebagai penghormatan terhadap visi sang arsitek dan nilai historis ruang tersebut.
Karya Soejoedi Wirjoatmodjo di kompleks parlemen menempatkannya sebagai salah satu pelopor utama arsitektur modern Indonesia yang berciri khas. Ia berhasil keluar dari bayang-bayang arsitek-arsitek kolonial Belanda dan arsitek lain di era Sukarno yang lebih fokus pada gaya "Indisch" atau art deco, dan memperkenalkan arsitektur modern yang berorientasi pada strukturalisme fungsional, namun tetap kaya akan makna budaya.
Proyek ini membuktikan kemampuan Soejoedi dalam mengelola proyek berskala besar dengan kompleksitas teknik yang luar biasa. Selain kompleks parlemen, Soejoedi juga meninggalkan jejak monumental lainnya di Jakarta, termasuk karya-karya lain yang mencerminkan eksplorasinya terhadap geometri beton dan identitas nasional.
Warisan Soejoedi tidak hanya terletak pada struktur fisik yang ia bangun, tetapi juga pada pengaruhnya terhadap generasi arsitek Indonesia berikutnya. Ia mengajarkan bahwa modernitas tidak harus berarti meninggalkan identitas, melainkan menggunakannya sebagai fondasi untuk inovasi. Ia mencontohkan bahwa beton, yang sering dianggap material asing, dapat menjadi media ekspresi yang sarat makna Nusantara.
Dibandingkan dengan gedung-gedung parlemen di negara lain, Kompleks DPR/MPR RI memiliki keunikan tersendiri. Parlemen di negara-negara Eropa umumnya mengadopsi gaya Neoklasik yang formal dan simetris, atau gaya modernis kotak-kotak. Sebaliknya, Nusantara I menawarkan bentuk organik-strukturalis yang dramatis dan unik.
Bentuk cangkang hiperbolik paraboloid ini sangat jarang diterapkan pada skala sebesar ini untuk gedung pemerintahan. Keberanian struktural ini menjadikannya objek studi penting dalam sejarah teknik sipil dan arsitektur dunia. Ia merupakan representasi visual yang tak terbantahkan dari ambisi sebuah negara berkembang untuk menegaskan posisi dan identitasnya di tengah panggung global, jauh dari tiruan desain Barat.
Kompleks ini adalah bukti bahwa Soejoedi bukan sekadar arsitek yang merespons kebutuhan klien (negara), melainkan seorang visioner yang berani mengintegrasikan teknologi konstruksi paling mutakhir dengan tuntutan simbolis dan spiritual bangsa. Gedung ini tidak hanya menjadi tempat di mana undang-undang dibuat, tetapi juga sebuah pernyataan arsitektur yang abadi mengenai kedaulatan, persatuan, dan cita-cita demokrasi Indonesia.
Kompleks DPR/MPR terletak di kawasan Senayan, sebuah area yang sejak awal dirancang sebagai pusat olahraga, pemerintahan, dan kegiatan publik yang besar. Soejoedi harus memastikan bahwa bangunan megah ini berinteraksi secara harmonis dengan lanskap sekitarnya. Lanskap di sekitar gedung parlemen dirancang dengan area terbuka yang luas dan dominasi rumput hijau. Ini bertujuan untuk menciptakan zona penyangga visual antara hiruk pikuk jalan raya dan keseriusan fungsi gedung.
Penataan lanskap yang sederhana namun terawat dengan baik ini juga berfungsi sebagai ‘paruh’ yang mempersiapkan pengunjung secara mental sebelum memasuki ruang institusional yang formal. Akses dan sirkulasi kendaraan dirancang untuk memisahkan lalu lintas publik dan jalur VIP, sebuah pertimbangan keamanan yang juga diintegrasikan ke dalam desain lanskap.
Saat ini, kompleks gedung parlemen bukan hanya lokasi kerja para legislator, tetapi juga situs bersejarah dan edukatif. Mahasiswa arsitektur, teknik sipil, dan sejarah sering mengunjungi lokasi ini untuk mempelajari bagaimana karya Soejoedi berhasil menggabungkan estetika, teknik, dan ideologi. Desain yang digunakan di sini—khususnya kubah Nusantara I—telah menjadi studi kasus wajib di banyak universitas di Indonesia.
Pemeliharaan warisan ini memerlukan komitmen berkelanjutan. Setiap renovasi atau penambahan yang dilakukan di masa depan harus mempertimbangkan prinsip-prinsip desain Soejoedi: kejujuran struktural, adaptasi tropis, dan simbolisme nasional. Kompleks ini berdiri sebagai pengingat akan pentingnya arsitektur monumental dalam membentuk narasi dan identitas sebuah negara. Soejoedi Wirjoatmodjo, melalui beton, baja, dan ambisinya, telah mengukir sebuah warisan yang jauh melampaui fungsi legislatifnya.
Simbol yang merefleksikan nilai-nilai dasar Pancasila, yang secara visual terintegrasi dalam berbagai ornamen di kompleks parlemen, menegaskan fungsi kedaulatan rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu dan reformasi kelembagaan negara, fungsi DPR dan MPR semakin kompleks. Ini memicu kebutuhan akan ruang-ruang baru yang spesifik. Misalnya, kebutuhan akan ruang komisi yang lebih banyak, ruang fraksi yang terpisah, dan pusat informasi publik yang modern. Soejoedi telah menyediakan kerangka kerja yang fleksibel dalam masterplan, namun implementasi detailnya memerlukan kepekaan arsitektural yang berkelanjutan.
Pengembangan Gedung Nusantara I, II, dan III telah mencapai batas optimal fungsionalitasnya dalam konteks kerangka Soejoedi. Setiap penambahan atau renovasi kini harus berjuang keras untuk menyeimbangkan antara tuntutan fungsionalitas abad ke-21 (seperti kebutuhan akan efisiensi energi, teknologi smart building, dan standar keamanan yang lebih ketat) dengan pelestarian nilai historis struktur cangkang tipis yang rentan terhadap modifikasi.
Salah satu aspek yang terus menjadi perhatian adalah integrasi teknologi digital ke dalam struktur fisik. Ruang Rapat Paripurna, yang dirancang untuk pertemuan tatap muka, kini harus mampu memfasilitasi rapat hibrida dan jarak jauh. Hal ini menuntut perombakan sistem akustik dan visual tanpa mengganggu bentang bebas yang menjadi ciri khas Soejoedi.
Kompleks parlemen yang dirancang Soejoedi melayani tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar menampung pegawai. Ia adalah sebuah panggung di mana drama politik bangsa dimainkan. Kualitas arsitekturnya, dengan penekanannya pada keterbukaan (melalui lobi yang luas) dan monumentalitas (melalui kubah), secara halus mengkomunikasikan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para wakil rakyat.
Ruang-ruang di dalamnya, dari yang paling publik hingga yang paling privat (ruang pimpinan), semuanya dirancang dengan hierarki yang jelas, memandu pergerakan dan interaksi. Ini menunjukkan bahwa arsitektur institusi negara adalah penjelmaan dari konstitusi yang tertulis. Soejoedi, sebagai arsitek negara, memiliki tanggung jawab untuk menerjemahkan nilai-nilai konstitusional ke dalam bentuk tiga dimensi yang dapat dialami dan dilihat oleh masyarakat.
Karya Soejoedi di Senayan adalah studi abadi tentang bagaimana arsitektur Indonesia dapat berbicara dengan bahasa global modernitas, sambil tetap berakar kuat pada identitas dan filosofi nasional. Monumen ini adalah bukti nyata dari kecerdasan Soejoedi Wirjoatmodjo, sang arsitek yang berhasil mendirikan simbol demokrasi Indonesia dalam bentuk beton dan aspirasi.