Penyakit lambung, meliputi berbagai kondisi seperti gastritis, tukak lambung (ulcer), dan penyakit refluks gastroesofageal (GERD), merupakan masalah kesehatan yang sangat umum terjadi di seluruh dunia. Seringkali dianggap sebagai sekadar "sakit maag biasa," kondisi-kondisi ini sebenarnya melibatkan mekanisme patologis kompleks yang disebabkan oleh kombinasi faktor biologis, lingkungan, dan gaya hidup.
Memahami secara komprehensif apa yang memicu kerusakan pada lapisan pelindung lambung adalah kunci utama untuk penanganan, pencegahan, dan pemulihan jangka panjang. Lambung, yang secara alami memiliki lingkungan yang sangat asam (pH 1,5 hingga 3,5), bergantung pada sistem pertahanan yang kuat, termasuk lapisan lendir (mukosa) yang tebal dan produksi bikarbonat. Ketika keseimbangan antara faktor agresif (asam lambung, pepsin, bakteri) dan faktor defensif (mukosa, aliran darah, prostaglandin) terganggu, penyakit lambung pun muncul.
Artikel ini akan mengupas tuntas dan secara rinci mengenai setiap pemicu utama, mulai dari infeksi mikrobial hingga peran stres psikologis dan kesalahan diet kronis, memberikan panduan mendalam tentang etiologi penyakit lambung yang seringkali multifaktorial.
H. pylori adalah penyebab tunggal paling dominan dari gastritis kronis, tukak lambung, dan bahkan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker lambung. Organisme gram-negatif berbentuk spiral ini diperkirakan menginfeksi lebih dari setengah populasi dunia, meskipun tidak semua yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
Keberhasilan H. pylori dalam bertahan hidup di lingkungan lambung yang ekstrem adalah anomali biologis. Bakteri ini memiliki beberapa senjata molekuler yang memungkinkannya menembus pertahanan tubuh dan merusak jaringan:
Paparan kronis terhadap inflamasi dan kerusakan sel yang disebabkan oleh H. pylori ini secara bertahap melemahkan pertahanan lambung, menjadikannya rentan terhadap asamnya sendiri, yang pada akhirnya menyebabkan erosi dan pembentukan tukak.
NSAIDs, seperti aspirin, ibuprofen, naproxen, dan ketorolac, adalah obat yang sangat efektif untuk mengatasi nyeri, demam, dan peradangan. Namun, obat-obatan ini adalah penyebab kedua paling umum dari tukak lambung dan perdarahan saluran cerna bagian atas. Kerusakan yang ditimbulkan oleh NSAIDs terjadi melalui dua jalur utama: lokal (topikal) dan sistemik (internal).
Saat NSAIDs ditelan, sifat asamnya dapat langsung merusak sel-sel epitel lambung. Mereka dapat menembus lapisan lendir dan menyebabkan kerusakan sel superfisial, meningkatkan permeabilitas membran mukosa terhadap asam lambung. Kerusakan ini diperburuk jika obat dikonsumsi saat perut kosong, di mana konsentrasi obat lebih tinggi.
Ini adalah jalur kerusakan yang jauh lebih signifikan. NSAIDs bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Terdapat dua jenis utama COX:
NSAIDs non-selektif (seperti ibuprofen dan aspirin dosis tinggi) menghambat COX-1 dan COX-2. Penghambatan COX-1 secara drastis mengurangi produksi prostaglandin pelindung di lambung. Tanpa perlindungan kimia ini, mukosa menjadi sangat rentan. Asam lambung dan pepsin, yang seharusnya dinetralkan, kini dapat menembus dan mencerna jaringan lambung itu sendiri, menyebabkan erosi, dan akhirnya, tukak.
Risiko tukak akibat NSAIDs meningkat tajam pada pasien dengan kondisi berikut:
Penyakit lambung seringkali merupakan hasil dari kegagalan sistem pertahanan, bukan semata-mata karena adanya pemicu eksternal. Keseimbangan yang rapuh antara asam, pepsin, dan lapisan mukosa adalah penentu utama kesehatan lambung.
Meskipun sebagian besar penyakit lambung disebabkan oleh kerusakan pertahanan, kondisi yang menyebabkan produksi asam berlebihan (hipersekresi) juga merupakan pemicu kuat. Sindrom Zollinger-Ellison (ZES) adalah kondisi langka di mana tumor (gastrinoma) pada pankreas atau duodenum melepaskan hormon gastrin dalam jumlah sangat tinggi. Gastrin merangsang sel parietal di lambung untuk memproduksi asam klorida (HCl) secara berlebihan dan tak terkontrol.
Tingkat asam yang ekstrem ini membanjiri mekanisme pertahanan bikarbonat, menyebabkan tukak ganda dan parah yang sulit disembuhkan dengan pengobatan standar. Tingkat asam yang tinggi juga dapat mengalir ke duodenum dan jejunum, menyebabkan kerusakan yang meluas.
Empedu, yang diproduksi oleh hati, bersifat basa dan membantu pencernaan lemak. Refluks (aliran balik) empedu dari duodenum ke lambung (refluks biliogastrik) dapat terjadi setelah operasi lambung (misalnya gastrektomi) atau akibat kegagalan pilorus (katup antara lambung dan usus halus).
Meskipun empedu basa, ia mengandung garam empedu yang dapat merusak lapisan mukosa lambung, terutama ketika bercampur dengan asam lambung. Garam empedu bersifat deterjen dan mampu melarutkan membran lipid sel epitel, menyebabkan gastritis kimiawi yang parah (gastritis refluks).
Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD) adalah kondisi di mana isi lambung, termasuk asam dan enzim pencernaan, kembali naik (refluks) ke esofagus (kerongkongan), menyebabkan gejala seperti nyeri ulu hati dan regurgitasi. Meskipun GERD secara teknis merupakan penyakit esofagus, penyebab utamanya terletak pada kegagalan mekanisme di perbatasan lambung.
LES adalah cincin otot yang berfungsi sebagai katup satu arah, mencegah isi lambung kembali ke kerongkongan. Kegagalan fungsi LES dapat terjadi melalui beberapa cara:
Bahkan ketika refluks terjadi, kerongkongan memiliki mekanisme pertahanan. Air liur, yang bersifat basa, dan gerakan peristaltik esofagus membantu membersihkan (clearance) asam. Jika produksi air liur berkurang (misalnya saat tidur) atau peristaltik melemah (disebabkan oleh usia atau kondisi saraf), paparan asam pada esofagus akan lebih lama, meningkatkan risiko kerusakan mukosa dan esofagitis.
Meskipun H. pylori dan NSAIDs adalah penyebab langsung, faktor gaya hidup berperan sebagai akselerator yang memperparah kerusakan mukosa dan menghambat penyembuhan, mengubah gastritis akut menjadi kronis atau tukak. Peran faktor gaya hidup ini sangat luas dan sering diabaikan dalam penanganan awal.
Diet bukanlah penyebab utama tukak (seperti mitos lama yang menyatakan makanan pedas menyebabkan tukak), tetapi diet dapat memicu gejala, memperburuk inflamasi yang sudah ada, dan merangsang produksi asam secara berlebihan.
Makanan dengan pH rendah atau yang merangsang pelepasan gastrin berpotensi meningkatkan agresivitas lambung. Ini termasuk:
Makan terlalu cepat, porsi yang terlalu besar, atau makan terlalu dekat dengan waktu tidur (terutama dalam 2-3 jam sebelum berbaring) secara signifikan meningkatkan risiko refluks dan tekanan intragastrik. Kebiasaan makan yang tidak teratur, membiarkan lambung kosong terlalu lama, juga dapat menyebabkan asam yang diproduksi tidak memiliki penyangga makanan, sehingga menyerang mukosa yang kosong.
Merokok adalah salah satu faktor risiko gaya hidup terkuat dan paling merusak bagi sistem pencernaan. Merokok tidak hanya memperlambat penyembuhan tukak tetapi juga dapat menjadi pemicu utamanya.
Konsumsi alkohol, terutama dalam jumlah besar, bersifat iritatif langsung pada mukosa lambung. Alkohol menyebabkan kerusakan langsung pada sel epitel (gastritis akut beralkohol). Konsumsi alkohol kronis, bahkan dalam jumlah sedang, dapat meningkatkan risiko tukak dengan merusak lapisan pertahanan, menstimulasi produksi asam, dan memicu pelepasan histamin yang semakin meningkatkan sekresi asam klorida.
Meskipun dahulu diyakini bahwa stres adalah satu-satunya penyebab tukak, penelitian modern menunjukkan bahwa stres tidak secara langsung menyebabkan tukak tanpa adanya H. pylori atau NSAIDs. Namun, stres kronis dan akut bertindak sebagai ko-faktor dan akselerator yang sangat efektif, memperburuk gejala dan menghambat penyembuhan.
Ketika seseorang mengalami stres, tubuh memasuki mode 'fight or flight' (lawan atau lari), yang melibatkan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatik:
Gastritis erosif akut, sering disebut tukak stres atau tukak Curling, adalah kondisi parah yang terjadi pada pasien dengan trauma fisik ekstrem, luka bakar parah, atau penyakit kritis, di mana iskemia mukosa (kurangnya oksigen) dan sekresi asam yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan mendadak dan meluas.
Meskipun penyakit lambung, terutama tukak, bukan penyakit genetik murni, faktor keturunan berperan besar dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap pemicu lingkungan. Jika ada riwayat penyakit lambung yang parah dalam keluarga, risiko seseorang untuk mengembangkan kondisi serupa akan meningkat secara signifikan.
Beberapa individu secara genetik memiliki mukosa lambung yang lebih tipis, kurang efektif dalam memproduksi prostaglandin, atau memiliki respons imun yang lebih rentan terhadap infeksi H. pylori. Sebagai contoh, ditemukan bahwa individu dengan golongan darah O memiliki kerentanan yang sedikit lebih tinggi terhadap tukak lambung dibandingkan golongan darah lain, meskipun mekanisme pastinya masih diteliti.
Variasi genetik dalam gen yang mengkode sitokin (protein yang mengatur peradangan) dapat menentukan seberapa parah gastritis yang berkembang setelah infeksi H. pylori. Beberapa profil genetik menyebabkan respons inflamasi yang hiperaktif, yang berujung pada kerusakan jaringan yang lebih cepat dan risiko kanker lambung yang lebih tinggi.
Penyakit lambung juga dapat menjadi manifestasi atau komplikasi dari kondisi kesehatan sistemik lainnya yang melibatkan respons imun atau disregulasi hormon.
Ini adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang sel-sel parietal lambung (sel penghasil asam) dan faktor intrinsik (protein yang dibutuhkan untuk penyerapan vitamin B12). Serangan ini menyebabkan:
Meskipun Penyakit Crohn biasanya menyerang usus kecil dan besar, penyakit inflamasi usus (IBD) ini dapat memengaruhi saluran pencernaan dari mulut hingga anus, termasuk lambung. Gastritis yang terkait dengan Crohn seringkali terjadi akibat inflamasi transmural (melintasi seluruh dinding organ) yang khas, menyebabkan nyeri dan tukak yang sulit sembuh.
Kondisi medis tertentu dapat secara tidak langsung meningkatkan risiko penyakit lambung:
Sangat jarang penyakit lambung serius disebabkan oleh satu pemicu tunggal. Dalam kebanyakan kasus kronis dan parah, penyakit lambung merupakan hasil dari interaksi sinergis antara beberapa faktor. Efek gabungan ini jauh lebih merusak daripada jumlah dari bagian-bagiannya.
Ini adalah kombinasi paling berbahaya. H. pylori sudah melemahkan lapisan mukosa dan memicu peradangan kronis. Ketika NSAIDs ditambahkan, mereka menghambat prostaglandin yang tersisa, menghilangkan pertahanan terakhir lambung. Hasilnya adalah risiko tukak berlipat ganda, dan tukak yang terbentuk cenderung lebih dalam, lebih besar, dan memiliki risiko perdarahan yang jauh lebih tinggi.
Bahkan dosis rendah aspirin (yang digunakan untuk pencegahan kardiovaskular) yang dikombinasikan dengan H. pylori dapat menyebabkan kerusakan signifikan. Oleh karena itu, protokol klinis modern sering merekomendasikan skrining dan pemberantasan H. pylori sebelum memulai terapi NSAIDs jangka panjang.
Merokok mengurangi aliran darah (iskemia) dan bikarbonat, sementara stres kronis juga mengurangi aliran darah dan mengganggu perbaikan sel melalui jalur kortisol. Pasien yang merokok dan berada di bawah tekanan emosional tinggi memiliki tingkat penyembuhan tukak yang sangat rendah, bahkan ketika mereka menjalani terapi obat (seperti PPI) dengan benar.
Obesitas adalah faktor risiko GERD yang signifikan. Lemak viseral di perut meningkatkan tekanan intra-abdomen. Peningkatan tekanan ini secara fisik mendorong isi lambung ke atas, melewati LES yang sudah tertekan atau lemah. Jika dikombinasikan dengan diet tinggi lemak dan kebiasaan makan malam, tekanan pada LES menjadi maksimum, memastikan terjadinya refluks kronis dan kerusakan esofagus. Penurunan berat badan seringkali menjadi intervensi non-farmakologis paling efektif untuk mengatasi GERD pada individu obesitas.
Dalam konteks modern, diet tinggi karbohidrat olahan, lemak trans, dan rendah serat telah dikaitkan dengan peningkatan peradangan sistemik (subklinis) yang memengaruhi seluruh sistem pencernaan.
Lambung, meskipun sangat asam, memiliki mikrobioma tersendiri. Penggunaan antibiotik yang berulang, stres, dan diet yang buruk dapat menyebabkan ketidakseimbangan mikrobiota (disbiosis) di usus dan mungkin di lambung. Meskipun H. pylori mendominasi, ketidakseimbangan bakteri lain dapat memengaruhi metabolisme asam empedu dan asam lemak rantai pendek (SCFA), yang penting untuk kesehatan mukosa, berpotensi meningkatkan sensitivitas terhadap kerusakan.
Diet yang sangat rendah dalam asam lemak omega-3 (yang merupakan prekursor penting untuk prostaglandin anti-inflamasi) dan kaya omega-6 pro-inflamasi dapat menggeser keseimbangan kimiawi dalam tubuh. Hal ini dapat secara tidak langsung mengurangi kemampuan tubuh untuk memproduksi prostaglandin pelindung yang diperlukan untuk mempertahankan integritas mukosa lambung, membuat lambung lebih rentan terhadap serangan asam.
Secara keseluruhan, penyebab penyakit lambung adalah mosaik kompleks yang melibatkan faktor infeksi yang merusak, gangguan mekanisme biologis yang melindungi, dan akselerasi dramatis melalui pilihan gaya hidup yang tidak sehat. Pemulihan total dan pencegahan kekambuhan memerlukan pendekatan holistik yang menargetkan akar penyebab spesifik pada setiap individu, baik itu eradikasi bakteri, penyesuaian obat, maupun modifikasi gaya hidup dan manajemen stres yang mendalam.