Fondasi Tauhid Murni Melawan Klaim Keilahian
Visualisasi penegasan Tauhid yang menolak klaim ketuhanan Uzair dan Al-Masih.
Surah At-Taubah, atau dikenal juga sebagai Bara’ah, menempati posisi yang unik dalam Al-Qur’an. Surah ini diturunkan setelah periode Madinah dan dikenal dengan ketegasannya dalam menetapkan batas-batas keimanan dan hubungan antara umat Islam dengan kelompok-kelompok lain, terutama setelah perjanjian-perjanjian damai dilanggar. Inti dari surah ini adalah pemurnian akidah dan penegasan total terhadap konsep Tauhid (Keesaan Allah). Di tengah pembahasan mengenai kewajiban jihad, perjanjian, dan pembagian harta, datanglah ayat yang sangat fundamental yang menyentuh akar permasalahan teologis antara Islam, Yahudi, dan Nasrani, yaitu Surah At-Taubah ayat 30.
Ayat ini secara eksplisit mengkritik dua klaim sentral yang, dari perspektif Islam, merupakan penyimpangan terbesar dari monoteisme yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Klaim-klaim ini adalah penobatan Uzair sebagai putra Allah oleh sekelompok Yahudi dan penobatan Al-Masih (Isa) sebagai putra Allah oleh orang-orang Nasrani. Kritik ini bukan sekadar polemik, melainkan sebuah deklarasi universal mengenai keunikan dan ketiadaan sekutu bagi Pencipta alam semesta.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Terjemah Makna: “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair adalah putra Allah,’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih adalah putra Allah.’ Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Semoga Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At-Taubah: 30)
Pemaparan berikut akan mengupas tuntas setiap aspek dari ayat ini—mulai dari konteks historis Uzair, analisis teologis klaim Al-Masih, hingga implikasi mendalamnya terhadap doktrin Tauhid dalam Islam. Kajian ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman mengenai benteng akidah Islam yang tidak pernah mentoleransi bentuk penyerupaan atau penyekutuan terhadap Zat Allah Yang Maha Esa.
Klaim bahwa 'Uzair (Ezra dalam tradisi Barat) adalah putra Allah seringkali memunculkan perdebatan, terutama karena klaim ini tidak universal di kalangan Yahudi saat Al-Qur'an diturunkan, dan bahkan hari ini sebagian besar Yahudi modern menolak tegas ajaran tersebut. Namun, Al-Qur’an merujuk pada praktik teologis yang ada pada masa Nabi Muhammad ﷺ, yang mungkin dipegang oleh sekte atau kelompok tertentu di Semenanjung Arab.
Uzair adalah tokoh sentral dalam sejarah Yahudi pasca-pembuangan (Exile). Sekitar abad ke-5 SM, setelah kehancuran Bait Suci Pertama dan pembuangan bangsa Israel ke Babilonia, Uzair berperan penting dalam merekonstruksi dan menghidupkan kembali Taurat yang telah hilang atau terlupakan. Tradisi Islam dan Yahudi sepakat bahwa Uzair adalah seorang ulama yang sangat alim dan hafiz (penghafal) kitab suci. Ia dipandang sebagai 'Bapak Yahudi' yang baru, yang berhasil mengumpulkan kembali Taurat dan mengembalikan identitas keagamaan mereka.
Penyebab utama munculnya klaim yang meninggikan Uzair hingga batas ketuhanan adalah kekaguman yang ekstrem. Ketika Taurat hilang total selama pembuangan, Uzair, melalui ilham atau daya ingat yang luar biasa, berhasil menyusun kembali seluruh isi kitab tersebut. Bagi banyak orang, kemampuan luar biasa ini dianggap sebagai mukjizat yang hanya dapat dicapai oleh seseorang yang memiliki hubungan istimewa dan bahkan substansi ilahi. Mereka mulai mengatakan, "Tidak mungkin Uzair dapat melakukan ini kecuali ia adalah putra Allah."
Para mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menjelaskan bahwa klaim ini dipegang oleh salah satu faksi Yahudi yang ekstremis yang berdiam di wilayah Hijaz. Meskipun mungkin bukan doktrin mayoritas, adanya keyakinan ini—sekecil apapun faksi yang memegangnya—cukup menjadi dasar bagi kritik Al-Qur’an, karena Islam menolak semua bentuk penyimpangan monoteistik, bahkan yang bersifat minoritas.
Fenomena ini menunjukkan bahaya penghormatan yang berlebihan (ghuluw) terhadap orang saleh. Sejarah agama menunjukkan bahwa banyak penyimpangan akidah bermula dari pengagungan yang melewati batas, mengubah tokoh spiritual menjadi entitas ilahi. Uzair, yang seharusnya dihormati sebagai Nabi atau ulama besar, justru dinaikkan statusnya menjadi 'putra Allah', merusak konsep Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam Penciptaan dan Pengaturan).
Klaim ini, yang menempatkan Uzair sebagai penerus atau 'bagian' dari substansi ilahi, merupakan contoh klasik dari apa yang Islam sebut sebagai *Shirk* (penyekutuan). Ini adalah penyekutuan dalam dimensi Uluhiyyah (hak untuk disembah) dan Asma wa Sifat (sifat-sifat Allah), karena anak pasti memiliki esensi yang sama dengan ayahnya dalam pemahaman manusia, padahal Allah Maha Suci dari segala perbandingan dan persamaan.
Bagian kedua dari ayat 30 ini menargetkan keyakinan sentral umat Nasrani: “Orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih adalah putra Allah.’” Kritik ini jauh lebih luas dalam ruang lingkupnya, karena keyakinan akan keilahian Isa Al-Masih (Yesus Kristus) adalah fondasi utama dari hampir semua denominasi Kristen.
Dalam Islam, Isa Al-Masih adalah salah satu dari Rasul Ulul Azmi—utusan Allah yang paling mulia. Ia diyakini lahir tanpa ayah sebagai mukjizat, namun ia sepenuhnya manusia, hamba Allah, dan nabi. Penekanannya adalah pada statusnya sebagai utusan (*Rasul*), bukan entitas ilahi atau semi-ilahi.
Ketika Al-Qur’an mengkritik klaim "putra Allah" (Ibnullah), ia menolak interpretasi literal yang menyiratkan hubungan fisik atau esensial, sebagaimana yang dipahami dalam Trinitas. Trinitas, secara ringkas, mengajarkan bahwa Allah adalah satu namun wujud dalam tiga pribadi (Bapa, Putra, Roh Kudus), di mana Putra (Isa) adalah 'sehakikat' dengan Bapa.
Islam menolak keras konsep ini karena beberapa alasan teologis mendasar:
Klaim Nasrani tentang Isa, sama seperti klaim Yahudi tentang Uzair, disimpulkan oleh Al-Qur’an sebagai "ucapan yang keluar dari mulut mereka" (*qauluhum bi-afwahihim*). Frasa ini menyiratkan bahwa keyakinan tersebut adalah omong kosong yang tidak didukung oleh bukti rasional atau wahyu ilahi yang murni, melainkan hanya sekadar ucapan lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang berakar pada kesesatan.
Untuk memahami sepenuhnya keberatan Al-Qur’an, kita perlu mengkaji beberapa frasa kunci dalam ayat 30 yang membawa beban teologis yang sangat berat.
Frasa “Yudhahi’una qawlal-ladzina kafaruu min qablu” (Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu) adalah inti dari kritik historis Islam. Siapakah 'orang-orang kafir terdahulu' yang dimaksud?
Para mufasir berpendapat bahwa ini merujuk pada praktik paganisme kuno di mana dewa-dewa memiliki keturunan atau pasangan. Misalnya, mitologi Yunani dan Romawi penuh dengan kisah dewa-dewa yang memiliki 'putra' atau 'putri' hasil persatuan dengan entitas lain. Ketika Yahudi dan Nasrani, yang seharusnya membawa monoteisme murni, mengadopsi konsep ketuhanan berketurunan, mereka secara esensial meniru bahasa dan struktur pemikiran pagan.
Ayat ini menunjukkan bahwa penyimpangan akidah tidak hanya terjadi secara isolasi, melainkan merupakan pengulangan dari pola kesesatan universal yang sama: mentransfer sifat-sifat manusiawi (seperti membutuhkan keturunan) kepada Zat Ilahi. Ini menegaskan bahwa sumber kesesatan, baik di kalangan pagan maupun para 'ahli kitab' yang menyimpang, adalah satu: Iblis dan bisikan nafsu yang meninggikan makhluk hingga melampaui batasnya.
Konsekuensi dari peniruan ini sangat besar. Ini berarti, meskipun Yahudi dan Nasrani mengaku berpedoman pada Kitab Suci, klaim ketuhanan Uzair dan Al-Masih menempatkan mereka sejajar dengan penyembah berhala yang jauh dari konsep Tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS. Mereka telah mencampuradukkan antara wahyu dan mitologi, antara kebenaran dan takhayul yang merusak esensi Keesaan.
Ungkapan “Qaatalahumullah” (Semoga Allah melaknat mereka) adalah sebuah ancaman keras. Dalam bahasa Arab, ini adalah bentuk doa atau pernyataan kemurkaan yang sangat kuat. Ini bukan sekadar ketidaksetujuan; ini adalah pernyataan bahwa klaim tersebut sangat serius hingga mendatangkan murka Ilahi.
Laknat ini ditujukan bukan pada Uzair atau Isa, yang keduanya dihormati dalam Islam, melainkan pada mereka yang dengan sengaja mengubah ajaran murni menjadi doktrin politeistik. Klaim penyekutuan (Syirk) adalah dosa terbesar dalam Islam, satu-satunya dosa yang Al-Qur’an nyatakan tidak akan diampuni (jika dibawa mati tanpa taubat). Oleh karena itu, reaksi Al-Qur’an terhadap klaim 'putra Allah' haruslah sekeras mungkin.
Pertanyaan retoris “Anna yu'fakun?” (Bagaimana mereka sampai berpaling?) berfungsi sebagai seruan keheranan yang mendalam. Mereka adalah umat yang diberikan Kitab Suci, yang memiliki akses ke sejarah para nabi, yang telah melihat mukjizat monoteisme. Namun, meskipun memiliki fondasi kebenaran, mereka tetap berpaling kepada kekafiran.
Pertanyaan ini menggarisbawahi kegagalan akal dan hati. Ini adalah sebuah pengingat bahwa bahkan dengan wahyu di tangan, manusia bisa tersesat jika ia mengizinkan tradisi, interpretasi berlebihan, dan hawa nafsu untuk menutupi kebenaran Tauhid yang jelas dan lugas. Mereka telah memalingkan wajah mereka dari fitrah asli (naluri keesaan) dan ajaran nabi mereka sendiri.
Ayat At-Taubah 30 menjadi pelajaran abadi mengenai bahaya *ghuluw* atau ekstremitas dalam beragama. Dalam kedua kasus (Uzair dan Al-Masih), penyimpangan teologis tidak dimulai dari penolakan total terhadap Tuhan, melainkan dari pengagungan yang melewati batas syariat dan akal sehat.
Penyebab utama dari klaim "putra Allah" adalah upaya untuk memecahkan dilema ilahi/manusiawi. Bagaimana mungkin seseorang melakukan mukjizat luar biasa (seperti Isa menyembuhkan orang sakit, atau Uzair menghafal Taurat yang hilang) jika ia hanya manusia biasa? Solusi yang ditawarkan oleh orang-orang yang menyimpang ini adalah dengan menaikkan status mereka hingga mencapai esensi ilahi.
Islam secara tegas menolak logika ini. Islam mengajarkan bahwa mukjizat adalah bukti kenabian (*ayat*) yang dilakukan oleh izin dan kuasa penuh Allah, bukan karena sifat ilahi yang melekat pada nabi tersebut. Para nabi adalah manusia yang dipilih, dibimbing, dan diperkuat, tetapi mereka tetap hamba Allah. Jika kita membiarkan pengagungan mukjizat menuntun pada pengakuan ketuhanan, maka setiap mukjizat akan menjadi jalan menuju syirik.
Kisah Uzair dan Al-Masih menjadi prototipe bagi semua bentuk ghuluw yang menghasilkan pemujaan kuburan, pengkultusan individu, atau keyakinan bahwa orang saleh memiliki kendali independen atas takdir. Al-Qur’an mengajarkan jalan tengah: menghormati para nabi dengan kecintaan terbesar, tetapi secara mutlak menolak untuk menempatkan mereka dalam domain ketuhanan. Mereka adalah teladan (*uswah*), bukan tuhan yang disembah (*ilah*).
At-Taubah 30 menuntut penegasan Tauhid dalam tiga dimensinya: Rububiyah (Kekuasaan), Uluhiyyah (Peribadatan), dan Asma wa Sifat (Nama dan Sifat). Ketika Uzair atau Al-Masih diklaim sebagai 'putra Allah', yang dihancurkan adalah ketiga pilar tersebut:
Oleh karena itu, penolakan dalam ayat ini adalah penolakan total terhadap semua sistem kepercayaan yang tidak meletakkan Allah sebagai Yang Tunggal dan Mutlak. Konsep "putra" secara otomatis memperkenalkan dualitas atau pluralitas, yang bertentangan dengan esensi kemurnian Tauhid Islam.
Meskipun ayat 30 menyatakan bahwa mereka meniru "orang-orang kafir yang terdahulu," ada perbedaan penting antara Syirik Ahli Kitab (seperti yang diungkapkan di sini) dan Syirik Paganisme murni.
Paganisme kuno seringkali menyembah dewa-dewa yang mereka ciptakan dari imajinasi atau kekuatan alam (politeisme). Sementara itu, penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok Yahudi dan Nasrani bermula dari kekaguman terhadap tokoh-tokoh historis yang diakui sebagai utusan Tuhan. Ini disebut sebagai Syirik dalam konteks *tahrif* (perubahan) ajaran wahyu.
Syirik Uzair dan Al-Masih adalah bentuk penyimpangan yang lebih berbahaya karena ia menyamar sebagai monoteisme. Mereka masih mengakui adanya Allah yang menciptakan, tetapi mereka menyisipkan sekutu dalam hak-hak ke-Ilahian-Nya. Ini adalah syirik yang muncul dari dalam, setelah menerima kebenaran. Penyimpangan ini lebih halus dan lebih sulit diberantas karena ia menggunakan bahasa agama untuk membenarkan kesesatan.
Al-Qur’an memperjelas bahwa baik yang mengklaim Uzair sebagai putra Allah maupun yang mengklaim Al-Masih sebagai putra Allah, pada akhirnya telah jatuh ke dalam lubang Syirik yang sama, meskipun rincian klaimnya berbeda. Keduanya telah gagal melindungi batasan fundamental antara Pencipta dan makhluk, yang merupakan garis pemisah antara Islam dan semua bentuk politeisme.
Ayat 30 Surah At-Taubah ini seringkali disalahpahami sebagai penghinaan semata. Sebaliknya, dalam konteks dakwah, ayat ini berfungsi sebagai penegasan dan undangan kembali kepada ajaran murni. Islam tidak dapat berkompromi pada isu Tauhid; ini adalah dasar yang tidak dapat dinegosiasikan. Jika fondasi ini rusak, seluruh bangunan akidah runtuh.
Oleh karena itu, ketika umat Islam berdialog dengan umat Yahudi atau Nasrani, ayat ini mengingatkan pada titik kritis perbedaan teologis. Dialog dapat terjadi pada nilai-nilai etika, sosial, dan sejarah, tetapi pada masalah keilahian, Islam berdiri teguh pada keesaan mutlak. Ayat ini menetapkan bahwa keesaan Allah adalah filter utama untuk mengevaluasi semua klaim agama.
Penting untuk dipahami bahwa, dalam pandangan Islam, Isa Al-Masih sendiri sama sekali tidak pernah mengajarkan doktrin ketuhanan pribadinya atau konsep Trinitas. Al-Qur’an menegaskan bahwa Isa mengajarkan apa yang diajarkan oleh semua nabi sebelumnya: menyembah Allah Yang Esa.
Surah Al-Ma’idah ayat 72-73, yang berdekatan dengan tema yang sama, memperkuat kritik ini dan menyebut mereka yang meyakini Isa adalah Tuhan atau bagian dari Trinitas sebagai orang-orang yang telah kafir. Isa sendiri, pada Hari Kiamat, akan menyangkal bahwa ia pernah menyuruh umatnya untuk menyembahnya dan ibunya (QS. Al-Ma'idah: 116).
Dengan demikian, kritik dalam At-Taubah 30 bukan ditujukan kepada Isa, melainkan kepada interpretasi dan perubahan doktrinal yang terjadi berabad-abad setelah kepergiannya. Hal ini menunjukkan kerangka berpikir Islam: semua nabi adalah satu dalam misi Tauhid, dan penyimpangan muncul dari pengikut, bukan dari ajaran asli nabi tersebut.
Mengapa penyimpangan akidah Uzair dan Al-Masih memiliki relevansi sosial dan bukan hanya teologis? Surah At-Taubah umumnya membahas masalah politik, perang, dan perjanjian.
Ketika akidah suatu kelompok menyimpang, ia mempengaruhi cara mereka memandang otoritas dan hukum. Keyakinan bahwa Uzair atau Isa memiliki aspek ilahi bisa membawa pada keyakinan bahwa mereka atau wakil mereka (ulama atau pendeta) memiliki hak untuk mengubah hukum ilahi, memimpin dengan otoritas mutlak, atau bahkan menghalalkan yang haram.
Ayat-ayat berikutnya dalam Surah At-Taubah (31) mengkritik bagaimana Ahli Kitab mengambil pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, karena mereka menaati mereka dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan sebaliknya. Hal ini adalah efek domino dari Syirik: begitu fondasi Tauhid Rububiyah dan Uluhiyyah retak (dengan mengklaim putra bagi Allah), wewenang legislatif (Hakimiyyah) Allah pun dirampas dan diberikan kepada manusia.
Singkatnya, penyimpangan akidah dalam ayat 30 menciptakan kondisi di mana penyimpangan hukum dan otoritas (ayat 31) dapat berkembang, karena manusia telah diberi status ilahi yang memungkinkan mereka menetapkan aturan independen dari Allah.
Untuk menanggapi tantangan teologis yang diajukan oleh At-Taubah 30, umat Islam harus terus-menerus merekonstruksi dan memperkokoh pemahaman mereka tentang Tauhid. Ini memerlukan pembedaan yang sangat tajam antara:
Kegagalan Yahudi dan Nasrani (yang dikritik di ayat ini) adalah mencampuradukkan kedua konsep tersebut. Mereka mengubah kekaguman yang sah menjadi pemujaan yang haram.
Sifat utama yang ditolak oleh klaim 'putra Allah' adalah sifat *Al-Ahad*. Al-Ahad merujuk pada keesaan yang mutlak dan tidak terbagi. Dalam logika manusia, seorang ayah dan anak berbagi esensi; mereka adalah dua entitas yang terkait secara substansial. Jika Allah memiliki 'putra,' maka keesaan-Nya akan terbagi atau terdefinisikan oleh hubungan tersebut.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah adalah *Al-Samad* (Yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, dan Dia tidak bergantung pada siapa pun). Kebutuhan akan keturunan adalah manifestasi kekurangan, keterbatasan, dan kebutuhan akan kontinuitas. Allah Maha Suci dari kekurangan tersebut. Oleh karena itu, klaim tentang Uzair dan Al-Masih tidak hanya salah secara teologis, tetapi juga menghina kesempurnaan dan kemahatahuan Allah.
Ketika kita merenungkan Surah At-Taubah 30, kita merenungkan benteng yang melindungi sifat-sifat ke-Ilahian. Setiap upaya untuk menyisipkan perantara yang memiliki esensi ilahi antara manusia dan Allah harus ditolak, karena perantara tersebut akan otomatis merusak ke-Ahad-an dan ke-Samad-an-Nya.
Kesalahan mendasar dalam klaim 'putra Allah' adalah menggunakan logika antropomorfis (penyerupaan manusia) untuk menjelaskan Zat Ilahi. Manusia yang berkuasa membutuhkan penerus; manusia yang kuat memiliki keturunan. Logika ini diproyeksikan ke Allah.
Islam mengajarkan *Tanzih*: Allah Maha Jauh dari penyerupaan dengan makhluk-Nya. Konsep 'putra' adalah konsep makhluk yang memiliki awal, akhir, dan kebutuhan biologis. Allah, Yang Maha Kekal (*Al-Baqi*), berada di luar semua batasan ruang, waktu, dan biologis ini.
Kritik dalam At-Taubah 30 mengajak kita untuk melampaui pemikiran sempit manusia dan menerima Allah sebagaimana Dia memperkenalkan diri-Nya: Unik, Sendiri, Tidak Berawal dan Tidak Berakhir, tidak terdefinisikan oleh hubungan keluarga atau kekerabatan.
Penyimpangan ini, baik yang terjadi pada kasus Uzair maupun Al-Masih, menunjukkan kegagalan fundamental dalam memahami *mutasyabihat* (ayat-ayat yang samar) atau istilah-istilah metaforis. Jika kata 'putra' pernah digunakan secara metaforis dalam kitab-kitab sebelumnya (misalnya 'anak-anak Israel' yang berarti umat pilihan), mereka gagal membatasi interpretasi tersebut pada metafora spiritual dan justru melangkah ke interpretasi substansial, sebuah langkah fatal yang dipertanyakan oleh Al-Qur'an: "Bagaimana mereka sampai berpaling?"
Meskipun At-Taubah 30 secara spesifik menyebut Uzair dan Al-Masih, pesan utamanya adalah universal dan abadi. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan terhadap kecenderungan manusia untuk menyembah pahlawan, pemimpin, atau tokoh agama hingga melampaui batas kemanusiaannya.
Dalam konteks modern, kita melihat manifestasi baru dari 'ghuluw' yang serupa, meskipun tidak selalu dalam klaim 'putra Allah' secara literal. Setiap bentuk pengkultusan individu, pemberian hak-hak legislatif mutlak kepada manusia selain Allah, atau keyakinan bahwa karismatik tertentu memiliki kekuatan independen di luar izin Allah, adalah gema dari kesesatan yang sama yang dikritik dalam ayat ini.
Surah At-Taubah 30 mengajarkan umat Islam untuk selalu waspada terhadap penyusupan Syirik, terutama yang datang dalam balutan religiusitas dan penghormatan. Kebersihan akidah adalah pertahanan pertama umat Islam melawan segala bentuk penyimpangan filosofis maupun praktis.
Untuk menghindari pengulangan sejarah yang dikritik oleh At-Taubah 30, umat Islam harus dididik dengan pemahaman Tauhid yang sangat ketat dan tanpa kompromi. Kita harus menghormati seluruh nabi dan orang saleh, mencintai mereka sebagai teladan, tetapi hati harus sepenuhnya terikat pada Allah semata.
Jika keimanan kita goyah dan kita mulai mencari perantara ilahi untuk memenuhi kebutuhan kita, kita berisiko jatuh ke dalam pola pikir yang sama dengan mereka yang mengagungkan Uzair dan Al-Masih hingga ke tingkat ilahi. Allah memerintahkan kita untuk berdoa langsung kepada-Nya, tanpa perantara, karena Dia Maha Dekat dan mengabulkan doa (QS. Al-Baqarah: 186).
Kesimpulan dari kajian yang panjang dan mendalam ini adalah bahwa At-Taubah 30 bukan hanya catatan sejarah tentang keyakinan kelompok Yahudi dan Nasrani tertentu di masa lalu. Ayat ini adalah fondasi doktrinal yang abadi, sebuah garis merah teologis yang menegaskan keutamaan dan keunikan Allah, Yang Maha Suci dari segala bentuk kemitraan, kekerabatan, atau penyerupaan makhluk. Ketaatan total terhadap pesan ini adalah kunci keselamatan, sebagaimana yang diproklamasikan dengan tegas dalam keseluruhan Surah At-Taubah.
Ayat ini adalah cermin yang memaksa setiap mukmin untuk memeriksa keimanan mereka sendiri, memastikan bahwa tidak ada bayangan Syirik, sekecil apapun, yang mencemari kesucian Tauhid yang telah diperjuangkan oleh semua nabi, mulai dari Adam hingga Muhammad ﷺ. Pengakuan bahwa 'Uzair adalah putra Allah' dan 'Al-Masih adalah putra Allah' adalah dua contoh ekstrem dari kegagalan manusia untuk membedakan antara yang mulia (makhluk) dan Yang Maha Mulia (Al-Khaliq).
Pelajaran terpenting yang dapat ditarik dari At-Taubah 30 adalah pentingnya menjaga kesucian doktrin Tauhid dari segala bentuk kontaminasi filosofis, historis, atau kultural. Ajaran yang murni adalah ajaran yang tidak pernah memberikan hak-hak ketuhanan kepada siapapun selain Allah Yang Maha Esa, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Kajian mendalam ini, yang melibatkan analisis linguistik, historis, dan teologis, menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk mendeteksi dan menolak semua bentuk penyimpangan akidah yang telah muncul sepanjang sejarah kemanusiaan. Penolakan terhadap klaim ketuhanan Uzair dan Al-Masih adalah penolakan terhadap semua bentuk ghuluw yang mengancam keutuhan dan kemurnian iman monoteistik universal.
Setiap detail kecil dalam Surah At-Taubah, terutama pada ayat 30, menunjukkan betapa hati-hatinya Islam dalam mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan. Tidak ada ruang abu-abu. Hanya ada Keesaan mutlak yang harus diterima dengan kepatuhan total. Inilah yang membedakan Islam—sebagai penyerahan diri total—dari sistem kepercayaan lain yang membiarkan manusia mengubah utusan menjadi tuhan. Umat Islam harus terus berpegang teguh pada Tauhid, yang merupakan intisari dari ajaran Al-Qur’an dan seluruh kitab samawi yang diturunkan sebelumnya.
Pemusatan perhatian pada dua klaim spesifik ini (Uzair dan Al-Masih) menunjukkan bahwa penyimpangan terbesar seringkali terjadi pada kelompok-kelompok yang seharusnya paling dekat dengan kebenaran, yaitu Ahli Kitab. Ini adalah peringatan keras bagi umat Islam agar tidak pernah berpuas diri dengan status keagamaan mereka, melainkan harus selalu waspada terhadap segala bentuk ajaran baru yang menaikkan derajat makhluk hingga melampaui batas kehambaannya.
Dengan demikian, Surah At-Taubah ayat 30 adalah pilar utama dalam pemahaman akidah, memastikan bahwa jalur menuju Allah tetap lurus dan tidak terkontaminasi oleh mitos, legenda, atau interpretasi manusiawi yang menyesatkan. Klaim Uzair dan Al-Masih sebagai putra Allah adalah penyimpangan yang terorganisir dan terinstitusionalisasi, dan Al-Qur’an datang untuk membebaskan manusia dari rantai pemikiran Syirik tersebut.
Kesucian dan kekuasaan Allah tidak dapat dibagi. Tidak ada entitas yang berbagi esensi ilahi-Nya. Baik Uzair maupun Isa adalah hamba yang mulia. Mengubah status mereka menjadi 'putra' adalah merendahkan kebesaran Allah. Surah At-Taubah 30 memastikan bahwa umat Islam memahami kebenaran ini dengan kejelasan yang kristal. Pemahaman dan penolakan terhadap ajaran yang dikritik dalam ayat ini adalah prasyarat fundamental untuk menjadi seorang Muslim sejati.
Ayat ini memberikan kejelasan bahwa bahkan perbendaharaan kata 'putra' ketika digunakan dalam konteks ketuhanan, meskipun ada upaya untuk menafsirkannya secara metafisik, akan selalu mengarah pada kekafiran dalam pandangan Islam, karena ia secara inheren melanggar prinsip *Tanzih* (penyucian Allah dari segala keserupaan). Allah tidak memiliki sekutu, Dia tidak membutuhkan keluarga, dan Dia tidak dapat didefinisikan oleh hubungan kekerabatan makhluk. Keberadaan-Nya adalah mutlak, mandiri, dan unik. Inilah pesan mendalam yang tersirat di balik setiap kata dalam Surah At-Taubah ayat 30, sebuah pesan yang harus dihayati oleh setiap generasi Muslim.