Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah, memiliki posisi unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah surah yang penuh dengan ketegasan, mengungkap tabir kemunafikan, dan membedakan secara tegas antara keimanan yang sejati dengan kepalsuan yang terselubung. Surah ini diturunkan pada periode penting setelah Perang Tabuk, sebuah masa ketika iman para sahabat diuji dengan keras, sekaligus menyingkap siapa saja di antara masyarakat Madinah yang selama ini menyembunyikan penyakit batin berupa kemunafikan (nifaq).
Di tengah rangkaian ayat-ayat yang membicarakan pertobatan yang tulus dan hukuman bagi mereka yang melanggar janji, sampailah kita pada sebuah ayat yang mengandung pelajaran psikologis dan teologis yang sangat mendalam, yaitu ayat ke-110. Ayat ini bukan hanya sebuah catatan sejarah tentang sebuah peristiwa spesifik, tetapi merupakan kaidah universal mengenai dampak niat yang busuk terhadap amal lahiriah, serta bagaimana hukuman batin bisa melekat pada jiwa, menjadikannya sumber kegelisahan yang tak pernah usai. Inilah kisah tentang Masjid Ad-Dirar, dan bagaimana bangunan fisik dapat menjadi manifestasi dari keruntuhan spiritual.
Terjemahan ringkas ayat tersebut mengandung makna yang mencekam: "Bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi sumber keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka telah hancur (terpotong-potong). Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Fokus utama ayat ini terletak pada tiga pilar kata kunci: *Bunyan* (bangunan), *Raybah* (keraguan/kecurigaan), dan *Taqat-ta'a Qulubuhum* (hati mereka terpotong-potong). Ayat ini berfungsi sebagai putusan ilahi bahwa dampak buruk dari perbuatan yang didasari niat jahat akan terus menghantui pelakunya, bukan sebagai hukuman fisik, melainkan sebagai siksaan batin yang berkelanjutan.
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari kisah Masjid Ad-Dirar, atau ‘Masjid Bahaya’. Sekelompok orang munafik, dipimpin oleh Abu Amir Ar-Rahib, yang berpura-pura masuk Islam, meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk mendirikan sebuah masjid. Mereka beralasan bahwa masjid itu didirikan untuk orang-orang lemah, sakit, dan sebagai tempat singgah di malam yang dingin atau hujan. Namun, niat sebenarnya sangatlah berbahaya: mereka membangunnya sebagai markas rahasia, pusat konspirasi untuk memecah belah kaum Muslimin, dan sebagai tempat persiapan kedatangan musuh dari luar Madinah.
Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Tabuk, beliau diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk tidak melaksanakan salat di masjid itu, bahkan diperintahkan untuk merobohkannya dan membakarnya. Masjid Ad-Dirar adalah contoh nyata di mana bentuk luarnya suci (sebuah masjid), tetapi esensi, niat, dan tujuannya sangatlah kotor dan merusak. Inilah yang membedakannya dari Masjid Quba yang didirikan atas dasar takwa.
Gambar 1: Manifestasi Niat dan Keraguan dalam Hati.
Kata kunci "Raybah" (ريبة) jauh melampaui makna keraguan biasa. Dalam konteks ayat ini, Raybah merujuk pada rasa gelisah yang mendalam, kecurigaan yang menghantui, atau kegelisahan moral yang tak kunjung padam. Bagi kaum munafik yang membangun Masjid Ad-Dirar, meskipun bangunan fisik mereka telah dihancurkan, benih keraguan dan niat jahat yang menjadi dasarnya tidak bisa dihancurkan semudah batu bata. Ia bermetamorfosis menjadi penyakit hati yang kronis.
Hukuman yang disebutkan dalam ayat 110 adalah hukuman yang sepenuhnya bersifat spiritual. Allah ﷻ tidak hanya menghukum perbuatan mereka, tetapi juga menjamin bahwa internalisasi niat buruk tersebut akan menjadi siksaan abadi di dalam jiwa mereka. Ini adalah manifestasi sempurna dari keadilan ilahi: karena mereka berniat jahat terhadap persatuan umat, maka jiwa mereka sendiri akan selamanya terbelah oleh kecurigaan dan kegelisahan. Mereka akan selalu meragukan ketulusan orang lain, karena mereka tahu diri mereka sendiri tidak tulus; mereka akan selalu mencurigai konspirasi, karena mereka sendiri adalah ahli konspirasi.
Keraguan yang menempel ini bukan sekadar ketidakpastian. Ini adalah kegelisahan yang menyertai setiap ibadah dan setiap amal mereka yang tampak baik. Setiap kali mereka mencoba melakukan kebaikan, bayangan niat jahat masa lalu akan menghampiri dan menggerogoti ketenangan batin. Keraguan ini berfungsi sebagai api spiritual yang terus membakar di dada, sebuah pengingat abadi akan cacat fundamental dalam pondasi spiritual mereka.
Penyakit Raybah ini memiliki akar yang sangat dalam, dan ia menyebar luas ke seluruh aspek kehidupan munafik. Raybah bukan hanya tentang masjid yang mereka bangun; ia adalah sifat inheren dari kemunafikan itu sendiri. Munafik hidup dalam kontradiksi abadi antara penampilan luar dan realitas batin. Kontradiksi ini menciptakan tekanan psikologis yang tak tertahankan, yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai keraguan yang permanen.
Dalam ilmu tasawuf, hati (qalb) adalah benteng utama keimanan. Jika benteng ini dimasuki oleh Raybah, maka seluruh amal saleh akan kehilangan fondasinya. Bahkan jika seorang munafik melakukan salat dengan khusyuk di hadapan orang banyak, dalam sunyi batinnya, ia tahu bahwa tindakannya adalah topeng. Pengetahuan internal inilah yang menjadi cambuk spiritual. Raybah menjamin bahwa mereka tidak akan pernah merasakan manisnya iman (halawatul iman) atau ketenangan hakiki (sakinah) yang dijanjikan bagi orang-orang mukmin sejati.
Ayat ini secara implisit mengajarkan pentingnya lawan dari Raybah, yaitu *Ithmi’nan* (ketenangan dan kepastian). Orang mukmin sejati hidup dengan hati yang tenang karena niatnya murni, amalnya sesuai sunah, dan ia tidak takut jika amalnya dilihat atau tidak dilihat oleh manusia. Sebaliknya, kaum munafik hidup dalam kecemasan konstan karena mereka selalu harus menjaga agar topeng mereka tidak jatuh. Raybah adalah harga yang harus dibayar untuk hidup dalam kepalsuan. Ketenangan batin, yang merupakan hadiah terindah bagi mukmin, dirampas secara permanen dari hati munafik.
Frasa dramatis ini memberikan batasan waktu untuk hukuman Raybah: ia akan terus berlangsung "kecuali bila hati mereka telah hancur (terpotong-potong)." Ini adalah ekspresi metaforis yang kuat yang ditafsirkan oleh para ulama dalam beberapa sudut pandang, namun semuanya mengerucut pada finalitas dan kepastian hukuman.
1. **Kematian (Akhir Dunia):** Tafsir yang paling umum adalah bahwa keraguan itu akan melekat pada mereka hingga mereka mati. Ketika kematian datang, segala kecurigaan dan penyakit hati akan "terpotong" dari kehidupan duniawi mereka dan digantikan oleh realitas akhirat yang pasti dan tak terbantahkan. Pada saat itulah mereka akan menyadari kebenaran yang selama ini mereka tolak, namun penyesalan sudah tidak berguna.
2. **Azab Kiamat:** Beberapa ulama menafsirkan frasa ini merujuk pada azab yang sangat pedih di hari kiamat, di mana hati mereka benar-benar akan hancur karena kengerian dan kepastian hukuman. Ini adalah puncak dari siksaan batiniah yang dimulai di dunia melalui Raybah.
3. **Keterputusan Harapan:** Dalam pengertian psikologis, ini berarti keraguan dan kecurigaan itu akan terus ada hingga tidak ada lagi harapan sedikit pun tersisa di hati mereka untuk bisa kembali kepada kebenaran. Hati mereka benar-benar terpecah, tidak mampu lagi menyatukan iman dan amal. Hati mereka telah mati, secara metaforis, jauh sebelum jasad mereka mati.
Poin krusial di sini adalah bahwa tidak ada jalan keluar selama mereka masih hidup dalam kondisi nifaq mereka. Bangunan itu (Masjid Ad-Dirar) memang dihancurkan, tetapi "bangunan batin" yang terdiri dari niat jahat itu tidak dapat dirobohkan oleh tangan manusia. Hanya Kematian atau Kiamat yang dapat mengakhiri siksaan batin yang merupakan konsekuensi dari keputusan mereka sendiri untuk memilih kepalsuan.
Ayat 110 ditutup dengan penegasan: *“Wa Allahu ‘Alimun Hakim”* (Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana). Penutup ini bukan sekadar formalitas, melainkan konfirmasi mutlak terhadap putusan ilahi sebelumnya. Allah ﷻ Maha Mengetahui ('Alimun) niat tersembunyi mereka ketika mereka membangun masjid itu—sebuah niat yang tidak bisa dilihat oleh Rasulullah ﷺ atau sahabat lainnya. Dan Dia Maha Bijaksana (Hakimun) dalam menetapkan hukuman yang paling tepat: hukuman yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual dan psikologis, yang melekat sesuai dengan kejahatan yang mereka tanam.
Hikmah dari hukuman ini adalah bahwa keadilan Allah ﷻ menjangkau dimensi niat. Amalan lahiriah bisa saja menipu manusia, tetapi niat batiniah tidak akan pernah menipu Sang Pencipta. Dan hukuman yang timbul dari niat jahat adalah hukuman yang paling sulit dilepaskan, karena ia adalah bagian dari identitas internal si pelaku.
Kisah Masjid Ad-Dirar dan Ayat 110 memberikan fondasi teologis yang sangat kuat mengenai superioritas niat atas bentuk. Bahkan amalan yang paling mulia di mata manusia—mendirikan tempat ibadah—dapat berubah menjadi dosa besar jika pondasinya adalah kebencian, perpecahan, atau pamer. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini mengajarkan kita tentang prinsip Islam yang mendasar:
Seluruh sistem amal dalam Islam berdiri di atas niat, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, *“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”* Ayat 110 adalah sisi gelap dari hadis niat; jika niat baik membawa pahala, niat buruk, meskipun diwujudkan dalam bentuk yang mulia, membawa azab yang abadi. Kaum munafik fokus pada *bentuk* (bangunan), tetapi mengabaikan *esensi* (takwa). Mereka berusaha mengelabui Rasulullah ﷺ dengan penampilan kesalehan, tetapi mereka gagal total di hadapan Allah ﷻ yang melihat isi hati.
Pelajaran ini menjadi sangat relevan dalam kehidupan berorganisasi atau berjamaah. Ketika suatu institusi didirikan bukan karena mencari ridha Allah ﷻ atau untuk melayani umat secara murni, melainkan didorong oleh ambisi pribadi, perebutan kekuasaan, atau keinginan untuk memecah belah, maka institusi tersebut, secara spiritual, akan menjadi Masjid Ad-Dirar modern. Meskipun papan namanya bertuliskan nama yang indah, ia akan menjadi sumber Raybah, perpecahan, dan kegelisahan batin bagi para pendirinya dan mereka yang terlibat di dalamnya.
Integritas bukan hanya tentang kejujuran finansial, tetapi kejujuran niat. Ayat 110 menuntut kita untuk selalu memeriksa fondasi dari setiap proyek keagamaan atau kemasyarakatan yang kita laksanakan. Apakah kita membangun untuk menyatukan atau memisahkan? Apakah kita bertindak karena cinta kepada Allah ﷻ atau karena takut kehilangan status di mata manusia? Jika jawabannya adalah yang terakhir, maka bangunan tersebut, meskipun megah, telah mengandung bibit kehancuran spiritual.
Jika hukuman bagi munafik adalah Raybah yang permanen, maka jalan keselamatan bagi mukmin adalah memelihara hati agar tetap berada di atas fondasi Takwa. Allah ﷻ dalam ayat sebelumnya (At-Taubah 108) memuji Masjid Quba, yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama (*asasa 'ala at-taqwa*). Kontras antara Quba dan Ad-Dirar adalah kontras antara niat yang murni dan niat yang tercemar.
1. **Introspeksi Niat (Muhasabatun Niyyah):** Sebelum memulai amal apa pun, tanyakan pada diri sendiri, "Mengapa saya melakukan ini?" Latih diri untuk mencari ridha Allah ﷻ secara eksklusif, bukan pujian, pengakuan, atau keuntungan duniawi. Ini adalah pertahanan pertama terhadap kemunafikan.
2. **Mencari Ketenangan Hakiki (Sakinah):** Ketenangan hati adalah barometer keimanan. Jika amal yang dilakukan justru menambah kegelisahan, kecemasan, dan ketidakpuasan, itu adalah tanda bahwa ada Raybah atau penyakit niat yang perlu diobati. Ketenangan sejati datang hanya dengan mengingat Allah (Q.S. Ar-Ra’d: 28).
3. **Menghindari Perpecahan:** Salah satu tujuan utama Masjid Ad-Dirar adalah perpecahan (*tafriq*). Mukmin sejati berjuang untuk persatuan (*ukhuwah*). Setiap tindakan atau ucapan yang bertujuan memecah belah komunitas mukmin harus diwaspadai sebagai bibit kemunafikan yang dapat menimbulkan Raybah di hati.
Kata *Raybah* (ريبة) secara linguistik terkait erat dengan kegelisahan, kecurigaan, dan ketidakpastian. Ia bukan sekadar lupa atau salah, melainkan suatu kondisi hati yang teracuni. Keraguan yang dibawa oleh Raybah adalah keraguan yang agresif, yang secara aktif menolak kebenaran meskipun kebenaran itu tampak jelas. Dalam Surah At-Taubah 110, Raybah adalah produk sampingan dari Nifaq. Nifaq (kemunafikan) adalah benihnya, dan Raybah adalah buah pahitnya. Raybah ini dijamin keberlangsungannya, melekat erat seperti bayangan, memastikan bahwa kemunafikan tidak hanya merugikan orang lain (melalui konspirasi), tetapi juga merugikan diri sendiri (melalui siksaan batin yang terus-menerus).
Para mufasir menekankan bahwa kelangsungan Raybah ini menjadi peringatan keras bagi umat Islam di setiap zaman. Bahwa meskipun seorang munafik berhasil menutupi jejaknya di mata manusia, dan meskipun ia mungkin memperoleh keuntungan duniawi dari kemunafikannya, ia tidak akan pernah mendapatkan ketenangan spiritual. Justru, keberadaan bangunan atau institusi yang didirikan dengan niat busuk itu akan terus memancarkan energi negatif berupa keraguan ke dalam hati mereka. Ini adalah bukti bahwa niat, meskipun tidak terlihat, memiliki kekuatan eksistensial yang dapat menciptakan siksaan abadi di dalam jiwa.
Ketika Allah ﷻ menyatakan bahwa bangunan itu akan senantiasa menjadi sumber Raybah, ini menunjukkan bahwa objek fisik—bangunan itu sendiri—telah terkontaminasi oleh niat jahat. Bangunan itu menjadi simbol kekalahan spiritual mereka. Bahkan setelah dihancurkan, memori dan tindakan yang melatarinya tetap hidup dalam ingatan hati mereka sebagai sumber ketidakpastian moral yang tidak pernah selesai. Hati yang dilanda Raybah adalah hati yang terbagi dua, separuh menghadap dunia, separuh berpura-pura menghadap akhirat, dan pembelahan ini adalah sumber penderitaan.
Nifaq adalah penyakit kronis yang lebih berbahaya daripada kekufuran terang-terangan (kafir). Kafir berada di luar barisan, namun munafik berada di dalam, merusak dari dalam. Siksaan bagi munafik, seringkali digambarkan dalam Al-Qur'an, lebih berat dari siksaan kafir (mereka ditempatkan di lapisan neraka paling bawah). Ayat 110 menjelaskan salah satu aspek siksaan itu di dunia: kehancuran psikologis yang terus-menerus. Hidup sebagai munafik berarti hidup dalam ketakutan akan terungkapnya kebohongan, hidup dalam kecurigaan terhadap mukmin sejati, dan hidup dengan kesadaran bahwa segala ibadah adalah sia-sia.
Raybah adalah manifestasi dari kegagalan munafik untuk menyelaraskan internal dan eksternal. Mereka tidak memiliki integritas, dan kegagalan ini menghasilkan gelombang kejut psikologis yang tak henti-hentinya. Setiap pujian yang mereka terima dari manusia adalah pengingat akan kepalsuan mereka. Setiap keberhasilan yang mereka raih melalui penipuan adalah pengingat akan dasar yang rapuh dari eksistensi mereka. Inilah siksaan batin yang terus menerus memotong-motong hati mereka, membuat mereka tidak pernah utuh dan tenang.
Frasa *Taqat-ta'a Qulubuhum* (terpotong-potongnya hati mereka) adalah klimaks dari ancaman ini. Para ulama tafsir menekankan bahwa 'terpotong-potong' di sini bukan berarti putus harapan biasa, melainkan azab yang menyakitkan. Al-Qurtubi dan lainnya menjelaskan bahwa ini adalah gambaran metaforis dari kematian. Keraguan ini tidak akan hilang kecuali ketika maut datang dan memutus hubungan mereka dengan kehidupan duniawi. Maut menjadi titik balik di mana keraguan berganti menjadi kepastian yang menyakitkan (yakqin bil 'adzab).
Namun, jika kita melihatnya dari perspektif spiritual yang lebih dalam, hati yang terpotong-potong melambangkan hati yang telah kehilangan kemampuannya untuk beriman, untuk merasakan kebenaran, dan untuk bertobat secara tulus. Mereka telah mencapai titik balik di mana *fitrah* (kesucian asal) mereka telah sepenuhnya terbagi, rusak, dan tidak dapat diperbaiki lagi. Keraguan telah membelah inti spiritual mereka, menjadikannya serpihan-serpihan yang tidak dapat disatukan kembali oleh rahmat Allah ﷻ, kecuali melalui kematian dan penghakiman akhir.
Oleh karena itu, Raybah yang disebutkan dalam ayat ini adalah kutukan yang berkelanjutan. Ia bukan peristiwa sesaat, melainkan kondisi permanen. Itu adalah hukuman yang diberikan kepada mereka yang berani menggunakan simbol kesucian (masjid) sebagai alat untuk mempromosikan kejahatan dan perpecahan. Hukuman ini setara dengan kejahatan mereka: kekal dan sangat pribadi, mengincar inti terdalam dari keberadaan mereka, yaitu hati.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa Allah ﷻ Maha Mengetahui hikmah di balik penghancuran fisik Masjid Ad-Dirar dan kelangsungan hukuman batin ini. Penghancuran fisik menunjukkan bahwa Islam tidak mentolerir institusi yang beroperasi di bawah kedok agama untuk tujuan makar. Kelangsungan Raybah menunjukkan bahwa Allah ﷻ tidak membiarkan niat jahat luput dari balasan, bahkan jika perbuatan fisiknya telah dihentikan. Ini adalah keseimbangan sempurna antara keadilan di level duniawi dan keadilan di level spiritual dan eskatologis.
Ayat 110 memberikan peta jalan bagi umat di masa modern untuk mengidentifikasi "Masjid Ad-Dirar" kontemporer. Meskipun kita mungkin tidak melihat bangunan yang dihancurkan secara harfiah, kita sering menyaksikan entitas atau kelompok yang menggunakan platform keagamaan, media dakwah, atau kegiatan sosial keagamaan sebagai kedok untuk mencapai tujuan yang tercela—entah itu politik kekuasaan, pengumpulan harta, atau pemecahbelahan umat berdasarkan perbedaan mazhab atau kelompok. Setiap kali niat murni dikorbankan demi agenda tersembunyi, Raybah akan mulai merayap masuk, tidak hanya di hati para pendiri, tetapi juga meracuni atmosfer komunitas tersebut.
Ketika sebuah lembaga keagamaan lebih banyak menghasilkan pertengkaran, kecurigaan, dan persaingan yang tidak sehat daripada persatuan dan ibadah yang tulus, maka kita harus bertanya: di atas fondasi niat apakah ia dibangun? Apakah niatnya *Asasa 'ala At-Taqwa* (berlandaskan takwa) seperti Masjid Quba, ataukah *Raybah fi Qulubihim* (keraguan dalam hati) seperti Ad-Dirar?
Keberlanjutan Raybah ini adalah peringatan terhadap bahaya "kemunafikan terlembaga." Jika kemunafikan sudah menjadi budaya dalam sebuah organisasi, maka sulit sekali bagi anggota di dalamnya untuk menemukan kedamaian dan ketenangan. Mereka akan terus berada dalam siklus Raybah, di mana setiap tindakan baik terasa hampa dan setiap kritik terasa benar. Ini adalah konsekuensi alamiah dari menanam benih di tanah yang kotor.
Untuk menghindari malapetaka Raybah, mukmin dituntut untuk terus menerus membersihkan niat. Pembersihan niat ini (tazkiyatun niyat) adalah jihad terbesar. Ini berarti memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap kata yang diucapkan, dan setiap langkah yang diambil dalam pelayanan agama adalah murni karena Allah ﷻ. Jika niat bercampur, maka kualitas amal akan turun, dan Raybah akan mulai merusak benteng hati.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas masalah niat, menekankan betapa licinnya jebakan riya (pamer) yang merupakan bentuk kemunafikan ringan. Jika pamer saja sudah mengurangi pahala, bayangkan apa yang dilakukan oleh niat jahat yang direncanakan, seperti yang dimiliki oleh para pendiri Ad-Dirar. Niat jahat tersebut tidak hanya menghapus pahala, tetapi justru menarik hukuman batin, yaitu Raybah.
Hukuman batin yang dijelaskan dalam At-Taubah 110 adalah pelajaran tentang kausalitas spiritual. Sebab dari tindakan mereka (niat buruk) secara langsung menciptakan akibat abadi (keraguan). Kita tidak dapat lari dari niat kita sendiri. Niat adalah cetak biru jiwa. Jika cetak biru itu rusak, maka seluruh bangunan spiritual akan menjadi rusak, dan kerusakannya akan terasa sampai hati itu terpotong-potong saat menghadapi akhirat.
Ayat ini juga merupakan pelajaran bagi umat secara kolektif. Umat harus selalu waspada terhadap upaya perpecahan dari dalam. Kekuatan umat Islam tidak terletak pada jumlah fisik, melainkan pada kesatuan hati dan kemurnian niat. Jika kesatuan hati ini diganggu oleh Raybah yang ditanam oleh oknum-oknum internal, maka kehancuran akan lebih cepat datang daripada serangan dari musuh luar. Rasulullah ﷺ menghancurkan Masjid Ad-Dirar untuk membersihkan komunitas dari kanker internal ini.
Dalam konteks modern, kita harus belajar bahwa tidak semua yang tampak islami, yang menggunakan simbol-simbol Islam, dan yang berbicara dengan retorika agama, didasari oleh niat yang tulus. Tugas kita sebagai mukmin adalah menuntut transparansi, bukan hanya dalam keuangan, tetapi dalam niat—sejauh yang bisa kita nilai dari buah-buah amal. Jika buah dari sebuah institusi adalah perpecahan, kebencian, dan permusuhan di antara mukmin, maka ia mencerminkan semangat Ad-Dirar, dan kita harus menjauhinya. Keraguan yang ditanam akan terus membusuk, kecuali jika hati-hati yang menanamnya benar-benar bertaubat atau, sesuai ketentuan ilahi, terpotong-potong di hadapan kepastian maut.
Hukuman Raybah ini adalah manifestasi kebijaksanaan ilahi yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa Allah ﷻ tidak hanya menghakimi dosa yang tampak (seperti mencuri atau membunuh), tetapi juga dosa yang paling tersembunyi dan halus (niat yang busuk). Dan hukuman untuk dosa halus ini adalah siksaan yang halus, tetapi abadi, yaitu hilangnya ketenangan batin yang merupakan karunia terbesar bagi seorang hamba yang tulus.
Kehidupan seorang munafik adalah siksaan berjalan, di mana mereka terus-menerus meragukan keimanan mereka sendiri, meragukan janji-janji Allah ﷻ, dan meragukan ketulusan orang lain. Keraguan ini menciptakan lingkaran setan kecemasan dan konspirasi yang tidak akan pernah putus. Mereka hidup dalam labirin ketidakpastian yang mereka ciptakan sendiri, dan labirin itu akan terus menjadi penjara mereka *hatta taqat-ta’a qulubuhum*. Inilah keadilan Allah yang tidak bisa dinegosiasikan: balasan yang sesuai dengan benih yang ditanam dalam relung hati yang paling dalam.
Untuk menghindari nasib ini, seorang mukmin harus senantiasa melakukan instrospeksi diri yang keras. Selalu tanyakan: Apakah saya membangun sesuatu yang kekal berdasarkan takwa, ataukah saya sedang membangun ilusi yang rapuh di atas keraguan? Apakah amal saya akan menjadi sumber ketenangan, ataukah sumber Raybah? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan nasib spiritual kita di dunia dan di akhirat. Ayat 110 berdiri sebagai mercusuar peringatan yang tak pernah padam, mengingatkan bahwa niat adalah mata uang yang diperhitungkan secara definitif oleh Allah ﷻ.
Oleh karena itu, perjuangan melawan kemunafikan adalah perjuangan sepanjang hayat untuk memelihara kejernihan niat. Kejernihan niat ini adalah satu-satunya benteng yang dapat melindungi hati dari serangan Raybah. Jika hati dilindungi oleh niat yang murni (ikhlas), maka meskipun diuji dengan kesulitan, hati akan tetap tenang (sakinah). Namun, jika niat tercemar, maka bahkan dalam kemewahan sekalipun, hati akan terbelah oleh Raybah, sebuah hukuman yang dijamin kelangsungannya oleh firman Allah ﷻ yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Pelajaran yang paling mendesak dari At-Taubah 110 adalah panggilan untuk autentisitas. Allah ﷻ menuntut kejujuran radikal dari dalam diri. Tidak ada gunanya bagi seorang hamba untuk melakukan ibadah, beramal, atau membangun institusi keagamaan jika hati diwarnai dengan agenda tersembunyi atau niat jahat. Bangunan fisik dapat dihancurkan dengan api, tetapi Raybah hanya bisa diputus oleh kematian. Ini menegaskan bahwa urusan hati adalah urusan yang paling serius di hadapan Allah ﷻ, dan kegagalannya membawa konsekuensi yang abadi.
Sebagai penutup, kita merenungkan kembali kalimat penutup ayat ini: *“Wa Allahu ‘Alimun Hakim.”* Pengetahuan Allah ﷻ meliputi setiap detail niat yang disembunyikan di bawah lapisan perilaku. Kebijaksanaan-Nya menjamin bahwa hukuman itu tidak akan pernah salah alamat. Jika hati memilih keraguan dan pengkhianatan, maka hati itu sendiri yang akan menjadi penjara Raybah, selamanya terpotong-potong dalam kegelisahan yang tak terhindarkan. Inilah ganjaran bagi mereka yang menukar kebenaran dengan kepalsuan, dan ketenangan dengan kecurigaan abadi.