AT-TAUBAH 128 & 129: MERAIH REZEKI MELALUI KESEMPURNAAN TAWAKKAL

Fondasi Spiritual Menuju Keberkahan dan Ketenangan Hati

Simbol Cahaya Hidayah dan Qur'an

Pilar Harapan dan Petunjuk Ilahi

I. Mukadimah: Dua Ayat Pamungkas yang Penuh Berkah

Dalam khazanah spiritual Islam, Surah At-Taubah ayat 128 dan 129 memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kedua ayat ini sering disebut sebagai penutup dan puncak dari wahyu, membawa janji, harapan, dan petunjuk yang menyeluruh, bukan hanya untuk keselamatan akhirat, tetapi juga untuk ketenangan dan keberkahan dalam urusan dunia, termasuk perihal rezeki.

Rezeki dalam pandangan Islam adalah segala sesuatu yang bermanfaat, mencakup kesehatan, waktu luang, ilmu, keturunan yang saleh, dan tentu saja, harta. Namun, untuk meraih rezeki yang hakiki—rezeki yang tidak hanya banyak tetapi juga diberkahi (barakah)—dibutuhkan fondasi spiritual yang kokoh. Fondasi tersebut termaktub dalam pemahaman dan pengamalan sempurna dari At-Taubah 128 dan 129.

At-Taubah (9): 128:

Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan (kebaikan bagimu), penyantun (rauf) dan penyayang (rahim) terhadap orang-orang mukmin.

At-Taubah (9): 129:

Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), "Cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana) yang agung."

Kedua ayat ini menyajikan kombinasi luar biasa: pertama, penekanan pada sifat welas asih dan kepedulian Rasulullah ﷺ sebagai teladan tertinggi (V. 128), dan kedua, perintah tegas untuk menggantungkan seluruh jiwa dan raga hanya kepada Allah (V. 129). Ini adalah blueprint spiritual untuk mengatasi keputusasaan, termasuk keputusasaan dalam mencari nafkah.

II. Mengurai At-Taubah 128: Fondasi Karakter dan Etika Rezeki

Ayat 128 bukanlah sekadar pujian terhadap Nabi Muhammad ﷺ; ia adalah peta jalan menuju rezeki yang berkah. Rezeki yang halal dan berkah selalu berakar pada perilaku yang benar (akhlak) dan kepedulian sosial. Ayat ini menggarisbawahi tiga pilar utama yang harus dimiliki seorang pencari rezeki yang ingin diberkahi.

1. 'Azizun 'alayhi mā 'anittum (Berat terasa olehnya penderitaanmu)

Pilar pertama adalah empati dan kepekaan terhadap kesulitan orang lain. Ketika kita mengaitkan konsep ini dengan rezeki, kita memahami bahwa mencari nafkah tidak boleh dilakukan dengan merugikan atau mengeksploitasi orang lain. Seorang mukmin yang meneladani sifat Rasulullah ﷺ akan menjauhi segala bentuk transaksi yang merugikan, penipuan, riba, dan ketidakadilan. Rezeki yang didapat dari menumpuk penderitaan orang lain tidak akan pernah membawa ketenangan batin, meskipun jumlahnya melimpah. Kepekaan ini mendorong kita untuk berbisnis secara jujur, adil, dan memberikan upah yang layak.

Kondisi spiritual yang lahir dari meneladani 'azizun 'alayhi ini adalah keberkahan dalam interaksi. Rezeki yang datang dari jaringan kerja yang tulus, pelanggan yang puas, dan mitra yang merasa dihargai jauh lebih lestari dan menenteramkan dibandingkan rezeki yang cepat datang namun cepat hilang karena disertai ketidakjujuran.

2. Harīşun 'alaykum (Sangat menginginkan kebaikan bagimu)

Ayat ini mengajarkan kepada kita sifat proaktif dalam kebaikan. Dalam konteks rezeki, keinginan yang kuat untuk kebaikan ini diterjemahkan menjadi dua bentuk:

3. Bir-ra'ūfir-raḥīm (Penyantun dan Penyayang)

Sifat Ar-Rauf (Sangat Penyantun) dan Ar-Rahim (Sangat Penyayang) adalah dua nama agung Allah yang disematkan kepada Rasulullah ﷺ. Sifat ini mengajarkan bahwa meskipun kita bekerja keras dan gigih (harisun), kita harus tetap berlandaskan kasih sayang. Dalam mencari rezeki, ini berarti menghindari kekerasan hati, kesombongan, dan kezaliman. Jika kita meraih kesuksesan, kita harus menggunakan harta tersebut untuk menebar rahmat, membantu yang lemah, dan menjadi sumber ketenangan, bukan sumber fitnah.

Keseimbangan antara ikhtiar yang gigih (harisun) dan sikap welas asih (rauf-rahim) adalah kunci bagi rezeki yang tenang dan lestari. Harta yang didapat dengan kelembutan akan membawa kelembutan dalam rumah tangga dan ketenangan dalam jiwa.

III. Menggenggam At-Taubah 129: Puncak Tawakkal dan Kunci Rezeki

Jika ayat 128 adalah tentang kualitas usaha dan karakter (segi hamba), maka ayat 129 adalah tentang kualitas keimanan dan penyerahan diri (segi Rabb). Ayat ini adalah jantung dari filosofi rezeki seorang mukmin, memberikan solusi spiritual total ketika semua upaya duniawi telah dilakukan, namun hasil belum sesuai harapan. Ayat ini mengajarkan sikap pamungkas: Tawakkal.

"Cukuplah Allah bagiku (Hasbiyallāh), tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana) yang agung."

1. Hasbiyallāh: Pernyataan Kecukupan Total

Frasa 'Hasbiyallāh' (Cukuplah Allah bagiku) adalah dzikir para nabi, benteng perlindungan, dan kunci ketenangan. Dalam konteks rezeki, mengucapkan frasa ini adalah pernyataan bahwa meskipun pasar sedang lesu, ekonomi sedang sulit, atau pintu pekerjaan tampak tertutup, kita tidak akan pernah miskin selama memiliki Allah sebagai sandaran.

Rezeki bukan hanya tentang mendapatkan, tetapi tentang merasa cukup. Orang yang rezekinya berlimpah namun hatinya tidak pernah merasa cukup (qana'ah) akan selalu merasa miskin. Sebaliknya, orang yang rezekinya sederhana namun mengucapkan 'Hasbiyallāh' dengan sepenuh hati, akan merasakan kekayaan yang sesungguhnya: kekayaan jiwa. Rasa cukup inilah yang menjadi rezeki terbesar, karena menghilangkan rasa cemas, iri, dan takut kekurangan.

Dzikir 'Hasbiyallāh' memutus ketergantungan hati dari makhluk (at-ta'alluq bi ghayrillah). Ketika kita terlalu bergantung pada gaji bulanan, pada atasan, pada investasi tertentu, atau pada koneksi bisnis, hati kita akan mudah goyah dan stres. Namun, dengan mentransfer seluruh ketergantungan mutlak kepada Yang Maha Memberi Rezeki, segala kegoyahan duniawi tidak akan mampu meruntuhkan ketenangan batin kita.

2. Tawakkal: Penyerahan Diri yang Sempurna

Tawakkal adalah puncak dari tauhid (pengesaan Allah). Ini bukan berarti meninggalkan usaha, melainkan menempatkan hasil dari usaha tersebut sepenuhnya di tangan Allah. Tawakkal memiliki tiga komponen penting terkait rezeki:

A. Keyakinan Mutlak atas Janji Rezeki

Tawakkal dimulai dengan keyakinan bahwa rezeki setiap makhluk telah ditetapkan dan dijamin oleh Allah sebelum ia diciptakan. Keyakinan ini menghilangkan persaingan tidak sehat dan kecurangan. Seorang mukmin yang bertawakkal tahu bahwa rezekinya tidak akan diambil oleh orang lain, dan rezeki orang lain tidak akan pernah ia ambil.

B. Mengerahkan Ikhtiar Terbaik (Al-Kasb)

Tawakkal harus disertai dengan ikhtiar. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar kita mengikat unta sebelum bertawakkal. Dalam mencari rezeki, ini berarti menggunakan seluruh potensi, keahlian, dan kesempatan yang ada, sesuai dengan etika yang diajarkan dalam V. 128 (jujur, adil, berempati). Ikhtiar adalah ibadah, dan tawakkal adalah penyempurna ibadah tersebut.

C. Ridha atas Ketetapan (Ar-Ridha)

Ini adalah buah termanis dari tawakkal. Apapun hasil dari usaha kita—kaya atau sederhana, sukses atau gagal—kita menerima dengan ridha. Ridha adalah indikator bahwa hati kita telah terbebas dari keluh kesah. Seorang yang ridha tidak akan menyalahkan takdir atas kekurangan rezeki, melainkan melihat setiap hasil sebagai ujian atau karunia yang mengandung hikmah mendalam.

Simbol Tawakkal dan Stabilitas

Tawakkal sebagai Fondasi Kokoh di Tengah Badai

3. Rabbul 'Arsyil 'Azhim: Mengingat Keagungan Sumber Rezeki

Ayat 129 ditutup dengan pengakuan keagungan Allah sebagai Pemilik 'Arsy yang Agung. Mengapa ini penting bagi rezeki? Karena mengingatkan kita bahwa Dzat yang kita sandari adalah Dzat yang Maha Kuasa, penguasa tertinggi alam semesta, yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Jika Dia mampu menciptakan dan mengatur 'Arsy yang agung, maka mengatur rezeki sekecil apapun bagi hamba-Nya adalah perkara yang sangat mudah bagi-Nya.

Ketika seseorang merasa cemas tentang rezeki, ini seringkali disebabkan oleh lupa akan kemahakuasaan Allah. Mengingat 'Arsyil 'Azhim memperluas cakrawala harapan kita, mengubah perspektif dari kesulitan duniawi yang sempit menjadi janji Ilahi yang tak terbatas. Kekuatan ini memberikan ketenangan yang tak tergantikan, yang dengan sendirinya adalah rezeki jiwa yang paling utama.

IV. Integrasi At-Taubah 128-129 dalam Praktik Rezeki Sehari-hari

Kombinasi kedua ayat ini memberikan formula sempurna: Akhlak Nabi (128) + Penyerahan Mutlak kepada Allah (129) = Rezeki yang Berkah dan Ketenangan Abadi.

1. Prinsip Etika dalam Berinteraksi Ekonomi

Rezeki bukan hanya diukur dari kuantitas, tetapi dari keberkahan cara mendapatkannya. Meneladani V. 128 berarti:

  1. Jauhi Gharar (Ketidakjelasan): Bisnis harus transparan untuk menghindari penderitaan orang lain.
  2. Tunaikan Hak Pekerja: Beri upah sebelum keringatnya kering, sebagai bentuk empati dan kasih sayang (Rauf dan Rahim).
  3. Niatkan Bekerja sebagai Ibadah: Pekerjaan yang diniatkan untuk menghidupi keluarga dan memberi manfaat adalah perwujudan dari 'Harisun 'alaykum' (sangat menginginkan kebaikan).

2. Kekuatan Dzikir dan Doa dalam Mencari Rezeki

Pengamalan V. 129 secara rutin, terutama dalam situasi sulit, memiliki dampak spiritual yang luar biasa. Dzikir 'Hasbiyallāhu lā ilāha illā Huwa 'alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhim' (Cukuplah Allah bagiku...) harus diucapkan bukan hanya di lidah, tetapi meresap hingga ke tulang sumsum keyakinan. Dzikir ini adalah sarana untuk menarik perhatian Ilahi (Jalb ar-Rizq) dengan cara yang paling mulia.

Mengucapkan kalimat ini di pagi hari memberikan energi tawakkal untuk menjalani ikhtiar di siang hari. Mengucapkannya di sore hari memberikan ketenangan dan penerimaan (ridha) atas hasil yang didapat hari itu. Ia adalah tameng dari rasa khawatir yang merupakan pencuri terbesar rezeki ketenangan batin.

3. Rezeki Hakiki: Lebih dari Sekadar Harta

Pemahaman yang dangkal seringkali membatasi rezeki hanya pada uang. Padahal, tawakkal yang diajarkan dalam At-Taubah 129 membuka pintu kepada jenis-jenis rezeki yang jauh lebih berharga:

Tawakkal sempurna memastikan bahwa, meskipun rezeki material mungkin berfluktuasi sesuai sunnatullah (hukum sebab-akibat), rezeki spiritual (sakīnah, ridha, qana'ah) akan selalu stabil karena bersandar pada Rabbul 'Arsyil 'Azhim.

V. Perluasan Konsep: Tawakkal, Qana'ah, dan Sifat 'Arsyil Azhim

1. Menggali Kedalaman Sifat Qana'ah (Merasa Cukup)

Tidak mungkin seseorang mencapai tawakkal yang sempurna tanpa didahului oleh qana'ah. Qana'ah adalah kekayaan batin yang sejati, dan ia adalah manifestasi nyata dari pengamalan V. 129. Jika Allah telah cukup bagiku (Hasbiyallāh), maka apa lagi yang harus kucari dari makhluk atau dunia ini secara berlebihan?

Qana'ah adalah rem spiritual yang mencegah kita terjebak dalam lingkaran setan konsumerisme dan ambisi dunia yang melalaikan akhirat. Ketika qana'ah bersemayam di hati, ikhtiar yang kita lakukan menjadi murni ibadah, bukan sekadar perburuan harta. Rezeki yang datang kepada orang yang qana'ah terasa lebih manis dan lebih berkah, karena tidak dinodai oleh kerakusan (thama').

Para ulama menjelaskan bahwa orang yang qana'ah adalah orang yang paling kaya, karena definisi kekayaan sejati bukanlah memiliki banyak harta, melainkan tidak membutuhkan banyak harta. Qana'ah yang lahir dari Tawakkal pada Rabbul 'Arsyil 'Azhim akan mengeliminasi sifat dengki, karena ia menyadari bahwa distribusi rezeki adalah ketetapan Ilahi, bukan hasil persaingan manusia semata.

2. Tawakkal dan Siklus Pemberian (Infaq)

Paradoks rezeki dalam Islam adalah bahwa ia bertambah ketika dibagikan. Ini menuntut tingkat tawakkal yang tinggi. Bagaimana mungkin saya membagi rezeki jika saya sendiri khawatir kekurangan? Inilah mengapa Tawakkal (V. 129) harus mendahului tindakan memberi (Infaq) yang diilhami oleh sifat welas asih Rasulullah ﷺ (V. 128).

Seseorang yang sepenuhnya bertawakkal tidak takut kehilangan harta ketika bersedekah. Ia yakin bahwa Dzat yang menjamin rezekinya (Rabbul 'Arsyil 'Azhim) pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat. Sedekah adalah investasi rezeki yang paling aman, karena pelindungnya adalah Allah sendiri.

3. Menanggapi Kekhawatiran Rezeki Modern

Di era modern, kekhawatiran rezeki seringkali berbentuk stres akibat persaingan global, ketidakpastian pekerjaan, atau lonjakan harga. Bagi seorang mukmin, kunci untuk menghadapi semua gejolak ini tetaplah At-Taubah 128-129.

Tawakkal adalah manajemen stres spiritual yang paling efektif. Ketika kita telah berusaha maksimal sesuai etika Nabi (V. 128), kita serahkan hasilnya kepada Allah (V. 129), sehingga beban psikologis kegagalan terangkat, memungkinkan kita untuk memulai ikhtiar baru dengan energi penuh.

4. Pengulangan Inti Tawakkal dalam Mencari Keberkahan

Untuk mencapai rezeki yang berkah, pengulangan internalisasi Tawakkal adalah krusial. Tawakkal harus menjadi nafas. Ia bukan sebuah pilihan, melainkan syarat utama keimanan. Jika kita mengaku bertuhan, maka kita harus bersandar sepenuhnya kepada-Nya.

Setiap langkah bisnis, setiap negosiasi, setiap keputusan investasi harus didahului oleh kesadaran bahwa "Cukuplah Allah bagiku." Kesadaran ini memurnikan niat dari keserakahan duniawi dan mengalihkannya kepada keridhaan Ilahi. Rezeki yang didapat dengan niat tulus (Lillahi Ta'ala) akan membawa ketenangan, sementara rezeki yang didapat dengan niat tamak hanya akan membawa penyesalan, meskipun jumlahnya fantastis.

Oleh karena itu, dalam setiap kesulitan rezeki, kita harus kembali kepada dua pilar utama: introspeksi etika kerja (apakah saya sudah meneladani sifat Rauf dan Rahim dalam berbisnis?) dan memperkuat dzikir tawakkal (sudahkah saya benar-benar menyerahkan hasil mutlak kepada Rabbul 'Arsyil 'Azhim?).

Simbol Rezeki dan Aliran Berkah

Aliran Rezeki yang Dijamin Ilahi

5. Tafakur Mendalam tentang Rabbul 'Arsyil 'Azhim

Penutup ayat 129, yang menyebutkan Allah sebagai Tuhan 'Arsy yang Agung, seringkali diremehkan dalam kaitannya dengan rezeki. Padahal, inilah yang memberikan skala kosmik pada tawakkal kita.

Tafakur tentang keagungan 'Arsy (makhluk terbesar yang diketahui) mengingatkan kita bahwa segala masalah yang kita hadapi, termasuk masalah keuangan, sangat kecil di hadapan pencipta alam semesta. Jika Allah mampu mempertahankan eksistensi Arsy, Dia juga mampu mengatur dan mendistribusikan rezeki miliaran manusia, hewan, dan tumbuhan secara detail dan adil.

Ketika kita merasa bahwa pintu rezeki duniawi tertutup, pandangan kita harus diarahkan pada Rabbul 'Arsyil 'Azhim, yang memiliki kunci dari setiap pintu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Pengakuan ini melahirkan optimisme spiritual yang tak terbatas. Inilah yang membedakan tawakkal seorang mukmin dari optimisme sekuler; optimisme mukmin didasarkan pada kepastian janji Ilahi, bukan hanya pada kemampuan diri sendiri atau kondisi pasar.

6. Pengaruh Sifat Rasulullah (V. 128) pada Kualitas Rezeki

Penting untuk diingat bahwa Tawakkal (V. 129) tidak dapat berdiri sendiri tanpa meneladani karakter Nabi (V. 128). Mengapa? Karena Allah mencintai hamba-Nya yang berakhlak mulia dan bertawakkal.

Rezeki yang didapat dari perilaku yang meneladani Rasulullah ﷺ akan membawa ketenangan batin karena ia bersih dari kezaliman. Ketidakberkahan seringkali datang bukan dari sedikitnya rezeki, melainkan dari cara mendapatkannya yang melanggar prinsip-prinsip etika (V. 128).

VI. Penutup: Menjadikan Tawakkal sebagai Gaya Hidup

Surah At-Taubah ayat 128 dan 129 adalah harta karun spiritual. Ayat 128 menetapkan standar etika tertinggi bagi setiap mukmin dalam berinteraksi sosial dan ekonomi, sementara ayat 129 memberikan penangkal dari segala kekhawatiran dan ketakutan duniawi, khususnya terkait rezeki.

Keberkahan rezeki sejati adalah gabungan antara kerja keras yang jujur dan tulus (meneladani sifat Nabi) dan penyerahan total atas hasilnya kepada Pemilik 'Arsy yang Agung. Dengan mengamalkan dua ayat ini, seorang mukmin tidak hanya menjamin rezekinya di dunia, tetapi juga mengamankan kedamaian batinnya dan kesuksesan abadi di akhirat.

Mari jadikan dzikir 'Hasbiyallāhu lā ilāha illā Huwa 'alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Azhim' sebagai benteng harian kita, memastikan bahwa hati ini hanya bergantung pada Dzat Yang Maha Memberi, yang janji-Nya pasti, dan kekuasaan-Nya tak terbatas.

Inilah jalan menuju rezeki yang berkah: jalan tawakkal yang didasari akhlak kenabian.

Perenungan Akhir: Peningkatan Kualitas Diri

Tawakkal yang sempurna menuntut kualitas diri yang tinggi. Pengamalan kedua ayat ini mendorong kita untuk terus mengevaluasi diri, bukan hanya seberapa banyak harta yang kita kumpulkan, tetapi seberapa besar manfaat yang kita tebar dan seberapa tulus penyerahan diri kita kepada Sang Pencipta.

Pencarian rezeki adalah ujian keimanan. Apakah kita akan goyah dan berbuat curang saat kesulitan (melanggar V. 128), atau apakah kita akan tetap teguh dan menyerahkan segalanya kepada-Nya, yakin bahwa Rabbul 'Arsyil 'Azhim adalah satu-satunya pelindung dan pemberi rezeki (mengamalkan V. 129)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan kualitas rezeki dan ketenangan yang kita rasakan.

Rezeki tidak pernah datang karena kepandaian atau kekuatan semata, melainkan karena kasih sayang (Rauf dan Rahim) Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan bertawakkal. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa berada dalam naungan Rahmat-Nya dan memiliki ketenangan jiwa yang lahir dari Tawakkal yang sempurna.

Menguatkan Keyakinan Melalui Istighfar dan Syukur

Proses mencapai Tawakkal yang matang juga melibatkan dua ibadah fundamental: Istighfar (memohon ampunan) dan Syukur (bersyukur). Dosa dan maksiat, sekecil apapun, bisa menjadi penghalang rezeki dan penyebab kegelisahan. Ketika kita beristighfar, kita membersihkan diri dari penghalang-penghalang tersebut, menunjukkan kesungguhan hati untuk kembali ke jalan yang diridhai, sejalan dengan etika dalam V. 128.

Sementara itu, Syukur adalah pilar keberkahan. Ketika rezeki datang—sekecil apapun bentuknya—kita harus bersyukur. Syukur adalah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Rabbul 'Arsyil 'Azhim. Syukur menjauhkan kita dari kufur nikmat, dan Allah telah berjanji bahwa jika kita bersyukur, Dia akan menambah nikmat itu, termasuk rezeki. Syukur adalah jembatan spiritual yang mengikat V. 128 dan V. 129 menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam meraih keberkahan hidup.

Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas

Keberkahan rezeki adalah hasil dari fokus pada kualitas: kualitas ikhtiar, kualitas tawakkal, kualitas etika, dan kualitas syukur. Ayat 128 mengajarkan kualitas etika yang tinggi; ayat 129 mengajarkan kualitas keimanan yang total. Ketika kedua kualitas ini terpenuhi, kuantitas rezeki (apapun bentuknya) akan terasa cukup, menenangkan, dan membawa manfaat jangka panjang.

Meneladani At-Taubah 128 dan 129 bukan sekadar praktik keagamaan sesaat, melainkan panduan hidup (way of life) yang memastikan bahwa perjalanan mencari rezeki di dunia ini senantiasa berada di bawah pengawasan dan kasih sayang Rabbul 'Arsyil 'Azhim.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk mengamalkan hikmah dari kedua ayat yang agung ini, Aamiin.

🏠 Homepage