Ilustrasi artistik Bahtera Nuh
Kisah Nuh dalam Alkitab adalah salah satu narasi paling ikonik dan mendalam yang terdapat dalam kitab suci. Terutama diceritakan dalam Kitab Kejadian, pasal 6 hingga 9, kisah ini bukan sekadar cerita tentang banjir besar, tetapi juga sebuah pelajaran tentang keadilan ilahi, keselamatan, dan pentingnya iman serta ketaatan mutlak kepada Tuhan.
Sebelum kisah Nuh dimulai, Alkitab menggambarkan kondisi umat manusia yang semakin memburuk. Kejahatan merajalela, dan hati manusia hanya cenderung kepada kejahatan semata (Kejadian 6:5). Dalam pandangan Tuhan, situasi ini begitu parah sehingga Ia menyesal telah menciptakan manusia. Namun, di tengah kegelapan moralitas ini, muncul satu sosok yang berbeda. Alkitab menyatakan, "Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN. Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu berjalan dengan Allah." (Kejadian 6:8-9).
Melihat kondisi dunia, Tuhan memutuskan untuk mendatangkan air bah untuk memusnahkan segala yang hidup di bumi. Namun, Ia tidak membiarkan semua lenyap begitu saja. Tuhan memerintahkan Nuh untuk membangun sebuah bahtera yang sangat besar. Instruksi yang diberikan sangat rinci, mencakup dimensi, bahan, dan desain bahtera tersebut. Ini adalah sebuah tugas yang monumental dan mungkin tampak mustahil bagi Nuh dan keluarganya.
Kepada Nuh, Tuhan berkata, "Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu ghofer; buatlah bilik-bilik di dalam bahtera itu, dan tutuplah dari sebelah luar dengan ter." (Kejadian 6:14). Tuhan juga memberikan ukuran spesifik: "Inilah ukurannya yang harus kau buat: panjang bahtera itu tiga ratus hasta, lebarnya lima puluh hasta dan tingginya tiga puluh hasta." (Kejadian 6:15).
Poin krusial dalam kisah Nuh adalah responsnya terhadap perintah Tuhan. Alkitab mencatat bahwa Nuh melakukan "semua yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya" (Kejadian 6:22). Selama bertahun-tahun, Nuh bekerja keras, mengumpulkan kayu, membuat bilik-bilik, dan menutupinya dengan ter. Ia melakukan semua ini bahkan ketika tidak ada tanda-tanda air bah, di tengah masyarakat yang mungkin mencibir atau menganggapnya gila.
Ketaatan Nuh bukanlah ketaatan mekanis, melainkan lahir dari iman. Ia percaya pada firman Tuhan dan mengantisipasi apa yang belum terlihat. Inilah inti dari iman sejati yang digambarkan oleh Rasul Paulus dalam Ibrani 11:7: "Karena iman maka Nuh, setelah menerima firman tentang apa yang belum terlihat, dengan taat mempersiapkan sebuah bahtera untuk menyelamatkan kaumnya. Oleh iman itu ia menghakimi dunia dan ditentukan menjadi pewaris kebenaran yang berdasarkan iman."
Ketika bahtera selesai dibangun, Tuhan memerintahkan Nuh untuk membawa keluarganya (istrinya, ketiga putranya: Sem, Ham, dan Yafet, serta istri mereka) masuk ke dalam bahtera. Selain itu, Nuh juga diperintahkan untuk membawa sepasang dari setiap jenis binatang, baik binatang halal maupun haram, serta tujuh pasang binatang halal dan burung-burung, untuk melestarikan kehidupan di bumi. "Dan TUHAN menutup pintu bahtera itu dari luar." (Kejadian 7:16).
Kemudian, air bah datang. Hujan turun selama empat puluh hari empat puluh malam, dan mata air samudra raya memancar. Seluruh permukaan bumi tertutup air, dan segala makhluk hidup di luar bahtera musnah. Air bah itu bertahan selama 150 hari, dan bahtera terapung di atas air yang meluap.
Setelah masa itu, Tuhan mengingat Nuh. Ia membuat angin bertiup melintasi bumi, dan air mulai surut. Bahtera akhirnya beristirahat di pegunungan Ararat. Nuh secara bertahap mengirim burung gagak dan merpati untuk memeriksa apakah bumi sudah kering. Setelah sekian lama, Tuhan memerintahkan Nuh dan keluarganya untuk keluar dari bahtera, bersama semua makhluk hidup lainnya. Bumi menjadi tempat yang baru dan bersih.
Sebagai tanda janji-Nya untuk tidak lagi memusnahkan seluruh kehidupan dengan air bah, Tuhan membuat perjanjian dengan Nuh dan seluruh makhluk hidup. Tanda perjanjian ini adalah pelangi. "Aku menempatkan pelangi-Ku di awan-awan sebagai tanda perjanjian antara Aku dan bumi." (Kejadian 9:13). Pelangi menjadi pengingat visual akan kesetiaan Tuhan dan kasih karunia-Nya yang melindungi.
Kisah Nuh memiliki beberapa makna teologis yang penting:
Kisah Nuh tetap relevan hingga kini, mengajarkan kita tentang pentingnya mendengarkan firman Tuhan, bertindak berdasarkan iman meskipun menghadapi tantangan, dan percaya pada janji serta pemeliharaan-Nya.