(Visualisasi perjalanan dua sahabat)
“Kau ingat hari itu, Rian?” Suara tua yang serak itu menggema di kepala Sena, memutar kembali kaset ingatan yang telah lama berdebu. Kenangan itu datang bukan dari awal, melainkan dari akhir: dari saat Rian berdiri di bawah gerimis dingin, senyumnya memudar perlahan seiring jarak yang tercipta di antara mereka.
Itu adalah senja yang seharusnya penuh janji, namun hanya membawa pengkhianatan waktu. Di halte bus tua, Rian hanya menatap sepatu botnya. Keheningan di antara kami begitu pekat, lebih berat daripada koper yang dibawanya. Sena ingat jelas, ia mencoba meraih lengan Rian, tetapi sentuhan itu terasa seperti menyentuh bayangan. Rian berkata, “Aku harus pergi, Sen. Dunia memanggil.” Dan dunia itu adalah kota yang jauh, kesempatan yang tidak bisa ia tolak. Saat bus biru tua itu bergerak, Sena tidak berteriak. Ia hanya berdiri, membiarkan air hujan dan air mata menjadi satu, menjadi akhir dari babak paling penting dalam hidupnya.
Namun, untuk memahami kesedihan di halte bus itu, kita harus mundur jauh ke masa ketika mereka masih saling meminjamkan rahasia dan membagi mimpi di bawah pohon beringin.
Melompat mundur dua belas tahun sebelumnya, saat mereka baru berusia sepuluh tahun. Matahari sore membakar kulit mereka yang penuh lumpur setelah bermain layangan. Rian, yang selalu punya ide gila, pernah bersumpah bahwa jika layangan mereka menyentuh awan, mereka akan menjadi penjelajah dunia bersama. Sena, si pemikir hati-hati, hanya tertawa. Persahabatan mereka dibangun dari tawa konyol dan kesetiaan tanpa syarat. Mereka tumbuh berdampingan; saat Rian gagal ujian matematika pertamanya, Sena yang menghibur. Saat Sena jatuh cinta pada gadis tetangga dan ditolak, Rian yang membelikannya es krim termurah. Mereka adalah dua sisi mata uang yang sama.
Semakin dewasa, impian mereka mulai bercabang namun tetap terikat. Rian ingin lari, mengejar adrenalin di tempat-tempat asing. Sena ingin menetap, membuka toko buku kecil di sudut kota. Suatu malam, ketika mereka duduk di atap rumah Sena, Rian mengeluarkan gulungan kertas yang ia klaim sebagai "Peta Harta Karun Persahabatan Abadi." Peta itu berisi simbol-simbol konyol: dua kepala sekolah mereka, tempat es krim favorit, dan tanda silang besar di bawah pohon beringin. "Apapun yang terjadi, Sen," kata Rian sambil menepuk bahu Sena keras-keras, "di bawah pohon itu, kita akan selalu punya tempat kembali." Janji itu terasa sakral, mengikat masa depan mereka erat-erat.
Mundur sedikit lagi, ke tahun terakhir SMA. Persaingan mulai merayap, bukan karena kebencian, tapi karena ambisi yang berbeda. Rian mendapat beasiswa mahal ke luar negeri, sementara Sena diterima di universitas lokal. Ketegangan itu muncul dalam bentuk keheningan yang canggung saat makan malam bersama. Rian mulai berbicara tentang visanya, tentang kehidupan baru yang menantinya. Sena hanya mengangguk, hatinya terasa seperti tercekik. Mereka menghindari topik penting: bagaimana hubungan mereka akan bertahan jika jarak memisahkan? Mereka takut mengakui bahwa peta harta karun mereka mungkin sudah usang.
Kini, kita kembali ke awal cerita, di halte bus yang dingin itu. Sena akhirnya mengerti. Kepergian Rian bukanlah penolakan terhadap dirinya, melainkan penerimaan terhadap takdir yang tak terhindarkan. Alur mundur ini menunjukkan bahwa perpisahan yang menyakitkan itu hanyalah konsekuensi logis dari pertumbuhan mereka yang berbeda.
Setelah bus itu hilang ditelan kabut senja, Sena berjalan pulang dengan langkah berat. Ia tidak langsung ke rumah. Ia berbelok ke taman kota, menuju pohon beringin tua. Menggali tanah yang lembap dengan ujung sepatunya, tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Itu adalah kaleng biskuit tua yang mereka kubur saat kecil. Isinya bukan emas, melainkan sepasang gelang persahabatan yang rusak—satu untuknya, satu untuk Rian—serta surat kecil yang ditujukan untuk masa depan yang belum mereka pahami. Sena tersenyum getir. Persahabatan mereka mungkin terputus secara geografis, tetapi akarnya—yang terkubur dalam di bawah pohon itu—tetap utuh, terlepas dari semua alur waktu yang telah mereka lalui. Mereka berpisah, namun kisah mereka selalu kembali ke titik awal, di mana segalanya terasa paling nyata.