Antropologi Hukum merupakan jembatan intelektual yang menghubungkan dua bidang studi fundamental yang sering kali dianggap terpisah: hukum, sebagai sistem formal normatif dan kontrol sosial, dan antropologi, sebagai ilmu yang mempelajari manusia dalam totalitas budayanya. Disiplin ini tidak hanya berfokus pada undang-undang tertulis yang berlaku di negara modern, tetapi justru menyelam jauh ke dalam cara-cara masyarakat mengatur tatanan, menyelesaikan konflik, dan menegakkan keadilan, terlepas dari apakah mereka memiliki institusi hukum formal seperti pengadilan atau kepolisian.
Studi mengenai Antropologi Hukum menggeser fokus dari preskripsi hukum (apa yang seharusnya) menuju deskripsi empiris (apa yang sebenarnya terjadi) dalam kehidupan sosial. Ia menantang pandangan legal sentris yang menganggap bahwa hukum hanya berasal dari negara dan berupaya memahami mekanisme regulasi sosial yang sangat beragam di seluruh dunia. Sejak kemunculannya sebagai sub-disiplin akademis, bidang ini telah mengalami evolusi radikal, berpindah dari studi awal tentang 'hukum primitif' menjadi analisis kompleks terhadap pluralisme hukum dalam masyarakat global, mencakup hukum adat, hukum agama, hingga hukum transnasional.
Untuk memahami sepenuhnya Antropologi Hukum, seseorang harus mengadopsi perspektif holistik yang melihat hukum bukan sekadar seperangkat aturan, melainkan sebagai produk budaya yang dinamis, terjalin erat dengan kekuasaan, ekonomi, agama, dan struktur kekerabatan. Tujuan utama dari kajian ini adalah mengungkap keragaman respon manusia terhadap kebutuhan dasar akan tatanan sosial, sekaligus mengkritisi asumsi universalistik yang sering kali menyertai sistem hukum Barat.
Secara etimologis, Antropologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara hukum dan manusia (anthropos) dalam konteks kebudayaan. Definisi operasional yang paling luas diterima adalah studi perbandingan tentang mekanisme pengendalian sosial, penyelesaian sengketa, dan pembuatan keputusan normatif di berbagai budaya, baik yang memiliki negara (state societies) maupun yang tidak (stateless societies).
Konflik awal dalam disiplin ini muncul dari perbedaan mendasar dalam cara mendefinisikan 'hukum'. Jurisprudensi klasik cenderung mendefinisikan hukum sebagai seperangkat norma yang dikeluarkan oleh otoritas berdaulat dan ditegakkan melalui sanksi yang terorganisir. Sementara itu, Antropologi, terutama ketika mempelajari masyarakat tanpa negara, harus memperluas definisi ini.
Antropolog melihat hukum dalam arti yang lebih luas, sering kali mencakup apa yang disebut 'kontrol sosial informal'. Bagi mereka, hukum adalah bagian integral dari struktur sosial—cara masyarakat mempertahankan keseimbangan. Dalam pandangan ini, gosip, cemoohan, atau pengucilan (ostracism) bisa berfungsi sebagai sanksi yang jauh lebih kuat daripada denda resmi. Para antropolog hukum seperti Sally Falk Moore dan Laura Nader telah menekankan bahwa fokus studi seharusnya bukan hanya pada 'aturan' tetapi pada 'proses' hukum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (law in action).
Di masa-masa awal, studi ini dipengaruhi oleh Evolusionisme abad kesembilan belas, yang sering melabeli sistem regulasi masyarakat non-Barat sebagai 'hukum primitif'. Tokoh seperti Henry Maine, melalui karyanya Ancient Law (diterbitkan pada pertengahan abad kesembilan belas), mengusulkan bahwa masyarakat berevolusi dari status yang didominasi oleh kekerabatan menuju status yang didominasi oleh kontrak. Pandangan ini, meskipun berpengaruh, kini dianggap etnosentris karena menempatkan sistem hukum Barat sebagai puncak evolusi.
Revolusi sejati terjadi dengan munculnya fungsionalisme yang dipelopori oleh Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski, melalui penelitiannya di Kepulauan Trobriand, menunjukkan bahwa bahkan dalam masyarakat yang tidak memiliki pengadilan formal, terdapat sistem kewajiban timbal balik (resiprositas) yang sangat kuat dan efektif dalam menjaga tatanan. Hukum, menurutnya, adalah sistem kewajiban yang didasarkan pada kepentingan bersama, bukan semata-mata pada paksaan otoritas pusat. Kontribusi mereka mengubah fokus dari pencarian institusi hukum 'setara' Barat menjadi analisis fungsi sistem regulasi dalam konteks budaya mereka sendiri.
Gambar 1: Antropologi Hukum melihat hukum sebagai sistem keseimbangan yang tertanam kuat dalam struktur sosial dan budaya masyarakat.
Sejarah Antropologi Hukum dapat dibagi menjadi beberapa fase penting yang mencerminkan perubahan metodologi dan orientasi teoretis, bergerak dari komparasi luas berdasarkan data sekunder menuju studi kasus mendalam melalui etnografi intensif.
Pada abad kesembilan belas, kajian hukum masyarakat non-Barat dilakukan oleh para sarjana hukum (jurisprudens) dan sosiolog evolusioner yang mengumpulkan data dari laporan penjelajah, misionaris, dan administrator kolonial. Tokoh kunci, seperti Lewis Henry Morgan, menganggap institusi hukum sebagai salah satu indikator kemajuan sosial, yang berevolusi dari komunitas yang didasarkan pada ikatan darah (gens) ke masyarakat berbasis teritorial dan properti. Pandangan ini cenderung bersifat teoretis deduktif dan sarat dengan bias eurosentrisme.
Fase ini dimulai sekitar tahun 1920-an hingga 1960-an, didominasi oleh tradisi Fungsionalisme Inggris dan Struktural Fungsionalisme. Fokus utamanya adalah bagaimana hukum menjaga ketertiban sosial (fungsi sosial) dalam konteks masyarakat non-negara.
Sejak tahun 1970-an, fokus beralih dari masyarakat non-negara yang terisolasi menuju dinamika hukum dalam masyarakat yang kompleks dan terglobalisasi. Laura Nader mengkritik kecenderungan antropologi klasik yang hanya mempelajari 'hukum yang diterapkan kepada' masyarakat terjajah, dan menyerukan studi 'hukum yang diterapkan oleh' masyarakat (misalnya, mempelajari litigasi di Amerika Serikat atau birokrasi hukum internasional). Isu utama fase ini adalah Pluralisme Hukum, Kesadaran Hukum (Legal Consciousness), dan Hukum Hak Asasi Manusia.
Perkembangan ini menandakan bahwa Antropologi Hukum modern tidak lagi terbatas pada masyarakat 'lain' tetapi juga kritis terhadap sistem hukum negara Barat itu sendiri, menganalisis bagaimana norma-norma berinteraksi, berkonflik, dan dinegosiasikan di berbagai tingkatan sosial.
Pemahaman mendalam tentang Antropologi Hukum memerlukan penelaahan atas konsep-konsep inti yang berfungsi sebagai lensa untuk menganalisis tatanan sosial di seluruh dunia.
Pluralisme Hukum adalah konsep sentral dan mungkin yang paling penting dalam antropologi hukum kontemporer. Ini merujuk pada situasi di mana lebih dari satu sistem hukum atau seperangkat norma regulasi hidup berdampingan dalam satu arena sosial. Konsep ini secara tegas menolak pandangan legal sentris (Legal Centralism) yang menganggap hukum negara adalah satu-satunya hukum yang sah dan dominan.
Pluralisme Hukum dapat dibagi menjadi:
Pluralisme hukum menjelaskan mengapa penduduk seringkali melakukan 'forum shopping'—memilih sistem penyelesaian sengketa (pengadilan negara, tetua adat, atau mediator agama) yang paling mungkin memberikan hasil yang menguntungkan bagi mereka.
Di Indonesia dan banyak negara bekas koloni, studi tentang hukum adat menjadi tulang punggung Antropologi Hukum. Hukum adat adalah seperangkat norma dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi, diterima sebagai mengikat, dan dipertahankan melalui sanksi sosial di tingkat lokal. Hukum adat memiliki karakteristik unik:
Antropolog hukum yang mempelajari adat harus menghadapi tantangan definisional, karena hukum adat seringkali dimobilisasi oleh aktor lokal untuk tujuan strategis, dan bukan sekadar seperangkat aturan statis.
Alih-alih berfokus hanya pada norma ideal, Antropologi Hukum menjadikan konflik dan sengketa sebagai unit analisis utama. Analisis prosesual yang diperkenalkan oleh Gluckman menekankan bahwa sengketa adalah kesempatan unik untuk melihat bagaimana aturan sosial dan norma kekuasaan bekerja dalam praktik. Sengketa tidak hanya diselesaikan, tetapi juga memproduksi dan mereproduksi tatanan sosial itu sendiri.
Konsep terkait meliputi:
Studi mendalam tentang sengketa memungkinkan antropolog untuk memetakan jaringan hubungan sosial dan memahami bagaimana status, kekerabatan, atau kekayaan memengaruhi hasil hukum.
Legal Consciousness, yang sangat dipengaruhi oleh penelitian E.P. Thompson dan Patricia Ewick, adalah cara masyarakat awam memahami, mengalami, dan merespons hukum formal maupun non-formal dalam kehidupan sehari-hari mereka. Konsep ini melihat hukum 'dari bawah ke atas'.
Studi Kesadaran Hukum membedakan tiga mode dasar masyarakat dalam berhubungan dengan hukum:
Kesadaran hukum membantu menjelaskan mengapa individu dalam situasi yang sama dapat memilih jalur penyelesaian sengketa yang berbeda atau bahkan memutuskan untuk tidak mencari penyelesaian sama sekali.
Antropologi Hukum adalah disiplin empiris yang sangat bergantung pada metode penelitian kualitatif khas antropologi, namun telah mengembangkan teknik spesifik untuk menganalisis interaksi hukum dan sosial.
Inti dari metodologi Antropologi Hukum adalah kerja lapangan intensif dan partisipasi observasi. Seorang antropolog harus hidup dalam komunitas yang diteliti untuk memahami norma-norma dari perspektif internal (perspektif emik). Hanya dengan cara ini, seorang peneliti dapat mengungkap hukum yang berlaku (law in action) dan membedakannya dari hukum yang diucapkan (law in the books).
Fokus kerja lapangan melibatkan pengamatan langsung terhadap proses hukum formal (misalnya, di pengadilan desa atau lembaga mediasi) maupun penyelesaian sengketa informal (seperti pertemuan keluarga atau negosiasi antarklan). Keberhasilan penelitian sangat bergantung pada kemampuan peneliti untuk membangun kepercayaan dan mengakses informasi sensitif mengenai konflik dan kekuasaan.
Dipopulerkan oleh Max Gluckman dan kemudian diperluas oleh Paul Bohannan dan Sally Falk Moore, metode kasus prosesual melibatkan analisis rinci dan kronologis dari satu sengketa atau serangkaian sengketa yang saling terkait. Metode ini tidak hanya mencatat aturan apa yang dilanggar, tetapi juga bagaimana sengketa itu muncul, siapa yang terlibat, peran mediator, aturan mana yang dikutip atau diabaikan, dan konsekuensi sosial jangka panjang dari penyelesaian tersebut.
Analisis kasus menyediakan kedalaman di mana peraturan formal diuji oleh realitas sosial. Kasus-kasus yang sulit (hard cases) seringkali menjadi sumber data paling berharga karena di sinilah norma-norma sosial berada di bawah tekanan dan batas-batas tatanan diungkap.
Antropologi Hukum modern menghindari pandangan sinkronis yang statis. Sebaliknya, pendekatan diakronik (melalui waktu) sangat penting, terutama dalam menganalisis sengketa tanah atau hak kekayaan intelektual adat. Analisis proses, yang dikembangkan oleh Sally Falk Moore, menekankan bahwa institusi hukum dan norma sosial terus-menerus berubah (disebut "undifferentiated fields of social and political process"). Hukum tidak hanya "ada," tetapi terus-menerus "dibuat" dan "dikonstruksi" melalui tindakan dan interaksi sehari-hari.
Gambar 2: Metodologi Antropologi Hukum berpusat pada etnografi mendalam dan observasi proses sengketa yang memadukan hukum formal dan norma budaya.
Pada awalnya, Antropologi Hukum didominasi oleh studi tentang masyarakat suku (tribal societies) dan hukum adat. Namun, ruang lingkup kajian telah berkembang secara dramatis untuk mencakup hampir semua aspek interaksi antara hukum dan budaya di dunia modern.
Antropologi Hukum kini secara kritis memeriksa bagaimana hukum negara diproduksi, diinterpretasikan, dan diimplementasikan. Kajian ini melibatkan penelitian etnografis di institusi-institusi formal seperti pengadilan, kantor polisi, penjara, dan lembaga legislatif. Fokusnya adalah pada 'budaya hukum' (legal culture) yang ada di antara para profesional hukum (hakim, jaksa, pengacara) dan bagaimana bias budaya, kelas, atau gender memengaruhi proses pengambilan keputusan mereka.
Sebagai contoh, penelitian mengenai pengadilan menunjukkan bahwa meskipun aturan formal bersifat universal, praktik pengadilan dalam hal penetapan hukuman atau mediasi seringkali dipengaruhi oleh norma-norma lokal dan harapan sosial di luar teks undang-undang. Studi tentang birokrasi hukum juga menunjukkan bagaimana kebijakan yang dirancang di pusat seringkali diubah, diabaikan, atau diinterpretasikan ulang oleh petugas tingkat bawah, menciptakan kesenjangan antara kebijakan resmi dan praktik aktual.
Salah satu kontribusi terbesar Antropologi Hukum adalah analisisnya terhadap konflik antara hukum negara dan hak-hak masyarakat adat, terutama terkait tanah dan sumber daya alam. Hukum negara sering menerapkan konsep kepemilikan individu (title deed), yang bertentangan dengan sistem kepemilikan komunal dalam hukum adat.
Antropolog hukum berperan penting dalam mendokumentasikan sistem tenurial adat dan memberikan bukti bahwa sistem tersebut adalah sistem hukum yang valid. Perdebatan mengenai hak penguasaan tanah ulayat, hak kekayaan intelektual komunal, dan hak otonomi telah menjadi medan pertempuran di mana temuan antropologis sering digunakan dalam proses litigasi dan advokasi kebijakan di tingkat nasional dan internasional.
Globalisasi telah menciptakan lapisan baru pluralisme hukum. Hukum tidak lagi hanya berasal dari negara, tetapi juga dari organisasi internasional (PBB, Bank Dunia), perjanjian dagang (WTO), dan korporasi multinasional. Antropologi Hukum Global meneliti:
Kajian ini menunjukkan bahwa hukum global seringkali dipahami dan diterapkan secara berbeda di lapangan, tergantung pada kekuasaan lokal, struktur politik, dan sejarah budaya.
Membandingkan sistem hukum adalah upaya yang melelahkan tetapi penting. Antropologi Hukum telah lama mengkritik model perbandingan yang menggunakan hukum Barat sebagai tolok ukur, dan berupaya mengembangkan kategori perbandingan yang lebih netral secara budaya.
Perbedaan mendasar antara masyarakat Barat dan masyarakat non-Barat sering terletak pada cara penegakan norma. Hukum Barat modern didominasi oleh sanksi retributif (hukuman yang berfokus pada balas dendam atau pembalasan) yang dijalankan oleh negara. Sebaliknya, banyak masyarakat tradisional menekankan kontrol sosial melalui sanksi difus atau sanksi komunal.
Sanksi Difus: Ini adalah sanksi yang tidak dilakukan oleh institusi resmi, tetapi oleh masyarakat secara keseluruhan—seperti gosip, penghinaan publik, atau pembatasan interaksi. Sanksi ini sangat efektif dalam masyarakat berjejaring erat (closed societies).
Hukum Restoratif (Restorative Justice): Banyak sistem adat (termasuk yang diterapkan oleh suku Navajo di Amerika atau masyarakat Batak di Indonesia) berfokus pada pemulihan keharmonisan hubungan yang rusak akibat pelanggaran. Tujuan utamanya bukan menghukum pelanggar, melainkan memperbaiki kerugian, mengintegrasikan kembali pelanggar, dan mengembalikan keseimbangan kosmis atau sosial.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa tujuan hukum sangat bervariasi. Bagi sebagian masyarakat, tujuan utama adalah kelangsungan hidup kelompok dan harmoni; bagi yang lain, tujuan utama adalah keadilan individual dan penegakan hak.
Dalam masyarakat tanpa negara (stateless societies), ketiadaan institusi sentral tidak berarti ketiadaan hukum; melainkan, hukum terintegrasi ke dalam sistem kekerabatan. Aturan mengenai pernikahan, warisan, dan kepemilikan tanah adalah hukum, meskipun tidak diundangkan oleh parlemen.
E. Adamson Hoebel, yang terkenal karena studinya tentang Cheyenne dan Eskimo, menyimpulkan bahwa hukum dalam masyarakat ini adalah "seperangkat aturan yang disahkan melalui penggunaan sanksi fisik yang legitim oleh individu yang memiliki hak dan tugas yang diakui secara sosial." Baginya, bahkan perkelahian atau duel yang dilembagakan pun dapat dianggap sebagai bagian dari proses hukum.
Warisan kolonial merupakan subjek penting dalam Antropologi Hukum. Kekuasaan kolonial sering menerapkan sistem hukum ganda: hukum Eropa untuk penjajah dan sebagian masyarakat lokal yang terasimilasi, dan hukum adat yang diubah (seringkali dilemahkan atau disalahartikan) untuk sisanya.
Pada era post-kolonial, banyak negara baru mewarisi ketegangan ini. Hukum negara berusaha menyatukan berbagai tradisi adat di bawah payung hukum nasional (unifikasi hukum), tetapi seringkali gagal karena tidak memahami kedalaman dan keragaman praktik adat. Hal ini memicu studi tentang bagaimana masyarakat lokal merespons, menolak, atau bahkan 'mengimpor' kembali tradisi hukum mereka sendiri yang telah ditekan selama masa kolonial.
Di abad ke-21, relevansi Antropologi Hukum semakin meningkat seiring dengan tantangan global baru, mulai dari krisis lingkungan hingga munculnya teknologi baru yang memerlukan regulasi sosial.
Antropologi Hukum memberikan wawasan kritis terhadap hukum lingkungan dengan menganalisis bagaimana norma-norma adat dan kearifan lokal berinteraksi—atau berkonflik—dengan regulasi konservasi yang diberlakukan oleh negara atau lembaga internasional. Misalnya, hak pengelolaan hutan adat seringkali jauh lebih efektif dalam melestarikan ekosistem daripada undang-undang negara yang berfokus pada eksploitasi komersial.
Kajian ini juga mencakup 'keadilan lingkungan' (environmental justice), meneliti bagaimana komunitas miskin atau minoritas seringkali menanggung beban terbesar dari kerusakan lingkungan, dan bagaimana mereka menggunakan atau menciptakan sistem hukum mereka sendiri untuk mencari kompensasi atau pengakuan.
Meskipun sistem hukum negara ada, jutaan orang di seluruh dunia tidak memiliki akses efektif terhadap keadilan karena hambatan ekonomi, geografis, bahasa, atau budaya. Antropologi Hukum terlibat dalam proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan pemberdayaan hukum (legal empowerment).
Antropolog bekerja dengan paralegal, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga bantuan hukum untuk memahami mengapa orang miskin enggan menggunakan pengadilan formal, bagaimana sistem pengadilan informal mereka beroperasi, dan bagaimana hukum dapat dibuat lebih relevan dan dapat diakses oleh populasi yang terpinggirkan. Hal ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kesadaran hukum lokal.
Studi mengenai gender dalam Antropologi Hukum menganalisis bagaimana sistem hukum—baik negara maupun adat—menciptakan, memperkuat, atau menantang hierarki gender. Hukum seringkali tidak netral gender; ia dapat memberikan hak yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan, terutama dalam hal warisan, perceraian, dan kepemilikan properti.
Etnografi hukum mengungkapkan bagaimana perempuan, meskipun secara formal dirugikan oleh sistem hukum tertentu, secara strategis menggunakan norma-norma informal, jaringan kekerabatan, atau bahkan versi tandingan dari hukum adat untuk mencapai keadilan. Bidang ini juga meluas ke studi tentang bagaimana hukum mengatur identitas seksual dan gender di berbagai konteks budaya.
Setelah melewati fase fungsionalis dan prosesual, Antropologi Hukum telah mengadopsi kerangka teori kritis yang lebih luas, seringkali dipengaruhi oleh teori post-strukturalisme dan post-kolonial.
Antropolog Hukum, terutama yang beraliran kritis, menolak pandangan positivis bahwa hukum adalah sistem yang otonom dan terpisah dari politik, ekonomi, atau budaya. Mereka berpendapat bahwa hukum selalu merupakan arena pertarungan kekuasaan. Hukum adalah politik yang dilembagakan.
Misalnya, sanksi yang dikenakan oleh suatu sistem hukum tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki kesalahan, tetapi juga untuk menegaskan kembali legitimasi elit yang berkuasa. Dengan mempelajari bagaimana norma-norma diterapkan secara diskriminatif terhadap kelompok minoritas atau miskin, antropolog menunjukkan peran hukum sebagai alat hegemoni dan kontrol, bukan hanya keadilan universal.
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian telah difokuskan pada hubungan antara hukum dan kekerasan. Hukum, meskipun didefinisikan sebagai alat untuk mengakhiri kekerasan, seringkali melegitimasi kekerasan itu sendiri (kekerasan negara yang sah). Antropologi Hukum menganalisis bagaimana negara menggunakan hukum darurat, penangkapan sewenang-wenang, atau penggunaan kekuatan militer yang dilegitimasi secara hukum, serta bagaimana masyarakat merespons kekerasan struktural yang terselubung dalam sistem ekonomi dan hukum formal.
Kajian tentang ‘Zona Luar Hukum’ (Zones of Exception) seperti penjara, kamp pengungsi, atau zona konflik, menunjukkan batas-batas di mana hukum negara gagal atau sengaja ditarik kembali, dan bagaimana norma-norma baru—seringkali norma kekerasan murni—muncul untuk mengisi kekosongan tersebut. Analisis ini menantang pemisahan antara tatanan (order) dan anarki.
Antropologi Hukum sangat penting dalam perumusan identitas kultural dan nasional. Hukum (konstitusi, undang-undang kewarganegaraan, undang-undang agama) seringkali mendefinisikan siapa yang termasuk dan siapa yang dikecualikan dari komunitas politik. Hukum adat itu sendiri seringkali menjadi penanda identitas yang paling kuat bagi suatu kelompok, terutama ketika mereka berhadapan dengan tekanan asimilasi dari negara yang dominan.
Proses litigasi hak adat bukan sekadar upaya mendapatkan tanah; ini adalah proses di mana identitas kolektif dibangun, direnegosiasi, dan diklaim di hadapan dunia luar. Oleh karena itu, hukum dilihat sebagai performa budaya, di mana nilai-nilai tertinggi masyarakat dipertontonkan dan diuji.
Antropologi Hukum menawarkan lensa yang tak tergantikan dalam memahami sifat kompleks tatanan sosial manusia. Dengan menjauhi prasangka legal sentris, disiplin ini telah berhasil menunjukkan bahwa hukum adalah fenomena budaya yang ada di mana pun manusia hidup berkelompok, meskipun bentuknya bervariasi dari ritual mediasi informal hingga kode tertulis yang rumit.
Kontribusi utamanya terletak pada penekanan pada pluralisme hukum—kesadaran bahwa hukum negara hanyalah salah satu dari banyak sistem normatif yang mengatur perilaku manusia. Pemahaman ini sangat vital bagi para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan aktivis yang bekerja di konteks multikultural. Hanya dengan memahami bagaimana masyarakat lokal benar-benar mengalami, menafsirkan, dan menggunakan hukum—seperti yang diungkap melalui metodologi etnografis yang mendalam—maka upaya reformasi hukum, penegakan HAM, atau perlindungan hak adat dapat dilakukan secara efektif dan adil.
Antropologi Hukum akan terus relevan seiring dengan meningkatnya interaksi global, migrasi, dan kompleksitas sistem regulasi. Bidang ini tetap menjadi garda depan dalam upaya memanusiakan hukum, mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, setiap sistem aturan harus dinilai berdasarkan bagaimana ia berfungsi dalam meningkatkan keadilan dan tatanan bagi manusia di seluruh dunia, sesuai dengan konteks budaya mereka yang unik.
Studi ini menegaskan bahwa untuk memahami hukum sepenuhnya, kita harus melihat melampaui teks undang-undang dan mengamati drama interaksi sosial, konflik, dan negosiasi kekuasaan yang membentuk realitas normatif di lapangan. Antropologi Hukum adalah ilmu tentang hukum yang hidup, dinamis, dan berakar kuat dalam kebudayaan manusia.