Sistem Klasifikasi Status Fisik American Society of Anesthesiologists (ASA-PS) adalah alat fundamental dalam praktik anestesiologi, menyediakan kerangka kerja standar untuk menilai status kesehatan keseluruhan seorang pasien sebelum menjalani prosedur bedah atau non-bedah yang membutuhkan anestesi. Klasifikasi ini bertujuan untuk mengomunikasikan tingkat risiko perioperatif secara cepat dan seragam kepada tim medis. Meskipun sering disalahartikan sebagai prediktor tunggal mortalitas, sistem ASA-PS berfungsi paling efektif sebagai indikator penting dari cadangan fisiologis pasien dan keparahan penyakit sistemik yang mendasarinya.
Di antara enam kelas yang ada, Klasifikasi Status Fisik ASA II menempati posisi yang sangat penting dan paling sering ditemui dalam populasi pasien bedah. Kelas ini didefinisikan sebagai Pasien dengan Penyakit Sistemik Ringan (A Patient with Mild Systemic Disease). Pemahaman yang mendalam mengenai kriteria yang menempatkan pasien pada kelas ASA II, implikasi klinisnya, serta strategi manajemen yang tepat adalah kunci untuk memastikan hasil perioperatif yang aman dan optimal.
Alt Text: Simbol Lingkaran Kesehatan Fisiologis.
Klasifikasi ASA II secara spesifik mencakup pasien yang memiliki penyakit sistemik yang terdefinisi dengan jelas, namun penyakit tersebut dikontrol dengan baik dan tidak menimbulkan keterbatasan fungsional yang signifikan pada aktivitas sehari-hari pasien. Kriteria utama adalah bahwa penyakit tersebut tidak mengancam jiwa dan tidak memiliki dampak yang membatasi secara serius. Pasien ASA II memiliki cadangan fisiologis yang masih baik, namun sedikit berkurang dibandingkan pasien ASA I (Sehat Total).
Pasien ASA I adalah individu yang sehat, tidak merokok, tidak atau jarang minum alkohol, dan tidak memiliki penyakit sistemik. Sebaliknya, pasien ASA II memiliki satu atau lebih kondisi medis yang memerlukan manajemen rutin, meskipun kondisi tersebut stabil. Kehadiran penyakit, sekecil apa pun, memindahkan pasien dari Kelas I ke Kelas II.
Pembeda paling krusial adalah tingkat keterbatasan fungsional dan stabilitas kondisi. ASA III didefinisikan sebagai "Penyakit Sistemik Berat" yang menyebabkan keterbatasan fungsional yang jelas. Penyakit pada ASA III mungkin tidak terkontrol dengan baik, atau memiliki prognosis jangka panjang yang lebih buruk. Pada ASA II, meskipun ada penyakit, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL) tanpa kesulitan signifikan, dan penyakit tersebut terkontrol secara farmakologis atau diet.
Penilaian yang akurat membutuhkan diskusi mendalam mengenai bagaimana suatu kondisi memenuhi kriteria 'ringan' dan 'terkontrol'. Berikut adalah contoh-contoh yang secara klasik diklasifikasikan sebagai ASA II, asalkan semuanya dalam keadaan stabil:
Meskipun risiko yang dihadapi pasien ASA II lebih rendah dibandingkan kelas yang lebih tinggi, proses penilaian pra-anestesi tidak boleh diremehkan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa penyakit sistemik yang ada benar-benar 'ringan' dan 'terkontrol', serta untuk mengidentifikasi potensi faktor pemicu komplikasi perioperatif.
Penting untuk fokus pada riwayat manajemen penyakit sistemik pasien. Informasi yang harus digali meliputi:
Kemampuan fungsional pasien sering diukur dalam satuan Metabolic Equivalents (METs). Pasien ASA II biasanya memiliki kapasitas fungsional yang baik (yaitu, > 4 METs). Ini berarti mereka mampu melakukan aktivitas seperti naik dua anak tangga, berjalan cepat, atau melakukan pekerjaan rumah tangga berat tanpa mengalami dispnea, nyeri dada, atau kelelahan berlebihan. Jika kapasitas fungsional berada di bawah 4 METs, ini mungkin mengindikasikan penyakit jantung atau paru yang lebih serius, mendorong klasifikasi ke ASA III.
Pasien ASA II memerlukan pemeriksaan dasar yang ekstensif, disesuaikan dengan kondisi komorbid spesifik mereka:
Meskipun hipertensi atau DM mungkin terkontrol, penilaian dasar jantung tetap penting. EKG (Elektrokardiogram) adalah wajib. Jika HTN terdiagnosis lama, EKG harus dinilai untuk mencari tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, meskipun ringan. Apabila ditemukan kelainan yang meragukan atau pasien melaporkan gejala atipikal, konsultasi kardiologi dan mungkin tes stres tambahan perlu dilakukan, yang dapat menunda operasi elektif.
Pemeriksaan HbA1c sangat penting. Pasien dengan HbA1c stabil (< 7.5%) umumnya dianggap ASA II. Jika HbA1c meningkat tajam, risiko infeksi luka, hiperglikemia perioperatif, dan komplikasi lainnya meningkat, yang mungkin memerlukan intervensi insulin intensif sebelum operasi.
Pengujian hitung darah lengkap (CBC) diperlukan untuk menilai anemia atau trombositopenia yang mungkin diinduksi oleh pengobatan atau terkait dengan penyakit kronis. Anemia yang ringan dan stabil (misalnya, Hb 10-12 g/dL) masih dapat diterima untuk operasi elektif pada pasien ASA II.
Manajemen pasien ASA II menuntut keseimbangan antara menjaga homeostasis dan meminimalkan intervensi yang tidak perlu. Anestesiolog harus fokus pada stabilitas penyakit sistemik yang ada, terutama selama periode stres bedah.
Pengelolaan obat kronis adalah elemen kunci. Keputusan untuk melanjutkan, menunda, atau menghentikan obat harus dibuat secara hati-hati, mempertimbangkan risiko henti obat (withdrawal) versus risiko perdarahan atau hipotensi intraoperatif.
Alt Text: Simbol Monitoring Jantung dengan Latar Lingkaran Hijau.
Pasien ASA II umumnya mentoleransi baik anestesi umum maupun regional, namun pemilihan teknik harus meminimalkan stres pada sistem organ yang sudah memiliki komorbiditas.
Seringkali menjadi pilihan yang sangat baik karena meminimalkan perubahan hemodinamik sistemik yang dramatis yang sering menyertai induksi anestesi umum. Untuk pasien HTN terkontrol, anestesi spinal atau epidural, jika dilakukan dengan titrasi yang hati-hati, dapat menawarkan kontrol nyeri pasca-operasi yang superior dan stabilitas kardiovaskular. Namun, risiko hipotensi akibat blok simpatis harus diantisipasi dan dikelola secara agresif, terutama pada pasien yang juga menggunakan obat antihipertensi.
Jika anestesi umum diperlukan, fokus harus pada agen yang menawarkan stabilitas hemodinamik yang baik. Induksi yang lambat dan bertahap membantu mencegah lonjakan tekanan darah (hipertensi) selama laringoskopi, yang sangat penting pada pasien HTN atau dengan penyakit jantung iskemik laten. Penggunaan opioid dan agen inhalasi harus dititrasi dengan hati-hati untuk menjaga kedalaman anestesi yang memadai tanpa menyebabkan depresi miokard yang signifikan.
Meskipun pasien ASA II tidak memerlukan monitoring invasif yang sama dengan ASA III atau IV, mereka membutuhkan pengawasan yang lebih ketat daripada pasien ASA I. Monitoring standar (EKG 5-lead, SpO2, NIBP, EtCO2) adalah minimal. Namun, pertimbangan tambahan meliputi:
Meskipun diklasifikasikan sebagai risiko 'ringan', ASA II tidak berarti bebas risiko. Risiko perioperatif yang dihadapi pasien ini secara statistik lebih tinggi dibandingkan ASA I, terutama terkait dengan dekompensasi penyakit sistemik yang mendasari akibat stres bedah atau interaksi obat anestesi.
Pasien dengan HTN terkontrol (ASA II) memiliki risiko sedikit peningkatan kejadian iskemia miokard perioperatif atau infark miokard (MI) dibandingkan populasi sehat. Alasan utama termasuk:
Pasien dengan riwayat merokok atau asma ringan harus dimonitor ketat untuk komplikasi paru. Meskipun ASA II, mereka lebih rentan terhadap:
Manajemen glukosa adalah tantangan utama pada pasien DM ASA II. Periode puasa dan stres bedah mengubah metabolisme karbohidrat secara drastis:
Stres bedah memicu pelepasan hormon kontra-regulasi (kortisol, glukagon), yang menyebabkan peningkatan produksi glukosa hati (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan resistensi insulin. Jika manajemen insulin tidak tepat, pasien dapat mengalami hiperglikemia signifikan. Hiperglikemia perioperatif berkorelasi kuat dengan peningkatan risiko infeksi, penyembuhan luka yang buruk, dan hasil neurologis yang lebih buruk setelah iskemia.
Untuk mengilustrasikan kompleksitas manajemen ASA II, kita akan membahas studi kasus hipotesis yang melibatkan dua komorbiditas umum, yang bersama-sama tetap memenuhi kriteria ASA II.
Ibu Siti, usia 55 tahun, dijadwalkan untuk kolesistektomi laparoskopi elektif. Riwayat medisnya mencakup Hipertensi (HTN) yang didiagnosis 5 tahun lalu, terkontrol dengan Amlodipin 5 mg sekali sehari. Rata-rata Tekanan Darah di rumah 130/85 mmHg. Indeks Massa Tubuh (BMI) pasien adalah 34 kg/m² (Obesitas Derajat I). Ibu Siti tidak merokok dan memiliki kapasitas fungsional yang baik (dapat berjalan 4 blok tanpa lelah).
Klasifikasi: HTN terkontrol (ringan) + Obesitas (ringan) = ASA II.
Tim anestesi mencatat bahwa pasien adalah ASA II. Risiko utamanya adalah komplikasi kardiovaskular dan risiko teknis terkait obesitas (posisi, ventilasi). Strategi optimalisasi meliputi:
Pasien diberikan anestesi umum. Tantangan yang muncul: selama induksi, tekanan darah turun menjadi 90/60 mmHg, meskipun hanya diberikan dosis propofol yang moderat. Hal ini mencerminkan sensitivitas pasien hipertensi terhadap agen penekan. Penanganannya memerlukan administrasi vasopressor dosis rendah yang cepat (misalnya, Fenilefrin) untuk mempertahankan Mean Arterial Pressure (MAP) di atas 65 mmHg, mencegah perfusi yang buruk ke organ vital.
Selama operasi laparoskopi, pneumoperitoneum (inflasi gas CO2 di perut) meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan intratoraks. Pada pasien dengan HTN terkontrol, peningkatan tekanan ini harus dimonitor ketat. Peningkatan EtCO2 yang cepat atau tekanan jalan napas yang tinggi harus diwaspadai sebagai tanda masalah ventilasi atau regiditas dinding perut. Ventilasi harus diatur dengan PEEP (Positive End-Expiratory Pressure) yang hati-hati untuk mengatasi obesitas tanpa mengorbankan pengembalian vena.
Di Ruang Pemulihan (PACU), fokusnya adalah manajemen nyeri yang adekuat, karena nyeri yang tidak terkontrol dapat memicu krisis hipertensi. Protokol manajemen nyeri multimodal, yang mencakup asetaminofen, NSAID (jika tidak ada kontraindikasi), dan opioid yang dititrasi, sangat penting. Tekanan darah pasien diawasi setiap 15 menit, dan obat antihipertensi oral dilanjutkan segera setelah pasien dapat mentoleransi asupan oral.
Klasifikasi ASA II harus dilihat bukan hanya sebagai penilaian risiko sesaat, tetapi sebagai peluang untuk meningkatkan kesehatan jangka panjang pasien. Anestesiolog memainkan peran penting dalam mengadvokasi optimalisasi status kesehatan kronis.
Setelah periode perioperatif berakhir, pasien ASA II harus didorong kembali ke dokter perawatan primer mereka dengan fokus baru pada manajemen komorbiditas. Operasi sering menjadi momen pengungkit yang memungkinkan pasien memahami bahwa penyakit sistemik mereka, meskipun 'ringan', dapat menjadi sumber komplikasi serius.
Dua faktor risiko gaya hidup utama yang menempatkan pasien sehat di ASA II adalah merokok dan obesitas. Intervensi dan edukasi pasca-operasi harus difokuskan pada penghentian total faktor-faktor ini.
Pasien yang merokok (ASA II) berisiko tinggi mengalami penyembuhan luka yang buruk, kegagalan anastomosis, dan komplikasi paru. Anestesiolog harus tegas merekomendasikan program penghentian merokok. Idealnya, merokok harus dihentikan minimal 4 hingga 8 minggu sebelum operasi elektif untuk memungkinkan pemulihan fungsi mukosiliar dan penurunan kadar karboksihemoglobin.
Obesitas Derajat I dan II adalah kondisi pro-inflamasi kronis. Anestesiolog harus bekerja sama dengan ahli gizi dan dokter umum untuk merancang rencana penurunan berat badan. Mengurangi BMI bahkan satu atau dua poin dapat meningkatkan cadangan paru, mengurangi kerja jantung, dan secara signifikan memfasilitasi manajemen pasien dalam operasi di masa depan.
Sistem ASA-PS, meskipun sederhana, sering kali memicu perdebatan klinis, terutama di perbatasan antara Kelas I, II, dan III. Nuansa ini membutuhkan penilaian klinis yang matang dan seringkali didasarkan pada interpretasi subjektif dari kata 'ringan' dan 'terkontrol'.
Klasifikasi obesitas sering menjadi titik pertentangan. Sebagian besar literatur klinis setuju bahwa Obesitas Morbid (BMI > 40) tanpa komplikasi yang jelas dapat diletakkan di ASA III, karena perubahan fisiologis yang diakibatkannya (gangguan tidur, restriksi paru, volume darah yang meningkat) secara inheren lebih dari 'penyakit sistemik ringan'. Namun, batas tegas untuk BMI antara ASA II dan III tidak universal, mengharuskan anestesiolog menilai apakah ada manifestasi klinis yang membatasi, seperti Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang parah dan tidak terobati, yang pasti akan menaikkan status risiko.
Penuaan itu sendiri bukanlah penyakit. Seorang individu usia 75 tahun yang tidak memiliki penyakit sistemik yang terdiagnosis (tidak merokok, EKG normal) dapat secara teknis diklasifikasikan sebagai ASA I. Namun, karena cadangan fisiologis secara alami menurun seiring bertambahnya usia (fisiologis kompensasi yang lebih rendah), banyak anestesiolog secara konservatif akan menempatkan pasien lanjut usia (misalnya, di atas 80 tahun) di ASA II, meskipun mereka tidak memiliki penyakit sistemik formal, hanya karena penurunan cadangan organ yang terkait usia.
Alt Text: Simbol Jaringan Dokter dan Perawatan Kesehatan.
Pengelolaan glukosa adalah salah satu intervensi paling kritis yang dapat dilakukan untuk pasien DM ASA II (Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkontrol). Stabilitas metabolik secara langsung memengaruhi hasil bedah.
Stres bedah memicu respons neuroendokrin yang masif. Pelepasan hormon stres menyebabkan peningkatan resistensi insulin pada tingkat perifer. Akibatnya, sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin yang ada. Pada pasien DM Tipe 2, yang sudah memiliki tingkat resistensi insulin yang mendasari, respons ini diperburuk. Peningkatan kadar glukosa yang berkepanjangan dapat memicu diuresis osmotik, dehidrasi, dan gangguan elektrolit, bahkan pada pasien yang sebelumnya dianggap terkontrol.
Puasa harus mengikuti pedoman NPO (Nil per os) standar, tetapi obat DM harus dimodifikasi:
Untuk prosedur yang berlangsung lama atau yang sangat invasif, meskipun pasien hanya ASA II, penggunaan infus insulin kontinu yang dititrasi mungkin diperlukan. Protokol ini memungkinkan kontrol glukosa yang sangat ketat, menjaga kadar glukosa dalam batas yang diinginkan. Ini berbeda dari manajemen pasien ASA I yang biasanya hanya memerlukan Dextrose-containing IV fluids.
Manajemen glukosa yang akurat pada ASA II bukan hanya tentang menghindari hiperglikemia, tetapi juga secara kritis menghindari hipoglikemia, yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang tidak terdeteksi di bawah anestesi umum. Pengukuran glukosa harus dikorelasikan dengan infus dextrose yang mungkin diberikan untuk menyediakan substrat metabolik yang aman.
Meskipun obesitas di rentang BMI 30-39.9 sering dikategorikan sebagai ASA II, hal ini membawa serangkaian tantangan mekanis dan farmakologis yang memerlukan penyesuaian besar dalam praktik anestesi.
Distribusi obat anestesi sangat berubah pada pasien obesitas. Agen lipofilik (seperti propofol dan fentanil) terdistribusi secara luas dalam volume lemak yang besar, mengubah volume distribusi (Vd) dan waktu eliminasi (t1/2).
Jalur napas pada pasien obesitas ASA II mungkin memerlukan persiapan yang lebih intensif:
Penumpukan jaringan lunak di leher dan faring, serta penurunan mobilitas leher, membuat laringoskopi dan intubasi menjadi lebih sulit (kemungkinan Mallampati skor lebih tinggi). Selain itu, obesitas meningkatkan risiko aspirasi isi lambung karena tekanan intra-abdomen yang lebih tinggi. Strategi yang digunakan meliputi:
Aspek yang sering terlewatkan dalam klasifikasi ASA adalah dampak kondisi psikologis dan psikiatrik yang terkontrol. Meskipun bukan penyakit fisik sistemik murni, kondisi ini sering memengaruhi manajemen anestesi dan menempatkan pasien ke ASA II.
Pasien yang menderita Depresi Mayor atau Gangguan Kecemasan Umum, namun dikelola dengan baik dengan antidepresan atau ansiolitik, sering diklasifikasikan sebagai ASA II. Alasan untuk ini adalah ganda:
Oleh karena itu, meskipun pasien secara fisik mungkin terlihat ASA I, kebutuhan untuk mengelola komplikasi farmakologis dan emosional membenarkan penempatan di ASA II, menekankan kebutuhan untuk pendekatan tim yang terintegrasi (termasuk psikiater) dalam perawatan perioperatif.
Pemulihan pasca-operasi yang sukses bagi pasien ASA II sangat bergantung pada pengembalian cepat ke homeostasis fisiologis yang telah mereka capai sebelum operasi.
Pasien ASA II sering memiliki beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidensi PONV (Post-Operative Nausea and Vomiting), termasuk riwayat migrain, kecemasan, atau penggunaan opioid intraoperatif. PONV harus dikelola secara agresif, terutama pada pasien HTN atau DM, karena muntah dapat meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan lonjakan tekanan darah, atau memperburuk kontrol glukosa karena hilangnya asupan oral.
Protokol antiemetik multimodal (misalnya, Dexamethasone, Ondansetron, dan Scopolamine patch) sering direkomendasikan untuk pasien ASA II, bahkan untuk prosedur risiko sedang, untuk memastikan pemulihan yang nyaman.
Pasien ASA II harus menerima rejimen manajemen nyeri yang berfokus pada teknik non-opioid dan regional. Penggunaan opioid yang berlebihan dapat menyebabkan depresi pernapasan, mual, dan memperpanjang masa tinggal di PACU. Untuk operasi abdomen, infiltrasi luka lokal atau blok saraf fascial (misalnya, TAP block) dapat memberikan analgesia yang efektif sambil meminimalkan efek samping sistemik, memungkinkan pasien HTN dan DM kembali ke regimen makan dan obat oral mereka lebih cepat.
Klasifikasi Status Fisik ASA II adalah kategori yang sangat umum dan fundamental, menjembatani kesenjangan antara pasien yang sehat dan mereka yang memiliki penyakit sistemik yang mengancam. Klasifikasi ini mengingatkan tim medis bahwa setiap pasien, meskipun dengan penyakit 'ringan', telah kehilangan sebagian dari cadangan fisiologisnya.
Identifikasi yang akurat, penilaian pra-anestesi yang cermat, optimalisasi komorbiditas sebelum operasi elektif, dan manajemen intraoperatif yang hati-hati—yang menghormati penyakit sistemik yang mendasari—adalah landasan untuk mencapai hasil perioperatif yang aman. Pasien ASA II bukan sekadar ASA I yang sedikit lebih tua; mereka adalah individu yang membutuhkan perhatian khusus terhadap detail farmakologis dan hemodinamik untuk memastikan bahwa prosedur bedah mereka berjalan tanpa memicu dekompensasi penyakit sistemik yang telah lama terkontrol.
Kepatuhan terhadap protokol yang ketat dan kolaborasi yang efektif antara anestesiolog, ahli bedah, dan dokter perawatan primer adalah kunci untuk mengubah risiko ASA II yang ada menjadi pengalaman bedah yang aman dan berhasil, menjamin bahwa penyakit sistemik ringan tetap terkontrol baik melalui stres bedah.