Di lembah yang hijau, hiduplah sebatang pohon beringin yang sangat tua. Akar-akarnya mencengkeram bumi dengan kuat, dan dahannya menjulang tinggi, menjadi tempat berteduh bagi banyak makhluk. Di salah satu ranting terendahnya, tinggallah seekor burung pipit kecil bernama Cici. Cici adalah burung yang riang, namun ia selalu merasa iri melihat burung-burung lain yang bisa terbang jauh ke hutan di seberang sungai.
Setiap pagi, Cici melihat Elang terbang melingkar tinggi, atau Merak memamerkan keindahannya di padang rumput. "Oh, andai saja aku punya sayap sekuat Elang, atau bulu seindah Merak," keluh Cici pada Pohon Beringin.
Pohon Beringin yang bijaksana selalu tersenyum melalui daun-daunnya yang berdesir. "Mengapa kamu tidak pernah puas dengan dirimu sendiri, Cici?" tanyanya suatu hari.
Cici menjawab dengan nada sedih, "Lihatlah aku, Pohon. Aku kecil, suaraku biasa saja, dan aku hanya bisa terbang di sekitar lembah ini. Aku iri pada mereka yang lebih besar dan lebih indah."
Pohon Beringin terdiam sejenak, membiarkan angin menerbangkan beberapa daun kering. Kemudian, ia mulai bercerita. "Dulu sekali, saat aku masih berupa bibit kecil, ada badai besar datang. Badai itu merobohkan banyak pohon muda yang tinggi dan ramping. Mereka tampak kuat, tetapi akarnya belum dalam. Aku selamat, Cici, karena aku fokus menanamkan akar sedalam mungkin, bukan seberapa tinggi aku bisa menjulang saat itu."
Pohon Beringin melanjutkan, "Setiap makhluk di dunia ini diciptakan dengan keunikan dan peranannya masing-masing. Elang mungkin bisa terbang tinggi, tetapi ia tidak bisa bersembunyi dengan aman di antara celah-celah kecil rantingku seperti dirimu. Merak memang indah, tetapi suaranya yang nyaring sering menarik perhatian predator."
Cici mendengarkan dengan seksama. Ia belum pernah memikirkan hal itu dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini, ia hanya membandingkan kelebihan orang lain dengan kekurangannya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, musim kemarau panjang melanda. Air sungai mulai menyusut, dan banyak hewan mulai kesulitan mencari makan. Burung-burung besar yang biasa mencari mangsa jauh di luar lembah mulai kembali dengan perut kosong karena sumber makanan mereka mengering.
Namun, di sekitar Pohon Beringin dan lembah kecil di bawahnya, masih tersedia buah beri kecil dan serangga tersembunyi di antara akar-akar yang teduh. Karena ukurannya yang kecil dan kemampuannya terbang cepat, Cici dan teman-teman pipitnya dapat dengan mudah menemukan sisa-sisa makanan di tempat yang tidak terjangkau oleh burung yang lebih besar.
Suatu sore, seekor anak kancil yang kelelahan karena haus, tersesat dan hampir pingsan di bawah pohon. Cici, melihat situasi itu, segera terbang bolak-balik menuju genangan air terakhir yang ia ketahui di balik semak belukar. Ia membuat suara kicauan keras, menarik perhatian beberapa unggas lain, yang kemudian mengikuti arahnya dan membantu membawa kancil itu ke sumber air kecil yang tersembunyi.
Saat senja tiba, Cici duduk di rantingnya, merasa lelah namun damai. Ia menatap Pohon Beringin.
"Terima kasih, Pohon," ujar Cici pelan. "Aku mengerti sekarang. Sayap kecilku mungkin tidak membawaku melintasi samudra, tetapi ia membawaku untuk melihat kebutuhan kecil di sekitarku, dan itu adalah hal yang sangat penting."
Pohon Beringin hanya bergoyang lembut. Cici akhirnya menyadari bahwa ia tidak perlu menjadi Elang atau Merak. Ia hanya perlu menjadi Burung Pipit terbaik yang ia bisa.