Kajian mendalam mengenai salah satu ayat kunci dalam pemahaman hubungan antara Daulah Islam dan Ahlul Kitab.
*Alt Text: Simbol Timbangan Keadilan dan Teks Perjanjian (Al-Ahd wal Jizyah)*
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah surah ke-9 dalam Al-Qur'an dan memiliki keunikan mendasar: surah ini adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Bismillahirrahmanirrahim). Mayoritas ulama sepakat bahwa hal ini disebabkan surah ini diturunkan untuk mendeklarasikan perang, pembatalan perjanjian, dan pernyataan ketegasan terhadap kaum musyrikin yang melanggar janji. Nuansa surah ini sangat kuat, mencerminkan periode kritis dalam sejarah Islam di mana Negara Madinah harus mengamankan perbatasannya dan menentukan status kelompok-kelompok yang berinteraksi dengannya.
Ayat 29 dari Surah At-Taubah, khususnya, sering menjadi fokus perdebatan dan kajian mendalam. Ayat ini merinci perintah untuk memerangi golongan tertentu hingga mereka memenuhi persyaratan spesifik, yang secara historis merujuk kepada Ahlul Kitab (Ahli Kitab)—yakni Yahudi dan Nasrani—dalam konteks pertahanan dan pendirian sistem negara Islam. Ayat ini bukan sekadar perintah militer, melainkan fondasi hukum yang mengatur hubungan ekonomi, sosial, dan politik antara negara Islam dan komunitas non-Muslim di bawah perlindungannya, yang dikenal sebagai sistem Dhimmi.
Untuk memahami sepenuhnya implikasi hukum dan teologis dari ayat ini, kita harus merujuk pada teks aslinya:
Setiap frasa dalam ayat ini memuat beban hukum yang signifikan, menjadikannya subjek dari ribuan halaman diskusi dalam literatur tafsir dan fiqh sepanjang sejarah Islam. Ayat ini merupakan salah satu dalil primer dalam menetapkan hukum Jihad, status Ahlul Kitab, dan penerapan Jizyah (pajak perlindungan).
Pembedahan terhadap terminologi kunci sangat penting untuk menghindari penafsiran yang dangkal, terutama mengingat konteks politik dan militer yang melingkupi pewahyuan ayat ini.
Kata ini berasal dari akar kata qital (perang), yang berbeda dari harb (permusuhan umum) atau darb (memukul). Qital selalu merujuk pada aksi militer terorganisir, dan dalam konteks Fiqh, merujuk pada Jihad. Penting untuk dicatat bahwa para ulama membedakan antara Jihad Difa'i (defensif, membela diri) dan Jihad Talabi (ofensif, inisiasi perang). Meskipun ayat ini muncul dalam konteks ekspansi dan konsolidasi kekuasaan Islam, interpretasi modern sering menekankan bahwa perintah perang hanya berlaku ketika ada ancaman nyata atau ketika perjanjian dilanggar secara sepihak.
Penargetan spesifik terhadap Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) membedakan mereka dari kaum musyrikin (penyembah berhala). Berbeda dengan kaum musyrikin di jazirah Arab yang diberi pilihan antara memeluk Islam atau diperangi (sebagaimana ayat-ayat sebelumnya di At-Taubah), Ahlul Kitab diberi opsi ketiga: hidup di bawah kekuasaan Islam dengan membayar Jizyah. Ini menunjukkan pengakuan unik terhadap asal usul agama mereka dan status perlindungan yang lebih tinggi.
Jizyah adalah pajak per kepala yang dikenakan kepada warga non-Muslim (Dhimmi) yang hidup di bawah perlindungan negara Islam. Tujuan utama Jizyah adalah sebagai pengganti kewajiban militer yang dibebankan kepada Muslim, serta biaya perlindungan dan pelayanan sosial yang diberikan oleh negara. Ini adalah kontrak sosial dan hukum; selama mereka membayar Jizyah, darah, harta, dan kehormatan mereka dilindungi oleh negara Islam.
Ini adalah frasa yang paling sensitif dan paling banyak diperdebatkan. Kata sāghirūn berasal dari akar kata saghara, yang berarti kecil, rendah, atau tunduk.
Surah At-Taubah diturunkan sekitar tahun ke-9 Hijriah, saat puncak konsolidasi kekuasaan Nabi Muhammad ﷺ. Konteksnya adalah periode setelah Penaklukan Makkah, di mana negara Islam telah menjadi kekuatan regional yang dominan. Ayat ini diturunkan pasca-ekspedisi Tabuk dan pada masa di mana Nabi Muhammad ﷺ memutuskan untuk mengakhiri semua perjanjian dengan suku-suku yang berulang kali melanggar perjanjian atau menunjukkan permusuhan.
Ayat 29 ini melengkapi rangkaian ayat yang lebih luas (9:1-28) yang berfokus pada kaum musyrikin Arab. Setelah menetapkan nasib kaum musyrikin (hanya ada pilihan Islam atau perang), ayat 29 menetapkan kebijakan bagi Ahlul Kitab. Ini bukan inisiasi peperangan tanpa sebab, melainkan respons terhadap kondisi politik yang kompleks:
Dengan demikian, ayat ini harus dipahami sebagai bagian dari undang-undang perang dan perdamaian yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan keamanan bagi komunitas Muslim yang baru lahir.
Konsep Jizyah adalah inti dari Ayat 29. Implementasinya telah menghasilkan perbedaan pandangan yang kaya di antara empat mazhab fiqh utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali).
Para fuqaha sepakat bahwa Jizyah berfungsi sebagai imbalan atas tiga hal:
Secara umum, persyaratan untuk membayar Jizyah adalah:
Semua ulama sepakat bahwa wanita, anak-anak, orang tua yang renta, orang sakit parah, orang cacat, dan para biarawan/pendeta yang mengisolasi diri dari masyarakat umum, dibebaskan dari Jizyah. Pembebasan ini menunjukkan bahwa Jizyah bukanlah hukuman, melainkan biaya yang berkaitan dengan kemampuan untuk berkontribusi pada sistem pertahanan negara.
Mazhab Hanafi: Mazhab ini membagi tarif menjadi tiga kategori berdasarkan kekayaan: orang kaya (48 dirham per tahun), kelas menengah (24 dirham), dan orang miskin/pekerja (12 dirham). Mereka sangat fokus pada kemampuan finansial pembayar. Menurut Hanafi, pembayaran dilakukan dengan sopan; tidak diperlukan tindakan yang menghina, asalkan mereka datang dengan niat tunduk pada hukum Islam.
Mazhab Maliki: Mazhab Maliki cenderung menetapkan tarif tunggal (umumnya 4 dinar per tahun bagi yang kaya, atau 1 dinar untuk semua, tergantung interpretasi di wilayah tertentu). Mereka lebih menekankan pada kolektivitas dan tidak terlalu fokus pada kategorisasi kekayaan sejelas Hanafi, tetapi masih membebaskan mereka yang tidak mampu. Maliki juga cenderung menafsirkan sāghirūn sebagai keharusan tunduk pada aturan, bukan penghinaan fisik.
Mazhab Syafi’i: Syafi’i menetapkan tarif tetap, biasanya satu dinar per individu yang mampu, tanpa memandang kekayaan relatif mereka. Hal ini didasarkan pada Hadis Mu’adz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. Mazhab Syafi’i cenderung memiliki penafsiran yang lebih ketat mengenai prosedur pembayaran sāghirūn, dengan beberapa penafsir awal menganjurkan prosedur yang menampakkan ketundukan formal, meskipun para fuqaha Syafi’i modern lebih moderat.
Mazhab Hanbali: Hanbali setuju dengan tarif yang berbeda berdasarkan kemampuan (mirip Hanafi), dan juga memegang teguh prinsip bahwa Jizyah harus dikumpulkan dengan cara yang menunjukkan ketundukan mereka pada otoritas Islam, tetapi selalu dalam batas-batas keadilan dan larangan penindasan.
Konsensus yang luas di antara semua mazhab adalah bahwa Jizyah harus diambil dengan adil. Penganiayaan atau pemerasan kepada Dhimmi dilarang keras, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis Nabi Muhammad ﷺ dan praktik para Khalifah Rasyidin.
Penafsiran oleh ulama klasik memberikan pandangan mendalam mengenai bagaimana ayat ini dipahami di era awal Islam.
Imam Ibn Katsir (w. 774 H) menempatkan Ayat 29 dalam konteks perintah ilahi untuk memerangi semua orang, termasuk Ahlul Kitab, yang tidak mengikuti agama yang benar (Islam). Menurutnya, ayat ini membuktikan bahwa Ahlul Kitab, meskipun memiliki kitab suci, telah menyimpang dari ajaran tauhid sejati (misalnya, melalui doktrin trinitas atau penolakan kenabian Muhammad ﷺ). Oleh karena itu, mereka harus diperangi sampai mereka membayar Jizyah.
Ibn Katsir menegaskan bahwa Jizyah adalah harga perlindungan dan tanda ketundukan. Ia mencantumkan praktik para Khalifah yang menunjukkan bahwa pembayaran Jizyah mengakhiri peperangan, dan menjamin hak-hak Dhimmi. Baginya, frasa wa hum sāghirūn memastikan bahwa mereka menyadari bahwa mereka adalah komunitas yang tunduk pada hukum Islam dan bukan kekuatan yang setara atau superior secara politik.
Imam Al-Qurtubi (w. 671 H) memberikan fokus yang lebih besar pada implikasi hukum (fiqh) dari ayat tersebut. Dalam karyanya, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, ia membahas secara rinci perdebatan mengenai sifat sāghirūn. Al-Qurtubi mencatat pendapat yang keras yang menganjurkan penghinaan, tetapi ia juga mencatat pandangan yang lebih moderat yang menyatakan bahwa ketundukan yang dimaksud adalah penerimaan terhadap kewajiban membayar tanpa perlawanan.
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa Ahlul Kitab diperangi bukan karena mereka kafir semata (sebab Allah tidak pernah memerintahkan memerangi semua kafir secara serentak), melainkan karena mereka memiliki potensi untuk mengancam keamanan umat Muslim dan menolak mengakui otoritas kenabian Muhammad ﷺ, yang merupakan bentuk perlawanan terhadap kebenaran yang jelas bagi mereka.
Di era modern, di mana konsep negara bangsa (nation-state) mendominasi, dan umat Islam hidup sebagai mayoritas atau minoritas di berbagai negara sekuler, penafsiran Ayat 29 telah mengalami evolusi signifikan.
Banyak ulama kontemporer, seperti Yusuf Al-Qaradawi, menekankan bahwa Ayat 29 harus dipahami dalam konteks sejarahnya yang spesifik. Ayat ini ditujukan kepada entitas politik—yaitu Ahlul Kitab yang memiliki kekuatan terorganisir (seperti suku-suku Yahudi di Madinah atau Kekaisaran Bizantium) yang terlibat dalam permusuhan atau ancaman terhadap negara Islam yang baru berdiri. Mereka berpendapat bahwa ayat ini bukan perintah umum yang berlaku untuk semua non-Muslim di setiap zaman.
Dalam konteks modern, di mana non-Muslim adalah warga negara yang setara dan tidak terlibat dalam permusuhan bersenjata terhadap umat Islam, dasar hukum untuk Qital (perang) yang disebutkan dalam ayat ini dianggap tidak terpenuhi. Perintah perang, menurut pandangan ini, adalah kondisional, terikat pada situasi ancaman atau pengkhianatan.
Dalam sistem perpajakan negara modern, konsep Jizyah hampir tidak relevan lagi. Pajak modern (seperti PPN, PPh, atau pajak properti) dikenakan kepada semua warga negara tanpa memandang agama. Jika Jizyah didefinisikan sebagai "pajak perlindungan non-militer", dalam konteks negara modern yang mewajibkan dinas militer profesional atau pajak umum untuk layanan sosial, pembedaan berbasis agama ini menjadi usang.
Ulama modern berargumen bahwa prinsip keadilan dan perlindungan yang mendasari Jizyah telah terintegrasi ke dalam sistem perpajakan sipil yang berlaku universal, memastikan bahwa hak dan kewajiban setiap warga negara dihormati tanpa diskriminasi, sesuai dengan prinsip umum syariah.
Interpretasi yang dominan saat ini cenderung menekankan bahwa Jihad dalam Islam pada dasarnya adalah defensif. Ayat 29, meskipun tampak ofensif, ditafsirkan sebagai bagian dari upaya kolektif untuk membersihkan Semenanjung Arab dari ancaman eksternal dan mendirikan otoritas tunggal yang melindungi tatanan sosial yang baru. Setelah tatanan ini mapan, hubungan dengan non-Muslim harus diatur oleh ayat-ayat yang menekankan perdamaian, dialog, dan keadilan, seperti QS. Al-Mumtahanah (60): 8, yang memerintahkan Muslim untuk berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangi umat Islam karena agama.
Satu kesalahan umum dalam memahami Ayat 29 adalah mengisolasi maknanya dari ratusan ayat Qur’an lainnya yang mengatur hubungan damai dan etika perang.
Para ulama selalu menegaskan bahwa Ayat 29 harus diseimbangkan dengan prinsip-prinsip Qur’ani yang lebih luas. Ayat-ayat seperti:
Ayat-ayat ini memastikan bahwa perintah Qital dalam At-Taubah 29 tidak boleh dipahami sebagai pembenaran perang tanpa henti terhadap semua non-Muslim. Perintah perang selalu terikat pada kondisi permusuhan atau penolakan untuk hidup damai di bawah otoritas yang sah.
Sebagian kecil ulama klasik berpendapat bahwa Ayat 29 menasakh (membatalkan) semua ayat-ayat yang menyerukan perdamaian. Pandangan ini, yang disebut sebagai "Ayat Pedang" (Ayatus Saif) yang membatalkan semua ayat lain, ditolak oleh mayoritas besar ulama, baik klasik maupun modern.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada pembatalan; sebaliknya, ayat-ayat tersebut bersifat kondisional dan saling melengkapi. Ayat 29 berlaku ketika kondisi perang atau ancaman muncul dan perjanjian dilanggar, sementara ayat-ayat perdamaian berlaku ketika kondisi damai dan hubungan baik dapat dipertahankan. Ini adalah mekanisme hukum Islam yang mengatur hubungan luar negeri dan hubungan internal dengan komunitas yang berbeda.
Surah At-Taubah Ayat 29 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Syariah yang mengatur hubungan antara kekuasaan politik Islam dan komunitas Ahlul Kitab. Ayat ini tidak hanya menetapkan perintah militer tetapi juga mendirikan sebuah kerangka hukum dan kontrak sosial yang menjamin perlindungan bagi warga non-Muslim (Dhimmi) melalui institusi Jizyah.
Pemahaman yang utuh terhadap ayat ini memerlukan keseimbangan antara analisis linguistik, kajian sejarah Asbabun Nuzul, dan kerangka fiqh yang luas. Kata kunci seperti Qātilū dan Sāghirūn, yang sekilas tampak agresif, harus dilihat melalui lensa keadilan dan ketertiban negara Islam.
Di masa lalu, Jizyah adalah mekanisme untuk memelihara stabilitas dan membiayai pertahanan negara yang baru lahir. Di masa kini, prinsip-prinsip yang mendasarinya—yakni perlindungan minoritas, keadilan finansial (pajak), dan kepatuhan terhadap hukum negara—tetap relevan, meskipun implementasi formal Jizyah telah digantikan oleh sistem perpajakan kewarganegaraan modern.
Pada akhirnya, kajian terhadap At-Taubah 9:29 menegaskan sifat komprehensif Syariah dalam mengatur perang, damai, ekonomi, dan hak-hak asasi, memastikan bahwa setiap ketentuan hukum Islam berfungsi untuk menciptakan tatanan yang adil dan aman, baik bagi Muslim maupun non-Muslim di bawah naungannya.
Kajian ini diolah berdasarkan sumber-sumber utama Tafsir, Hadis, dan Fiqh Islam.
Pengkajian mendalam terhadap ayat-ayat seperti At-Taubah 29 mengajarkan kita bahwa hukum Islam selalu bersandar pada konteks spesifik pewahyuan dan tujuan universal Syariah (Maqasid Syariah), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kasus Jizyah, tujuannya adalah memelihara jiwa dan harta non-Muslim sekaligus memelihara ketertiban negara Islam. Kontrak sosial ini, yang diatur secara ketat oleh fuqaha, telah memungkinkan koeksistensi damai antara Muslim dan komunitas agama lain di berbagai kekhalifahan selama berabad-abad. Sejarah Islam dipenuhi dengan contoh di mana para penguasa Muslim sangat berhati-hati dalam menjaga hak-hak Dhimmi, seringkali memberikan perlindungan yang jauh lebih baik daripada rezim kontemporer lainnya. Kegagalan dalam melindungi Dhimmi dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap perjanjian yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, hukum yang terkandung dalam Ayat 29 adalah pisau bermata dua: ia memberlakukan kewajiban perang di satu sisi (jika ada ancaman), tetapi di sisi lain, ia menetapkan hak asasi dan perlindungan yang wajib diberikan oleh negara kepada warga negara non-Muslim. Kompleksitas ini membutuhkan studi yang berkelanjutan dan jujur, menjauhkan diri dari pembacaan literal yang terputus dari jaringan hukum Islam secara keseluruhan. Pemahaman yang menyeluruh akan selalu mengarah kepada penerapan keadilan, yang merupakan nilai inti tertinggi dalam Islam.
Dalam diskusi tentang sāghirūn, misalnya, para ahli hukum seperti Imam Abu Hanifah sangat menentang segala bentuk pemaksaan atau kekerasan fisik saat pengumpulan Jizyah. Abu Hanifah berpendapat, jika pembayaran dilakukan dengan tujuan memenuhi kewajiban hukum yang ditetapkan, maka itu sudah mencukupi, dan tidak perlu ada aib tambahan. Pandangan ini menunjukkan bahwa bahkan di kalangan ulama klasik, fokus utama adalah pada ketaatan sipil terhadap otoritas negara, bukan pada penghinaan personal. Perselisihan dalam masalah ini mencerminkan upaya maksimal para fuqaha untuk menafsirkan teks suci dalam kerangka yang paling etis dan adil, sesuai dengan semangat ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Nabi mengirim Mu'adz bin Jabal ke Yaman, beliau tidak memerintahkannya untuk mempermalukan mereka, melainkan untuk mengambil pajak (Jizyah) dari setiap orang dewasa yang mampu, menetapkan preseden untuk praktik yang adil dan transparan. Prinsip ini menjadi panduan universal dalam administrasi negara Islam.
Lebih jauh, status Ahlul Kitab dalam Syariah selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain yang tidak memiliki wahyu terdahulu. Ini tercermin tidak hanya dalam opsi Jizyah, tetapi juga dalam hukum pernikahan (diizinkan menikah dengan wanita Ahlul Kitab) dan makanan (diperbolehkan memakan sembelihan mereka). Pembedaan ini menunjukkan bahwa meskipun Ayat 29 menetapkan batasan politik, ia tetap mengakui koneksi spiritual tertentu, yang kemudian diterjemahkan menjadi perlindungan hukum yang lebih kuat. Keseluruhan sistem Dhimmah yang didasarkan pada Ayat 29 adalah manifestasi praktis dari pengakuan bahwa Islam, meskipun merupakan agama yang benar, menghormati hak non-Muslim untuk mempraktikkan agama mereka sendiri tanpa diancam, selama mereka tidak mengancam negara. Jika negara Islam tidak dapat memenuhi kewajiban perlindungannya, kontrak Jizyah secara otomatis dibatalkan, dan dana yang telah dikumpulkan wajib dikembalikan. Contoh paling terkenal adalah tindakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mengembalikan Jizyah kepada penduduk Samarkand ketika pasukan Muslim harus mundur, menunjukkan bahwa Jizyah adalah imbalan atas jasa, bukan denda.
Analisis mendalam terhadap Ayat 29 ini juga menyentuh isu akidah yang disinggung di awal ayat: “orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar.” Para mufassir menjelaskan bahwa deskripsi ini berlaku untuk Ahlul Kitab karena penyimpangan yang mereka lakukan, seperti keyakinan Trinitas (bagi Nasrani) yang dianggap bertentangan dengan Tauhid mutlak, atau penolakan terhadap kenabian Muhammad ﷺ (bagi Yahudi). Dengan kata lain, peperangan diizinkan (dalam kondisi yang kondisional) karena mereka menolak kebenaran fundamental setelah itu disajikan kepada mereka, bukan hanya karena perbedaan akidah yang sifatnya pribadi. Jika mereka tunduk pada otoritas politik Islam, mereka diizinkan memegang akidah mereka. Dengan demikian, ayat ini berfungsi ganda: sebagai pernyataan kebenaran akidah Islam dan sebagai landasan hukum untuk interaksi politik.
Untuk menyimpulkan, Ayat 29 Surah At-Taubah adalah salah satu pilar legislatif Islam. Ia berdiri sebagai sebuah deklarasi yang kuat mengenai otoritas negara Islam dan penetapan hierarki hukum. Ia memastikan bahwa dalam kondisi konflik, negara Islam memiliki mekanisme untuk memadamkan ancaman dan pada saat yang sama, ia menyediakan kerangka kerja yang adil dan beradab untuk integrasi komunitas non-Muslim ke dalam struktur sosial dan politiknya melalui Jizyah dan status Dhimmi. Memisahkan perintah perang dari kontrak perlindungan yang menyertainya adalah kekeliruan yang dapat mengarah pada ekstrimitas. Ayat ini adalah bukti dari komitmen Syariah terhadap keteraturan sosial, keadilan kontrak, dan perlindungan agama, yang berlaku hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, dan diinterpretasikan secara luas oleh tradisi fiqh Islam yang kaya.