Penyakit Arteri Perifer (PAD) adalah kondisi progresif dan kronis yang ditandai dengan penyempitan atau oklusi pembuluh darah arteri di luar jantung dan otak, paling sering memengaruhi ekstremitas bawah. Kondisi ini bukan sekadar masalah lokal pada kaki; ia merupakan manifestasi dari aterosklerosis sistemik. Memahami PAD memerlukan tinjauan komprehensif mulai dari mekanisme molekuler pembentukan plak hingga strategi penanganan terkini, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi risiko iskemia kritis dan meminimalisir kejadian kardiovaskular mayor (MACE).
Prevalensi PAD meningkat seiring bertambahnya usia dan secara signifikan terkait dengan faktor risiko gaya hidup. Ketika sirkulasi darah ke tungkai terhambat, pasokan oksigen dan nutrisi ke otot dan jaringan menjadi tidak memadai, menyebabkan gejala yang berkisar dari nyeri saat beraktivitas hingga, pada kasus yang parah, nyeri saat istirahat dan kehilangan jaringan (gangren). Artikel ini akan membahas secara mendalam segala aspek Penyakit Arteri Perifer, menjadikannya panduan terlengkap bagi pembaca yang ingin memahami patogenesis, diagnosis, dan pendekatan terapeutik yang efektif.
Penyakit Arteri Perifer hampir selalu disebabkan oleh proses aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit inflamasi yang dimulai pada lapisan terdalam arteri, atau endotelium, dan berkembang menjadi pembentukan plak fibrolipid yang secara progresif menyempitkan lumen pembuluh darah. Pemahaman mendalam tentang proses ini sangat krusial dalam merancang strategi pencegahan dan pengobatan.
Sistem arteri tungkai bawah berasal dari aorta abdominalis, bercabang menjadi arteri iliaka komunis, yang kemudian terbagi menjadi arteri iliaka interna dan eksterna. Arteri iliaka eksterna berlanjut menjadi arteri femoralis komunis setelah melewati ligamen inguinalis. Arteri femoralis kemudian bercabang menjadi arteri femoralis superfisialis (SFA) dan arteri femoralis profunda. SFA, yang sering menjadi lokasi utama PAD, berlanjut melalui kanal Hunter dan menjadi arteri poplitea di belakang lutut. Di bawah lutut, arteri poplitea bercabang tiga menjadi arteri tibialis anterior, arteri tibialis posterior, dan arteri peronealis. Gangguan pada setiap segmen ini memiliki implikasi klinis dan prognostik yang berbeda.
Proses aterosklerosis melibatkan serangkaian kejadian biokimia dan seluler yang kompleks. Pemicu utama adalah kerusakan atau disfungsi endotel, yang dapat disebabkan oleh tekanan darah tinggi (hipertensi), kadar kolesterol tinggi (dislipidemia), merokok, dan hiperglikemia (diabetes). Disfungsi endotel mengubah permeabilitas dinding arteri dan mengaktifkan adhesi sel.
Endotelium yang rusak memungkinkan lipoprotein densitas rendah (LDL) masuk ke dinding arteri. Di sana, LDL teroksidasi (oxLDL). oxLDL bersifat pro-inflamasi dan menarik monosit dari aliran darah. Monosit kemudian bermigrasi ke ruang subendotelial dan berdiferensiasi menjadi makrofag.
Makrofag mulai menelan oxLDL dalam jumlah besar. Ketika makrofag penuh dengan lipid, mereka disebut sel busa. Akumulasi sel busa ini membentuk fatty streaks, lesi awal aterosklerosis. Proses ini diiringi oleh pelepasan sitokin pro-inflamasi, yang memperkuat respons inflamasi lokal.
Sebagai respons terhadap inflamasi kronis, sel otot polos vaskular (VSMCs) bermigrasi dari lapisan media ke lapisan intima. VSMCs ini berproliferasi dan menghasilkan matriks ekstraseluler, termasuk kolagen dan elastin, yang membentuk ‘topi fibrosa’ (fibrous cap) di atas inti lipid. Plak yang terbentuk kemudian menyebabkan stenosis. Penyempitan ini mengurangi aliran darah (iskemia) dan, jika ruptur, dapat memicu trombosis akut, yang menyebabkan oklusi total.
Tubuh memiliki mekanisme adaptif. Jika penyempitan arteri terjadi perlahan, pembuluh darah kecil (kolateral) dapat berkembang untuk ‘mengalihkan’ aliran darah melewati segmen yang tersumbat. Efisiensi sirkulasi kolateral sangat bervariasi antar individu dan sangat dipengaruhi oleh tingkat keparahan dan kecepatan progresi PAD. Kolateral yang baik dapat menjaga pasien tetap asimtomatik meskipun terdapat oklusi arteri mayor; sebaliknya, kolateral yang buruk akan mempercepat timbulnya gejala iskemia kritis.
Gambar 1: Ilustrasi Plak Aterosklerotik. Plak mengurangi diameter lumen arteri, menghambat aliran darah, dan menyebabkan iskemia.
Identifikasi dan manajemen faktor risiko adalah inti dari pencegahan dan tatalaksana PAD. Sebagian besar faktor risiko PAD sama dengan yang menyebabkan penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke, menegaskan sifat sistemik aterosklerosis.
Merokok adalah faktor risiko paling signifikan dan paling dapat dimodifikasi untuk PAD. Perokok memiliki risiko 2 hingga 4 kali lipat lebih tinggi terkena PAD dibandingkan non-perokok. Efek nikotin dan karbon monoksida merusak endotelium secara langsung, mempercepat pembentukan plak, meningkatkan viskositas darah, dan mengganggu kemampuan pembuluh darah untuk berelaksasi (vasodilatasi). Bahkan paparan asap rokok pasif (secondhand smoke) telah terbukti meningkatkan risiko. Pada pasien yang sudah didiagnosis PAD, melanjutkan merokok sangat berkorelasi dengan progresi gejala, kebutuhan amputasi yang lebih tinggi, dan prognosis yang buruk.
Diabetes adalah faktor risiko independen yang sangat kuat. Pasien DM sering mengalami PAD pada usia yang lebih muda, dan lesi vaskular mereka cenderung lebih difus dan memengaruhi arteri di bawah lutut (infrapopliteal) dan kaki. Hiperglikemia kronis menyebabkan glikasi protein, yang merusak endotelium dan memicu stres oksidatif, mempercepat aterosklerosis. Selain itu, neuropati diabetik sering menyertai PAD, menyebabkan pasien tidak merasakan nyeri klaudikasio, sehingga presentasi penyakit seringkali terlambat dan sudah mencapai tahap iskemia kritis.
Diabetes tidak hanya mempercepat aterosklerosis pada arteri besar, tetapi juga menyebabkan mikrovaskulopati, yaitu kerusakan pada pembuluh darah kapiler. Kombinasi penyakit makrovaskular (PAD) dan mikrovaskular membuat penyembuhan luka pada kaki penderita diabetes menjadi sangat sulit, meningkatkan risiko ulserasi dan amputasi.
Hipertensi menyebabkan tekanan mekanis yang tinggi pada dinding arteri, yang secara langsung melukai sel-sel endotel. Kerusakan ini memulai kaskade inflamasi dan infiltrasi lipid. Kontrol tekanan darah yang buruk mempercepat perkembangan stenosis dan meningkatkan risiko ruptur plak. Target tekanan darah pada pasien PAD umumnya sama dengan populasi umum, meskipun harus diperhatikan jika ada stenosis arteri ginjal yang menyertai.
Kadar kolesterol LDL (Low-Density Lipoprotein) yang tinggi adalah komponen sentral dalam patogenesis aterosklerosis. Peningkatan LDL, terutama bentuknya yang teroksidasi, adalah bahan bakar bagi pembentukan sel busa. Selain itu, kadar HDL (High-Density Lipoprotein) yang rendah dan trigliserida yang tinggi juga berkontribusi pada risiko vaskular total.
Risiko PAD meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Setelah usia 70 tahun, prevalensinya melonjak. Meskipun pria secara tradisional memiliki prevalensi PAD yang lebih tinggi, setelah menopause, risiko pada wanita meningkat dan seringkali menunjukkan presentasi yang lebih atipikal atau lebih parah.
Manifestasi klinis PAD sangat beragam, mulai dari asimtomatik hingga kondisi yang mengancam kehilangan tungkai. Sekitar 20% hingga 50% pasien PAD tidak menunjukkan gejala klasik klaudikasio intermiten, yang dikenal sebagai PAD asimtomatik, namun mereka tetap memiliki risiko kardiovaskular tinggi.
Ini adalah gejala PAD yang paling khas. Klaudikasio didefinisikan sebagai nyeri, kram, atau kelelahan pada kelompok otot tungkai (biasanya betis, paha, atau bokong) yang dipicu oleh aktivitas fisik (berjalan) dan hilang dengan istirahat dalam waktu 10 menit atau kurang. Nyeri ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai oksigen (yang berkurang akibat stenosis) dan permintaan oksigen (yang meningkat saat otot berkontraksi).
Lokasi nyeri mencerminkan lokasi stenosis arteri:
Klaudikasio dapat membatasi kualitas hidup pasien secara signifikan karena membatasi jarak berjalan dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
Banyak pasien, terutama penderita diabetes dan lansia, tidak mengeluhkan klaudikasio klasik. Sebaliknya, mereka mungkin melaporkan:
Kehadiran gejala atipikal ini sering menunda diagnosis, meskipun kondisi vaskular mereka mungkin sudah lanjut.
CLI mewakili stadium paling parah dari PAD dan memiliki risiko tinggi amputasi dan kematian. Diagnosis CLI ditegakkan ketika pasien mengalami salah satu dari kondisi berikut, yang berlangsung lebih dari dua minggu:
Nyeri parah, membakar, atau sakit yang terjadi bahkan saat pasien beristirahat. Nyeri ini umumnya terjadi di kaki atau jari-jari kaki (area yang paling jauh dari jantung) dan biasanya memburuk saat pasien berbaring (karena gravitasi tidak membantu aliran darah). Pasien sering meredakan nyeri dengan menggantungkan kaki di samping tempat tidur (ortopnea) atau tidur di kursi.
Ulkus yang disebabkan oleh iskemia vaskular, atau kematian jaringan (gangren), biasanya terletak pada titik tekanan (tumit, kepala metatarsal, ujung jari kaki). Ulkus iskemia cenderung memiliki batas yang jelas, dasar berwarna pucat, dan sering kali terasa sangat menyakitkan. Kehadiran infeksi sekunder pada ulkus meningkatkan urgensi tatalaksana.
Dua sistem klasifikasi umum digunakan untuk menentukan tingkat keparahan PAD:
Klasifikasi ini lebih rinci dan sering digunakan untuk panduan terapeutik:
Diagnosis PAD dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, diikuti oleh uji non-invasif yang sangat sensitif dan spesifik. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi diagnosis, menentukan tingkat keparahan, dan melokalisasi lesi.
Pertanyaan kunci harus berfokus pada jarak berjalan yang memicu nyeri (jarak klaudikasio), lokasi nyeri, dan apakah nyeri hilang dengan istirahat. Penting juga untuk menanyakan riwayat faktor risiko (merokok, DM, dislipidemia) dan gejala terkait kardiovaskular lainnya.
Pemeriksaan harus meliputi inspeksi kulit, palpasi denyut nadi, dan auskultasi:
ABI adalah pemeriksaan skrining non-invasif standar emas untuk PAD. Ini mengukur rasio tekanan darah sistolik tertinggi yang terukur di pergelangan kaki (arteri tibialis posterior atau dorsalis pedis) terhadap tekanan darah sistolik tertinggi di lengan (arteri brakialis).
Interpretasi Hasil ABI:
Ketika arteri pergelangan kaki mengalami kalsifikasi berat (ABI > 1.3), TBI digunakan. Arteri digital jari kaki lebih jarang mengalami kalsifikasi. Nilai TBI < 0.70 umumnya dianggap abnormal.
Ini melibatkan pengukuran tekanan darah di berbagai segmen tungkai (paha, di atas lutut, di bawah lutut, pergelangan kaki). Penurunan tekanan > 20 mmHg antara segmen yang berdekatan menunjukkan adanya stenosis yang signifikan di antara kedua titik tersebut. WVR menghasilkan gelombang plethysmography yang bentuknya memberikan informasi kualitatif tentang aliran darah.
Pada pasien dengan gejala klaudikasio namun memiliki ABI istirahat normal (0.91-1.30), ABI diulang setelah pasien berjalan di treadmill. Penurunan ABI > 20% pasca-latihan mengkonfirmasi diagnosis PAD, karena aliran kolateral tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan oksigen.
Duplex ultrasound adalah metode pencitraan non-invasif yang menggunakan gelombang suara untuk memvisualisasikan struktur arteri dan mengukur kecepatan aliran darah (Doppler). Ini adalah alat yang sangat penting untuk melokalisasi stenosis, mengukur tingkat keparahannya (berdasarkan peningkatan kecepatan puncak sistolik), dan membedakan antara oklusi total versus stenosis tinggi.
Kedua modalitas ini memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang sangat detail. CTA dan MRA bersifat non-invasif (dibandingkan dengan angiografi konvensional) dan sangat berguna dalam perencanaan intervensi, terutama untuk mendeteksi lokasi yang kompleks atau mengukur panjang lesi. Namun, penggunaannya harus hati-hati pada pasien dengan disfungsi ginjal (karena kontras). MRA menawarkan visualisasi yang baik tanpa radiasi pengion.
Ini adalah standar emas invasif, tetapi sekarang sebagian besar digunakan sebagai prosedur terapeutik (intervensi) daripada murni diagnostik. Kateter dimasukkan ke dalam arteri (biasanya melalui pangkal paha), dan zat kontras disuntikkan saat gambar sinar-X diambil. Ini memberikan detail terbaik mengenai anatomi, namun membawa risiko kecil terkait kontras dan akses vaskular.
Tujuan utama tatalaksana PAD adalah ganda: 1) Mengurangi gejala (meningkatkan jarak berjalan) dan 2) Mencegah kejadian kardiovaskular dan serebrovaskular mayor (seperti serangan jantung dan stroke), karena pasien PAD memiliki risiko kematian yang tinggi akibat komplikasi sistemik.
Ini adalah fondasi manajemen PAD dan sering kali menjadi satu-satunya intervensi yang diperlukan untuk PAD ringan hingga sedang.
Ini adalah intervensi tunggal yang paling efektif. Berhenti merokok dapat memperlambat progresi PAD, mengurangi risiko MACE, dan meningkatkan keberhasilan prosedur revaskularisasi. Dukungan farmakologis (misalnya, Bupropion, Varenicline) dan konseling agresif sangat direkomendasikan.
Kontrol glikemik yang ketat (HbA1c target < 7%) sangat penting, terutama pada PAD. Penggunaan obat antihipertensi, seperti ACE inhibitor atau ARB, telah terbukti memberikan perlindungan kardiovaskular pada pasien PAD.
Terapi statin dosis tinggi adalah wajib bagi hampir semua pasien PAD, terlepas dari kadar kolesterol awal mereka. Statin tidak hanya menurunkan LDL tetapi juga memiliki efek pleiotropik, termasuk menstabilkan plak dan mengurangi inflamasi endotel. Target LDL pada PAD harus agresif, seringkali < 70 mg/dL atau bahkan < 55 mg/dL, sesuai pedoman terbaru.
Program latihan fisik terstruktur adalah terapi lini pertama yang sangat efektif untuk klaudikasio intermiten. Latihan meningkatkan kapasitas berjalan, mengurangi gejala, dan meningkatkan kualitas hidup—bahkan lebih efektif daripada beberapa terapi farmakologis. Mekanisme manfaatnya mencakup peningkatan efisiensi metabolisme otot, perubahan reologi darah, dan yang paling penting, stimulasi pertumbuhan pembuluh darah kolateral baru (angiogenesis).
Latihan biasanya dilakukan minimal 3 kali seminggu, selama 30 hingga 60 menit per sesi. Pasien diinstruksikan untuk berjalan hingga mencapai nyeri klaudikasio tingkat sedang hingga berat, kemudian beristirahat sejenak, dan melanjutkan berjalan. Ini secara efektif melatih ambang nyeri dan mendorong adaptasi vaskular. Meskipun latihan mandiri bermanfaat, program yang diawasi (SEP) memberikan hasil yang superior.
Karena PAD adalah manifestasi aterosklerosis, terapi antiplatelet primer diperlukan untuk mengurangi risiko trombosis arteri, serangan jantung, dan stroke.
Aspirin dosis rendah (75–325 mg per hari) adalah terapi antiplatelet standar. Ini direkomendasikan untuk semua pasien PAD simtomatik dan asimtomatik yang memiliki risiko tinggi (misalnya, DM atau PJK). Aspirin bekerja dengan menghambat siklooksigenase-1 (COX-1), yang mencegah pembentukan tromboksan A2 (agen pro-agregasi platelet).
Clopidogrel (penghambat reseptor P2Y12) sering direkomendasikan sebagai alternatif bagi pasien yang intoleran terhadap Aspirin. Pada pasien tertentu, seperti mereka yang telah menjalani revaskularisasi, terapi antiplatelet ganda (DAPT – Aspirin dan Clopidogrel) mungkin diindikasikan, meskipun harus seimbang dengan peningkatan risiko perdarahan.
Penelitian terbaru, khususnya studi VOYAGER PAD, menunjukkan bahwa kombinasi antikoagulan oral dosis sangat rendah (misalnya, Rivaroxaban 2.5 mg dua kali sehari) dengan Aspirin dapat secara signifikan mengurangi risiko kejadian iskemia, termasuk amputasi, pada pasien PAD yang telah menjalani revaskularisasi, meskipun meningkatkan risiko perdarahan minor. Pendekatan ini merupakan kemajuan signifikan dalam manajemen risiko residual trombosis.
Obat-obatan ini bertujuan untuk meningkatkan jarak berjalan bebas nyeri pada pasien dengan klaudikasio intermiten yang gagal merespons modifikasi gaya hidup dan latihan.
Cilostazol adalah inhibitor fosfodiesterase-3 yang memiliki dua efek utama: meningkatkan vasodilatasi (melebarkan pembuluh darah) dan menghambat agregasi platelet. Ini adalah agen farmakologis paling efektif untuk meningkatkan jarak berjalan pada klaudikasio intermiten, dengan peningkatan rata-rata 30–50%. Obat ini merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung.
Pentoxifylline meningkatkan fleksibilitas sel darah merah dan mengurangi viskositas darah. Meskipun pernah populer, efikasinya dalam meningkatkan jarak berjalan tidak sebesar Cilostazol, dan saat ini jarang digunakan sebagai lini pertama.
Ketika tatalaksana konservatif dan farmakologis gagal meredakan gejala yang membatasi kualitas hidup (klaudikasio parah) atau ketika penyakit telah mencapai tahap CLI (Iskemia Kritis Tungkai), revaskularisasi menjadi diperlukan. Keputusan untuk memilih antara pendekatan endovaskular (minimal invasif) atau bedah (bypass) bergantung pada lokasi, panjang, dan kompleksitas lesi (Klasifikasi TASC II).
Terapi endovaskular telah merevolusi tatalaksana PAD, menjadikannya pilihan utama untuk banyak lesi, terutama lesi pendek atau pada pasien yang tidak cocok untuk operasi besar. Prosedur ini dilakukan di laboratorium kateterisasi menggunakan akses perkutan (jarum).
Kateter dengan balon di ujungnya dimasukkan melintasi stenosis. Balon kemudian dikembangkan untuk menekan plak ke dinding arteri, sehingga memperluas lumen. Angioplasti sederhana sering digunakan untuk lesi pendek di arteri ilaka atau arteri femoralis.
Stent adalah tabung kawat logam yang ditempatkan di arteri untuk mempertahankan lumen tetap terbuka setelah angioplasti. Stent dapat berupa bare metal stent (BMS) atau drug-eluting stent (DES) yang melepaskan obat untuk mencegah restenosis (penyempitan kembali). Stenting sangat efektif untuk lesi di arteri ilaka.
Prosedur ini menggunakan perangkat mekanis untuk benar-benar menghilangkan atau memotong plak dari dinding arteri (berbeda dengan angioplasti yang hanya menekannya). Atherectomy berguna untuk lesi yang sangat terkalsifikasi atau oklusif yang sulit ditembus balon.
DCB mewakili kemajuan signifikan, terutama untuk lesi di arteri poplitea dan SFA. Balon ini melepaskan agen antiproliferatif (biasanya Paclitaxel) ke dinding arteri selama inflasi singkat, yang secara signifikan mengurangi risiko restenosis tanpa meninggalkan implan stent permanen.
Pembedahan bypass adalah prosedur revaskularisasi tradisional yang menawarkan patensi jangka panjang yang sangat baik, terutama untuk lesi yang sangat panjang, oklusi total, atau lesi yang melibatkan bifurkasi yang tidak dapat ditangani secara endovaskular (Klasifikasi TASC II tipe D).
Prosedur ini melibatkan pembuatan saluran baru untuk mengalirkan darah, melewati segmen arteri yang tersumbat. Graft dapat berasal dari vena pasien sendiri (vena safena autologus, yang merupakan bahan terbaik) atau dari material sintetis (misalnya, PTFE atau Dacron).
Pedoman TASC (TransAtlantic Inter-Society Consensus) digunakan untuk mengklasifikasikan lesi arteri berdasarkan panjang dan tingkat keparahannya (dari Tipe A, lesi pendek, hingga Tipe D, oklusi total yang panjang dan kompleks). Secara umum:
CLI adalah keadaan darurat vaskular yang membutuhkan pendekatan multidisiplin yang agresif. Tanpa revaskularisasi yang efektif, sekitar 25% pasien CLI akan memerlukan amputasi dalam waktu satu tahun, dan angka kematian juga tinggi.
Ulkus yang disebabkan oleh iskemia tidak akan sembuh kecuali perfusi diperbaiki (ABI ditingkatkan menjadi > 0.6 atau tekanan jari kaki > 50 mmHg). Manajemen luka yang komprehensif meliputi:
Pengangkatan jaringan mati (nekrotik) atau terinfeksi. Pada ulkus iskemia, debridemen harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memperluas luka di area yang perfusinya buruk.
Infeksi pada kaki iskemia, terutama pada penderita diabetes (diabetic foot infection), dapat berkembang dengan cepat menjadi osteomielitis (infeksi tulang) atau sepsis. Diperlukan antibiotik spektrum luas yang disesuaikan dengan kultur luka. Intervensi vaskular yang terlambat pada pasien dengan infeksi dapat berujung pada amputasi yang mengancam nyawa.
Mengurangi tekanan pada ulkus (misalnya, melalui sepatu khusus, tongkat, atau gips) sangat penting untuk meminimalkan kerusakan jaringan lebih lanjut.
Amputasi menjadi pilihan terakhir ketika revaskularisasi gagal, tidak mungkin dilakukan, atau ketika infeksi telah menyebar luas dan mengancam jiwa (gangren basah). Tujuan utama adalah amputasi di tingkat yang paling distal yang memungkinkan penyembuhan luka (misalnya, amputasi jari kaki, transmetatarsal, atau di bawah lutut) untuk mempertahankan mobilitas pasien semaksimal mungkin.
Gambar 2: Lokasi Nyeri Klaudikasio Intermiten. Lokasi nyeri pada tungkai mengindikasikan letak sumbatan arteri yang paling sering terjadi.
Prognosis PAD tidak hanya ditentukan oleh risiko kehilangan tungkai, tetapi juga oleh risiko kematian kardiovaskular. Pasien PAD memiliki prognosis yang sama buruknya dengan pasien yang memiliki riwayat infark miokard (serangan jantung).
Aterosklerosis di arteri perifer adalah penanda aterosklerosis yang luas. Pasien dengan PAD memiliki risiko 20–30% untuk mengalami kejadian kardiovaskular mayor (MACE) dalam 5 tahun. Oleh karena itu, semua upaya pengobatan medis (terapi antiplatelet, statin, pengendalian tekanan darah) bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas sistemik, bukan hanya gejala tungkai.
Setelah prosedur endovaskular atau bedah bypass, risiko restenosis (penyempitan kembali) atau oklusi graft tetap tinggi. Pemantauan ketat diperlukan:
Restenosis adalah tantangan utama dalam terapi endovaskular, terutama pada arteri kecil di bawah lutut dan pada pasien diabetes. Restenosis terjadi akibat hiperplasia neointima (pertumbuhan berlebihan sel di lapisan terdalam arteri) sebagai respons terhadap trauma prosedur. Penggunaan DES dan DCB adalah upaya untuk mengatasi masalah ini, tetapi kepatuhan pasien terhadap gaya hidup tetap menjadi faktor prognosis terpenting.
PAD pada DM memiliki karakteristik yang unik dan sangat menantang:
Manajemen pada pasien diabetes harus selalu melibatkan tim multidisiplin (vaskular, endokrinologi, podiatri/perawatan luka). Target revaskularisasi seringkali adalah aliran darah langsung ke kaki untuk mendukung penyembuhan ulkus (‘straight line flow’).
PGK merupakan faktor risiko independen yang parah untuk PAD. Pasien PGK sering mengalami kalsifikasi vaskular yang ekstrem akibat gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Selain itu, mereka memiliki risiko perdarahan yang lebih tinggi, yang menyulitkan terapi antiplatelet ganda. Revaskularisasi pada pasien PGK harus dilakukan dengan hati-hati untuk meminimalisir penggunaan zat kontras (nefrotoksik), yang membuat penggunaan MRA atau CO2 Angiography kadang lebih diutamakan daripada CTA/konvensional.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa klaudikasio terjadi dan mengapa latihan dapat memperbaiki kondisi tersebut, penting untuk meninjau hemodinamika di balik stenosis arteri. Pada kondisi istirahat, arteri yang tersumbat mungkin masih mampu menyediakan aliran darah yang memadai karena resistensi vaskular perifer rendah. Namun, ketika otot berkontraksi saat berjalan, terjadi peningkatan permintaan metabolik yang besar. Pembuluh darah kecil (arteriol) di otot berusaha berdilatasi (vasodilatasi maksimal) untuk memenuhi permintaan tersebut. Pada arteri normal, peningkatan aliran darah dapat terjadi dengan mudah, tetapi pada arteri yang mengalami stenosis signifikan (biasanya > 50%), hambatan aliran darah (resistensi) menjadi terlalu tinggi.
Stenosis biasanya harus mencapai lebih dari 70% sebelum mulai membatasi aliran darah istirahat. Namun, batas tersebut jauh lebih rendah saat beraktivitas. Ketika permintaan metabolik meningkat, ketidakmampuan arteri yang tersumbat untuk meningkatkan aliran darah menyebabkan iskemia relatif. Akumulasi produk sampingan metabolik seperti asam laktat, kalium, dan adenosin di ruang ekstraseluler otot inilah yang memicu reseptor nyeri, menghasilkan sensasi kram atau nyeri khas klaudikasio.
Latihan fisik terstruktur bekerja melalui dua mekanisme utama. Secara jangka pendek, latihan berulang-ulang meningkatkan toleransi nyeri dan efisiensi biomekanik otot, memungkinkan pasien berjalan lebih jauh sebelum mencapai ambang nyeri. Secara jangka panjang, dan ini yang paling penting, latihan merangsang pertumbuhan sirkulasi kolateral (angiogenesis). Peningkatan stres geser (shear stress) pada dinding pembuluh darah yang tersisa, ditambah dengan peningkatan faktor pertumbuhan vaskular (VEGF) yang dilepaskan akibat iskemia berulang selama latihan, mendorong pembentukan pembuluh darah pintas alami, yang pada akhirnya meningkatkan suplai darah ke otot distalis.
Manajemen farmakologis modern untuk PAD terus berkembang, berfokus pada pencegahan trombosis dan stabilisasi plak, yang merupakan mekanisme di balik MACE (Myocardial Infarction, Stroke, dan kematian akibat vaskular). Penggunaan obat-obatan tidak hanya untuk meringankan gejala tetapi secara esensial untuk memanjangkan harapan hidup.
Statin tidak hanya menurunkan kadar LDL; mereka memiliki efek anti-inflamasi yang mendalam. Mereka menstabilkan plak aterosklerotik, membuat topi fibrosa lebih tebal dan inti lipid kurang rentan terhadap ruptur. Plak yang stabil cenderung tidak mengalami erosi atau ruptur yang dapat memicu trombosis akut. Efek ini terjadi bahkan pada pasien dengan kadar LDL yang dianggap normal. Oleh karena itu, terapi statin dosis tinggi (intensitas tinggi) adalah wajib bagi hampir semua pasien PAD, tanpa kecuali.
Diskusi mengenai regimen antitrombotik semakin kompleks. Terapi antiplatelet ganda (DAPT – Aspirin dan Clopidogrel) telah lama menjadi standar perawatan setelah revaskularisasi endovaskular, terutama stenting, untuk mencegah trombosis akut. Namun, durasi DAPT harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena risiko perdarahan. Umumnya, DAPT diberikan selama 1 hingga 6 bulan pasca-prosedur, diikuti oleh terapi antiplatelet tunggal seumur hidup.
Integrasi Rivaroxaban dosis sangat rendah (inhibitor faktor Xa) ke dalam rejimen antitrombotik, dikenal sebagai Dual Pathway Inhibition (DPI), telah terbukti memberikan manfaat yang signifikan dalam mengurangi risiko amputasi dan MACE pada pasien PAD kronis. Mekanisme kerjanya melibatkan penghambatan faktor-faktor koagulasi sekaligus agregasi platelet, mengatasi komponen trombosis dan aterosklerosis. Meskipun demikian, risiko perdarahan harus dipertimbangkan dengan matang, dan DPI paling cocok untuk pasien dengan risiko iskemia tinggi dan risiko perdarahan rendah hingga sedang.
Kemajuan dalam teknologi endovaskular telah memungkinkan penanganan lesi yang sebelumnya hanya dapat ditangani dengan bypass bedah. Keberhasilan intervensi sangat bergantung pada persiapan lesi dan pemilihan perangkat yang tepat.
Kalsifikasi adalah musuh intervensi. Arteri yang terkalsifikasi kaku dan rentan terhadap robekan (diseksi) ketika dibalon. Teknik untuk mengatasi kalsifikasi meliputi:
Ketika oklusi total kronis (CTO) pada arteri SFA tidak dapat ditembus melalui lumen sebenarnya, ahli intervensi sering beralih ke teknik subintimal. Prosedur ini melibatkan navigasi kawat pemandu dan kateter di antara lapisan intima dan media (di ruang subintimal), melewati sumbatan, dan kemudian masuk kembali ke lumen arteri yang sebenarnya di bagian distalis. Meskipun secara teknis menantang, strategi ini sering menjadi satu-satunya cara untuk merevaskularisasi tungkai yang parah ketika operasi bypass memiliki risiko tinggi.
Pencitraan Intravaskular Ultrasound (IVUS) dan Optical Coherence Tomography (OCT) menyediakan pandangan 360 derajat di dalam arteri. Alat ini membantu operator menilai ukuran arteri yang sebenarnya (bukan hanya ukuran yang terlihat pada fluoroskopi), mengidentifikasi tingkat kalsifikasi yang akurat, dan memastikan bahwa stent telah mengembang sepenuhnya. Penggunaan pencitraan intravaskular, meskipun meningkatkan biaya prosedur, telah terbukti meningkatkan keberhasilan jangka pendek dan patensi jangka panjang intervensi endovaskular.
Meskipun endovaskular semakin dominan, bedah bypass tetap menjadi standar emas dalam hal durabilitas jangka panjang untuk lesi yang luas. Keberhasilan bypass sangat bergantung pada material graft yang digunakan dan kondisi arteri outflow (arteri distalis yang menerima aliran darah).
Vena safena magna pasien sendiri (disebut autogenous conduit) adalah material graft terbaik untuk bypass, terutama untuk bypass femorodistal (ke bawah lutut). Graft autologus memiliki tingkat patensi yang jauh lebih tinggi dan risiko infeksi yang jauh lebih rendah dibandingkan graft sintetis. Pada pasien dengan PAD yang parah, konservasi vena safena harus menjadi prioritas, karena vena ini adalah ‘garis hidup’ untuk revaskularisasi di masa depan.
Graft sintetis (PTFE atau Dacron) biasanya digunakan untuk arteri besar dengan aliran tinggi, seperti aortofemoral bypass atau femoropopliteal bypass di atas lutut. Graft sintetis memiliki patensi yang lebih rendah pada lokasi infrapopliteal. Dalam beberapa kasus, pendekatan hybrid dilakukan, menggabungkan endarterektomi bedah (pengangkatan plak secara bedah) dengan stenting, atau bypass pendek dengan intervensi endovaskular distalis.
Sindrom Kaki Diabetik, yang seringkali mencakup PAD, neuropati, dan infeksi, membutuhkan koordinasi yang sangat erat antara berbagai spesialis. Kegagalan dalam satu aspek perawatan dapat menggagalkan semua upaya revaskularisasi.
Podiatri bertanggung jawab untuk debridemen luka yang aman, manajemen tekanan (offloading), dan pencegahan ulkus berulang. Mereka juga memastikan pasien memiliki alas kaki yang sesuai. Manajemen infeksi memerlukan diagnostik mikrobiologi yang canggih (kultur jaringan dalam) untuk mengidentifikasi patogen yang seringkali resisten.
Penyembuhan luka adalah proses yang sangat menuntut secara metabolik. Malnutrisi (kekurangan protein) adalah penghalang umum untuk penyembuhan ulkus pada pasien CLI. Oleh karena itu, dukungan nutrisi yang agresif harus diberikan. Selain itu, kontrol glukosa darah yang ketat diperlukan karena hiperglikemia menghambat fungsi imun dan proses pembentukan kolagen, memperlambat penyembuhan secara signifikan.
Penyakit Arteri Perifer adalah penyakit kronis, progresif, dan fatal yang merupakan manifestasi dari proses aterosklerosis sistemik. Diagnosis dini melalui skrining ABI sangat penting, terutama pada kelompok berisiko tinggi (perokok, diabetes). Tatalaksana yang efektif membutuhkan pendekatan berlapis, dimulai dengan modifikasi faktor risiko yang agresif (terutama penghentian merokok dan terapi statin dosis tinggi), Program Latihan Terstruktur, dan terapi antiplatelet/antitrombotik yang optimal.
Ketika gejala menjadi parah (klaudikasio membatasi) atau ketika terjadi Iskemia Kritis Tungkai, revaskularisasi—baik melalui endovaskular minimal invasif maupun bedah bypass—diperlukan untuk menyelamatkan tungkai dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan kontrol risiko yang ketat dan pemantauan pasca-prosedur yang konsisten, progresi penyakit dapat diperlambat, dan risiko kejadian kardiovaskular sistemik dapat diminimalkan.