Dalam ajaran Islam, pernikahan dipandang sebagai sebuah institusi suci yang memiliki tujuan mulia untuk menciptakan ketentraman, kasih sayang, dan keadilan antar pasangan. Keindahan ini tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur'an yang memberikan panduan komprehensif bagi suami istri. Salah satu ayat yang sangat penting dalam konteks ini adalah Surat An-Nisa ayat 128. Ayat ini seringkali dibahas untuk memahami bagaimana Islam menyeimbangkan hak dan kewajiban dalam rumah tangga, terutama ketika menghadapi situasi yang mungkin menimbulkan ketidakseimbangan atau kesulitan.
Surat An-Nisa, yang berarti "Wanita," memang banyak membahas tentang perempuan dan peran mereka dalam masyarakat serta keluarga. Ayat 128, secara spesifik, menyentuh persoalan bagaimana seorang suami harus bersikap ketika ia merasa ada ketidakadilan atau ketidaktaatan dari istrinya, dan bagaimana pula sang istri harus meresponsnya. Namun, inti dari ayat ini jauh lebih dalam daripada sekadar penyelesaian masalah sesaat. Ia mengajarkan prinsip dasar keadilan, kesabaran, dan pendekatan yang penuh kasih dalam membina rumah tangga.
"Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau berpaling dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya (suami istri) untuk mengadakan perdamaian (musyawarah) di antara keduanya, dan perdamaian itu lebih baik. Dan (manusia) memang diciptakan bersifat kikir. Jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan."
Ayat ini diawali dengan dua istilah penting: nusyuz dan i'rad. Nusyuz secara harfiah berarti meninggi atau membangkang. Dalam konteks pernikahan, nusyuz dari pihak istri bisa berarti tidak taat pada suami dalam hal-hal yang diperintahkan agama, meninggalkan kewajiban rumah tangga, atau membenci suami. Sementara itu, i'rad berarti berpaling atau mengabaikan. Jika istri mengalami nusyuz, suami diperintahkan untuk bersikap adil. Namun, ayat ini lebih fokus pada skenario ketika sang istri yang khawatir suaminya akan melakukan nusyuz atau berpaling.
Kekhawatiran ini bisa muncul dari berbagai sebab, seperti suami yang kurang memperhatikan istrinya, menunjukkan ketidakpedulian, atau bahkan indikasi bahwa suami mulai mencari wanita lain. Dalam situasi seperti ini, Al-Qur'an memberikan solusi yang sangat konstruktif. Alih-alih membiarkan masalah membesar dan berujung pada perceraian, Islam mengajarkan untuk mencari jalan damai.
Frasa "maka tidak mengapa bagi keduanya (suami istri) untuk mengadakan perdamaian (musyawarah) di antara keduanya" adalah inti dari solusi yang ditawarkan. Ini menunjukkan bahwa dalam rumah tangga, komunikasi terbuka dan kemauan untuk berdialog sangatlah krusial. Islam tidak memosisikan suami sebagai penguasa mutlak yang tidak bisa dikoreksi, atau istri sebagai pihak yang selalu salah. Keduanya memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga keharmonisan.
Perdamaian yang dimaksud di sini bisa dalam berbagai bentuk. Bisa jadi sang istri menyampaikan kekhawatirannya secara baik-baik kepada suami. Bisa jadi suami menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki sikapnya. Bisa juga keduanya duduk bersama, mencari akar masalah, dan bersepakat untuk saling memahami serta memenuhi hak masing-masing. Kuncinya adalah dialog yang tulus dan niat untuk memperbaiki hubungan.
Penegasan "dan perdamaian itu lebih baik" memiliki makna yang mendalam. Meskipun Islam memberikan hak-hak bagi suami, seperti hak untuk menasihati atau bahkan mengambil tindakan tegas jika nusyuz istri sudah parah (seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya), namun perdamaian dan rekonsiliasi selalu diutamakan. Bercerai adalah jalan terakhir, dan upaya untuk memperbaiki hubungan selalu lebih baik daripada perpecahan.
Ini mencerminkan filosofi Islam yang melihat keluarga sebagai unit yang harus dijaga keberlangsungannya. Anak-anak adalah taruhan terbesar dalam perceraian, dan stabilitas emosional mereka seringkali terganggu. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga melalui dialog dan saling pengertian akan selalu bernilai lebih tinggi.
Ayat ini juga mengingatkan, "Dan (manusia) memang diciptakan bersifat kikir." Sifat kikir di sini dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk menyukai apa yang menguntungkan diri sendiri, enggan memberikan hak orang lain, atau sulit untuk berlapang dada. Memahami sifat dasar manusia ini sangat penting agar kita tidak mudah putus asa ketika menghadapi tantangan dalam hubungan. Kesadaran bahwa kedua belah pihak memiliki potensi untuk bersikap egois atau sulit itu dapat mendorong kita untuk lebih bersabar dan berusaha lebih keras dalam menciptakan keharmonisan.
Ketika kita mampu berbuat baik dalam komunikasi, saling menghargai, dan bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah akan senantiasa mengawasi dan membalasnya. Sifat "Mahateliti" Allah menegaskan bahwa setiap ikhtiar kita dalam memperbaiki rumah tangga, sekecil apapun itu, tidak akan luput dari pandangan-Nya.
QS An Nisa ayat 128 adalah pengingat berharga tentang pentingnya menjaga keharmonisan dalam pernikahan. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi potensi konflik atau ketidaksepahaman, jalan terbaik adalah melalui musyawarah dan perdamaian. Dengan memahami tabiat manusia dan senantiasa bertakwa, pasangan suami istri dapat membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang menjadi dambaan setiap insan.