Pendarahan Lambung: Krisis Gastrointestinal yang Memerlukan Penanganan Cepat
Pendarahan lambung adalah kondisi medis gawat darurat yang mengancam jiwa. Identifikasi gejala dan penanganan segera adalah kunci untuk prognosis yang baik.
I. Pengantar: Definisi dan Urgensi Klinis
Pendarahan lambung, atau perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), adalah kondisi di mana terjadi kehilangan darah dari lapisan mukosa lambung atau usus dua belas jari (duodenum). Meskipun saluran cerna bagian atas mencakup esofagus, lambung, dan duodenum, mayoritas kasus pendarahan yang signifikan berpusat pada lambung dan duodenum. Kondisi ini diklasifikasikan sebagai keadaan darurat medis karena kehilangan darah yang cepat dan masif dapat memicu syok hipovolemik, yang jika tidak ditangani segera, dapat berujung pada kegagalan organ dan kematian.
Pendarahan SCBA merupakan salah satu penyebab rawat inap tersering dalam bidang gastroenterologi. Tingkat keparahan pendarahan bervariasi, mulai dari pendarahan tersembunyi (occult) yang menyebabkan anemia kronis, hingga pendarahan akut yang membutuhkan transfusi darah segera. Pemahaman mendalam mengenai patofisiologi, etiologi, dan penanganan berjenjang menjadi landasan utama bagi petugas kesehatan dalam menyelamatkan nyawa pasien.
II. Anatomi Fungsional Lambung dan Mekanisme Pertahanan
Untuk memahami mengapa lambung rentan terhadap pendarahan, penting untuk meninjau kembali anatomi dan mekanisme pertahanannya. Lambung adalah organ muskular yang berfungsi sebagai reservoir makanan dan memulai proses pencernaan protein melalui sekresi asam klorida (HCl) dan pepsin. Lingkungan lambung secara inheren bersifat korosif (pH 1.5–3.5).
A. Suplai Darah Lambung
Lambung memiliki suplai darah yang sangat kaya, berasal dari cabang-cabang arteri seliaka. Vaskularisasi yang luas ini, terutama melalui arteri gastrika kiri dan kanan, serta arteri gastroepiploika, memastikan bahwa kerusakan kecil pada mukosa dapat dengan cepat berubah menjadi pendarahan masif jika pembuluh darah submukosa besar terlibat. Kepadatan jaringan vaskular inilah yang menjadikan luka atau ulkus di lambung sangat berbahaya.
B. Barier Mukosa Lambung
Lapisan pelindung lambung (barier mukosa) terdiri dari tiga elemen utama:
Lapisan Mukus dan Bikarbonat: Lapisan gel tebal yang menahan difusi asam kembali ke jaringan, sekaligus menjebak ion bikarbonat yang menetralisir asam di permukaan sel.
Integritas Sel Epitel: Sel-sel epitel diikat erat oleh kompleks persimpangan (tight junctions), mencegah asam menembus ke lamina propria. Sel-sel ini juga memiliki kemampuan regenerasi yang sangat cepat.
Aliran Darah Mukosa: Aliran darah yang adekuat sangat vital. Aliran darah membawa nutrisi dan oksigen serta membersihkan ion hidrogen yang mungkin telah berdifusi masuk, membantu menjaga pH jaringan tetap normal. Prostaglandin memainkan peran kunci dalam mempertahankan aliran darah mukosa ini.
Pendarahan terjadi ketika keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin, obat-obatan) dan faktor defensif (mukus, bikarbonat, aliran darah) terganggu secara signifikan.
III. Etiologi Pendarahan Lambung: Sumber dan Penyebab Utama
Penyebab pendarahan lambung sangat beragam, namun secara umum dapat diklasifikasikan menjadi penyebab ulseratif (erosi lapisan mukosa) dan non-ulseratif (kelainan vaskular atau trauma).
A. Penyakit Ulkus Peptikum (PUP)
Ini adalah penyebab pendarahan SCBA yang paling umum (sekitar 50–70% kasus). Ulkus adalah defek pada mukosa yang meluas hingga lapisan submukosa atau lebih dalam.
Infeksi Helicobacter pylori: Bakteri ini merusak lapisan mukus dan menyebabkan peradangan kronis, yang meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan asam, terutama di duodenum dan antrum lambung. Sekitar 80% ulkus duodenum dan 60% ulkus lambung terkait H. pylori.
Penggunaan Obat Anti-inflamasi Nonsteroid (OAINS/NSAIDs): OAINS seperti aspirin dan ibuprofen adalah penyebab utama kedua. OAINS menghambat siklooksigenase (COX-1), yang bertanggung jawab memproduksi prostaglandin pelindung mukosa. Penghambatan ini menyebabkan penurunan sekresi mukus dan bikarbonat serta penurunan aliran darah mukosa, membuat lambung mudah terluka oleh asam. Kerusakan seringkali bersifat difus dan multiple.
B. Lesi Mukosa Akut
Ini mencakup erosi superfisial dan gastritis hemoragik.
Gastritis Stres Akut: Terjadi pada pasien yang mengalami stres fisiologis berat (syok, trauma besar, luka bakar luas, sepsis, gagal napas). Iskemia mukosa (kurangnya oksigen) akibat redistribusi darah ke organ vital menyebabkan kegagalan barier mukosa dan pendarahan difus (lesi Cushing atau Curling).
Gastritis Erosif Akibat Kimia: Konsumsi alkohol, kokain, atau zat korosif lainnya dapat menyebabkan kerusakan langsung dan pendarahan pada mukosa lambung.
C. Pendarahan Akibat Hipertensi Portal (Varises)
Meskipun sering terjadi di esofagus, varises lambung juga merupakan penyebab pendarahan SCBA yang sangat fatal. Varises terjadi ketika tekanan vena porta meningkat (hipertensi portal), biasanya akibat sirosis hati, menyebabkan pembuluh darah di submukosa lambung melebar dan menjadi rapuh. Pendarahan dari varises seringkali bersifat menyembur dan masif.
D. Sindrom Mallory-Weiss
Sindrom ini melibatkan robekan longitudinal pada mukosa dan submukosa di persimpangan esofagus dan lambung (esofagogastrik junction). Robekan ini biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan intra-abdominal yang mendadak dan kuat, seringkali setelah muntah hebat, batuk parah, atau cegukan. Meskipun awalnya sering berhenti secara spontan, robekan yang melibatkan pembuluh darah besar memerlukan intervensi endoskopi.
E. Penyebab Langka Lainnya
Lesi Dieulafoy: Kelainan vaskular yang jarang namun berbahaya, di mana arteri submukosa abnormal yang besar menonjol ke lumen lambung. Pendarahan seringkali tiba-tiba dan sangat deras.
Angiodisplasia: Malformasi vaskular yang biasanya terlihat pada pasien lanjut usia atau mereka dengan penyakit ginjal kronis.
Kanker Lambung (Karsinoma): Tumor ganas dapat menyebabkan pendarahan kronis melalui ulserasi tumor, atau pendarahan akut jika tumor mengerosi pembuluh darah besar.
Gastropati Hipertensi Portal (PHG): Berbeda dari varises, PHG adalah perubahan mukosa lambung (memerah, pola mozaik) akibat hipertensi portal yang menyebabkan pendarahan berupa oozing (merembes) kronis atau pendarahan lambat.
IV. Manifestasi Klinis dan Gejala Pendarahan Lambung
Gejala pendarahan lambung sangat bergantung pada volume dan kecepatan kehilangan darah. Pendarahan SCBA dapat diklasifikasikan menjadi pendarahan akut (terlihat) dan pendarahan kronis (tersembunyi).
A. Gejala Akut (Pendarahan Terlihat)
Pasien biasanya mencari pertolongan medis segera karena gejala berikut:
Hematemesis: Muntah darah.
Darah Merah Cerah: Menunjukkan pendarahan yang sangat cepat dan baru, seringkali berasal dari esofagus atau fundus lambung.
Darah "Coffee Ground": Muntahan yang tampak seperti bubuk kopi. Ini adalah darah yang telah berkontak dengan asam lambung dan dicerna sebagian. Ini menunjukkan bahwa pendarahan mungkin telah berhenti atau lajunya lambat.
Melena: Feses berwarna hitam, lengket, dan berbau sangat busuk (tarry stool). Melena terjadi ketika darah telah tinggal cukup lama di saluran cerna dan dicerna oleh bakteri dan enzim, yang mengubah hemoglobin menjadi hematin. Melena biasanya menunjukkan bahwa sumber pendarahan ada di saluran cerna bagian atas (di atas Ligamen Treitz). Diperlukan minimal 50-100 mL darah untuk menghasilkan melena.
Hematokezia: Pendarahan rektal berupa darah merah segar. Meskipun ini biasanya menandakan pendarahan saluran cerna bagian bawah (usus besar), pendarahan SCBA yang sangat masif dan cepat (misalnya, dari varises) dapat menyebabkan darah melewati usus dengan cepat tanpa sempat dicerna, menghasilkan hematokezia.
B. Gejala Hipovolemia dan Syok
Kehilangan darah yang signifikan menyebabkan gejala sistemik yang menandakan syok hipovolemik, suatu kondisi yang mengancam jiwa:
Pusing, lemah, dan lemas (kehilangan darah 10–15%).
Takikardia (detak jantung cepat) sebagai respons kompensasi.
Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah saat berdiri).
Kulit dingin, pucat, dan lembap.
Penurunan kesadaran (pada kehilangan darah >40%).
C. Gejala Kronis (Pendarahan Tersembunyi)
Pendarahan lambung yang sangat lambat (occult) mungkin tidak menunjukkan gejala akut, tetapi menyebabkan anemia defisiensi besi seiring waktu. Gejalanya meliputi kelelahan kronis, sesak napas saat beraktivitas, pucat pada konjungtiva dan kuku, serta gejala khas anemia.
Ilustrasi skematis pendarahan lambung. Pendarahan terjadi ketika ulkus (defek) mengikis lapisan mukosa dan submukosa, mencapai pembuluh darah di bawahnya.
V. Diagnosis: Identifikasi Sumber dan Keparahan
Diagnosis pendarahan lambung melibatkan penilaian cepat terhadap stabilitas pasien, identifikasi laju kehilangan darah, dan lokalisasi sumber pendarahan. Proses diagnostik dimulai segera setelah pasien tiba di fasilitas gawat darurat.
A. Penilaian Klinis Awal
Anamnesis: Riwayat penggunaan OAINS (termasuk aspirin dosis rendah), riwayat infeksi H. pylori, riwayat ulkus peptikum, riwayat penyakit hati kronis (sirosis), dan kebiasaan konsumsi alkohol. Riwayat muntah sebelum pendarahan mengarah ke Mallory-Weiss.
Pemeriksaan Fisik: Penilaian status hemodinamik (tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan). Pemeriksaan abdomen mencari tanda-tanda nyeri tekan, hepatomegali (pembesaran hati yang mengindikasikan sirosis), atau asites. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya melena atau hematokezia.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berfungsi untuk menilai dampak kehilangan darah dan mengidentifikasi faktor risiko koagulasi:
Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht): Penurunan akut mungkin tidak terlihat segera (karena darah yang hilang adalah darah utuh), tetapi penurunan yang stabil setelah resusitasi cairan menunjukkan kehilangan darah yang masif.
Ureum dan Kreatinin: Peningkatan rasio ureum terhadap kreatinin (BUN/Cr) sering terjadi pada pendarahan SCBA karena darah yang dicerna menghasilkan protein yang diserap kembali oleh usus (peningkatan BUN) dan karena adanya hipovolemia (dehidrasi).
Profil Koagulasi (PT/aPTT/INR): Penting, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati atau yang mengonsumsi antikoagulan, untuk menilai kemampuan pembekuan darah.
Golongan Darah dan Uji Silang: Wajib untuk persiapan transfusi darah.
C. Stratifikasi Risiko
Sistem skoring risiko digunakan untuk memprediksi prognosis, kebutuhan transfusi, dan kemungkinan pendarahan ulang. Dua skor yang umum digunakan adalah:
Glasgow-Blatchford Score (GBS): Digunakan sebelum endoskopi, berbasis pada parameter klinis (tekanan darah, nadi) dan laboratorium (Hb, BUN). Skor tinggi menunjukkan risiko tinggi dan kebutuhan intervensi segera.
Rockall Score: Digunakan setelah endoskopi, menggabungkan data klinis dan endoskopi (stigmata pendarahan) untuk memprediksi mortalitas dan pendarahan ulang.
D. Endoskopi Gastrointestinal Atas (EGD) – Baku Emas
Endoskopi adalah prosedur diagnostik dan terapeutik utama. EGD harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah resusitasi pasien, dan segera (dalam 12 jam) untuk pasien yang sangat berisiko tinggi (skor GBS tinggi atau pasien tidak stabil).
Tujuan Endoskopi:
Melokalisasi sumber pendarahan (lambung, duodenum, esofagus).
Forrest Ia (Pendarahan Aktif Menyembur): Risiko pendarahan ulang >90%.
Forrest Ib (Pendarahan Aktif Merembes): Risiko tinggi.
Forrest IIa (Pembuluh Darah Terlihat Jelas/Non-Bleeding Visible Vessel): Risiko tinggi, tetapi tidak berdarah saat pemeriksaan.
Forrest IIb (Gumpalan Darah Menempel/Adherent Clot): Klot yang menempel memiliki risiko sedang hingga tinggi dan sering dihilangkan untuk melihat lesi di bawahnya.
Forrest IIc (Pigmen Hitam Datar/Flat Spot): Risiko rendah.
Forrest III (Ulkus dengan Dasar Bersih): Risiko pendarahan ulang sangat rendah.
E. Prosedur Diagnostik Tambahan
Jika EGD tidak berhasil mengidentifikasi sumber pendarahan atau jika pendarahan terus berlanjut (perdarahan masif yang menutupi pandangan):
Angiografi: Digunakan untuk mendiagnosis pendarahan yang sangat cepat (>0.5 mL/menit). Pewarna disuntikkan ke arteri seliaka atau mesenterika superior untuk melihat kebocoran. Prosedur ini juga bisa menjadi terapi (embolisasi).
Endoskopi Kapsul/Enteroskopi: Digunakan jika sumber pendarahan dicurigai berada di usus kecil, di luar jangkauan EGD standar.
VI. Penanganan Gawat Darurat (Resusitasi dan Stabilisasi)
Penanganan pendarahan lambung harus mengikuti prinsip manajemen trauma, dengan fokus utama pada stabilisasi hemodinamik sebelum intervensi spesifik dilakukan.
A. Resusitasi Awal
Jalur Intravena (IV): Pasang dua jalur IV berdiameter besar (minimal 18 gauge) untuk administrasi cairan dan darah yang cepat.
Manajemen Cairan: Berikan cairan kristaloid (saline atau Ringer Laktat) secara cepat untuk mengembalikan volume intravaskular. Targetnya adalah menjaga tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
Transfusi Darah:
Target Transfusi: Pada sebagian besar pasien, target hemoglobin adalah mempertahankan Hb > 7 g/dL.
Transfusi Restriktif vs. Liberal: Pada pasien non-varises dan stabil, strategi transfusi restriktif (Hb > 7 g/dL) terbukti lebih baik daripada strategi liberal (Hb > 9 g/dL), karena transfusi berlebihan dapat meningkatkan risiko pendarahan ulang.
Kondisi Khusus: Pasien dengan penyakit jantung koroner atau pasien dengan varises aktif mungkin memerlukan target Hb yang lebih tinggi (> 8 g/dL).
Koreksi Koagulopati: Jika pasien menggunakan antikoagulan (seperti Warfarin), antagonis yang sesuai (Vitamin K, FFP, atau konsentrat protrombin kompleks) harus diberikan segera. Jika terdapat trombositopenia (<50.000/mm³), transfusi trombosit diperlukan, terutama jika pendarahan aktif.
B. Penggunaan Obat Vasoaktif (Untuk Pendarahan Varises)
Jika dicurigai atau terkonfirmasi pendarahan berasal dari varises esofagus atau lambung (akibat sirosis/hipertensi portal), obat vasoaktif harus dimulai segera (bahkan sebelum endoskopi) untuk mengurangi tekanan vena porta.
Oktreotid (Somatostatin Analog): Mengurangi aliran darah splanknik dan tekanan porta, sehingga mengurangi pendarahan varises.
Terlipressin: Vasokonstriktor splanknik yang efektif, sering digunakan di luar Amerika Utara.
VII. Terapi Medis dan Endoskopik Spesifik
Setelah stabilisasi, fokus bergeser ke penghentian pendarahan dan pencegahan pendarahan ulang. Terapi endoskopi adalah lini pertahanan pertama yang efektif untuk sebagian besar kasus pendarahan SCBA non-varises.
A. Terapi Farmakologi Non-Varises
Inhibitor Pompa Proton (IPP) adalah tulang punggung terapi farmakologi untuk ulkus peptikum berdarah. IPP (seperti omeprazole atau pantoprazole) berfungsi mengurangi sekresi asam lambung secara drastis, meningkatkan pH lambung di atas 6,0. Pada pH ini, pembekuan darah menjadi lebih stabil dan klot yang sudah terbentuk tidak mudah larut oleh asam atau pepsin.
Dosis: Dosis tinggi IPP intravena (bolus diikuti infus kontinu) diberikan sebelum endoskopi dan dilanjutkan setelah prosedur untuk menstabilkan hemostasis yang dicapai secara endoskopi.
B. Teknik Hemostasis Endoskopi
Pilihan teknik endoskopi bergantung pada stigmata pendarahan yang ditemukan:
Terapi Injeksi: Menyuntikkan larutan vasokonstriktor (biasanya epinefrin encer 1:10.000) ke dasar ulkus dan sekitar pembuluh darah. Epinefrin menyebabkan vasokonstriksi lokal dan kompresi mekanis, menghentikan pendarahan. Ini sering digunakan sebagai terapi awal atau kombinasi.
Terapi Termal (Koagulasi): Menggunakan energi panas untuk membakar dan menutup pembuluh darah yang berdarah.
Probe Kontak: Biopolar/Monopolar electrocautery atau heater probe yang diaplikasikan langsung pada sumber pendarahan.
Non-Kontak: Argon Plasma Coagulation (APC), menggunakan gas argon yang diionisasi untuk mengalirkan arus listrik dan mengkoagulasi jaringan, ideal untuk lesi yang lebar atau sulit dijangkau.
Terapi Mekanis:
Endoscopic Clipping: Klip logam kecil diletakkan melintasi atau di sekitar pembuluh darah yang berdarah, menutup kebocoran secara mekanis. Ini sangat efektif untuk pembuluh darah yang terlihat jelas (Forrest IIa).
Band Ligation: Terutama digunakan untuk varises esofagus, tetapi modifikasi (Endoscopic Variceal Ligation/EVL) dapat digunakan pada varises lambung tertentu.
Untuk ulkus dengan risiko tinggi (Forrest Ia, Ib, IIa, IIb), kombinasi terapi, seperti injeksi epinefrin diikuti kliping atau koagulasi termal, seringkali lebih efektif daripada monoterapi.
C. Penanganan Varises Lambung
Pendarahan varises memerlukan pendekatan yang berbeda karena masalah utamanya adalah hipertensi porta, bukan hanya ulserasi mukosa.
Ligasi Pita Endoskopik (EVL): Standar utama untuk varises esofagus, tetapi kurang efektif untuk varises lambung.
Suntikan Sianoakrilat (Glue Therapy): Lem khusus disuntikkan langsung ke varises lambung untuk menutupnya secara permanen. Ini adalah metode pilihan untuk pendarahan varises lambung (terutama tipe GOV-2 atau IGV-1).
Balon Tamponade: Jika pendarahan varises tidak dapat dihentikan secara endoskopi, tabung Sengstaken-Blakemore atau Linton-Nachlas dapat digunakan untuk menekan varises secara mekanis. Ini adalah solusi jembatan sementara sebelum prosedur yang lebih definitif (TIPS).
TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt): Prosedur radiologi intervensi yang membuat shunt (jalur pintas) di dalam hati untuk mengurangi tekanan vena porta. Ini dilakukan jika terapi endoskopi gagal atau pendarahan berulang.
VIII. Penanganan Gagal dan Intervensi Lanjutan
Kegagalan endoskopi didefinisikan sebagai pendarahan yang terus berlanjut meskipun sudah dilakukan dua kali upaya endoskopi maksimal, atau jika terjadi pendarahan ulang yang signifikan setelah hemostasis awal.
A. Radiologi Intervensi (Angiografi dan Embolisasi)
Embolisasi arteri sering menjadi langkah berikutnya setelah kegagalan endoskopi, terutama pada pasien yang terlalu tidak stabil untuk menjalani operasi besar atau jika sumber pendarahan teridentifikasi dengan jelas melalui angiografi (misalnya, Lesi Dieulafoy atau pendarahan ulkus yang dalam). Embolisasi dilakukan dengan memasukkan partikel kecil, koil, atau lem ke dalam arteri yang berdarah untuk menutupnya.
B. Terapi Bedah
Operasi adalah pilihan terakhir dan biasanya hanya dipertimbangkan dalam situasi berikut:
Kegagalan total terapi endoskopi dan radiologi intervensi.
Instabilitas hemodinamik yang tidak dapat diperbaiki.
Adanya komplikasi ulkus seperti perforasi (lambung bocor).
Prosedur bedah non-varises melibatkan:
Gastrotomi dan Oversewing: Membuka lambung dan menjahit pembuluh darah yang berdarah (ligation).
Vagotomi dan Piloroplasti: Dilakukan pada ulkus duodenum yang berdarah untuk mengurangi sekresi asam.
Gastrectomy parsial: Pengangkatan sebagian lambung, sering dilakukan pada ulkus yang besar, ganas, atau sulit dijangkau.
Pada pendarahan varises yang gagal dengan TIPS, operasi jembatan shunt (misalnya, shunt splenorenal distal) mungkin diperlukan, meskipun hal ini jarang dilakukan saat ini.
IX. Manajemen Jangka Panjang dan Pencegahan Pendarahan Ulang
Setelah pendarahan akut teratasi, fokus beralih ke pencegahan pendarahan berulang (sekunder), yang memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada episode pertama.
A. Eradikasi Helicobacter pylori
Jika tes menunjukkan keberadaan H. pylori, regimen triple atau quadruple terapi (kombinasi IPP dan dua atau tiga antibiotik) harus diberikan untuk memberantas bakteri tersebut. Eradikasi H. pylori mengurangi risiko pendarahan ulkus berulang secara dramatis.
B. Manajemen OAINS
Ini adalah aspek kritis dalam pencegahan. Bagi pasien yang berdarah akibat OAINS:
Jika OAINS dapat dihentikan: Hentikan penggunaan dan berikan terapi IPP selama 8–12 minggu.
Jika OAINS harus dilanjutkan (misalnya, aspirin dosis rendah untuk pencegahan kardiovaskular): Aspirin harus diberikan bersama IPP jangka panjang dosis penuh untuk melindungi mukosa. Jika diperlukan OAINS non-aspirin, beralih ke OAINS selektif COX-2 (Coxib) dikombinasikan dengan IPP adalah pilihan yang lebih aman, meskipun risikonya tidak nol.
C. Manajemen Antiplatelet/Antikoagulan
Pasien seringkali memerlukan agen ini karena kondisi jantung atau stroke. Penundaan melanjutkan pengobatan ini setelah pendarahan adalah keputusan berisiko tinggi yang harus diseimbangkan antara risiko trombotik (stroke/infark) dan risiko pendarahan ulang.
Waktu Reintroduksi: Agen antiplatelet (terutama aspirin) biasanya harus dilanjutkan 5–7 hari setelah pendarahan berhenti, selalu disertai dengan IPP dosis tinggi. Keputusan ini harus dikoordinasikan dengan ahli kardiologi.
D. Pencegahan Pendarahan Varises
Setelah pendarahan varises diatasi, pasien memerlukan profilaksis sekunder yang terdiri dari:
Obat Beta-blocker Non-selektif (Propranolol/Nadolol): Untuk mengurangi tekanan portal.
Ligasi Varises Berulang: Sesi ligasi endoskopi berkala hingga varises dihilangkan atau tidak terlihat lagi.
Manajemen Penyakit Hati: Penanganan sirosis yang mendasari.
X. Komplikasi Jangka Panjang Pendarahan Lambung
Meskipun pendarahan dapat dihentikan, komplikasi jangka panjang dapat terjadi, terutama pada kasus yang parah atau berulang.
A. Anemia Kronis
Pendarahan lambung yang lambat dan terus-menerus seringkali tidak dikenali secara klinis sampai pasien mengalami anemia berat. Anemia kronis menyebabkan kelelahan, penurunan kualitas hidup, dan potensi dampak buruk pada fungsi kognitif dan kardiovaskular.
B. Kerusakan Ginjal Akut
Syok hipovolemik yang berkepanjangan akibat pendarahan masif dapat menyebabkan iskemia ginjal, mengakibatkan nekrosis tubulus akut dan gagal ginjal. Pengembalian volume cairan yang cepat adalah kunci untuk mencegah komplikasi ini.
C. Komplikasi Terkait Transfusi
Transfusi darah masif membawa risiko terkait transfusi, termasuk reaksi alergi, cedera paru terkait transfusi (TRALI), dan kelebihan cairan sirkulasi (TACO).
D. Komplikasi Terkait Endoskopi
Meskipun jarang, prosedur endoskopi terapeutik dapat menyebabkan perforasi (robekan pada dinding lambung) atau aspirasi (masuknya isi lambung ke paru-paru) yang memerlukan intervensi bedah.
XI. Pendalaman Etiologi: Peran Prostaglandin dan OAINS
Mengingat dominasi OAINS sebagai penyebab ulkus berdarah, penting untuk memahami mekanisme molekuler di balik kerusakan ini. OAINS bekerja dengan menghambat enzim Siklooksigenase (COX). Terdapat dua isoform utama:
COX-1 (Konstitutif): Selalu aktif dan menghasilkan prostaglandin yang memiliki fungsi protektif. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah kunci dalam memelihara barier mukosa: ia merangsang sekresi mukus dan bikarbonat, serta menjaga aliran darah mukosa.
COX-2 (Inducible): Diproduksi sebagai respons terhadap peradangan dan menghasilkan prostaglandin yang memediasi rasa sakit dan demam.
OAINS non-selektif menghambat COX-1 dan COX-2. Penghambatan COX-1 secara sistemik menyebabkan lambung kehilangan pertahanan esensialnya. Selain itu, OAINS memiliki efek topikal langsung, merusak sel epitel permukaan setelah melewati lapisan mukus. Kombinasi OAINS dengan aspirin atau penggunaan dosis tinggi, terutama pada pasien lanjut usia atau dengan riwayat ulkus, meningkatkan risiko pendarahan hingga 20 kali lipat dibandingkan populasi umum.
XII. Pendekatan Diagnosis Diferensial Pendarahan SCBA
Meskipun artikel ini berfokus pada pendarahan lambung, dalam konteks klinis, diagnosis diferensial SCBA mencakup esofagus dan duodenum. Dokter harus secara cepat membedakan sumber pendarahan untuk menentukan terapi yang tepat.
A. Pendarahan Esofagus
Varises Esofagus: Seringkali disertai riwayat penyakit hati. Pendarahan sangat masif, membutuhkan ligasi dan obat vasoaktif.
Esofagitis Berat: Peradangan hebat pada esofagus, sering pada pasien refluks gastroesofageal (GERD) atau imunosupresi. Pendarahan umumnya merembes.
Sindrom Boerhaave: Ruptur esofagus trans-mural. Ini adalah kondisi sangat langka yang sering didahului muntah hebat, menyebabkan nyeri dada dan syok, dan memerlukan operasi segera.
B. Pendarahan Duodenum
Ulkus Duodenum: Lebih sering daripada ulkus lambung dan sangat erat kaitannya dengan infeksi H. pylori. Ulkus di bagian posterior duodenum (D1) sangat berbahaya karena dekat dengan arteri gastroduodenal, dan erosi pada pembuluh ini dapat menyebabkan pendarahan yang sangat cepat dan masif.
Duodenitis: Peradangan mukosa duodenum.
XIII. Pertimbangan Khusus: Pendarahan pada Populasi Geriatri
Pasien lansia memiliki risiko yang jauh lebih tinggi terhadap pendarahan lambung dan prognosis yang lebih buruk karena beberapa faktor:
Penggunaan Obat Ganda (Polifarmasi): Mereka sering mengonsumsi OAINS, aspirin, dan antikoagulan secara bersamaan.
Komorbiditas: Memiliki komplikasi kesehatan yang mendasari (jantung, ginjal, paru-paru) yang membuat mereka kurang mampu mentoleransi syok dan anemia.
Presentasi Atipikal: Gejala pendarahan mungkin tersembunyi; mereka mungkin hanya mengeluh pusing atau kelemahan, bukan hematemesis eksplisit.
Penanganan pada lansia memerlukan ambang batas yang lebih rendah untuk transfusi (misalnya, menjaga Hb di atas 8 g/dL) dan kewaspadaan tinggi terhadap interaksi obat dan status hidrasi.
XIV. Peran Nutrisi dan Dukungan Selama Pemulihan
Setelah hemostasis tercapai, dukungan nutrisi menjadi penting. Pasien yang mengalami pendarahan hebat seringkali berpuasa lama sebelum dan setelah endoskopi. Pemberian nutrisi harus dimulai perlahan, biasanya diawali dengan diet cair, kemudian lunak, dan kembali ke diet padat secara bertahap dalam 24-48 jam setelah pendarahan berhenti.
Diet Pasca Pendarahan: Harus menghindari makanan yang sangat pedas, asam, atau yang dapat mengiritasi mukosa. Hindari kafein, tembakau, dan alkohol, karena ketiganya diketahui meningkatkan sekresi asam lambung dan dapat menghambat penyembuhan ulkus.
Suplemen Zat Besi: Hampir semua pasien yang mengalami pendarahan signifikan akan memerlukan suplemen zat besi oral (atau IV pada kasus malabsorpsi) untuk mengatasi defisit zat besi akibat kehilangan darah.
XV. Tren Terkini dalam Manajemen Pendarahan SCBA
Bidang gastroenterologi terus mengembangkan teknik baru untuk meningkatkan efikasi hemostasis.
A. Bubuk Hemostatik Topikal (Hemostatic Powder)
Untuk pendarahan difus atau sumber pendarahan yang sangat sulit dijangkau oleh klip atau probe, bubuk hemostatik (misalnya, Hemospray) dapat disemprotkan secara endoskopi. Bubuk ini menyerap air, mengkonsentrasikan faktor pembekuan, dan membentuk lapisan mekanis di atas lokasi pendarahan. Ini sangat berguna sebagai terapi penyelamatan atau pada pasien dengan risiko tinggi operasi.
B. Over-the-Scope Clips (OTSC)
Ini adalah klip yang jauh lebih besar dan lebih kuat daripada klip endoskopi standar. Klip OTSC ditempatkan melalui ujung endoskop dan mampu menjepit area jaringan yang luas, ideal untuk menutup lubang perforasi atau untuk menghentikan pendarahan ulkus yang sangat besar di mana klip standar gagal.
C. Integrasi Kecerdasan Buatan (AI)
Penelitian sedang berlangsung untuk menggunakan AI dalam menganalisis citra endoskopi untuk secara otomatis mendeteksi dan mengklasifikasikan stigmata pendarahan (misalnya, menentukan klasifikasi Forrest), yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis dan membantu operator endoskopi yang kurang berpengalaman dalam mengambil keputusan terapeutik secara real-time.
XVI. Kesimpulan
Pendarahan lambung adalah tantangan klinis yang kompleks yang menuntut respons terpadu. Kesuksesan manajemen bergantung pada resusitasi yang cepat dan agresif untuk menstabilkan hemodinamik, diikuti oleh endoskopi segera yang dapat mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menghentikan sumber pendarahan. Penggunaan IPP dosis tinggi merupakan standar perawatan. Selain itu, manajemen jangka panjang yang fokus pada pemberantasan H. pylori dan penyesuaian penggunaan OAINS atau antikoagulan adalah esensial untuk mencegah episode pendarahan ulang yang seringkali lebih fatal. Dengan perkembangan teknologi endoskopi dan radiologi intervensi, harapan hidup bagi pasien dengan pendarahan lambung akut terus meningkat, menekankan pentingnya akses cepat ke fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan kemampuan diagnostik dan terapeutik yang memadai.
Memahami bahwa hampir separuh dari seluruh kasus pendarahan SCBA dapat dicegah melalui edukasi pasien tentang risiko OAINS dan skrining serta pengobatan H. pylori, pencegahan primer tetap merupakan pilar kesehatan masyarakat yang paling efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan krisis gastrointestinal ini.