Penanganan Komprehensif Maag Akut hingga Keadaan Darurat Muntah Darah
Ilustrasi sistem pencernaan, menunjukkan area lambung yang dapat mengalami iritasi atau ulkus.
Penyakit maag, atau dispepsia fungsional, adalah kondisi yang sangat umum dan sering dianggap remeh. Namun, di balik rasa perih, begah, dan panas di dada (heartburn) yang sering dikaitkan dengan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), terdapat potensi komplikasi serius yang mengancam jiwa: pendarahan saluran cerna atas, yang bermanifestasi sebagai muntah darah (hematemesis).
Memahami perjalanan penyakit, mulai dari gejala ringan hingga tindakan darurat yang diperlukan saat terjadi muntah darah, sangat krusial. Artikel ini membahas secara mendalam etiologi, diagnosis, regimen pengobatan (farmakologi), dan protokol penanganan darurat yang harus dilakukan ketika penyakit maag telah berkembang menjadi ulkus peptikum yang mengalami perdarahan aktif.
I. Memahami Spektrum Penyakit Maag dan GERD
Istilah "maag" sering digunakan awam untuk menggambarkan nyeri lambung. Secara klinis, kita perlu membedakan antara dispepsia fungsional (gangguan pencernaan tanpa kelainan struktural), GERD (refluks isi lambung ke kerongkongan), dan Ulkus Peptikum (luka terbuka pada lapisan lambung atau duodenum).
A. Anatomi dan Patofisiologi Dasar
Sistem pencernaan atas dilindungi oleh lapisan mukosa. Asam klorida (HCl) di lambung berfungsi memecah makanan dan membunuh bakteri, tetapi jika produksi asam berlebihan atau mekanisme perlindungan mukosa terganggu, terjadilah kerusakan. GERD terjadi ketika sfingter esofagus bawah (LES) melemah, memungkinkan asam naik ke esofagus, menyebabkan rasa terbakar (heartburn).
Ulkus peptikum, yang menjadi penyebab utama pendarahan saluran cerna atas (SCAT), terjadi ketika kerusakan menembus lapisan mukosa dan submukosa, mencapai pembuluh darah. Pembuluh darah yang terkikis oleh asam inilah yang akhirnya menyebabkan pendarahan masif.
B. Faktor Risiko Utama Menuju Ulkus Berdarah
Perjalanan dari maag biasa menjadi ulkus berdarah didominasi oleh dua faktor utama yang bekerja secara sinergis atau tunggal:
Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori): Bakteri gram negatif ini menempel pada lapisan mukosa lambung, menyebabkan peradangan kronis (gastritis) yang melemahkan pertahanan mukosa, memicu terbentuknya ulkus.
Penggunaan Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS/NSAIDs): Obat-obatan seperti ibuprofen, naproxen, dan aspirin menghambat enzim COX-1, yang bertanggung jawab untuk produksi prostaglandin. Prostaglandin adalah senyawa penting yang melindungi mukosa lambung dan mengatur aliran darah. Penghambatan ini menyebabkan mukosa rentan terhadap serangan asam.
Stres Fisiologis Berat: Meskipun stres emosional tidak secara langsung menyebabkan ulkus, kondisi stres fisiologis akut (misalnya, trauma berat, luka bakar luas, sepsis) dapat memicu ulkus stres (ulkus Cushing atau Curling) yang sangat cepat menyebabkan pendarahan.
II. Gejala Peringatan dan Tanda Bahaya (Red Flags)
Penting untuk membedakan antara gejala maag ringan yang dapat ditangani dengan antasida, dengan gejala yang memerlukan evaluasi medis segera. Gejala pendarahan saluran cerna atas dikelompokkan sebagai tanda bahaya yang tidak boleh diabaikan:
A. Tanda-tanda Pendarahan Saluran Cerna Atas (UGIB)
Hematemesis (Muntah Darah Segar): Muntahan berwarna merah terang yang menunjukkan pendarahan aktif dan cepat di esofagus atau lambung.
Muntah Seperti Kopi (Coffee Ground Vomitus): Muntahan yang tampak seperti bubuk kopi. Ini terjadi ketika darah telah tinggal di lambung untuk beberapa waktu, dan asam lambung mengubah hemoglobin menjadi hematin, yang berwarna coklat kehitaman.
Melena (Feses Hitam Lengket): Feses yang sangat hitam, lengket, dan berbau busuk. Ini menunjukkan bahwa darah telah dicerna saat melewati usus kecil dan besar. Diperlukan pendarahan minimal 50-100 ml untuk menghasilkan melena.
Hematochezia (Darah Merah pada Feses): Meskipun lebih sering terkait pendarahan saluran cerna bawah, jika pendarahan SCAT sangat masif dan cepat, darah mungkin keluar sebelum sempat dicerna sepenuhnya.
B. Gejala Hipovolemia dan Syok
Pendarahan masif pada ulkus peptikum dapat menyebabkan kehilangan volume darah yang cepat (syok hipovolemik). Tanda-tandanya meliputi:
Pusing, lemas, dan kehilangan kesadaran (sinkop).
Jantung berdebar (takikardia) sebagai upaya kompensasi.
Tekanan darah rendah (hipotensi).
Kulit dingin dan pucat, serta pengisian kapiler yang lambat.
Peringatan Darurat: Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami muntah darah, bahkan dalam jumlah sedikit, atau feses hitam pekat, ini adalah kondisi darurat medis. Segera cari bantuan medis atau unit gawat darurat terdekat. Jangan mencoba melakukan pengobatan sendiri di rumah.
III. Penanganan Farmakologis Maag Non-Darurat (Lini Pertama)
Sebelum mencapai tahap darurat, pengobatan maag dan GERD bertujuan mengurangi asam lambung, melindungi mukosa, dan, jika perlu, mengeliminasi H. pylori.
A. Antasida dan Agen Pelindung Mukosa
Antasida memberikan bantuan cepat dengan menetralkan asam lambung yang sudah ada. Mereka tidak mencegah produksi asam. Contoh: campuran Aluminium Hidroksida dan Magnesium Hidroksida (dapat menyebabkan diare atau konstipasi). Sukralfat adalah agen pelindung mukosa yang membentuk lapisan pelindung di atas ulkus, tetapi tidak efektif untuk GERD.
B. Penghambat Reseptor H2 (H2RAs)
H2RAs bekerja dengan memblokir reseptor histamin pada sel parietal lambung, sehingga mengurangi sekresi asam. Efeknya lebih lambat daripada antasida tetapi bertahan lebih lama. Obat yang umum termasuk Ranitidin (meskipun penggunaannya dibatasi di banyak negara karena masalah karsinogenik) dan Famotidin. Obat ini sering digunakan untuk GERD ringan hingga sedang.
C. Penghambat Pompa Proton (PPIs) - Pilar Utama Terapi
PPIs adalah obat paling efektif untuk menekan produksi asam lambung. Mereka bekerja secara ireversibel menghambat pompa proton (H+/K+-ATPase) pada sel parietal, mekanisme akhir sekresi asam. Obat ini memberikan tingkat penyembuhan ulkus yang superior dan sangat penting dalam mengelola GERD sedang hingga berat.
1. Mekanisme Kerja Mendalam PPIs
PPIs adalah prodrugs, yang berarti mereka harus diaktifkan dalam lingkungan asam (seperti kanalikuli sel parietal). Setelah diaktifkan, mereka berikatan kovalen dengan pompa proton. Karena ikatan ini permanen, tubuh harus mensintesis pompa proton baru untuk melanjutkan sekresi asam, yang memakan waktu 24 hingga 48 jam. Inilah mengapa PPIs biasanya diminum 30-60 menit sebelum makan, agar berada di lokasi saat pompa proton paling aktif.
2. Contoh PPI yang Sering Digunakan:
Omeprazole: Salah satu PPI pertama, banyak digunakan.
Esomeprazole: S-isomer dari Omeprazole, sering disebut sebagai bentuk yang lebih murni, dengan bioavailabilitas yang sedikit lebih baik.
Lansoprazole dan Dexlansoprazole: Digunakan untuk pengobatan GERD dan ulkus. Dexlansoprazole memiliki pelepasan ganda yang memperpanjang durasi kontrol asam.
Pantoprazole dan Rabeprazole: Sering dipilih karena interaksi obatnya yang lebih sedikit, terutama pada pasien yang menggunakan Klopidogrel (antiplatelet).
Muntah darah merupakan kondisi pendarahan saluran cerna atas yang membutuhkan penanganan medis segera.
IV. Protokol Penanganan Darurat: Saat Terjadi Muntah Darah (Hematemesis)
Ketika maag telah mencapai titik pendarahan aktif, penanganannya beralih dari terapi rawat jalan menjadi resusitasi dan stabilisasi di ruang gawat darurat. Fokus utamanya adalah ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan penggantian volume darah yang hilang.
A. Resusitasi dan Stabilisasi Awal
Tujuan utama adalah memulihkan perfusi jaringan dan menghentikan syok. Ini termasuk:
Akses Vena Ganda: Pemasangan dua jalur intravena (IV) besar (gauge 18 atau lebih) sangat penting untuk pemberian cairan cepat dan produk darah.
Pemberian Cairan Kristaloid: Infus cepat cairan seperti Saline Normal (NaCl 0.9%) atau Ringer Laktat untuk mengganti volume intravaskular yang hilang.
Transfusi Darah: Pada pasien dengan pendarahan masif (ditentukan dari laju nadi, tekanan darah, dan kadar hemoglobin < 7 g/dL), transfusi Packed Red Blood Cells (PRBCs) harus dimulai. Strategi transfusi saat ini cenderung 'restriktif', menargetkan Hb > 7 g/dL, kecuali pada pasien dengan penyakit arteri koroner.
Pemantauan Intensif: Pemantauan ketat tanda-tanda vital, produksi urin, dan kadar hemoglobin berulang.
B. Terapi Farmakologi Darurat (PPI Dosis Tinggi IV)
Pemberian PPI intravena dosis tinggi adalah standar perawatan segera setelah stabilisasi. PPI dosis tinggi telah terbukti mengurangi risiko pendarahan ulang sebelum dan sesudah intervensi endoskopi.
1. Peran PPI Intravena
Ketika pendarahan terjadi, asam lambung dapat menghancurkan bekuan darah yang terbentuk, mencegah hemostasis alami. PPI dosis tinggi IV menaikkan pH lambung (idealnya > 6.0) untuk menstabilkan bekuan darah. Omeprazole atau Pantoprazole adalah pilihan yang umum.
Regimen Tipikal (Contoh): Bolus 80 mg Pantoprazole IV, diikuti dengan infus kontinu 8 mg/jam selama 72 jam. Regimen ini sangat penting, terutama jika endoskopi tertunda atau jika hasil endoskopi menunjukkan ulkus dengan risiko pendarahan ulang yang tinggi.
C. Endoskopi Diagnostik dan Terapeutik
Endoskopi saluran cerna atas (EGD) adalah prosedur diagnostik dan terapeutik penting yang harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien stabil. Idealnya, EGD dilakukan sesegera mungkin pada kasus pendarahan aktif.
1. Tujuan Endoskopi:
Lokalisasi Pendarahan: Menentukan sumber pendarahan (esofagus, lambung, atau duodenum).
Klasifikasi Forrest: Mengklasifikasikan ulkus berdasarkan tampilan stigmata pendarahan, yang memprediksi risiko pendarahan ulang (misalnya, Forrest Ia = pendarahan menyembur/jet, risiko tinggi; Forrest III = ulkus bersih, risiko rendah).
Hemostasis (Menghentikan Pendarahan): Melakukan terapi endoskopi seperti injeksi epinefrin, koagulasi termal (probe pemanas), atau pemasangan klip mekanik untuk menutup pembuluh darah yang berdarah.
2. Penanganan Ulkus Berisiko Tinggi
Jika ulkus termasuk dalam kategori Forrest Ia, Ib (pendarahan aktif), atau IIa (pembuluh darah non-berdarah yang terlihat), terapi endoskopi ganda (misalnya, injeksi epinefrin diikuti klip) harus dilakukan, dilanjutkan dengan PPI dosis tinggi IV selama 72 jam.
V. Terapi Jangka Panjang: Eradikasi H. pylori dan Manajemen Sekunder
Setelah pendarahan diatasi dan pasien stabil, fokus beralih ke pencegahan pendarahan ulang. Jika penyebabnya adalah H. pylori, eradikasi wajib dilakukan. Jika penyebabnya OAINS, obat tersebut harus dihentikan atau diganti, dan terapi PPI jangka panjang diperlukan.
A. Protokol Eradikasi H. pylori
Eradikasi H. pylori adalah kunci untuk mencegah kekambuhan ulkus. Tingkat resistensi terhadap antibiotik terus meningkat, sehingga regimen terapi perlu disesuaikan dengan pola resistensi lokal.
1. Terapi Triple Standar
Ini adalah regimen klasik, namun efektivitasnya menurun karena tingginya resistensi Klindamisin. Regimen ini terdiri dari tiga obat selama 10-14 hari:
PPI (dosis standar, dua kali sehari)
Klaritromisin
Amoksisilin atau Metronidazol (jika alergi penisilin)
Di wilayah dengan resistensi Klaritromisin yang tinggi, terapi kuadrupel sering menjadi pilihan pertama, terutama untuk ulkus yang sudah pernah berdarah. Terdiri dari empat obat selama 10-14 hari:
PPI (dosis standar, dua kali sehari)
Bismuth subsalisilat/subsitrat
Metronidazol
Tetrasiklin
Kepatuhan (compliance) pasien sangat penting karena regimen ini kompleks dan sering menimbulkan efek samping gastrointestinal (mual, diare, rasa logam di mulut).
B. Manajemen Penggunaan OAINS/Aspirin
Pada pasien yang ulkusnya disebabkan oleh OAINS dan tidak memiliki risiko kardiovaskular tinggi, OAINS harus dihentikan. Jika pasien memiliki risiko kardiovaskular (misalnya, riwayat serangan jantung) dan harus melanjutkan terapi antiplatelet (Aspirin), diperlukan terapi pencegahan ganda:
PPI Dosis Penuh: PPI harus diminum setiap hari untuk jangka waktu yang lama (seringkali seumur hidup) untuk melindungi lambung dari Aspirin.
Penggantian OAINS: Jika diperlukan penghilang nyeri, pilihan OAINS yang lebih selektif (penghambat COX-2, seperti Celecoxib) mungkin dipertimbangkan, meskipun tetap harus diberikan bersama PPI.
Keputusan untuk melanjutkan Aspirin pada pasien dengan riwayat pendarahan harus melalui konsultasi bersama antara kardiolog dan gastroenterolog (pendekatan multidisiplin), karena risiko pendarahan ulang harus ditimbang terhadap risiko trombosis.
VI. Komplikasi dan Tantangan Pengobatan Jangka Panjang
Meskipun PPI sangat efektif, penggunaan jangka panjangnya memunculkan beberapa kekhawatiran dan tantangan manajemen yang perlu diperhatikan oleh dokter dan pasien.
A. Komplikasi Jangka Panjang PPI
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara penggunaan PPI jangka panjang dan risiko peningkatan tertentu, meskipun buktinya bervariasi:
Defisiensi Nutrisi: Penyerapan Vitamin B12, Kalsium, dan Magnesium dapat terganggu karena penurunan drastis keasaman lambung yang diperlukan untuk penyerapan nutrisi ini. Suplementasi mungkin diperlukan.
Infeksi Saluran Cerna: Asam lambung berfungsi sebagai pertahanan alami. Pengurangan asam dapat meningkatkan risiko infeksi bakteri, khususnya Clostridium difficile.
Pneumonia Komunitas: Beberapa data menunjukkan peningkatan kecil risiko pneumonia, mungkin karena adanya kolonisasi bakteri yang meningkat dari saluran pencernaan ke pernapasan.
Fraktur Tulang: Penyerapan kalsium yang buruk dalam jangka waktu sangat lama dapat meningkatkan risiko fraktur pinggul dan tulang belakang.
Oleh karena itu, pada pasien GERD kronis, dokter akan selalu berusaha menurunkan dosis PPI ke dosis efektif terendah (step-down therapy) atau beralih ke regimen 'on-demand' jika memungkinkan, setelah ulkus sembuh total.
B. Refrakter dan Kegagalan Pengobatan
Terkadang, gejala maag atau GERD tidak merespons pengobatan PPI. Hal ini bisa disebabkan oleh:
Non-compliance (Ketidakpatuhan): Pasien tidak meminum obat dengan benar (misalnya, tidak sebelum makan).
Asam Refluks Non-Asam: Pada kasus GERD, mungkin terjadi refluks isi lambung yang bukan asam (cairan empedu atau isi duodenum) yang tidak akan teratasi dengan PPI.
Diagnosis Alternatif: Gejala mungkin disebabkan oleh penyakit lain seperti akalasia, esofagitis eosinofilik, atau bahkan masalah jantung (gejala nyeri dada akibat GERD dapat meniru angina).
VII. Peran Gaya Hidup dan Manajemen Diet
Terlepas dari pengobatan farmakologis yang agresif, perubahan gaya hidup merupakan landasan pencegahan kekambuhan maag dan ulkus peptikum.
A. Perubahan Pola Makan
Tujuan utama diet adalah mengurangi pemicu asam dan iritasi lambung:
Hindari Pemicu Asam: Batasi atau hindari kopi, teh, minuman berkarbonasi, alkohol, dan makanan pedas. Meskipun tidak ada diet tunggal untuk semua penderita maag, identifikasi pemicu pribadi sangat penting.
Pengurangan Lemak: Makanan berlemak tinggi memperlambat pengosongan lambung dan melemahkan LES, meningkatkan refluks.
Porsi Kecil: Makan dalam porsi kecil namun sering, alih-alih tiga kali makan besar. Hal ini mencegah peregangan lambung yang berlebihan yang dapat memicu sekresi asam.
B. Modifikasi Kebiasaan
Elevasi Kepala Tempat Tidur: Menaikkan kepala tempat tidur 15-20 cm (bukan hanya menggunakan bantal lebih tinggi) membantu gravitasi mencegah refluks saat tidur.
Jadwal Makan: Hindari makan setidaknya 2-3 jam sebelum berbaring atau tidur.
Manajemen Berat Badan: Obesitas meningkatkan tekanan intra-abdomen, yang menekan lambung dan mendorong refluks. Penurunan berat badan sering kali menjadi pengobatan GERD paling efektif.
Berhenti Merokok: Merokok terbukti melemahkan LES dan mengurangi produksi bikarbonat (pelindung mukosa) di pankreas.
Pencegahan dengan perubahan gaya hidup dan kepatuhan pengobatan sangat penting untuk kesehatan lambung jangka panjang.
VIII. Prognosis dan Pemantauan Jangka Panjang
Prognosis setelah episode pendarahan saluran cerna atas umumnya baik jika penyebabnya dapat diidentifikasi dan diatasi (misalnya, eradikasi H. pylori). Namun, pasien dengan riwayat pendarahan ulkus dianggap berisiko tinggi dan memerlukan pemantauan rutin.
A. Indikasi Tindak Lanjut Endoskopi
Endoskopi tindak lanjut (follow-up) diperlukan pada beberapa kondisi spesifik:
Verifikasi Eradikasi H. pylori: Setelah terapi antibiotik, diperlukan tes napas urea atau biopsi untuk memastikan bakteri telah hilang, biasanya 4-6 minggu pasca terapi.
Ulkus Besar atau Ulkus Gaster (Lambung): Ulkus yang sangat besar atau ulkus yang terletak di lambung memiliki risiko keganasan (kanker lambung) yang lebih tinggi. Ulkus gaster yang besar harus diikuti dengan endoskopi dan biopsi ulang setelah 6-8 minggu pengobatan untuk memastikan ulkus tersebut telah sembuh total dan bukan merupakan tumor.
Esofagus Barrett: Jika GERD kronis menyebabkan perubahan pra-kanker pada lapisan esofagus (Esofagus Barrett), pemantauan endoskopi berkala (surveillance) sangat diperlukan.
B. Pengelolaan Kondisi Sekunder
Pasien yang pernah mengalami pendarahan harus secara konsisten menghindari OAINS. Dokter harus mengevaluasi ulang semua obat resep dan obat bebas yang dikonsumsi pasien. Bahkan dosis rendah aspirin harus diimbangi dengan PPI dosis pencegahan pada pasien berisiko tinggi.
Pengelolaan penyakit maag merupakan spektrum yang luas, mulai dari penyesuaian diet sederhana hingga intervensi darurat yang kompleks. Ketika gejala maag meningkat menjadi muntah darah, ini adalah panggilan bangun (wake-up call) bahwa ulkus peptikum telah mengancam jiwa. Kunci keberhasilan penanganan terletak pada pengenalan gejala peringatan, stabilisasi cepat di unit gawat darurat, intervensi endoskopi yang tepat waktu, dan terapi pemeliharaan jangka panjang yang ketat, terutama melalui eradikasi H. pylori dan penggunaan PPI yang bijaksana.
Pengetahuan yang mendalam mengenai kategori obat, protokol resusitasi, dan pentingnya kepatuhan gaya hidup akan menjadi penentu utama dalam memutus siklus pendarahan saluran cerna atas, memastikan pasien dapat menjalani hidup yang bebas dari komplikasi serius yang mengancam keselamatan mereka.
IX. Farmakologi Lanjutan: Interaksi dan Pertimbangan Klinis
Mengelola pasien dengan ulkus yang berdarah memerlukan pemahaman mendalam tentang bagaimana obat-obatan berinteraksi, terutama pada pasien dengan komorbiditas kardiovaskular.
A. Interaksi PPI dan Klopidogrel
Klopidogrel adalah obat antiplatelet yang sering diresepkan untuk pasien yang berisiko stroke atau serangan jantung. Klopidogrel adalah prodrug yang diaktifkan oleh enzim hati CYP2C19. Omeprazole dan Esomeprazole juga dimetabolisme oleh CYP2C19 dan dapat menghambat aktivasi Klopidogrel, berpotensi mengurangi efektivitas antiplateletnya.
Meskipun kontroversi klinis masih ada, pada pasien berisiko tinggi pendarahan yang memerlukan antiplatelet, dokter sering memilih PPI yang memiliki interaksi minimal dengan CYP2C19, seperti Pantoprazole atau Rabeprazole, meskipun perlindungan lambung yang diberikan oleh PPI diyakini lebih penting daripada potensi interaksi tersebut. Terapi PPI pada pasien yang menggunakan antiplatelet adalah tindakan penyelamat nyawa (life-saving) karena mengurangi risiko pendarahan ulang secara signifikan.
B. Obat Lain yang Menyebabkan Ulkus (Non-NSAID)
Meskipun NSAID adalah penyebab utama non-H. pylori, beberapa obat lain juga dapat meningkatkan risiko ulkus dan pendarahan:
Kortikosteroid: Penggunaan steroid (misalnya, Prednison) dalam dosis tinggi atau jangka panjang meningkatkan risiko ulkus, terutama bila dikombinasikan dengan NSAID.
Antikoagulan Oral Langsung (DOACs): Obat seperti Warfarin, Rivaroxaban, dan Apixaban tidak menyebabkan ulkus, tetapi mereka mengubah pendarahan ulkus minor menjadi pendarahan masif yang mengancam jiwa.
Bisphosphonates: Digunakan untuk osteoporosis, obat ini dapat menyebabkan iritasi langsung pada esofagus, meningkatkan risiko esofagitis dan ulserasi esofagus.
Inhibitor Selektif Serotonin Reuptake (SSRIs): Obat antidepresan ini dikaitkan dengan peningkatan risiko pendarahan saluran cerna. Jika pasien menggunakannya, terutama bersama aspirin atau NSAID, diperlukan kewaspadaan.
X. Pendekatan Diagnosis Lanjutan dan Pengujian
Diagnosis yang akurat menentukan regimen pengobatan. Selain endoskopi, ada beberapa metode untuk mengkonfirmasi kondisi dan penyebab ulkus.
A. Pengujian H. pylori
Pengujian H. pylori harus dilakukan pada semua pasien dengan ulkus peptikum. Metode pengujian dibagi menjadi invasif (melalui biopsi endoskopi) dan non-invasif.
1. Metode Non-Invasif:
Urea Breath Test (UBT): Pasien menelan urea berlabel C-13. Jika H. pylori hadir, bakteri akan memecah urea menjadi karbon dioksida berlabel, yang dideteksi dalam napas. Ini adalah metode yang sangat akurat untuk diagnosis awal dan verifikasi eradikasi.
Stool Antigen Test (SAT): Mendeteksi antigen bakteri dalam tinja. Sangat berguna karena tidak dipengaruhi oleh PPI sebanyak UBT, dan sensitif untuk verifikasi eradikasi.
Serologi (Tes Darah Antibodi): Mendeteksi antibodi terhadap bakteri. Berguna untuk diagnosis awal, tetapi tidak dapat digunakan untuk memverifikasi eradikasi karena antibodi dapat bertahan di dalam darah hingga satu tahun setelah bakteri hilang.
2. Metode Invasif (Endoskopi):
Rapid Urease Test (RUT): Sampel biopsi diletakkan pada medium yang mengandung urea. Jika bakteri hadir, urease akan mengubah warna medium dengan cepat.
Histologi: Pemeriksaan jaringan biopsi di bawah mikroskop untuk melihat keberadaan bakteri dan tingkat peradangan (gastritis).
Kultur dan Tes Sensitivitas: Dilakukan jika terapi eradikasi standar gagal, untuk mengidentifikasi antibiotik mana yang masih sensitif terhadap strain bakteri tersebut.
B. Peran Pencitraan dan Angiografi
Pada kasus pendarahan yang sangat masif di mana endoskopi gagal menghentikan pendarahan, atau jika ulkus sulit ditemukan (misalnya, pendarahan di duodenum distal), intervensi radiologi mungkin diperlukan. Angiografi dilakukan untuk menemukan pembuluh darah yang berdarah dan menyuntikkan agen embolisasi (misalnya, koil, Gelfoam) untuk menutup pembuluh darah tersebut secara selektif. Ini adalah prosedur yang sangat invasif, tetapi seringkali menjadi penyelamat nyawa ketika endoskopi gagal.
XI. Pendekatan Bedah untuk Ulkus Komplikasi
Di era modern PPI dan terapi endoskopi, operasi untuk ulkus peptikum berdarah jarang dilakukan. Namun, ada situasi di mana intervensi bedah menjadi satu-satunya pilihan.
A. Indikasi Bedah Darurat
Pembedahan darurat (laparotomi) diindikasikan pada kondisi berikut:
Perforasi Ulkus: Ulkus telah menembus seluruh dinding lambung atau duodenum, menyebabkan peritonitis (infeksi rongga perut). Perforasi adalah keadaan darurat bedah mutlak.
Pendarahan yang Tidak Terkontrol: Pendarahan masif yang persisten meskipun telah dilakukan dua kali upaya hemostasis endoskopi dan resusitasi yang adekuat.
Obstruksi: Pembengkakan dan jaringan parut (scarring) di sekitar ulkus dapat menyumbat saluran pilorus (pintu keluar lambung), menghambat pengosongan lambung.
Syok Lanjutan: Pasien yang terus menerus tidak stabil (syok yang tidak membaik) meskipun telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar (misalnya, lebih dari 6 unit PRBCs dalam 24 jam).
B. Prosedur Bedah
Prosedur bedah bervariasi tergantung lokasi dan komplikasi:
Penjahitan Ulkus (Underrunning): Prosedur utama untuk pendarahan, di mana pembuluh darah yang berdarah dijahit dari dalam lambung.
Piloroplasti atau Vagotomi: Prosedur yang dahulu umum. Vagotomi (memotong saraf vagus) dilakukan untuk mengurangi sinyal stimulasi asam. Piloroplasti dilakukan untuk melebarkan pilorus yang menyempit akibat jaringan parut.
Gastrektomi: Pengangkatan sebagian lambung, biasanya hanya dilakukan pada kasus ulkus ganas (kanker) atau ulkus jinak yang sangat sulit diatasi.
XII. Mitos dan Kesalahpahaman Umum tentang Maag
Banyak pasien masih memegang keyakinan yang salah mengenai maag, yang dapat menghambat pengobatan yang tepat:
Mitos Stres Emosional: Stres emosional sendirian tidak menyebabkan ulkus. Ulkus terutama disebabkan oleh H. pylori atau OAINS. Namun, stres dapat memperburuk gejala GERD dan maag fungsional.
Mitos Susu: Susu sering dianggap dapat melapisi lambung. Meskipun susu memberikan bantuan sesaat karena netralisasi awal, kalsium dan protein dalam susu justru dapat merangsang sekresi asam yang lebih tinggi (acid rebound) setelah beberapa saat, sehingga tidak disarankan sebagai pengobatan ulkus.
Mitos Makanan Pedas: Makanan pedas tidak menyebabkan ulkus, tetapi dapat mengiritasi ulkus yang sudah ada atau memperburuk gejala GERD pada pasien yang sensitif.
Mitos Obat Bebas PPI: Menggunakan PPI dosis rendah secara bebas (over the counter) tanpa konsultasi dokter untuk waktu yang lama dapat menutupi gejala penyakit serius, menunda diagnosis kanker atau pendarahan tersembunyi.
Pendidikan pasien mengenai penyebab sebenarnya dan cara kerja obat sangat penting untuk memastikan keberhasilan pengobatan dan kepatuhan jangka panjang, terutama dalam kasus yang melibatkan eradikasi bakteri atau penggunaan PPI dosis tinggi setelah pendarahan.
Secara keseluruhan, pemahaman yang menyeluruh tentang spektrum penyakit maag, mulai dari dispepsia ringan hingga darurat muntah darah, memungkinkan penanganan yang cepat, tepat, dan komprehensif, meminimalkan risiko morbiditas dan mortalitas yang signifikan terkait dengan pendarahan saluran cerna atas.