Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan yang membedakannya dari surah-surah lain; ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan *Basmalah* (Bismillahirrahmanirrahim). Mayoritas ulama berpendapat bahwa penghilangan *Basmalah* ini disebabkan oleh konteks utama surah tersebut, yaitu deklarasi pemutusan hubungan dan peringatan keras terhadap kaum musyrikin dan munafikin setelah Perjanjian Hudaibiyah. Surah ini diturunkan di Madinah, setelah peristiwa Tabuk, pada periode akhir kenabian.
At-Taubah secara harfiah berarti 'Tobat' atau 'Pengampunan', dan surah ini banyak membahas tentang berbagai golongan manusia: mereka yang beriman sejati, mereka yang munafik, dan mereka yang berdosa namun menyesal. Ayat 105 muncul dalam rangkaian pembahasan mengenai kelompok-kelompok yang tersisa setelah Perang Tabuk, khususnya mereka yang mengakui kesalahan mereka dan bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Ayat 105 merupakan titik balik penting dalam narasi ini. Setelah Al-Qur'an menjelaskan perihal orang-orang yang bertaubat yang diampuni (seperti tiga orang yang tertinggal dalam Perang Tabuk) dan menjelaskan perihal munafikin yang terusir dari rahmat, ayat ini datang sebagai perintah universal yang ditujukan kepada seluruh umat, menetapkan prinsip dasar kehidupan seorang Muslim: bekerja, bertindak, dan bersiap untuk disaksikan serta diadili.
Ayat ini adalah salah satu landasan paling kuat dalam etika kerja Islam dan filosofi akuntabilitas spiritual. Dalam kalimat yang ringkas namun padat, Allah SWT menyatukan perintah (bekerja), pengawasan (oleh tiga pihak), dan konsekuensi akhir (pengadilan akhirat).
SVG 1: Simbolisasi Perintah Beramal (I'malu)
Memahami Ayat 105 memerlukan pemecahan setiap komponennya, terutama karena setiap frasa membawa implikasi teologis, etis, dan sosiologis yang mendalam.
Perintah ini adalah bentuk kata kerja imperatif yang bersifat umum. Ayat ini tidak membatasi jenis pekerjaan; ia mencakup seluruh aktivitas manusia, baik aktivitas duniawi (mencari nafkah, membangun peradaban) maupun aktivitas ukhrawi (salat, puasa, dakwah, berzikir). Penekanannya bukan hanya pada hasil, melainkan pada proses dan niat di balik pekerjaan itu sendiri.
Dalam konteks Madinah saat itu, perintah ini adalah pembeda tajam antara Mukmin yang aktif dan munafik yang pasif atau hanya berpura-pura. Bagi Mukmin, kehidupan adalah arena kerja. Tidak ada ruang bagi kemalasan atau kepasifan. Islam menolak pandangan asketik yang menganggap aktivitas duniawi sebagai penghalang spiritualitas; sebaliknya, kerja yang ikhlas adalah bagian integral dari ibadah.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'amal' di sini haruslah amal yang baik (*amal shalih*). Meskipun secara linguistik 'amal' mencakup semua perbuatan, dalam kerangka Al-Qur'an yang ditujukan kepada Mukmin, perintah untuk bekerja selalu terkait dengan tujuan mencari keridaan Allah.
Ini adalah inti dari ayat tersebut, menetapkan tiga tingkatan saksi yang mengawasi setiap perbuatan manusia. Tingkat pengawasan ini menciptakan sistem akuntabilitas berlapis yang sangat efektif:
Pengawasan Allah bersifat mutlak dan tidak terbatas waktu atau tempat. Frasa 'sa-yarallahu' (Allah akan melihat) mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar 'melihat'. Ini berarti Allah mengetahui rincian pekerjaan, niat di baliknya, dan kualitas pelaksanaannya. Pengetahuan Allah mencakup aspek yang kasat mata (*syahadah*) maupun yang tersembunyi (*ghaib*). Kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi seharusnya menjadi pendorong utama bagi keikhlasan (*ikhlas*), mencegah seseorang dari riya' (pamer) atau kelalaian.
Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai bagaimana Rasulullah SAW 'melihat' amal setelah beliau wafat:
Dalam kedua interpretasi, keberadaan Rasul sebagai saksi menegaskan pentingnya meneladani sunnah beliau dalam setiap pekerjaan. Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang selaras dengan ajaran dan tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Frasa 'wal Mu'minun' (dan orang-orang mukmin) membawa dimensi sosiologis yang signifikan. Ini berarti pekerjaan seorang Muslim tidak hanya urusan pribadi, melainkan juga memiliki dampak sosial dan akan dinilai oleh komunitas beriman. Pengawasan ini bersifat timbal balik. Ketika seseorang berbuat baik, kaum mukmin akan bersaksi atas kebaikannya. Sebaliknya, jika seseorang melakukan keburukan secara terang-terangan, komunitas akan mengetahuinya.
Tingkat pengawasan ini berfungsi sebagai:
Struktur berlapis ini (Allah – Rasul – Komunitas) memastikan bahwa tidak ada amal yang luput dari pandangan, baik secara spiritual, kenabian, maupun sosial.
SVG 2: Simbolisasi Tiga Saksi (Syahadah)
Bagian kedua ayat ini mengalihkan fokus dari kehidupan duniawi (pengawasan) menuju kehidupan ukhrawi (akuntabilitas final). Penggunaan kata 'saturodduna' (kamu akan dikembalikan) menunjukkan kepastian mutlak dari Hari Kebangkitan. Semua makhluk pasti kembali kepada Pencipta.
Penyebutan Allah sebagai 'Aalimil Ghaibi wash Syahadah' (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata) adalah kunci. Allah tidak hanya mengetahui amal yang terlihat oleh Rasul dan Mukmin (yang nyata/syahadah), tetapi juga mengetahui motif, niat, pikiran, dan kondisi hati yang tersembunyi (yang gaib). Inilah yang membedakan Pengadilan Allah dari semua pengadilan dunia.
Bagi orang-orang munafik, klaim iman mereka mungkin berhasil menipu Rasul dan Mukmin (sebagian), tetapi tidak akan pernah bisa menipu Aalimil Ghaib. Bagi Mukmin yang ikhlas, bahkan amal kecil yang tersembunyi pun akan diketahui dan dihargai secara penuh.
Puncak dari perjalanan ini adalah pemberitaan (penyampaian kabar) tentang seluruh pekerjaan yang telah dilakukan. Kata 'yunabbi'ukum' (Dia akan memberitakan kepadamu) mengindikasikan bahwa perhitungan itu akan detail dan menyeluruh. Tidak ada yang terlewatkan. Ini adalah saat di mana catatan amal dibuka dan disajikan kembali kepada pelakunya.
Pengadilan ini bersifat adil. Allah tidak hanya menghakimi berdasarkan hasil akhir, tetapi berdasarkan keseluruhan apa yang telah dilakukan, termasuk niat dan kesulitan yang dihadapi dalam proses amal tersebut. Hal ini sejalan dengan ayat lain yang sering disandingkan dengannya, seperti dalam Surah Az-Zalzalah (99:7-8), yang menegaskan bahwa seberat zarah kebaikan atau keburukan pun akan terlihat.
Ayat At-Taubah 105 bukanlah sekadar pernyataan teologis; ia adalah fondasi utama bagi etika kerja (al-kasb) dan konsep akuntabilitas dalam syariat Islam.
Perintah ‘I’malu’ menempatkan bekerja sebagai sebuah kewajiban. Dalam Islam, hidup ideal bukanlah hidup yang bermalas-malasan atau mengemis. Bahkan ibadah pun memerlukan upaya fisik dan mental. Kewajiban mencari rezeki yang halal (kasb halal) adalah setara dengan jihad bagi sebagian ulama. Ayat ini mendorong umat Islam untuk menjadi produsen, bukan hanya konsumen.
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menyoroti bahwa ayat ini memerintahkan umat untuk bekerja demi menjaga kemaslahatan diri dan umat. Keseimbangan antara ibadah ritual dan pekerjaan duniawi adalah esensi ajaran ini. Bekerja dengan niat memberi nafkah keluarga, menolong sesama, dan memperkuat umat, maka pekerjaan itu sendiri berubah menjadi ibadah.
Paradoks menarik dari Ayat 105 adalah: ia memerintahkan bekerja yang akan disaksikan oleh tiga pihak (termasuk manusia), namun Islam sangat menekankan keikhlasan (menjauhi riya'). Bagaimana menyeimbangkan keduanya?
Para ulama menjelaskan bahwa pengawasan oleh Mukminin bertujuan untuk validasi dan dorongan kebaikan sosial, bukan untuk mencari pujian pribadi. Keikhlasan terletak pada niat awal. Seseorang boleh bekerja keras dan hasilnya dilihat orang lain, asalkan motivasi utama di hatinya adalah Allah SWT.
Jika amal itu adalah amal wajib, melaksanakannya di hadapan publik adalah tuntutan agama, dan tidak lantas menjadi riya'. Jika itu amal sunnah dan dilakukan publik untuk memberi contoh yang baik (*sunnah hasanah*), itu diperbolehkan, asalkan niatnya adalah berbagi manfaat, bukan mencari sanjungan.
Intinya, pengawasan sosial adalah mekanisme pendukung, sementara pengawasan Allah (Aalimil Ghaib) adalah penentu keikhlasan. Seseorang mungkin dipuji oleh manusia, tetapi jika niatnya buruk, hanya Allah yang mengetahuinya dan akan membalasnya.
Penyebutan 'al-Mu'minun' sebagai saksi juga memberikan landasan bagi konsep pengawasan publik terhadap pemimpin atau orang yang memiliki kekuasaan (Ulil Amri). Pemimpin, hakim, atau pejabat publik melakukan pekerjaan yang dampaknya luas, dan amal mereka harus terbuka untuk disaksikan dan dinilai oleh komunitas beriman. Ini adalah prinsip transparansi dan akuntabilitas kepemimpinan dalam Islam.
Dalam konteks modern, hal ini dapat diterjemahkan sebagai pentingnya audit sosial, pengawasan media yang bertanggung jawab, dan kebebasan sipil bagi masyarakat untuk memantau kinerja pejabat publik, memastikan mereka bekerja sesuai dengan amanah.
Ayat 105 menonjol karena secara eksplisit mengaitkan konsep Yang Gaib (*Al-Ghaib*) dan Yang Nyata (*As-Syahadah*) dengan akuntabilitas. Pemahaman terhadap dualitas ini adalah kunci untuk memaknai perhitungan di Hari Akhir.
Amal yang nyata adalah perbuatan-perbuatan yang dapat diukur, dilihat, dan diamati: ibadah ritual (salat, zakat, haji), perilaku di ruang publik, pekerjaan kantor, cara bertransaksi, dan sebagainya. Inilah yang disaksikan oleh Rasulullah (saat hidup) dan kaum mukmin.
Nilai amal nyata sering kali berkaitan dengan dimensi kuantitas dan kepatuhan formal. Misalnya, apakah salat memenuhi rukun-rukunnya, atau apakah transaksi bisnis memenuhi syarat syariah. Pengawasan manusia hanya mampu menilai dimensi ini.
Amal yang gaib adalah aspek internal yang tidak terlihat oleh siapa pun kecuali Allah: niat, kadar keikhlasan, ketakutan (khauf), harapan (raja'), keraguan yang tersembunyi, dan bisikan hati. Dimensi ini berkaitan dengan kualitas dan esensi spiritual amal.
Sebagai contoh, dua orang mungkin menyumbangkan jumlah uang yang sama (amal nyata). Namun, yang satu melakukannya karena ingin dipuji (niat buruk/gaib), dan yang lain melakukannya dengan hati yang ikhlas meskipun dalam keadaan miskin (niat baik/gaib). Di Hari Akhir, Aalimil Ghaib akan memberitakan perbedaan kualitas spiritual ini.
Penyebutan ‘Aalimil Ghaibi wash Syahadah’ mengajarkan bahwa Mukmin harus menyempurnakan amal pada dua level:
Jika seseorang hanya fokus pada amal nyata tanpa mempedulikan yang gaib, ia berpotensi jatuh dalam riya'. Jika ia hanya fokus pada niat tanpa melaksanakan amal dengan benar, amalnya mungkin tidak bernilai sempurna secara syar'i. Ayat ini menuntut kesempurnaan pada kedua dimensi.
Meskipun ayat ini adalah perintah untuk bekerja, lokasinya dalam Surah At-Taubah menunjukkan hubungan erat dengan konsep taubat dan muhasabah (introspeksi diri).
Kesadaran bahwa amal disaksikan oleh Allah, Rasul, dan kaum mukmin secara otomatis mendorong seorang Mukmin untuk melakukan muhasabah secara berkelanjutan. Muhasabah bukanlah menunggu Hari Perhitungan, tetapi melakukan perhitungan diri setiap hari.
Jika saya bekerja, apakah pekerjaan saya hari ini bermanfaat? Apakah saya telah berlaku adil kepada rekan kerja atau bawahan? Apakah niat saya dalam beribadah sudah lurus? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai respons alami terhadap keyakinan bahwa setiap perbuatan sedang direkam dan akan ditampilkan kembali.
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa muhasabah adalah pilar bagi perjalanan spiritual (suluk). Ayat 105 memberikan dasar teologis bagi praktik ini: jika amal kita akan dibeberkan, lebih baik kita yang membuka dan memperbaikinya di dunia sebelum Allah yang mengungkapkannya di akhirat.
Ayat ini diturunkan di tengah-tengah pembahasan mengenai taubat. Bagi mereka yang telah berbuat dosa atau kelalaian (seperti tiga orang yang tertinggal dalam Tabuk), perintah 'I'malu' adalah seruan untuk bertindak dan menebus kesalahan masa lalu melalui pekerjaan yang konstruktif dan ibadah yang lebih baik.
Taubat sejati dalam Islam bukanlah sekadar menyesal, melainkan juga diikuti dengan perubahan tindakan (amal). Ayat 105 menegaskan bahwa setelah menyesal, seseorang harus 'bekerja' keras untuk membuktikan perubahan hatinya. Amal yang baik dan tulus setelah taubat adalah bukti nyata dari kebenaran taubat itu sendiri.
Dalam dunia modern yang kompleks, Ayat 105 menawarkan pedoman spiritual dan profesional yang tak lekang oleh waktu.
Di era globalisasi dan persaingan, tuntutan ayat ini terhadap profesionalisme sangat relevan. Jika pekerjaan seorang Muslim akan dilihat oleh Allah, Rasul, dan komunitas, maka standar kualitasnya haruslah yang tertinggi. Ini mencakup:
Di masa kini, konsep 'al-Mu'minun' yang menyaksikan amal memiliki dimensi baru melalui media sosial dan digital. Apa yang kita unggah, kita tulis, atau kita bagikan di dunia maya adalah 'amal' yang disaksikan oleh jutaan 'Mukminin' secara global. Dampaknya terhadap masyarakat bisa sangat besar dan abadi.
Oleh karena itu, prinsip pengawasan dalam Ayat 105 menuntut pertimbangan yang matang sebelum beraksi di ruang publik virtual, karena setiap jejak digital adalah bagian dari 'amal' yang akan diberitakan kembali di Hari Akhir.
SVG 3: Simbolisasi Pengadilan Akhir (Al-Mizan)
Ayat 105 adalah penolakan tegas terhadap fatalisme atau pemahaman keliru tentang takdir. Meskipun takdir telah ditetapkan, manusia diperintahkan untuk bertindak. Pekerjaan adalah manifestasi dari kehendak bebas manusia yang diizinkan Allah.
Konsep takdir tidak meniadakan tanggung jawab. Seseorang bertanggung jawab penuh atas amal yang diperintahkan dalam 'I'malu'. Keputusan untuk bekerja atau bermalas-malasan adalah pilihan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Aalimil Ghaib.
Para pemikir Islam modern sering menggunakan Ayat 105 sebagai dasar untuk membangun peradaban yang berorientasi pada kinerja dan integritas. Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak berada dalam pengasingan, melainkan terwujud di tengah-tengah pasar, kantor, dan ladang.
Ketika amal disaksikan oleh 'al-Mu'minun', ini menandakan bahwa pekerjaan kita di dunia memiliki dimensi kontrak sosial. Apapun profesi yang dijalani—sebagai guru, dokter, insinyur, atau pedagang—pekerjaan tersebut adalah janji kepada masyarakat untuk memberikan yang terbaik. Jika janji ini dilanggar, tidak hanya Allah yang kecewa, tetapi juga komunitas beriman yang menjadi saksi.
Kontrak ini diperkuat oleh fakta bahwa Rasulullah SAW adalah saksi. Meneladani Rasulullah SAW dalam bekerja berarti meneladani sifat-sifat kenabian seperti kejujuran (*shiddiq*), amanah (*amanah*), penyampaian (*tabligh*), dan kecerdasan (*fathanah*) dalam setiap aspek profesionalisme.
Kesadaran akan pengawasan triple-layer (Allah, Rasul, Mukminin) menumbuhkan rasa malu yang sehat (*haya'*). Rasa malu yang dimaksud bukanlah rasa malu yang menghambat aksi, tetapi rasa malu karena takut mengecewakan pengawas ilahiah dan sosial.
Seseorang yang memiliki *haya'* dari Allah akan takut berbuat dosa di tempat tersembunyi (amal ghaib). Seseorang yang memiliki *haya'* dari Rasul akan berusaha keras mencontoh Sunnah terbaik (amal syahadah). Dan seseorang yang memiliki *haya'* dari komunitas akan menghindari perilaku yang merusak citra kebaikan di mata masyarakat.
Frasa kunci dalam ayat ini, 'wa saturadduna ilaa 'aalimil ghaibi wash syahadah', menandaskan bahwa segala sesuatu akan dipertontonkan. Konsepsi ini didukung oleh banyak hadis yang menjelaskan proses hisab (perhitungan amal).
Di hari pengembalian, setiap individu akan diperlihatkan kembali apa yang telah mereka kerjakan. Ayat ini menjamin bahwa pengetahuan Allah yang mencakup segala hal, baik yang tersembunyi di hati maupun yang dilakukan secara terang-terangan, akan menjadi dasar perhitungan.
Proses ini adalah manifestasi keadilan mutlak Allah. Tidak ada pembelaan yang sia-sia, dan tidak ada kebaikan yang terabaikan. Bahkan kebaikan yang luput dari pandangan manusia akan diungkapkan oleh Aalimil Ghaib.
Tafsir klasik sering menyinggung bagaimana anggota tubuh pun akan bersaksi di Hari Kiamat. Tangan, kaki, dan bahkan kulit akan menceritakan perbuatan mereka. Ini adalah perluasan dari konsep 'syahadah' (kesaksian) yang melampaui persaksian manusia.
Ayat 105 mengajarkan bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan menanamkan jejak, dan jejak tersebut tidak hanya direkam, tetapi juga memiliki kemampuan untuk bersaksi di hadapan Pengadilan Ilahi.
Janji dan amanah adalah bentuk 'amal' yang sangat ditekankan dalam Islam. Ayat ini memberikan bobot spiritual yang luar biasa pada pemenuhan janji. Ketika kita berjanji kepada sesama Mukmin, kita tidak hanya berurusan dengan individu tersebut, tetapi pekerjaan pemenuhan janji kita disaksikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kesadaran ini harus mengakar kuat dalam setiap sendi kehidupan Muslim, mulai dari janji kecil di rumah tangga hingga amanah besar dalam kepemimpinan negara. Melaksanakan amanah adalah 'amal' yang akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui yang gaib dan nyata.
Ayat At-Taubah 105 adalah salah satu ayat yang paling komprehensif dalam Al-Qur'an mengenai filosofi hidup seorang Muslim. Ayat ini menyajikan peta jalan yang jelas, dimulai dari perintah untuk bertindak hingga konsekuensi abadi dari tindakan tersebut.
Pertama, ia menuntut Aktivitas (*I'malu*), menjadikan kehidupan ini sebagai ladang amal yang produktif.
Kedua, ia menanamkan Kesadaran akan Pengawasan Ilahi, Kenabian, dan Sosial, mendorong keikhlasan dan kualitas terbaik.
Ketiga, ia menggarisbawahi Kepastian akan Pengembalian kepada Allah, Yang Maha Mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak.
Dalam menjalani hari-hari, setiap Muslim dipanggil untuk senantiasa mengingat tiga saksi utama. Setiap tarikan napas dan setiap pergerakan tangan adalah ‘amal’ yang sedang dinilai. Tugas kita adalah memastikan bahwa catatan pekerjaan kita, yang akan diberitakan oleh Aalimil Ghaib, adalah catatan yang penuh dengan kebaikan, ketulusan, dan ketaatan. Inilah makna terdalam dari perintah agung dalam Surah At-Taubah ayat 105.
Ayat ini adalah penyemangat bagi mereka yang bekerja dalam kesunyian dan peringatan keras bagi mereka yang mencari pujian semata. Kesejatian amal diukur bukan dari sorak sorai manusia, melainkan dari apa yang diketahui oleh Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa memperbaiki niat, menyempurnakan amal, dan bersiap diri untuk Hari Pengembalian, di mana semua pekerjaan kita akan dipertontonkan di hadapan saksi semesta raya.
***