Jendela pada sebuah masjid bukan sekadar elemen fungsional yang memungkinkan masuknya cahaya atau sirkulasi udara. Jendela adalah gerbang visual, manifestasi artistik, dan interpretasi mendalam dari filosofi keislaman. Desain jendela masjid harus merefleksikan kesakralan ruang ibadah, sekaligus mengoptimalkan kebutuhan fungsionalitas dan kenyamanan jamaah. Studi mendalam tentang estetika, material, dan teknik pembuatan jendela mengungkapkan warisan arsitektur yang kaya, mulai dari pola geometris rumit di era Utsmaniyah hingga solusi pencahayaan mutakhir di masjid-masjid kontemporer.
Peran jendela dalam arsitektur masjid jauh melampaui kebutuhan struktural. Jendela adalah media transmisi yang menghubungkan dunia luar dengan ruang sakral di dalamnya, sebuah dialog antara kemahabesaran alam ciptaan dengan kekhusyukan ibadah.
Pencahayaan alami atau Daylighting adalah aspek paling krusial. Masjid dirancang untuk memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber penerangan utama, mengurangi ketergantungan pada pencahayaan buatan dan sekaligus menciptakan suasana yang menenangkan. Jendela harus dirancang untuk mendistribusikan cahaya secara merata, menghindari silau (glare) yang dapat mengganggu konsentrasi salat. Sudut pemasukan cahaya, ukuran bukaan, dan penggunaan difuser (seperti jali atau kaca es) menjadi pertimbangan utama dalam desain fungsional.
Sirkulasi udara alami (natural ventilation) juga vital, terutama di iklim tropis dan subtropis. Jendela, bersama dengan elemen bukaan lainnya seperti pintu dan lubang ventilasi atap, berfungsi menjaga kualitas udara dan menurunkan suhu internal. Desain tradisional sering menggunakan pola berlubang (seperti mashrabiya atau jali) yang memungkinkan pergerakan udara sambil memblokir pandangan langsung dari luar, menjaga privasi ruang ibadah. Ketepatan penempatan jendela, yang mempertimbangkan arah angin dominan, dapat menciptakan efek ventilasi silang yang sangat efisien.
Dalam Islam, cahaya seringkali disimbolkan sebagai petunjuk, ilmu, atau manifestasi Illahi, sebagaimana tercantum dalam Surah An-Nur (Cahaya). Jendela, sebagai saluran cahaya, berfungsi memperkuat simbolisme ini. Ketika cahaya masuk melalui pola geometris atau kaligrafi pada kaca patri, ia menyaring dan memecah sinar, menciptakan efek visual yang meditatif dan mengingatkan jamaah akan keagungan Sang Pencipta. Keterbukaan jendela juga melambangkan keterbukaan masjid sebagai pusat komunitas dan wadah ilmu pengetahuan.
Prinsip tauhid (keesaan Tuhan) sering diterjemahkan secara visual melalui pola desain yang seragam, simetris, dan tanpa batas, di mana jendela menjadi kanvas untuk pola-pola tersebut. Setiap elemen desain, dari detail kusen hingga ornamen kaca, harus berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang memancarkan ketenangan (sakinah) dan fokus spiritual.
Interaksi antara bayangan dan cahaya yang diciptakan oleh jendela memiliki dampak psikologis yang signifikan. Bayangan yang bergerak seiring pergerakan matahari menciptakan dinamisme yang mengingatkan pada waktu, siklus alam, dan keabadian. Di sisi lain, desain jendela yang terlalu besar atau tidak terfilter dapat menyebabkan rasa gelisah atau terdistraksi. Oleh karena itu, arsitek berusaha mencapai keseimbangan ideal: cukup cahaya untuk menerangi tanpa mengganggu, cukup pandangan ke luar untuk menghindari rasa terisolasi, namun tetap menjaga fokus interior.
Desain jendela masjid sangat ditentukan oleh tiga faktor utama: bentuk bukaan, material pengisi, dan proporsi yang harmonis dengan keseluruhan fasad bangunan. Estetika Islam cenderung menghindari representasi figuratif, sehingga penekanan kuat diletakkan pada pola geometris kompleks dan kaligrafi.
Bentuk jendela masjid memiliki sejarah yang panjang dan bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan era kekuasaan. Meskipun bentuk persegi panjang sederhana sering digunakan untuk fungsionalitas, bentuk-bentuk lengkung memiliki makna estetika yang lebih dalam.
Proporsi jendela harus selaras dengan prinsip-prinsip arsitektur Islam, seringkali didasarkan pada rasio matematika seperti Golden Ratio atau modulasi rasio yang spesifik untuk mencapai kesatuan visual. Pola geometris yang mengisi bukaan jendela bukanlah sekadar hiasan; mereka adalah representasi visual dari tatanan kosmik yang sempurna dan abadi.
Penggunaan pola berulang seperti bintang 8-sudut, 10-sudut, 12-sudut, hingga 16-sudut (Muqarnas pada jendela sering kali merupakan turunan dari geometri ini) menciptakan ilusi dimensi tak terbatas. Jendela berperan memecah massa dinding yang solid, mengintervensi ruang dengan ritme yang teratur dan kontemplatif.
Ilustrasi pola geometris Islam untuk desain jendela.
Arsitek dan perajin Islam pada Abad Pertengahan sering menggunakan kompas dan penggaris untuk menciptakan pola geometris yang presisi. Proses desain jendela, khususnya pada jali, merupakan disiplin matematika terapan. Ini melibatkan pembagian lingkaran menjadi sejumlah sektor yang sama, yang kemudian digunakan untuk menghasilkan pola bintang yang saling tumpang tindih. Presisi ini tidak hanya untuk keindahan, tetapi juga melambangkan keteraturan ilahi, sebuah kontras dengan kekacauan duniawi.
Jendela yang terdiri dari ribuan potongan kecil kaca atau batu yang disusun dalam pola ini menuntut kesabaran dan keahlian tinggi. Setiap sambungan dan pertemuan garis pada pola harus sempurna, karena kesalahan kecil dapat merusak keseluruhan simetri. Filosofi yang terkandung adalah bahwa kesempurnaan dalam desain adalah bentuk ibadah, mewujudkan keindahan (jamal) yang merupakan salah satu sifat yang disukai Allah.
Pemilihan material sangat menentukan karakter visual dan fungsi termal jendela masjid. Selama berabad-abad, perajin Islam telah mengembangkan teknik material yang unik untuk mengatasi tantangan iklim dan mencapai estetika spiritual.
Kaca patri atau Kaca berwarna telah digunakan sejak era Kekhalifahan Abbasiyah dan mencapai puncaknya di era Ottoman dan Persia. Berbeda dengan kaca patri Barat yang berfokus pada narasi figuratif, kaca patri Islam sepenuhnya berpusat pada pola geometris, arabesque (pola tumbuhan), dan kaligrafi. Potongan-potongan kaca berwarna disatukan oleh bingkai timbal atau, dalam teknik khas Turki dan Persia, dibingkai dalam ukiran plester (gipsum) yang dikenal sebagai Qamariyya.
Qamariyya, yang sangat umum di Yaman dan beberapa wilayah Levant, adalah teknik di mana pola rumit diukir pada panel gipsum yang tebal. Kemudian, rongga-rongga kecil yang dihasilkan diisi dengan potongan kaca berwarna cerah. Efeknya adalah cahaya yang masuk tersaring menjadi mozaik warna-warni yang membanjiri interior. Teknik ini sangat efektif dalam mengurangi intensitas panas matahari langsung sambil tetap memungkinkan masuknya cahaya yang lembut.
Jali adalah kisi-kisi atau saringan yang terbuat dari kayu, batu, atau terra cotta, diletakkan di bagian luar jendela. Meskipun sering diidentikkan dengan arsitektur perumahan (sebagai Mashrabiya), penggunaannya di masjid memiliki fungsi termal yang sangat spesifik: menciptakan zona penyangga termal.
Material Jali bervariasi. Di India dan Pakistan, Jali sering diukir dari batu pasir atau marmer putih. Di Indonesia dan Malaysia, penggunaan ukiran kayu jati mendominasi, memadukan pola geometris dengan motif flora lokal, mencerminkan akulturasi budaya dalam desain Islam Nusantara.
Tidak jarang, jendela masjid dihiasi dengan kaligrafi yang berfungsi ganda sebagai ornamen dan pesan spiritual. Ayat-ayat Al-Qur'an, asmaul husna, atau syahadat sering diukir di ambang jendela atau diukir pada kisi-kisi. Penggunaan kaligrafi Kufi atau Tsuluts memberikan tekstur visual yang kaya, mengubah jendela dari bukaan pasif menjadi elemen naratif aktif.
Di masjid-masjid kuno, seperti di Mesir atau Iran, material yang digunakan untuk ukiran kaligrafi ini seringkali adalah marmer atau ubin keramik berglasir. Pantulan cahaya pada ubin keramik yang diletakkan di sekitar bukaan jendela menambahkan dimensi kemilau yang berbeda saat matahari bergerak sepanjang hari.
Di era modern, desain jendela masjid menghadapi tantangan baru, yaitu kebutuhan akan efisiensi energi yang tinggi, kemampuan menahan cuaca ekstrem, dan integrasi dengan teknologi bangunan pintar, sambil tetap mempertahankan identitas visual Islam.
Arsitek modern kini beralih ke solusi kaca canggih untuk mengatasi masalah termal yang tidak bisa sepenuhnya diselesaikan oleh teknik tradisional di gedung-gedung besar.
Desain kontemporer sering mengambil inspirasi dari jali tradisional tetapi menerapkannya menggunakan material modern seperti aluminium berlubang, baja tahan karat, atau komposit fiber. Pola geometris tetap menjadi inti, tetapi kini dieksekusi dengan presisi mesin (CNC cutting), memungkinkan kerumitan yang sebelumnya membutuhkan tenaga kerja manual intensif.
Masjid-masjid ikonik modern, seperti King Abdullah Financial District Mosque di Riyadh, menggunakan fasad kaca bertingkat yang diintegrasikan dengan kisi-kisi logam besar. Kisi-kisi ini bertindak sebagai payung (brise soleil) dan sekaligus sebagai ornamen geometris raksasa, menciptakan citra masjid yang futuristik namun tetap berakar pada tradisi estetika Islam.
Salah satu dilema utama dalam desain modern adalah sejauh mana transparansi dapat diizinkan. Kaca besar menawarkan pencahayaan superior dan pemandangan yang indah, namun dapat mengganggu fokus ibadah dan mengurangi rasa intim. Solusi yang umum adalah memasang jendela tinggi yang menawarkan pandangan ke langit (simbol Ilahi) daripada ke jalanan yang sibuk, atau menggunakan kaca bertekstur/buram di level mata untuk menjaga privasi.
Efektivitas jendela masjid sangat bergantung pada penempatan dan orientasinya terhadap matahari dan arah kiblat. Analisis situs yang cermat adalah prasyarat desain yang berkelanjutan.
Di wilayah dengan iklim panas ekstrem (Timur Tengah, Afrika Utara), jendela adalah sumber utama masuknya panas yang tidak diinginkan. Desain harus memprioritaskan pengurangan Solar Heat Gain Coefficient (SHGC). Strategi arsitektur pasif meliputi:
Meskipun tidak ada aturan ketat yang melarang jendela di dinding kiblat (kecuali yang dapat mengalihkan perhatian jamaah dari mihrab), penempatan jendela di dinding ini harus sangat dipertimbangkan. Jika jendela dipasang, umumnya berupa kaca buram atau kaca patri yang berfungsi sebagai latar belakang visual tanpa mengalihkan pandangan. Di banyak tradisi, jendela diletakkan di dinding samping (Utara dan Selatan) atau di atas, di sekitar kubah (sebagai clerestory windows), untuk memastikan cahaya merata tanpa mengganggu fokus kiblat.
Simbol jendela masjid yang memasukkan cahaya alami.
Banyak masjid besar menggunakan jendela clerestory (jendela yang diletakkan tinggi di atas permukaan mata, biasanya di bawah kubah atau atap) untuk memaksimalkan penyebaran cahaya tanpa menyebabkan silau langsung. Desain ini menciptakan efek "lentera" yang menerangi ruang ibadah dari atas, memberikan kesan pencerahan surgawi. Teknik ini sangat efektif dalam arsitektur masjid Utsmaniyah, di mana kubah-kubah besar didukung oleh deretan jendela melingkar atau lengkung.
Jendela clerestory juga berperan penting dalam strategi ventilasi termal, bertindak sebagai outlet untuk udara panas yang cenderung naik ke bagian atas ruang. Kombinasi jendela rendah (sebagai inlet udara segar) dan jendela tinggi (sebagai outlet udara panas) menciptakan sistem sirkulasi pasif yang sangat efisien.
Meskipun prinsip geometris tetap universal, desain jendela masjid beradaptasi secara dramatis sesuai dengan budaya, material lokal, dan iklim kawasan masing-masing.
Di Indonesia dan Malaysia, jendela masjid seringkali harus menangani kelembaban tinggi dan curah hujan lebat. Jendela seringkali berupa bukaan besar yang dilengkapi dengan kisi-kisi kayu yang dapat digeser atau ditutup sepenuhnya. Masjid-masjid tradisional Jawa, seperti Masjid Demak, menggunakan bukaan yang dilindungi oleh atap tumpang bertingkat, mengurangi paparan langsung terhadap cuaca, sementara ventilasi horizontal dipertahankan melalui ventilasi celah.
Desain jendela modern Nusantara sering memadukan pola batik atau ukiran tradisional (seperti motif Pucuk Rebung atau Bunga Tanjong) ke dalam kisi-kisi logam atau panel kaca, menciptakan identitas lokal yang kuat tanpa meninggalkan prinsip dasar geometri Islam.
Arsitektur Persia dikenal dengan kekayaan warna dan mosaik keramik yang cemerlang. Jendela-jendela sering dihiasi dengan haft-rang (tujuh warna) pada ubin keramik yang membingkai bukaan, atau menggunakan teknik shabaka yang mirip dengan Qamariyya, tetapi dengan fokus yang lebih besar pada warna biru, kuning, dan hijau toska, menciptakan suasana dingin dan damai.
Jendela di Iwan (gerbang lengkung besar) seringkali diletakkan di posisi tinggi dan sempit, memberikan kontras visual antara dinding bata masif dan titik-titik cahaya yang intensif. Penggunaan mozaik kaca (آینه کاری - Ayeneh Kari) di sekitar jendela memberikan efek berlian, memantulkan cahaya dalam ribuan fragmen kecil.
Masjid Mughal terkenal dengan penggunaan marmer putih dan batu pasir merah. Jendela Jali Mughal sering diukir dari satu blok marmer dengan kedalaman dan ketelitian yang luar biasa, menciptakan tekstur seperti kain renda. Jali marmer ini tidak hanya indah tetapi juga sangat efektif dalam memoderasi iklim yang panas dan kering, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk tanpa debu berlebihan.
Proses mewujudkan desain jendela yang ideal melibatkan pertimbangan struktural, keamanan, dan perencanaan perawatan jangka panjang. Jendela masjid, karena ukurannya dan materialnya yang seringkali rapuh (kaca patri, gipsum), memerlukan perhatian khusus.
Jendela besar, terutama yang menggunakan bingkai logam atau kayu berat, harus dipertimbangkan sejak tahap desain struktural. Beban angin (wind load) dan seismik (seismic resistance) sangat penting, khususnya untuk jendela yang diletakkan tinggi atau pada dinding non-penahan beban. Pada masjid tradisional, kusen jendela sering menjadi elemen integral dari struktur batu atau bata, memberikan stabilitas yang luar biasa.
Pemasangan kaca patri, khususnya Qamariyya, membutuhkan keahlian spesialis. Panel gipsum harus diizinkan mengering secara sempurna untuk mencegah retak. Selain itu, transisi antara material yang berbeda (misalnya, batu ke kaca) harus dirancang untuk mengakomodasi ekspansi termal tanpa merusak segel kedap air.
Karena jendela adalah titik masuk yang rentan, pertimbangan keamanan sangat penting, terutama pada masjid di area padat penduduk. Desain jendela yang tinggi dan sempit secara inheren lebih aman. Namun, untuk jendela di lantai dasar, penggabungan jeruji baja (barriers) yang disamarkan dalam pola Jali atau diintegrasikan ke dalam bingkai kusen sering dilakukan.
Penggunaan kaca laminasi atau kaca tempered disarankan untuk semua jendela besar untuk meningkatkan ketahanan terhadap benturan dan vandalisme, sekaligus memberikan lapisan keamanan tambahan terhadap upaya pembobolan, melindungi artefak atau interior masjid yang berharga.
Perawatan bervariasi tergantung material:
Protokol pembersihan harus menghindari bahan kimia abrasif yang dapat merusak lapisan pelindung pada kaca teknologi tinggi atau lapisan cat pada bingkai ornamen. Aksesibilitas untuk pembersihan dan perbaikan (menggunakan gondola atau tangga khusus) harus menjadi bagian dari desain struktural awal.
Jendela tidak berdiri sendiri; efektivitas dan keindahannya harus dinilai dalam konteks keseluruhan fasad. Arsitektur masjid bertujuan untuk mencapai kesatuan (wahdah) di mana setiap elemen—dinding, kolom, bukaan—berkontribusi pada komposisi yang tunggal dan agung.
Pengaturan jendela menciptakan ritme visual pada dinding. Repetisi bukaan yang identik (baik dalam ukuran atau bentuk) menghasilkan rasa ketenangan dan ketertiban. Kontras antara permukaan dinding yang masif dan bukaan jendela yang halus dan berornamen memberikan dinamika. Dalam arsitektur Seljuk dan Ottoman, misalnya, seringkali ada kontras tajam antara bagian bawah masjid yang solid dan bagian atas yang lebih ringan dan berlubang.
Proporsi vertikal jendela pada menara atau bagian depan masjid seringkali ditekankan untuk menarik mata jamaah ke atas, mengarahkan fokus ke arah langit. Garis-garis tegas dan vertikal yang diciptakan oleh kusen jendela yang tinggi menyelaraskan pandangan dengan ketinggian kubah atau menara.
Di dekat mihrab, perhatian harus diberikan agar cahaya yang masuk tidak menciptakan bayangan yang mengganggu atau silau pada imam. Jendela di dinding kiblat, jika ada, seringkali diletakkan sangat tinggi atau menggunakan material buram untuk memastikan latar belakang mihrab tetap kontemplatif dan tenang. Pencahayaan di area mimbar harus cukup untuk visibility, tetapi tanpa mengalihkan fokus dari khotbah.
Dalam beberapa desain modern, jendela diletakkan sedemikian rupa sehingga cahaya jatuh langsung pada mihrab pada waktu-waktu salat tertentu, menciptakan efek dramatis yang menonjolkan arah kiblat sebagai fokus ibadah. Ini adalah implementasi fungsional dari filosofi "cahaya sebagai petunjuk."
Meskipun simetri (keseimbangan sempurna) dominan dalam arsitektur Islam, beberapa desain kontemporer menggunakan asimetri yang disengaja pada penempatan jendela untuk mencapai komposisi yang lebih dinamis. Namun, bahkan dalam asimetri ini, keseimbangan visual harus tetap terjaga, seringkali dicapai dengan menyeimbangkan bukaan jendela kecil yang banyak dengan bukaan jendela besar tunggal, menjaga berat visual (visual weight) tetap seimbang.
Desain jendela masjid adalah perpaduan unik antara kebutuhan fungsional (cahaya dan udara), tantangan klimatologis, dan ekspresi filosofis yang mendalam. Dari teknik Qamariyya yang menyaring panas di Yaman hingga penggunaan kaca Low-E modern di Teluk, setiap jendela menceritakan kisah adaptasi, keahlian, dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip estetika Islam.
Pola geometris yang rumit, yang menjadi ciri khas jendela Islam, bukan sekadar dekorasi, melainkan representasi dari tatanan alam semesta yang teratur dan tak terbatas. Ketika cahaya menembus kisi-kisi jali atau kaca patri, ia mengubah ruang internal, menciptakan suasana yang mendorong kontemplasi dan kekhusyukan. Jendela masjid yang dirancang dengan baik adalah jembatan antara seni, ilmu pengetahuan (arsitektur berkelanjutan), dan spiritualitas.
Di masa depan, desain jendela masjid akan terus berevolusi, mengintegrasikan material cerdas dan teknologi ramah lingkungan, namun fondasi filosofisnya—yaitu menyalurkan cahaya Ilahi ke dalam ruang ibadah dan menjaga keseimbangan antara privasi dan keterbukaan—akan tetap menjadi pedoman utama bagi para arsitek dan perajin di seluruh dunia.
Keseimbangan antara konservasi warisan masa lalu dan inovasi masa kini memastikan bahwa jendela masjid akan terus berfungsi sebagai elemen arsitektur yang vital dan simbol spiritual yang abadi.
Penting untuk memahami bahwa interaksi antara cahaya dan tekstur permukaan interior masjid adalah bagian integral dari desain jendela. Desain jendela yang efektif mampu memproyeksikan pola cahaya yang indah ke permukaan dinding, lantai, dan karpet. Ketika cahaya alami masuk melalui pola jali, ia menciptakan bayangan yang tajam dan bergerak, memberikan vitalitas dinamis pada ruang statis. Efek ini sering disebut sebagai "lukisan cahaya dan bayangan" (Chiaroscuro Islam). Di masjid-masjid Persia, misalnya, cahaya yang melewati kaca berwarna seringkali jatuh ke ubin berglasir di lantai, memperkuat palet warna keseluruhan interior.
Lebih lanjut, pertimbangan harus diberikan pada jenis permukaan yang akan menerima cahaya. Dinding dengan tekstur kasar atau batu ukir akan menyebarkan dan melembutkan cahaya, mengurangi silau. Sebaliknya, permukaan marmer yang dipoles atau mozaik keramik mengkilap akan memantulkan cahaya secara intens, memperkuat kesan kemewahan dan pencerahan. Pemilihan tekstur permukaan harus diselaraskan dengan desain jendela; sebuah jendela yang memecah sinar matahari secara intensif lebih cocok untuk interior yang menggunakan material penyerap cahaya daripada pemantul cahaya.
Di luar kaca konvensional, arsitektur modern mulai mengeksplorasi penggunaan material transparan non-kaca untuk jendela masjid yang membutuhkan daya tahan ekstra. Salah satunya adalah penggunaan Polikarbonat Berlapis UV. Material ini menawarkan kekuatan impak yang jauh lebih tinggi daripada kaca (sebagai perlindungan dari benda asing atau badai) dan dapat dibentuk menjadi pola melengkung yang kompleks yang sulit dicapai dengan kaca. Meskipun polikarbonat sering memiliki indeks kejernihan yang lebih rendah, ia dapat digunakan di bagian-bagian masjid yang membutuhkan penerangan difus, seperti area wudu atau koridor samping.
Selain itu, pengembangan Aerogel sebagai bahan pengisi pada IGU menawarkan isolasi termal yang revolusioner. Jendela yang diisi dengan aerogel dapat mencapai nilai insulasi (U-value) yang ekstrem rendah, menjadikannya ideal untuk masjid di iklim sangat dingin yang harus menahan kehilangan panas, tanpa mengorbankan masuknya cahaya. Inovasi material ini memungkinkan arsitek untuk merancang jendela yang sangat besar tanpa konsekuensi biaya pemanasan atau pendinginan yang besar.
Kusen jendela (frame) itu sendiri adalah elemen desain yang penting. Pada arsitektur tradisional, kusen sering terbuat dari kayu keras yang diukir rumit. Di Masjid-masjid Utsmaniyah, kusen batu marmer yang berat diukir dengan relief kaligrafi berfungsi sebagai transisi mulus antara dinding dan bukaan. Material kusen modern yang sering digunakan meliputi aluminium termal-break atau komposit fiberglass.
Kusen aluminium termal-break adalah solusi teknis di mana profil aluminium dipisahkan oleh bahan isolasi non-logam. Ini mencegah perpindahan panas yang masif melalui bingkai (yang merupakan kelemahan aluminium konvensional), menjaga efisiensi energi bangunan. Pemilihan warna dan finishing kusen harus serasi dengan palet warna fasad, seringkali dipilih warna tanah, putih, atau biru keemasan untuk merefleksikan palet tradisional Islam.
Selain cahaya dan ventilasi, jendela memiliki peran krusial dalam akustik masjid. Jendela yang terbuat dari kaca tipis dapat menjadi titik terlemah dalam isolasi suara. Untuk masjid yang terletak di perkotaan bising, penggunaan IGU asimetris (menggunakan dua ketebalan kaca yang berbeda) sangat dianjurkan karena lebih efektif dalam memblokir frekuensi suara yang berbeda. Selain itu, kusen yang kedap udara dan segel yang sempurna harus dipastikan untuk mencegah kebocoran suara.
Pola jali, meskipun berfungsi sebagai difuser cahaya, juga membantu menyebarkan gelombang suara yang memantul di interior, mengurangi gema (reverberation time). Di masjid bersejarah, pola-pola ini secara tidak langsung berkontribusi pada penciptaan akustik yang lebih "kering" dan jelas, sangat penting untuk penyampaian azan dan khotbah.