Sebuah ilustrasi visual mengenai jalan dakwah yang memerlukan hikmah dan kebijaksanaan.
Dalam Islam, dakwah atau mengajak manusia kepada kebaikan adalah sebuah kewajiban mulia yang diemban oleh umat Nabi Muhammad SAW. Metode dan adab dalam menyampaikan risalah ini sangat ditekankan dalam Al-Qur'an. Salah satu ayat kunci yang menjadi pedoman utama dalam berdakwah adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl ayat 125. Ayat ini memberikan tiga pilar utama yang harus dipegang teguh oleh seorang pendakwah, yaitu seruan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun.
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125)
Ayat 125 Surah An-Nahl ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah metodologi dakwah yang komprehensif. Tiga elemen utama yang disebutkan di dalamnya harus diterapkan secara seimbang untuk mencapai hasil yang optimal tanpa menimbulkan perpecahan atau kebencian.
Hikmah berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, menggunakan pertimbangan akal yang jernih, dan memahami kondisi objek dakwah. Seorang pendakwah harus memiliki pemahaman mendalam mengenai ajaran Islam (ilmu), serta mampu membaca situasi sosial, budaya, dan psikologis audiensnya. Hikmah menuntut seorang dai untuk tidak berdakwah dengan satu metode yang sama kepada semua orang. Kepada yang awam, mungkin diperlukan pendekatan yang lebih lembut dan bertahap. Kepada yang memiliki ilmu, pendekatan bisa lebih argumentatif namun tetap berdasar dalil yang sahih.
Nasihat yang baik menekankan pada aspek emosional dan etika penyampaian. Nasihat harus disampaikan dengan tutur kata yang indah, penuh empati, dan bertujuan untuk mengingatkan, bukan untuk merendahkan. Kata 'hasanah' (baik) di sini menunjukkan bahwa cara menyampaikan lebih penting daripada isi itu sendiri, sebab kebenaran yang disampaikan dengan cara kasar seringkali ditolak oleh hati penerima. Kelembutan lidah adalah kunci untuk membuka hati.
Bagian ini secara spesifik ditujukan ketika berhadapan dengan argumen atau perdebatan (dialog). Islam memerintahkan dialog yang santun, yaitu dialog yang menghindari caci maki, hinaan, atau pemaksaan kehendak. Argumentasi harus didasarkan pada logika yang kuat dan dalil yang shahih, namun disampaikan dengan sikap hormat terhadap lawan bicara. Tujuan dialog adalah mencari kebenaran bersama, bukan memenangkan ego. Jika perdebatan berubah menjadi pertengkaran yang tidak produktif, maka perintah Allah adalah menghentikannya dan kembali pada metode hikmah dan nasihat.
Ayat ditutup dengan pengingat yang menenangkan hati para dai: "Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."
Kewajiban seorang muslim adalah berdakwah dengan segenap kemampuan, menggunakan metode terbaik yang diajarkan oleh Al-Qur'an. Namun, hasil akhir—apakah seseorang menerima atau menolak—adalah sepenuhnya di luar kendali manusia dan berada dalam ilmu Allah SWT. Kesadaran ini membebaskan pendakwah dari rasa frustrasi berlebihan dan mendorongnya untuk terus memperbaiki diri dan metodenya, karena pertanggungjawaban utama adalah pada proses dan niat, bukan semata-mata pada hasil konversi audiens. Dengan demikian, QS An-Nahl 125 menjadi kompas abadi bagi setiap upaya mengajak umat menuju kebaikan.