I. Pendahuluan: Ayat Eksistensial Tentang Pilihan Hidup
Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah (Pelepasan), adalah salah satu surah Madaniyah yang memuat banyak peraturan fundamental terkait hubungan umat Islam dengan pihak luar, serta menetapkan batas-batas keimanan sejati. Salah satu ayat yang paling tajam dalam menguji kedalaman iman dan komitmen seorang Muslim adalah ayat ke-38. Ayat ini bukan sekadar perintah militer; ia adalah cermin psikologis yang mengungkapkan konflik abadi dalam hati manusia: tarik-menarik antara kenyamanan duniawi yang fana dan pengorbanan demi kebahagiaan abadi di akhirat.
Konteks turunnya ayat ini sangat spesifik, yaitu pada masa persiapan untuk ekspedisi Tabuk—sebuah panggilan jihad yang paling sulit dan menguji. Namun, pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan transenden. Ia menegur sikap keengganan, keraguan, dan kecintaan berlebihan terhadap kehidupan dunia yang menghalangi seorang mukmin untuk memenuhi kewajiban tertinggi yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 38 memerlukan kajian atas latar belakang sejarah, analisis linguistik yang cermat, dan refleksi terhadap implikasi teologisnya yang luas.
II. Teks Mulia dan Terjemahan Literer
Ayat yang menjadi poros pembahasan ini berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
Terjemahan Standar:
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepadamu: ‘Berangkatlah (berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu (di bumi)? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal, kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan) kehidupan akhirat hanyalah sedikit."
III. Asbabun Nuzul: Episode Tabuk dan Ujian Kematangan Iman
Konsensus para ulama tafsir, termasuk Ibn Katsir, Al-Qurtubi, dan Al-Thabari, menyatakan bahwa ayat 38 dari Surah At-Taubah ini turun secara spesifik berkaitan dengan persiapan kaum Muslimin untuk menghadapi Kekaisaran Romawi dalam ekspedisi Tabuk. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-9 Hijriah, tahun yang penuh cobaan dan kesulitan bagi umat Islam di Madinah.
A. Kesulitan Geografis dan Temporal
Ekspedisi Tabuk dikenal sebagai “Jaisyul Usrah” (Pasukan Kesulitan) karena beberapa faktor krusial yang menantang keimanan:
- Musim Panas yang Ekstrem: Perjalanan harus dilakukan di tengah musim panas yang menyengat di Jazirah Arab. Panas yang dahsyat membuat perjalanan jauh menjadi siksaan fisik yang luar biasa.
- Jarak yang Sangat Jauh: Tabuk terletak sangat jauh di utara, dekat perbatasan Romawi. Perjalanan pulang pergi memakan waktu berbulan-bulan dan melintasi gurun yang tandus.
- Kondisi Ekonomi: Kaum Muslimin sedang berada dalam kondisi sulit. Meskipun ada hasil panen yang baik (khususnya kurma), hasil tersebut justru membuat sebagian orang enggan meninggalkannya karena takut merugi atau tidak sempat memanen.
- Musuh yang Perkasa: Romawi adalah adidaya militer saat itu. Menghadapi mereka menuntut keberanian yang melebihi batas wajar.
Dalam kondisi ini, panggilan “Infiru!” (Berangkatlah!) menjadi saringan tajam antara mukmin sejati yang siap berkorban dan mereka yang jiwanya terikat kuat oleh bumi, harta, dan kenyamanan sesaat. Ayat ini datang sebagai teguran keras dari langit kepada mereka yang menunjukkan tanda-tanda keengganan ini.
IV. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata ilahiah yang mengandung makna mendalam dan emosional.
A. اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ (Iththaaqaltum ilal ardh)
Frasa ini adalah jantung dari ayat tersebut. Kata kerja *Iththaaqaltum* berasal dari akar kata *thaqal* (berat). Dalam bentuk *istif’al* ini, ia menggambarkan tindakan merasa sangat berat, lambat, atau enggan untuk bergerak. Ini bukan sekadar rasa lelah fisik, tetapi lebih pada beban psikologis dan spiritual yang disebabkan oleh keterikatan pada materi. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa ini adalah gambaran visualisasi: seseorang yang dipanggil untuk terbang tinggi (jihad) namun ditarik ke bawah oleh gravitasi bumi—yaitu kenikmatan dan harta dunia.
Ilal ardh (ke bumi/tanah): Mengacu pada rumah, kebun, keluarga, harta, dan kenyamanan fisik. Mereka merasa berat karena hati mereka telah melekat erat pada bumi, sehingga panggilan suci untuk bergerak terasa seperti memaksa mereka melepaskan bagian dari diri mereka sendiri.
B. أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ (A-radhitum bil hayatid dunya minal akhirah)
Ini adalah pertanyaan retoris yang mengecam, bertujuan untuk menyentuh nurani. Pertanyaan ini membandingkan kerelaan terhadap sesuatu yang fana (*dunya*) dengan sesuatu yang abadi (*akhirah*). Kata Radhitum (rela/senang) menunjukkan bahwa keengganan mereka bukan disebabkan oleh ketidakmampuan, melainkan oleh pilihan hati yang sadar. Mereka telah memilih kenyamanan yang segera dan kecil dibandingkan janji besar yang tertunda.
C. إِلَّا قَلِيلٌ (Illā Qalīl)
Ayat ini menutup dengan perbandingan yang sangat tegas: “Padahal, kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan) kehidupan akhirat hanyalah sedikit.” (Illā Qalīl). Dalam tafsir, 'sedikit' di sini diartikan sebagai perbandingan kualitatif dan kuantitatif. Kenikmatan dunia, seindah apa pun, adalah sementara, tidak sempurna, dan pada akhirnya berakhir dengan kematian. Sebaliknya, kenikmatan akhirat adalah abadi, murni, dan tanpa batasan. Perbandingan ini seharusnya segera menyadarkan orang beriman tentang buruknya pilihan mereka.
Jika kita memperluas cakupan analisis linguistik ini, kita akan menemukan bahwa At-Taubah 38 menetapkan standar nilai yang jelas bagi seorang Muslim. Penggunaan Iththaaqaltum menunjukkan bahwa keimanan yang sesungguhnya harus menghasilkan gerakan dan tindakan. Jika iman tidak mampu mengatasi beban fisik dan psikologis kenikmatan dunia, maka iman tersebut dianggap lemah atau bermasalah.
V. Implikasi Teologis dan Pesan Abadi Ayat
A. Kewajiban Bergerak di Jalan Allah (Infarū fī Sabilillah)
Meskipun konteks spesifiknya adalah Jihad fi Sabilillah (perang), para ulama menekankan bahwa makna Infarū (berangkatlah) memiliki spektrum yang luas. Ia mencakup setiap seruan untuk pengorbanan yang diperlukan demi tegaknya agama Allah, baik melalui perjuangan fisik, pengeluaran harta (infaq), atau penggunaan waktu dan tenaga (dakwah). Ketika suatu kewajiban menjadi Fardhu 'Ain (wajib bagi setiap individu) karena adanya kebutuhan mendesak atau karena Rasulullah ﷺ memimpin, keengganan seperti yang dijelaskan dalam ayat 38 menjadi dosa besar yang mengancam keimanan seseorang.
Keengganan dalam konteks ini adalah bentuk kemalasan spiritual. Ia adalah manifestasi nyata dari hipokrisi (kemunafikan) yang tersembunyi. Orang yang mengaku beriman namun gagal merespons panggilan pengorbanan seolah-olah mengkhianati janji imannya sendiri. Ayat ini mengajarkan bahwa iman yang benar haruslah dinamis, tidak statis, dan siap untuk berkorban ketika dibutuhkan.
B. Bahaya Mengutamakan Kesenangan Dunia (Mata'ul Hayatid Dunya)
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras terhadap materialisme dan hedonisme. Kekayaan dan kenyamanan duniawi disebut sebagai mata’ (bekal/kesenangan sementara). Kesenangan ini ibarat air laut, semakin diminum, semakin haus. Ayat 38 dengan tegas menyatakan bahwa kesenangan ini tidak layak untuk dipertukarkan dengan keabadian akhirat.
Filosofi Islam mengajarkan bahwa dunia adalah jembatan menuju akhirat. Jika seseorang jatuh cinta pada jembatan (dunia) dan menolak untuk melintasinya menuju tujuan sejati (akhirat), dia akan kehilangan segalanya. Cinta yang berlebihan terhadap dunia menciptakan ikatan emosional (Iththaaqaltum) yang merantai jiwa dan melumpuhkan potensi spiritual untuk bertindak. Kegagalan memahami perbandingan *Qalil* (sedikit) dan *Katsir* (banyak/abadi) adalah kegagalan dalam berhitung dan berlogika secara spiritual.
Banyak ahli tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an, menarik relevansi ayat ini dalam menghadapi tantangan modern. Kesenangan dunia hari ini tidak hanya terbatas pada hasil panen atau emas, tetapi juga meliputi kenyamanan teknologi, jabatan, popularitas, dan kemudahan hidup yang membuat manusia enggan berkorban waktu untuk shalat malam, sedekah, atau pendidikan agama. Setiap kali seorang Muslim harus memilih antara kenyamanan pribadi segera dan kewajiban kolektif jangka panjang, dia sedang mengulangi ujian At-Taubah 38.
C. Peringatan Azab yang Pedih dan Prinsip Istibdal
Kelanjutan ayat (At-Taubah 39) memberikan ancaman yang sangat serius, yang harus dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari teguran dalam ayat 38:
“Jika kamu tidak berangkat, niscaya Allah menyiksamu dengan siksa yang pedih dan diganti-Nya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Taubah: 39)
Dua ancaman besar muncul dari keengganan:
- Azab yang Pedih (Azab Alim): Ini mencakup siksa duniawi (kekalahan, kehinaan) dan siksa akhirat. Ini menunjukkan betapa seriusnya dosa menolak perintah pengorbanan ketika dibutuhkan.
- Istibdal (Penggantian): Ini adalah salah satu konsep teologis yang paling menakutkan bagi suatu umat. Allah mengancam akan mencabut kehormatan dan tanggung jawab sebagai pembawa risalah dari umat yang malas dan menggantinya dengan kaum lain yang lebih bersemangat, lebih berani, dan lebih siap berkorban.
Ancaman Istibdal ini adalah peringatan abadi bahwa kedudukan suatu umat di sisi Allah tidak dijamin oleh nama atau sejarah mereka, melainkan oleh ketaatan dan kesiapan mereka dalam menanggapi panggilan-Nya, terutama dalam hal pengorbanan yang sulit.
VI. Kontemplasi Mendalam dan Aplikasi di Era Modern
Meskipun kondisi jihad dalam bentuk militer telah berubah sesuai tuntutan zaman, pesan etika dan spiritual dari At-Taubah 38 tetap berlaku mutlak. Ujian bagi umat Muslim saat ini bukanlah lagi perjalanan panjang menuju Tabuk, tetapi perjalanan batin melawan kemalasan, kelalaian, dan keterikatan pada ilusi materi.
A. Jihad Ekonomi dan Sosial
Frasa Infirū fī Sabīlillah dapat diartikan sebagai panggilan untuk perjuangan ekonomi dan sosial. Dalam masyarakat modern, “keengganan untuk berangkat” termanifestasi dalam:
- Keengganan Berinfaq: Berat mengeluarkan harta untuk kepentingan umat, padahal harta itu dicintai. Seseorang merasa berat (iththaaqaltum) untuk mengeluarkan zakat, sedekah, atau membangun institusi Islam karena cinta berlebihan pada kekayaan.
- Jihad Ilmu dan Dakwah: Berat meninggalkan zona nyaman untuk berdakwah, menuntut ilmu agama yang mendalam, atau membimbing masyarakat. Mereka memilih tinggal di zona "bumi" (kesenangan pribadi) daripada memanggul tanggung jawab ilmu.
- Jihad Etos Kerja: Berat melakukan kerja keras yang jujur, profesional, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Mereka memilih jalan pintas yang merugikan.
Semua bentuk pengorbanan ini dihalangi oleh mentalitas *Iththaaqaltum*. Keengganan ini memperlambat kemajuan umat dan membuka celah bagi musuh-musuh, baik musuh nyata maupun musuh internal (kebodohan dan kemiskinan moral).
B. Pertarungan Melawan Rasa Puas Diri
Ayat ini juga menyerang rasa puas diri (self-satisfaction) yang muncul dari pencapaian duniawi. Ketika seseorang merasa bahwa kesuksesannya di dunia sudah cukup, dan tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan untuk akhirat, ia telah jatuh ke dalam perangkap A-radhītum bil hayatid dunya minal ākhirah. Rasa puas diri ini membunuh ambisi spiritual dan menghalangi pertumbuhan keimanan.
Kita harus senantiasa bertanya pada diri sendiri: Apakah kenyamanan saya saat ini (rumah yang besar, karir yang mapan, waktu luang) telah menjadi berhala yang membuat saya enggan merespons panggilan untuk beramal yang lebih besar? Jika jawaban kita adalah ya, maka kita sedang merasakan beban *Iththaaqaltum* yang dikutuk dalam ayat ini.
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk selalu memandang ke depan, melampaui batas horizon duniawi yang sempit. Setiap pengorbanan, sekecil apapun, yang dilakukan di jalan Allah akan dinilai dan dibalas secara proporsional dengan keabadian akhirat, sehingga kenikmatan dunia benar-benar terasa *qalil* (sedikit) dan tidak berarti.
C. التفصيل في مفهوم القليل (Penjelasan Rinci Mengenai Konsep Sedikit)
Untuk memahami sepenuhnya mengapa kenikmatan dunia disebut *qalil*, kita harus merujuk pada tafsir yang menjelaskan dimensinya:
- Dimensi Waktu: Kehidupan dunia memiliki batas waktu yang sangat singkat dibandingkan dengan keabadian (khulud) akhirat. Seandainya manusia hidup 1000 tahun di dunia, ini tetap tidak berarti di hadapan keabadian.
- Dimensi Kualitas: Kenikmatan dunia selalu tercampur dengan kesulitan, kekecewaan, penyakit, dan kepunahan. Tidak ada kenikmatan yang murni. Sebaliknya, kenikmatan surga murni dari segala kekurangan.
- Dimensi Kepastian: Kenikmatan dunia adalah janji yang rentan dibatalkan (oleh kematian, bencana, atau hilangnya harta). Kenikmatan akhirat, bagi penghuninya, adalah janji yang pasti dan tidak akan pernah ditarik kembali.
Kesadaran yang mendalam terhadap tiga dimensi ini seharusnya membuat setiap mukmin merasa malu jika ia membiarkan dirinya ditarik ke bawah oleh kenikmatan yang sebegitu ringannya, ketika panggilan untuk hal yang abadi telah terdengar nyaring.
VII. Studi Kasus Historis dan Perbandingan Tokoh
Panggilan jihad menuju Tabuk memunculkan tiga kategori manusia yang diabadikan oleh Al-Qur'an. Pemahaman mendalam tentang At-Taubah 38 semakin jelas ketika kita melihat bagaimana respon kategori-kategori ini terhadap ujian yang sama.
A. Kelompok Ash-Shadiqūn (Orang-orang Jujur)
Ini adalah mereka yang merespons panggilan tanpa ragu. Mereka menjual harta, atau bahkan mempertaruhkan apa yang tersisa, demi memenuhi perintah Allah. Contoh utama adalah Utsman bin Affan, yang membiayai sebagian besar peralatan dan perbekalan pasukan, dan Abu Bakar, yang menyumbangkan seluruh hartanya. Bagi mereka, *Iththaaqaltum ilal ardh* sama sekali tidak terasa. Bumi tidak memiliki daya tarik lagi, karena fokus mereka sudah sepenuhnya pada akhirat. Mereka adalah model mukmin sejati yang memahami perbandingan antara *qalil* dan *katsir*.
B. Kelompok Al-Mukhālaffūn (Mereka yang Tertinggal Karena Kelemahan Iman)
Inilah kelompok yang dituju oleh teguran At-Taubah 38 secara langsung. Mereka adalah orang-orang yang mengaku beriman, tetapi ketika dihadapkan pada kesulitan fisik, finansial, dan psikologis, mereka membiarkan hati mereka ditarik oleh bumi. Keengganan mereka bukanlah kemunafikan total, tetapi kelemahan iman yang berujung pada dosa. Mereka melihat panasnya Tabuk dan besarnya Romawi, tetapi gagal melihat janji dan murka Allah. Mereka menimbang, dan ternyata kenyamanan dunia lebih berat daripada pengorbanan sabilillah.
C. Kelompok Al-Munāfiqūn (Kaum Munafik)
Kaum Munafik adalah kelompok yang secara aktif menyebarkan keraguan dan mencari-cari alasan untuk tidak berangkat (seperti yang dicatat dalam ayat-ayat selanjutnya). Mereka menggunakan keengganan orang-orang lemah iman (Al-Mukhālaffūn) sebagai pembenaran untuk sikap pengecut mereka. Bagi kaum Munafik, teguran *Iththaaqaltum* hanya memperjelas kebohongan batin mereka; mereka tidak pernah berniat berangkat, dan kenyamanan dunia adalah satu-satunya tujuan mereka.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa ayat 38 adalah alat ukur (mi’yar) yang memisahkan kualitas iman. Setiap orang pada dasarnya akan menghadapi panggilan Tabuk dalam hidupnya, yaitu momen krusial di mana pengorbanan pribadi harus dilakukan demi kepentingan Islam yang lebih besar. Respon kita pada panggilan ini menentukan kategori kita di sisi Allah.
Jika kita meninjau ulang konsep pengorbanan yang diajukan oleh ayat ini, kita dapat melihat bahwa konsep tersebut tidak pernah lepas dari unsur kesulitan. Ayat ini tidak membahas amal yang mudah dan menyenangkan, melainkan amal yang membuat seseorang merasa "berat" dan ingin berdiam di tempat. Inilah esensi ibadah: mengalahkan hawa nafsu dan kenyamanan diri demi menjalankan perintah Ilahi.
VIII. Penguatan Resolusi Iman dan Mengatasi Rasa Berat
Bagaimana seorang Muslim dapat mengatasi rasa *Iththaaqaltum* dalam dirinya? Ayat ini secara implisit memberikan solusi melalui introspeksi dan pembenaran sudut pandang.
A. Memperbaiki Sudut Pandang (Tashīh al-Nazhar)
Langkah pertama untuk mengatasi keengganan adalah memperbaiki cara pandang terhadap dunia dan akhirat. Selama dunia masih dianggap sebagai tujuan utama, keengganan akan selalu muncul. Jika seorang Muslim memahami secara mendalam dan yakin bahwa *mata’ul hayatid dunya illa qalil* (kenikmatan dunia hanyalah sedikit), maka setiap pengorbanan akan terasa ringan dan berharga. Inti dari resolusi ini adalah menanamkan keyakinan bahwa apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
B. Mengembangkan Sifat Keberanian Spiritual
Keberanian yang dituntut oleh At-Taubah 38 bukan hanya keberanian fisik di medan perang, tetapi keberanian spiritual untuk melepaskan keterikatan hati. Keberanian ini terwujud dalam:
- Mengutamakan Kewajiban daripada Keinginan: Misalnya, berani meninggalkan tidur nyenyak untuk shalat Subuh atau Tahajjud.
- Berani Berbeda: Teguh memegang prinsip Islam meskipun harus kehilangan status atau popularitas duniawi.
- Berani Memberi: Mengeluarkan harta di saat kita juga membutuhkan, sebagaimana para sahabat berinfaq untuk Jaisyul Usrah.
Melawan rasa berat (Iththaaqaltum) adalah jihad batin yang harus dilatih terus-menerus. Setiap kali kita merasa berat untuk melakukan kebaikan, kita harus segera mengingat ancaman azab dan janji akhirat dalam ayat ini.
C. Refleksi Mendalam Terhadap Konsekuensi Istibdal
Ancaman penggantian (Istibdal) adalah dorongan terbesar bagi suatu umat untuk memperbaiki diri. Jika umat Muslim saat ini merasa nyaman dan enggan berkorban untuk dakwah, ilmu, dan keadilan, mereka harus menyadari bahwa sejarah menunjukkan Allah tidak terikat oleh nama. Jika mereka gagal memikul amanah, Allah akan memindahkan amanah itu kepada generasi atau kaum lain yang lebih layak dan gigih.
Pikiran tentang Istibdal harus menjadi cambuk spiritual, memotivasi umat untuk bangkit dari kemalasan dan memikul tanggung jawab besar yang telah Allah berikan. Keberlanjutan misi Islam di muka bumi bergantung pada kesediaan setiap generasi untuk menjawab panggilan *Infarū* dengan penuh semangat, tanpa rasa berat hati sedikitpun.
Secara keseluruhan, Surah At-Taubah ayat 38 merupakan sebuah seruan fundamental yang merangkum esensi perjanjian antara hamba dan Rabb-nya. Ia memanggil orang beriman untuk memilih ketaatan tanpa syarat, menyingkirkan belenggu keterikatan dunia, dan bergerak maju dengan keyakinan penuh akan keabadian akhirat. Ayat ini adalah filter yang memisahkan iman yang murni dari iman yang bercampur dengan kemunafikan dan kecintaan duniawi.
Setiap tafsir modern yang mencoba membahas ayat ini harus meluaskan definisi jihad, pengorbanan, dan 'jalan Allah' (Sabilillah) agar relevan dengan krisis moral, intelektual, dan ekonomi yang dihadapi umat saat ini. Krisis-krisis ini membutuhkan *Infarū* dari zona nyaman intelektual menuju pencarian solusi Islami yang mendalam, dan *Infarū* dari individualisme menuju solidaritas umat yang sejati. Selama rasa berat (Iththaaqaltum) masih mendominasi hati umat dalam merespons panggilan kebaikan dan kebenaran, maka ancaman penggantian (Istibdal) akan terus menghantui.
Kehidupan dunia ini, dengan segala pernak-perniknya yang memukau, hanyalah sebuah pertunjukan singkat yang segera berakhir. Keindahan dan kenikmatannya adalah tipuan optik bagi mata jiwa yang tidak fokus pada keabadian. Ayat 38 adalah pemanggil yang menyentak jiwa agar bangun dari tidur nyenyak, sadar bahwa waktu adalah modal yang terbatas, dan pengorbanan adalah harga yang harus dibayar untuk tiket menuju kebahagiaan abadi. Ia menggarisbawahi pentingnya kualitas niat dan tindakan yang dilakukan, yang semuanya harus berdasarkan kesadaran penuh bahwa apapun yang kita tinggalkan di dunia ini akan digantikan dengan balasan yang jauh lebih besar dan abadi di sisi Allah.
Seorang mukmin sejati tidak seharusnya merasa keberatan, melainkan seharusnya merasa gembira dan ringan ketika ada kesempatan untuk berkorban di jalan Allah, karena ia tahu bahwa setiap langkah maju adalah investasi yang tak ternilai harganya. Kegembiraan dalam pengorbanan inilah yang membedakan para sahabat Nabi yang mulia dari mereka yang tertinggal dalam ekspedisi Tabuk.
Beban psikologis *Iththaaqaltum* tidak akan pernah hilang sepenuhnya tanpa adanya penanaman tauhid yang kuat dan keyakinan hari akhir yang tak tergoyahkan. Semakin kuat iman seseorang akan hari perhitungan dan Surga-Nya, semakin ringan langkahnya untuk memenuhi panggilan *Infirū*. Sebaliknya, semakin lemah keyakinan akan akhirat, semakin kuat tarikan bumi dan semakin besar rasa keberatan untuk bergerak. Ayat ini memberikan formula jelas: pengobatan utama terhadap keengganan berkorban adalah memahami secara paripurna perbandingan kuantitas dan kualitas antara *dunya* dan *akhirah*—yaitu bahwa *mata’ul hayatid dunya illa qalil*.