Ilustrasi visual saluran pencernaan yang teriritasi, seringkali menjadi sumber BAB berdarah.
BAB berdarah, atau yang dalam istilah medis dikenal sebagai hematochezia (darah merah segar) atau melena (darah hitam pekat), adalah gejala yang memerlukan perhatian serius. Meskipun banyak orang sering mengaitkannya langsung dengan wasir atau hemoroid, pendarahan rektal bisa menjadi indikasi dari kondisi yang jauh lebih parah, termasuk infeksi bakteri akut pada saluran pencernaan (kolitis infeksius) yang memerlukan intervensi antibiotik.
Pendarahan yang disebabkan oleh infeksi bakteri umumnya disertai dengan gejala sistemik lainnya seperti demam tinggi, nyeri perut hebat (kram), dan diare berat. Dalam konteks infeksi, darah muncul karena invasi bakteri merusak lapisan mukosa usus, menyebabkan peradangan dan ulserasi.
Klasifikasi penyebab pendarahan rektal dibagi berdasarkan sumbernya dan sifatnya:
Penyebab infeksius, sering disebut disentri (diare berdarah), adalah fokus utama penggunaan antibiotik. Patogen menyerang lapisan usus besar, menyebabkan peradangan hebat dan darah, nanah, serta lendir pada feses. Patogen utama meliputi:
Keputusan untuk memberikan antibiotik pada kasus diare berdarah harus diambil dengan hati-hati. Tidak semua diare berdarah disebabkan oleh bakteri yang responsif terhadap antibiotik, dan bahkan jika disebabkan bakteri, tubuh seringkali dapat membersihkan infeksi tanpa obat (self-limiting).
Pemeriksaan feses adalah langkah krusial. Dokter perlu menentukan:
Proses diagnosis sangat penting untuk memastikan apakah antibiotik diperlukan dan jenis apa yang efektif.
Terapi antibiotik sering diindikasikan pada kondisi berikut, terutama bila kultur feses belum tersedia (terapi empiris):
Kasus diare berdarah yang dicurigai disebabkan oleh E. coli yang memproduksi toksin Shiga (STEC, mis. O157:H7) adalah pengecualian kritis. Penggunaan antibiotik pada infeksi ini dapat menyebabkan kematian bakteri secara mendadak, yang justru melepaskan lebih banyak toksin Shiga. Peningkatan jumlah toksin ini meningkatkan risiko berkembangnya Sindrom Uremik Hemolitik (HUS), kondisi gagal ginjal yang mengancam jiwa. Dalam kasus ini, manajemennya berfokus pada terapi suportif dan hidrasi intensif, bukan antibiotik.
Pemilihan antibiotik didasarkan pada patogen yang dicurigai dan pola resistensi lokal. Terapi empiris biasanya mencakup obat spektrum luas yang efektif melawan patogen usus yang paling umum.
Ciprofloxacin adalah antibiotik lini pertama yang umum digunakan untuk mengobati diare berdarah yang dicurigai karena Shigella, Salmonella, atau Campylobacter di banyak negara, meskipun resistensi terhadapnya kini meningkat di beberapa wilayah (terutama Asia Tenggara).
Azithromycin telah menjadi pilihan terapi empiris utama, khususnya untuk infeksi Campylobacter jejuni, karena memiliki tingkat resistensi yang lebih rendah dibandingkan fluorokuinolon. Azithromycin juga merupakan pilihan yang lebih aman untuk anak-anak dan wanita hamil.
Ceftriaxone sering digunakan dalam bentuk injeksi untuk kasus diare berdarah yang sangat parah atau yang telah menyebabkan bakteremia (infeksi telah menyebar ke darah). Ceftriaxone menjadi pilihan utama jika patogen dicurigai adalah Shigella atau Salmonella yang resisten terhadap Ciprofloxacin, terutama pada pasien rawat inap.
Infeksi C. difficile (CDI) adalah penyebab umum kolitis, sering terjadi setelah penggunaan antibiotik yang mengganggu flora normal usus. Meskipun disebabkan oleh bakteri, manajemennya sangat spesifik dan memerlukan obat yang bekerja di lumen usus:
Penggunaan antibiotik untuk C. difficile menunjukkan paradoks: sebuah antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi yang seringkali disebabkan oleh antibiotik lain.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk menguraikan detail penggunaan antibiotik dalam skenario klinis spesifik, membahas pertimbangan dosis, durasi, dan respons terhadap resistensi.
Shigella menghasilkan toksin yang invasif, menyebabkan kerusakan mukosa yang parah, dan sangat mudah menular. Terapi antibiotik sangat dianjurkan untuk mempersingkat penyakit (dari 7 hari menjadi sekitar 2 hari) dan membatasi penyebaran.
Pertimbangan Resistensi: Resistensi terhadap Trimethoprim-Sulfamethoxazole (Cotrimoxazole) sudah sangat tinggi, menjadikannya pilihan sekunder atau tidak digunakan sama sekali di banyak wilayah endemis.
Infeksi Campylobacter umumnya sembuh sendiri (self-limiting). Antibiotik hanya dipertimbangkan jika penyakit parah (demam tinggi, BAB berdarah > 8 kali sehari), atau jika pasien berisiko tinggi (misalnya penderita imunodefisiensi).
Antibiotik harus dimulai dalam waktu 4 hari sejak timbulnya gejala agar efektif. Jika diberikan lebih lambat, manfaatnya minimal karena bakteri telah dibersihkan oleh sistem imun.
Risiko Neurologis: Infeksi Campylobacter, meskipun diobati, memiliki kaitan dengan peningkatan risiko Sindrom Guillain-Barré (GBS), sebuah komplikasi autoimun yang menyerang saraf perifer. Namun, antibiotik tetap diberikan untuk meredakan gejala akut.
Ini adalah skenario diare berdarah yang paling kompleks karena disebabkan oleh antibiotik sebelumnya. Tujuannya adalah mengeliminasi C. difficile sambil mempertahankan flora usus yang tersisa.
Penggunaan Vancomycin IV tidak akan efektif karena obat ini tidak mencapai konsentrasi terapeutik di lumen usus. Vancomycin harus diberikan secara oral untuk CDI.
Pemilihan antibiotik yang tepat memerlukan pemahaman mendalam tentang bagaimana obat berinteraksi dengan tubuh dan patogen, serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitasnya di lingkungan saluran cerna.
Tingkat penyerapan antibiotik memengaruhi efektivitasnya dalam mengobati kolitis infeksius:
Resistensi terhadap antibiotik adalah masalah besar dalam pengobatan diare berdarah. Patogen usus, terutama Salmonella dan Shigella, dengan cepat mengembangkan resistensi terhadap obat-obatan umum (seperti Ampicillin, Cotrimoxazole, dan kini Fluorokuinolon). Ini memaksa dokter beralih ke obat lini kedua yang lebih mahal, kurang tersedia, atau harus diberikan secara intravena.
Untuk mengatasi resistensi, dokter harus mengandalkan data epidemiologi lokal dan, yang paling penting, hasil kultur dan uji sensitivitas antibiotik (antibiogram).
Antibiotik hanya mengatasi penyebab bakteri, namun manajemen BAB berdarah yang sukses memerlukan terapi suportif untuk mengatasi efek samping pendarahan dan dehidrasi.
Diare, terutama yang berdarah, menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang parah. Rehidrasi adalah fondasi pengobatan, lebih penting daripada antibiotik dalam banyak kasus.
Obat seperti Loperamide (Imodium) yang memperlambat pergerakan usus umumnya kontraindikasi pada kasus diare berdarah yang dicurigai sebagai infeksi invasif (disentri).
Mengapa? Karena memperlambat pergerakan usus akan memperpanjang waktu kontak antara toksin bakteri (misalnya toksin Shiga) dan mukosa usus, meningkatkan penyerapan toksin dan risiko komplikasi serius seperti HUS atau megakolon toksik. Obat anti-motilitas hanya aman digunakan untuk diare cair non-invasif.
Setelah fase akut, usus seringkali sangat sensitif. Diet harus bertahap dan rendah serat kasar. Makanan yang lembut, mudah dicerna (BRAT: Pisang, Nasi, Apel, Roti Tawar) sering direkomendasikan. Probiotik juga dapat dipertimbangkan, terutama setelah terapi antibiotik intensif, untuk membantu memulihkan mikrobiota usus.
Bayi, anak-anak, lansia, dan wanita hamil memiliki respons fisiologis dan risiko komplikasi yang berbeda, yang memengaruhi pilihan dan dosis antibiotik.
Anak-anak sangat rentan terhadap dehidrasi dan komplikasi (seperti HUS). Pilihan antibiotik harus menghindari obat yang mengganggu pertumbuhan tulang atau gigi.
Lansia sering memiliki kondisi penyerta (komorbiditas), fungsi ginjal yang menurun, dan risiko tinggi CDI. Dehidrasi pada lansia dapat memicu gagal ginjal akut dengan cepat.
Penggunaan antibiotik pada wanita hamil dibatasi oleh potensi teratogenik (merusak janin).
Setiap penggunaan antibiotik, terutama yang spektrum luas, akan menimbulkan kerusakan kolateral pada mikrobiota usus (flora normal). Kerusakan ini disebut disbiosis.
Mikrobiota yang sehat berfungsi sebagai penghalang terhadap patogen. Ketika antibiotik membunuh bakteri baik, ruang tersebut diisi oleh organisme yang tidak diinginkan, yang dapat menyebabkan:
Jika BAB berdarah menetap meskipun sudah mendapatkan terapi antibiotik empiris, diagnosis harus diperluas untuk mencakup penyebab non-bakteri dan kondisi autoimun.
Jika diare berdarah berlanjut, endoskopi diperlukan untuk melihat mukosa usus secara langsung, mengambil biopsi, dan membedakan antara kolitis infeksius dan penyakit radang usus (IBD).
Beberapa parasit dapat menyebabkan diare berdarah yang menyerupai disentri bakteri. Patogen ini tidak akan responsif terhadap antibiotik antibakteri umum.
Metronidazole adalah obat yang unik karena efektif melawan bakteri anaerob (seperti C. difficile) dan parasit protozoa (seperti E. histolytica). Oleh karena itu, Metronidazole sering menjadi komponen dalam terapi empiris untuk diare berdarah ketika etiologi belum jelas, terutama di daerah endemik amebiasis.
Dalam konteks global, peningkatan bakteri usus MDR (Multi-Drug Resistant) mengubah pedoman pengobatan secara drastis.
Bakteri usus seperti E. coli dan Klebsiella, yang menyebabkan infeksi di luar usus tetapi berkoloni di usus, semakin sering membawa gen ESBL. Meskipun ESBL biasanya lebih penting dalam infeksi saluran kemih atau sepsis, kolonisasinya di usus dapat mempersulit pengobatan jika infeksi gastrointestinal menjadi invasif.
Jika pasien diare berdarah memiliki riwayat perjalanan ke daerah dengan tingkat MDR tinggi atau baru saja mendapatkan perawatan di rumah sakit, antibiotik lini pertama mungkin tidak efektif. Dokter mungkin harus segera beralih ke:
Pentingnya penggunaan antibiotik yang bijak untuk melawan resistensi.
Pencegahan dengan vaksinasi menjadi semakin penting untuk mengurangi beban penyakit bakteri yang memerlukan antibiotik. Contohnya termasuk vaksin Rotavirus (walaupun penyebab diare cair non-berdarah, ini mengurangi kunjungan ke dokter), dan vaksin Tifoid (untuk mencegah demam tifoid yang parah).
Rifaximin adalah contoh unik. Obat ini hampir tidak diserap ke dalam aliran darah, sehingga bekerja lokal di usus. Meskipun tidak digunakan untuk mengobati diare berdarah invasif akut (karena tidak mencapai lapisan mukosa), Rifaximin sangat efektif dalam:
Kemampuannya untuk tetap berada di lumen usus menjadikannya alat penting dalam menjaga ekosistem usus tanpa menyebabkan resistensi sistemik yang luas, asalkan digunakan sesuai indikasi.
Meskipun artikel ini membahas terapi mendalam, diagnosis diri dan pengobatan mandiri dengan antibiotik sangat berbahaya. Segera cari pertolongan medis jika Anda mengalami gejala berikut bersamaan dengan BAB berdarah:
| Gejala | Alasan Darurat |
|---|---|
| BAB Berdarah Hitam Pekat (Melena) | Indikasi pendarahan saluran cerna atas yang masif. Risiko syok hipovolemik. |
| Demam Tinggi (>39°C) dan Menggigil | Sangat sugestif infeksi sistemik (sepsis) yang memerlukan IV antibiotik segera. |
| Tanda Dehidrasi Parah | Mata cekung, kulit kering, pusing saat berdiri (ortostatik), tidak buang air kecil. |
| Nyeri Perut Sangat Hebat | Dapat mengindikasikan perforasi usus (usus bocor) atau megakolon toksik. |
| Perubahan Status Mental | Kebingungan, lesu, atau kesulitan bangun. Bisa jadi tanda sepsis atau HUS. |
Kesimpulannya, BAB berdarah yang disebabkan oleh infeksi bakteri (disentri) seringkali memerlukan intervensi antibiotik spesifik. Namun, keberhasilan pengobatan bergantung pada identifikasi patogen yang benar, pertimbangan resistensi lokal, dan manajemen klinis yang cermat untuk menghindari komplikasi serius seperti HUS dan untuk melindungi keseimbangan mikrobiota usus.