Konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), merupakan fondasi hukum tertinggi bangsa. Seiring perjalanan waktu dan kebutuhan untuk menyesuaikan tata kelola negara dengan prinsip demokrasi modern, UUD 1945 mengalami perubahan signifikan melalui empat tahap amandemen dari tahun 1999 hingga 2002. Salah satu pasal yang mengalami transformasi substansial dalam konteks ketatanegaraan adalah Pasal 6.
Sebelum amandemen, rumusan Pasal 6 UUD 1945 hanya terdiri dari satu ayat yang sangat singkat. Ayat tersebut menetapkan bagaimana cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan. Pasal 6 yang asli berbunyi:
Ketentuan ini mencerminkan sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-kemerdekaan yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang berdaulat penuh. Presiden dan Wakil Presiden saat itu dianggap sebagai mandataris MPR. Pemilihan dilakukan secara tidak langsung oleh anggota MPR dalam sidang MPR. Meskipun praktiknya pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara, dasar hukum utamanya adalah mandat dari MPR, bukan mandat langsung dari rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat belum sepenuhnya terwujud dalam mekanisme pemilihan pemimpin eksekutif tertinggi.
Amandemen UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan tata kelola negara, memperkuat sistem check and balances, dan mengedepankan kedaulatan rakyat. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara maksimal, peran MPR sebagai lembaga yang memilih presiden harus direformasi. Oleh karena itu, Pasal 6 diubah secara drastis pada amandemen pertama tahun 1999.
Pasal 6 yang telah diamandemen kini terdiri dari tiga ayat, yang secara fundamental mengubah mekanisme pemilihan kepala negara:
Perubahan dari pemilihan tidak langsung oleh MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat merupakan lompatan demokrasi yang sangat besar. Perubahan ini menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pemilihan langsung oleh rakyat memastikan akuntabilitas pemimpin eksekutif lebih kuat karena mereka bertanggung jawab langsung kepada pemilih, bukan kepada lembaga perwakilan yang memilih mereka.
Perbedaan antara Pasal 6 sebelum dan sesudah amandemen terletak pada **sumber legitimasi kekuasaan eksekutif**. Sebelum amandemen, legitimasi berasal dari MPR sebagai representasi tertinggi kedaulatan rakyat. Setelah amandemen, legitimasi diperoleh langsung dari rakyat melalui proses pemilihan umum (Pemilu).
Amandemen ini juga membawa implikasi besar terhadap struktur kekuasaan. Kedudukan MPR bergeser dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya (seperti Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung). Selain itu, adanya syarat pencalonan dari partai politik atau gabungan partai politik (sebagaimana diatur dalam ayat 3) menguatkan sistem presidensialisme berbasis partai yang berlaku di Indonesia saat ini.
Secara ringkas, transformasi Pasal 6 UUD 1945 merefleksikan evolusi sistem politik Indonesia dari model yang berorientasi pada lembaga perwakilan (MPR sebagai pusat kekuasaan) menuju sistem demokrasi elektoral yang menekankan partisipasi dan mandat langsung dari rakyat dalam memilih pemimpin nasional mereka.