Penyakit asam lambung, atau dikenal secara klinis sebagai Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan naiknya isi lambung—termasuk asam lambung dan enzim pencernaan—ke kerongkongan (esofagus). Sensasi terbakar di dada, yang sering disebut heartburn, adalah gejala paling umum, namun dampaknya meluas hingga mengganggu kualitas hidup, tidur, bahkan merusak jaringan esofagus secara permanen.
Pada dasarnya, pertahanan utama tubuh terhadap refluks asam terletak pada katup otot yang disebut Sphincter Esofagus Bawah (LES). Kegagalan atau kelemahan fungsi LES adalah penyebab mekanis fundamental dari GERD.
LES bertindak seperti pintu satu arah, memungkinkan makanan turun ke lambung dan kemudian menutup rapat untuk mencegah refluks. Ketika LES melemah, ia tidak dapat mempertahankan penghalang tekanan yang diperlukan. Ada tiga mekanisme utama kelemahan LES yang menyebabkan penyakit asam lambung:
Ini adalah penyebab paling umum dari refluks pada sebagian besar pasien GERD. TLESR adalah pembukaan LES yang tidak dipicu oleh proses menelan. Relaksasi ini berlangsung singkat namun cukup lama untuk memungkinkan isi lambung, terutama gas dan cairan, naik ke esofagus. Frekuensi dan durasi TLESR meningkat secara signifikan pada individu yang menderita GERD kronis. Peningkatan tekanan intra-abdomen atau distensi lambung setelah makan besar sering memicu TLESR.
Pada beberapa pasien, tekanan istirahat LES secara keseluruhan lebih rendah dari normal. Tekanan yang berkurang ini bisa bersifat kronis atau disebabkan oleh kerusakan jaringan seiring waktu. Tekanan rendah memungkinkan asam untuk melewati katup dengan mudah, terutama saat pasien berbaring atau membungkuk. Kondisi ini sering dikaitkan dengan kerusakan saraf atau otot yang mengontrol fungsi LES.
LES dikelilingi oleh diafragma, yang memberikan dukungan eksternal. Jika jaringan penyambung di sekitar persimpangan esofagus dan diafragma melemah, struktur ini tidak dapat memberikan dukungan mekanis yang memadai, sehingga LES menjadi rentan terhadap kegagalan penutupan.
Gambar 1: Representasi visual Hernia Hiatus, di mana sebagian kecil lambung bergerak naik melalui lubang diafragma (hiatus) ke dalam rongga dada, mengganggu fungsi LES.
Hernia hiatus terjadi ketika bagian atas lambung mendorong ke atas melalui lubang kecil (hiatus) di diafragma, otot yang memisahkan perut dan dada. Kondisi ini secara fisik memisahkan LES dari tekanan penyokong yang disediakan oleh diafragma, menghilangkan mekanisme penutupan katup yang krusial. Ketika LES dan lambung berada di sisi yang berbeda dari diafragma, tekanan negatif di dada dapat dengan mudah menarik asam ke atas.
Terdapat beberapa jenis hernia hiatus, namun yang paling umum adalah hernia geser (sliding hiatal hernia), di mana persimpangan esofagus-lambung bergeser naik turun. Kondisi ini secara signifikan menyebabkan penyakit asam lambung, terutama refluks saat berbaring atau setelah makan besar.
Jika lambung tidak dapat mengosongkan isinya ke usus kecil dengan kecepatan normal, lambung akan tetap penuh lebih lama. Distensi lambung yang berkepanjangan meningkatkan tekanan dalam perut (intra-abdomen) dan secara fisik mendorong asam ke atas menuju LES. Kondisi seperti diabetes, yang dapat merusak saraf yang mengendalikan motilitas lambung, sering menyebabkan gastroparesis dan, sebagai akibatnya, memperburuk gejala GERD.
Selain faktor mekanis, sejumlah besar kasus GERD disebabkan oleh kebiasaan sehari-hari yang secara langsung atau tidak langsung melemahkan LES atau meningkatkan produksi asam.
Penyebab dietetik bukan hanya tentang jenis makanan, tetapi juga bagaimana, kapan, dan seberapa banyak kita makan. Aspek-aspek ini berperan besar dalam menciptakan lingkungan refluks.
Mengonsumsi makanan dalam porsi besar sekaligus menyebabkan distensi lambung yang ekstrem. Lambung yang sangat penuh meningkatkan tekanan di dalamnya, memaksa LES untuk relaksasi atau bahkan terdorong terbuka, menyebabkan refluks segera setelah makan.
Makan dengan tergesa-gesa menyebabkan tertelan udara (aerofagia), yang dapat meningkatkan tekanan gas di dalam lambung. Gas ini harus dilepaskan (sendawa), dan setiap episode sendawa memberikan kesempatan bagi asam untuk naik ke esofagus.
Gravitasi adalah sekutu terkuat dalam pencegahan refluks. Ketika seseorang berbaring segera setelah makan (dalam waktu 2-3 jam), gravitasi tidak lagi membantu menjaga isi lambung tetap di bawah. Selain itu, produksi air liur, yang membantu menetralkan asam di esofagus, berkurang drastis saat tidur, membuat esofagus lebih rentan terhadap kerusakan asam.
Aktivitas yang meningkatkan tekanan intra-abdomen—seperti mengangkat beban berat, membungkuk untuk mengikat tali sepatu, atau melakukan olahraga yang melibatkan tekanan perut segera setelah makan—akan secara mekanis mendorong isi lambung ke atas.
Pakaian yang terlalu ketat di sekitar pinggang atau korset yang menekan perut bertindak sebagai peningkat tekanan intra-abdomen eksternal. Tekanan berkelanjutan ini dapat mendorong asam ke atas, terutama pada individu yang sudah memiliki LES yang lemah atau hernia hiatus.
Obesitas adalah salah satu faktor risiko gaya hidup yang paling kuat menyebabkan penyakit asam lambung. Kelebihan lemak viseral (lemak di sekitar organ perut) secara permanen meningkatkan tekanan di rongga perut. Tekanan yang tinggi ini secara terus-menerus menekan lambung, mendorong asam naik melalui LES, yang mungkin tidak cukup kuat untuk menahan beban tersebut. Selain itu, jaringan lemak (adipose tissue) menghasilkan zat inflamasi yang dapat memengaruhi motilitas esofagus dan LES.
Beberapa jenis makanan tidak hanya meningkatkan produksi asam, tetapi juga secara kimiawi melemahkan LES atau memperlambat pengosongan lambung, menciptakan kondisi sempurna untuk refluks.
Kelompok makanan ini harus dihindari oleh penderita GERD karena mereka memiliki efek farmakologis langsung pada otot LES, menyebabkan relaksasi yang tidak tepat:
Makanan berlemak (misalnya, gorengan, makanan cepat saji, potongan daging berlemak, dan produk susu tinggi lemak) menyebabkan pelepasan hormon kolesistokinin (CCK). CCK dikenal untuk memperlambat pengosongan lambung agar tubuh punya waktu memproses lemak, namun efek sampingnya adalah menyebabkan LES relaksasi. Lambung yang penuh lemak dan lambat mengosongkan diri menjadi reservoir asam yang siap refluks.
Cokelat mengandung metilxantin (termasuk teobromin dan kafein). Zat-zat ini memiliki efek relaksan pada otot polos, termasuk LES. Oleh karena itu, konsumsi cokelat, terutama dalam jumlah besar atau menjelang tidur, merupakan pemicu refluks yang signifikan.
Meskipun sering digunakan untuk menenangkan perut, minyak mint memiliki sifat yang secara langsung merelaksasi otot polos LES. Efek ini dapat menghilangkan pertahanan tubuh terhadap asam, menyebabkan atau memperburuk gejala asam lambung.
Makanan ini meningkatkan volume atau keasaman cairan lambung, menjadikannya lebih korosif ketika terjadi refluks:
Konsumsi alkohol memiliki efek ganda yang merusak: alkohol secara langsung mengiritasi lapisan esofagus dan lambung, serta menyebabkan relaksasi LES. Efek relaksasi ini sangat jelas terasa pada konsumsi berlebihan, dan sering kali merupakan penyebab refluks malam hari yang parah.
Kafein merangsang sekresi asam lambung dan juga merupakan relaksan otot polos, mirip dengan cokelat. Baik kopi berkafein maupun yang bebas kafein telah terbukti dapat menyebabkan relaksasi LES dan meningkatkan risiko refluks pada individu yang rentan.
Minuman berkarbonasi menghasilkan gas dalam jumlah besar di dalam lambung. Penumpukan karbon dioksida ini menyebabkan distensi yang cepat, yang kemudian harus dikeluarkan melalui sendawa, membawa serta asam lambung saat gas keluar.
Pada beberapa kasus, penyakit asam lambung disebabkan oleh kondisi medis yang mendasarinya atau merupakan efek samping yang tidak terhindarkan dari pengobatan yang dibutuhkan.
Kehamilan adalah penyebab refluks asam yang sangat umum, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama:
Beberapa kelas obat dapat menyebabkan atau memperburuk GERD karena efeknya pada LES atau lapisan esofagus:
Kondisi yang memengaruhi kemampuan esofagus untuk membersihkan dirinya sendiri dari asam (esophageal clearance) juga berkontribusi pada GERD yang parah:
Skleroderma: Ini adalah penyakit autoimun yang menyebabkan pengerasan dan penebalan jaringan ikat. Ketika menyerang esofagus, ia dapat merusak otot-otot yang bertanggung jawab untuk peristaltik (gelombang kontraksi yang membersihkan esofagus). Asam yang refluks bertahan lebih lama di esofagus, menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Meskipun stres tidak secara langsung menyebabkan kerusakan LES struktural, peran faktor psikologis dalam memperburuk dan menyebabkan penyakit asam lambung tidak dapat diabaikan. Hubungan kompleks antara otak dan usus (gut-brain axis) adalah kuncinya.
Stres kronis dapat mengubah cara otak memproses sinyal nyeri dari saluran pencernaan. Orang dengan GERD dan tingkat stres yang tinggi sering mengalami hipersensitivitas esofagus. Artinya, mereka merasakan sensasi terbakar yang parah meskipun hanya ada sedikit refluks asam, atau bahkan refluks non-asam. Stres menurunkan ambang batas nyeri, membuat gejala terasa jauh lebih buruk.
Respons "lawan atau lari" yang dipicu oleh stres mengalihkan aliran darah dari sistem pencernaan dan memengaruhi ritme motilitas normal. Stres dapat memicu kontraksi esofagus yang tidak teratur atau memperlambat pengosongan lambung, keduanya meningkatkan risiko refluks.
Ketika stres, banyak orang beralih ke mekanisme koping yang buruk, seperti merokok (yang melemahkan LES), konsumsi alkohol yang lebih banyak, atau makan makanan cepat saji yang tinggi lemak, yang semuanya merupakan pemicu refluks yang kuat.
GERD nokturnal (refluks malam hari) sering kali paling merusak karena pasien berbaring telentang, menghilangkan bantuan gravitasi. Selain itu, saat tidur, laju produksi air liur, yang merupakan penetral alami asam, berkurang drastis. Gangguan tidur yang disebabkan oleh refluks (atau stres) menciptakan siklus ganas: refluks mengganggu tidur, dan kurang tidur meningkatkan kepekaan terhadap nyeri refluks keesokan harinya.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana penyakit asam lambung disebabkan oleh berbagai interaksi, kita perlu menggali lebih dalam mekanisme pertahanan dan kerusakan esofagus. Esofagus memiliki pertahanan berlapis untuk melindungi dirinya dari serangan asam.
Lapisan esofagus dilindungi oleh lapisan tipis air liur dan bikarbonat. Bikarbonat adalah basa alami yang menetralkan asam dengan cepat setelah episode refluks.
Air liur adalah garis pertahanan pertama. Menelan air liur akan mencuci asam kembali ke lambung. Namun, pada penderita GERD, khususnya yang mengalami refluks nokturnal, produksi air liur menurun drastis. Hal ini diperparah jika pasien menderita xerostomia (mulut kering) akibat obat-obatan atau kondisi tertentu, yang secara signifikan mengurangi kemampuan esofagus untuk membersihkan asam yang naik.
Peristaltik adalah gelombang kontraksi otot yang mendorong makanan dan cairan (termasuk asam yang refluks) ke bawah. Jika motilitas esofagus terganggu (seperti pada beberapa gangguan neurologis atau pada usia lanjut), asam dapat bertahan di esofagus hingga beberapa jam, menyebabkan esofagitis (peradangan esofagus) yang parah. Kegagalan clearance adalah faktor kunci yang membedakan GERD parah dari refluks fisiologis normal.
Ketika penyakit asam lambung disebabkan oleh serangan asam yang berulang dan berkepanjangan, mukosa esofagus mulai mengalami perubahan adaptif yang berbahaya.
Asam klorida dan pepsin, yang merupakan komponen utama isi lambung yang refluks, menyebabkan erosi, peradangan, dan luka pada lapisan esofagus. Tingkat keparahan erosi ini diklasifikasikan menggunakan sistem seperti Klasifikasi Los Angeles.
Ini adalah komplikasi yang paling serius, di mana sel-sel epitel skuamosa normal esofagus digantikan oleh sel-sel kolumnar (mirip dengan yang ada di usus). Perubahan ini, yang merupakan respons adaptif terhadap serangan asam kronis, dianggap sebagai kondisi prakanker. Kehadiran Esofagus Barrett menunjukkan bahwa penyakit asam lambung telah berlangsung lama dan parah.
Pengaruh diet pada GERD lebih dari sekadar keasaman. Terdapat interaksi molekuler yang memengaruhi fungsi otot dan produksi asam.
Kurangnya serat makanan dalam diet modern memperburuk kondisi pencernaan. Serat membantu memfasilitasi pengosongan lambung yang lebih teratur dan mengurangi konstipasi, yang dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen. Diet rendah serat berkontribusi pada lingkungan perut yang cenderung lebih tertekan, yang secara pasif mendorong terjadinya refluks.
Beberapa makanan tinggi FODMAP (Fermentable Oligosaccharides, Disaccharides, Monosaccharides, and Polyols) difermentasi di usus dan perut, menghasilkan gas yang signifikan. Distensi gas ini adalah pemicu kuat TLESR (relaksasi LES spontan), yang merupakan mekanisme utama refluks. Oleh karena itu, intoleransi terhadap makanan tertentu, meskipun tidak secara langsung asam, dapat menyebabkan GERD melalui peningkatan tekanan gas.
Contoh makanan penghasil gas yang sering menyebabkan penyakit asam lambung melalui mekanisme TLESR:
Karena penyakit asam lambung disebabkan oleh multifaktor, penanganannya harus komprehensif, menggabungkan modifikasi gaya hidup, diet, dan terapi medis.
Meninggikan kepala tempat tidur sebanyak 6 hingga 9 inci (sekitar 15-23 cm) menggunakan balok atau bantal baji adalah intervensi yang sangat efektif untuk GERD nokturnal. Elevasi ini memanfaatkan gravitasi untuk menjaga asam tetap di lambung. Penting untuk dicatat bahwa hanya menggunakan bantal ekstra di bawah kepala tidak cukup; seluruh bagian atas tubuh harus ditinggikan.
Waktu makan terakhir harus setidaknya 3 jam sebelum berbaring. Ini memastikan lambung telah menyelesaikan sebagian besar proses pengosongan sebelum pasien tidur, mengurangi risiko TLESR malam hari.
Penurunan berat badan moderat (sekitar 10% dari total berat badan) pada pasien obesitas telah terbukti secara signifikan mengurangi gejala GERD, karena mengurangi tekanan intra-abdomen yang terus-menerus menekan LES.
Obat-obatan bertujuan untuk menetralkan asam yang sudah ada atau mengurangi produksi asam secara keseluruhan.
Antasida (seperti aluminium hidroksida atau magnesium trisilikat) memberikan bantuan cepat dengan menetralkan asam lambung. Namun, efeknya berlangsung singkat. Agen pelindung, seperti asam alginat, membentuk penghalang fisik di atas isi lambung, yang secara mekanis mencegah naiknya asam. Barier ini sering kali sangat membantu untuk refluks setelah makan.
Obat ini (misalnya Ranitidin, Famotidin) bekerja dengan menghambat reseptor histamin pada sel parietal lambung, sehingga mengurangi produksi asam. Mereka lebih lambat bertindak daripada antasida tetapi memberikan efek yang lebih lama, ideal untuk mengontrol asam di malam hari.
PPIs (misalnya Omeprazole, Lansoprazole) adalah terapi yang paling efektif untuk GERD erosif dan Esofagus Barrett. Obat ini bekerja dengan menonaktifkan "pompa" yang memompa asam ke dalam lambung. Meskipun sangat efektif dalam jangka pendek, penggunaan jangka panjang PPI harus dipantau karena potensi efek samping, termasuk risiko infeksi usus atau kekurangan nutrisi tertentu.
Pada kasus di mana penyakit asam lambung disebabkan oleh cacat struktural yang parah (misalnya Hernia Hiatus besar) atau ketika obat-obatan tidak efektif, intervensi bedah mungkin diperlukan.
Ini adalah prosedur bedah standar emas. Bagian atas lambung (fundus) dibungkus di sekitar esofagus bagian bawah untuk menciptakan katup yang diperkuat secara mekanis. Prosedur ini secara efektif meningkatkan tekanan LES, mencegah refluks. Fundoplikasi dapat dilakukan secara laparoskopi dengan pemulihan yang relatif cepat.
Dalam prosedur ini, bagian lambung yang menonjol ditarik kembali ke rongga perut, dan lubang hiatus di diafragma diperketat untuk mencegah pergerakan lambung di masa depan.
Secara keseluruhan, pemahaman bahwa penyakit asam lambung disebabkan oleh spektrum faktor yang luas—mulai dari kegagalan mekanis LES, tekanan struktural akibat obesitas atau kehamilan, hingga relaksasi otot yang dipicu oleh diet dan stres—menegaskan perlunya pendekatan pengobatan yang sangat personal dan holistik.
Manajemen GERD yang berhasil melibatkan diagnosis akurat mengenai faktor penyebab spesifik pada individu tersebut. Apakah pasien membutuhkan manajemen diet ketat karena dipicu oleh makanan berlemak (yang menyebabkan relaksasi LES), atau apakah mereka membutuhkan intervensi bedah karena Hernia Hiatus, atau mungkin manajemen stres dan konseling untuk hipersensitivitas esofagus, penentuan penyebab adalah langkah pertama menuju pemulihan yang berkelanjutan.
Pencegahan jangka panjang berfokus pada pemeliharaan berat badan ideal, menghindari makanan pemicu spesifik, dan yang terpenting, menghormati ritme alami tubuh dengan memberikan jeda waktu yang cukup antara makan dan tidur. Dengan pemahaman yang mendalam tentang berbagai mekanisme penyebab ini, pasien dapat mengambil kendali atas kondisi mereka dan mengurangi risiko komplikasi yang lebih serius.
Paparan asam lambung yang naik ke esofagus tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, namun juga memicu serangkaian respons adaptif dan maladaptif dalam jaringan, yang mengarah pada komplikasi signifikan jika penyakit asam lambung disebabkan oleh faktor yang tidak dikelola.
Esofagitis kronis menyebabkan peradangan berulang yang diikuti oleh proses penyembuhan. Proses penyembuhan ini melibatkan pembentukan jaringan parut. Akumulasi jaringan parut (fibrosis) dapat menyebabkan penyempitan esofagus, suatu kondisi yang disebut stenosis. Stenosis esofagus membuat menelan menjadi sulit dan menyakitkan (disfagia), sering kali membutuhkan intervensi endoskopik untuk dilatasi (pelebaran) agar pasien dapat menelan makanan padat lagi. Ini adalah konsekuensi serius yang timbul dari refluks yang tidak terkontrol selama bertahun-tahun.
Seringkali disebut "silent reflux," LPR terjadi ketika asam naik lebih tinggi, melewati esofagus dan mencapai tenggorokan (faring) dan kotak suara (laring). Area ini jauh lebih sensitif terhadap asam daripada esofagus. Gejala LPR tidak selalu berupa heartburn, tetapi lebih berupa suara serak kronis, batuk kering persisten, kebutuhan untuk membersihkan tenggorokan secara teratur, atau sensasi benjolan di tenggorokan (globus pharyngeus). Patofisiologi LPR berbeda dari GERD klasik karena asam yang naik biasanya berbentuk gas (aerosol) dan membutuhkan tingkat pengendalian asam yang lebih agresif.
Ada hubungan yang terdokumentasi antara GERD dan kondisi pernapasan kronis. Refluks asam dapat menyebabkan penyakit asam lambung yang memicu gejala asma melalui dua mekanisme: (1) Refleks vagal: Asam di esofagus memicu refleks saraf yang menyebabkan bronkospasme (penyempitan saluran udara); (2) Mikro-aspirasi: Sejumlah kecil isi lambung dapat masuk ke paru-paru, menyebabkan iritasi langsung dan peradangan yang memperburuk atau menyebabkan asma, bronkitis, atau bahkan fibrosis paru.
Penelitian modern menyoroti bagaimana penyakit asam lambung disebabkan oleh disrupsi dalam ekosistem bakteri usus, terutama dalam konteks penggunaan obat jangka panjang.
Meskipun PPI sangat efektif, dengan secara drastis mengurangi keasaman lambung, mereka mengubah lingkungan alami saluran pencernaan. Lambung yang kurang asam kehilangan salah satu pertahanan utamanya terhadap bakteri patogen. Penggunaan PPI jangka panjang telah dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi usus, terutama Clostridium difficile, dan perubahan komposisi mikrobioma usus (disbiosis).
Perubahan mikrobioma ini dapat memengaruhi motilitas usus dan respons inflamasi, yang secara tidak langsung dapat memengaruhi GERD dan gejala terkait usus seperti kembung dan nyeri perut.
Banyak pasien GERD juga menderita sindrom iritasi usus besar (IBS). Meskipun bukan penyebab langsung, IBS dapat memperburuk GERD. Makanan yang tidak dicerna dengan baik (misalnya, karbohidrat pada IBS) menyebabkan fermentasi yang berlebihan di usus kecil, menghasilkan gas yang, sekali lagi, meningkatkan tekanan intra-abdomen. Peningkatan tekanan ini secara siklis memperburuk TLESR dan gejala refluks.
Mendapatkan diagnosis yang tepat sangat penting karena banyak kondisi lain dapat meniru gejala GERD (misalnya, masalah jantung atau gangguan motilitas esofagus lainnya).
Prosedur ini menggunakan tabung fleksibel dengan kamera untuk melihat langsung lapisan esofagus dan lambung. Endoskopi penting untuk: (1) Menilai tingkat kerusakan erosif (esofagitis); (2) Mengidentifikasi adanya Hernia Hiatus; (3) Mendeteksi Esofagus Barrett; dan (4) Mengambil sampel jaringan (biopsi) untuk menyingkirkan kemungkinan kanker esofagus atau lambung.
Tes ini adalah standar emas untuk mengukur frekuensi dan durasi episode refluks asam. Kateter tipis atau kapsul nirkabel (Bravo device) ditempatkan di esofagus untuk merekam tingkat keasaman selama 24 hingga 96 jam. Data ini membantu dokter mengkonfirmasi diagnosis GERD dan mengevaluasi seberapa parah penyakit asam lambung disebabkan oleh asam yang sebenarnya, dan bukan hanya hipersensitivitas.
Tes ini mengukur tekanan dan koordinasi otot esofagus, termasuk tekanan LES. Manometri sangat penting untuk mengidentifikasi gangguan motilitas lain (seperti akalasia atau esofagus kacang) yang dapat meniru atau memperburuk gejala GERD. Informasi ini sangat vital sebelum dilakukan operasi fundoplikasi, karena operasi pada pasien dengan motilitas yang sudah buruk dapat menyebabkan disfagia pasca-operasi yang parah.
Pencegahan GERD harus difokuskan pada pembalikan atau mitigasi semua faktor risiko yang telah diuraikan, khususnya karena penyakit asam lambung disebabkan oleh akumulasi dari banyak faktor kecil.
Dengan menerapkan perubahan gaya hidup yang konsisten dan mendapatkan terapi yang ditargetkan berdasarkan diagnosis yang tepat, individu dapat secara signifikan mengurangi frekuensi dan keparahan episode refluks, memutus siklus peradangan, dan melindungi esofagus dari kerusakan jangka panjang yang disebabkan oleh paparan asam kronis.