Dua Ayat Penutup At-Taubah: Puncak Rahmat dan Fondasi Tawakkul (QS 9:128-129)

Analisis mendalam terhadap keagungan pesan kenabian dan ketetapan hati

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakteristik unik. Ia dimulai tanpa basmalah dan mencakup pembahasan ketat tentang perjanjian, jihad, dan prinsip-prinsip keimanan. Namun, penutup surah ini, yang terdiri dari dua ayat terakhir (128 dan 129), menampilkan inti dari seluruh ajaran Islam—yaitu kelembutan kenabian dan kepasrahan total kepada Pencipta.

Ayat-ayat ini seringkali menjadi titik fokus dalam kajian tafsir, bukan hanya karena posisinya sebagai penutup, tetapi karena padatnya makna yang terkandung di dalamnya, mendefinisikan hubungan antara umat, Rasulullah ﷺ, dan Allah SWT. Ayat-ayat ini adalah manifestasi paling jelas dari kasih sayang Ilahi yang diwujudkan melalui sosok seorang Rasul yang agung.

I. Keagungan Ayat 128: Manifestasi Kasih Sayang Nubuwah

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Terjemahannya: "Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS At-Taubah [9]: 128)

A. Identitas Rasul: 'Min Anfusikum' (Dari Kaummu Sendiri)

Frasa مِّنْ أَنفُسِكُمْ (min anfusikum) memiliki implikasi sosiologis dan psikologis yang mendalam. Ini berarti Rasulullah ﷺ berasal dari kalangan manusia biasa, dari suku bangsa yang sama—seorang manusia yang dapat dipahami dan dijadikan contoh. Kesamaan asal-usul ini menghilangkan hambatan komunikasi dan menumbuhkan rasa kedekatan. Ini bukan sekadar kesamaan biologis, tetapi kesamaan pengalaman hidup, budaya, dan pemahaman akan tantangan sehari-hari yang dihadapi oleh komunitas Makkah dan Madinah. Keberadaan beliau sebagai manusia biasa menegaskan bahwa kesempurnaan dan kepatuhan terhadap perintah Ilahi bukanlah monopoli makhluk spiritual, melainkan dapat dicapai oleh manusia melalui bimbingan wahyu.

Para mufasir menekankan bahwa kehadiran Rasulullah sebagai bashar (manusia) adalah Rahmat terbesar, karena risalah yang dibawanya menjadi realistis dan aplikatif. Seandainya Rasul adalah malaikat, umat akan kesulitan meneladani perilaku dan akhlaknya. Namun, karena beliau 'min anfusikum', segala tindak tanduknya (sunnahnya) menjadi cetak biru kehidupan yang ideal, sebuah uswah hasanah yang dapat dijangkau oleh kemampuan manusia.

B. Beban Penderitaan Umat: 'Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum'

Ayat ini kemudian beralih pada sifat empati kenabian. عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum) berarti "berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami." Kata ‘anittum (penderitaan, kesulitan, kesusahan) merujuk pada segala bentuk kesukaran yang dihadapi umat, baik itu kesukaran dalam menjalankan syariat, kesulitan hidup, atau bahkan penderitaan akibat dosa dan kesesatan.

Rasulullah ﷺ bukanlah seorang pemimpin yang berjarak, yang memerintah dari balik istana yang megah. Beliau adalah sosok yang menderita bersama umatnya. Beliau merasakan kepedihan saat syariat terasa memberatkan, dan beliau mencari cara agar syariat itu mudah dilaksanakan tanpa mengurangi esensinya. Contoh nyata dari sifat ini adalah ketika beliau sering berdoa agar Allah meringankan syariat bagi umatnya, bahkan dalam penentuan jumlah salat lima waktu saat peristiwa Isra’ Mi’raj.

Perasaan ini bukan hanya simpati, tetapi sebuah beban kenabian. Kesedihan beliau terhadap penderitaan fisik dan spiritual umatnya adalah salah satu indikator otentik dari misinya. Ini menunjukkan bahwa fondasi Islam dibangun atas kemudahan (yusr) dan pengangkatan beban (raf’ul ḥaraj), suatu prinsip yang ditegakkan oleh Rasulullah sendiri sebagai manifestasi rahmat Ilahi.

C. Keinginan Kuat Rasul: 'Ḥarīṣun ‘alaikum'

Sifat selanjutnya, حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Ḥarīṣun ‘alaikum), diterjemahkan sebagai "sangat menginginkan bagimu." Kata ḥarīṣ menunjukkan keinginan yang kuat, dorongan yang intens, bahkan melebihi kebutuhan pribadi. Dalam konteks ini, yang diinginkan Rasulullah adalah keimanan umat, keselamatan mereka dari api neraka, dan keberhasilan mereka di dunia dan akhirat.

Keinginan ini seringkali membuat beliau larut dalam kesedihan yang mendalam ketika melihat manusia berpaling dari kebenaran. Ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an menguatkan hal ini, seperti dalam Surah Al-Kahf yang menyebutkan bahwa Nabi hampir mencelakakan dirinya karena kesedihan terhadap penolakan kaumnya. Keinginan ini adalah motivasi di balik setiap dakwah, setiap ajaran, dan setiap pengorbanan yang dilakukan oleh beliau.

Jika kita menganalisisnya lebih dalam, Ḥarīṣun ‘alaikum bukan hanya keinginan umum agar umat selamat, tetapi keinginan spesifik agar setiap individu mukmin mencapai derajat keimanan tertinggi, terhindar dari bid’ah, dan teguh dalam sunnah. Ini adalah kasih sayang yang proaktif, yang terus menerus mendorong dan membimbing tanpa pernah menyerah pada keputusasaan.

D. Dua Nama Sifat Rahmat: Ra'ūf dan Raḥīm

Puncak dari deskripsi sifat Rasulullah ﷺ dalam ayat 128 adalah penggunaan dua asmaul husna, yang biasanya hanya disandarkan kepada Allah SWT: رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Ra’ūfun Raḥīm). Beliau disifati sebagai Penyantun (Ra'ūf) dan Penyayang (Raḥīm) terhadap orang-orang mukmin.

1. Tafsir Al-Ra’ūf

Kata Ra’ūf berasal dari kata dasar ra’fah, yang menunjukkan rahmat yang lebih spesifik dan intensif, seringkali dikaitkan dengan belas kasih yang muncul akibat rasa kasihan terhadap kesulitan orang lain. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa Ra’fah adalah tingkat rahmat yang sangat lembut dan melindungi. Ini adalah kasih sayang yang melindungi umat dari kesulitan yang tidak perlu, mencegah mereka dari kejatuhan, dan memberikan keringanan.

Dalam konteks kenabian, sifat Ra’ūf termanifestasi dalam pemberian keringanan hukum (rukhsah), kemudahan dalam ibadah, dan larangan untuk membebani diri secara berlebihan. Beliau selalu memilih yang termudah selama hal itu tidak bertentangan dengan perintah Allah. Sifat Ra’ūf adalah perlindungan dari kerusakan di dunia dan hukuman di akhirat.

2. Tafsir Al-Raḥīm

Sementara itu, Raḥīm (Penyayang) adalah rahmat yang lebih umum dan berkesinambungan, yang mencakup pemberian manfaat dan kebaikan yang berkelanjutan. Rahmat ini memastikan bahwa umat terus menerima bimbingan, petunjuk, dan pahala atas amal baik mereka. Jika Ra’ūf adalah tentang pencegahan dari bahaya, Raḥīm adalah tentang pemberian kebaikan yang abadi.

Sungguh luar biasa bahwa Allah menganugerahkan dua nama sifat-Nya ini kepada Rasulullah, menekankan bahwa Rahmat beliau adalah cerminan dari Rahmat Ilahi yang tak terbatas. Ini bukan sekadar gelar kehormatan, melainkan deskripsi fungsional yang menjelaskan mengapa umat harus mencintai dan mengikuti beliau. Keselamatan umat terjamin di bawah naungan Ra’fah dan Raḥmah kenabian ini.

Simbol Kasih Sayang dan Perlindungan Kenabian RA'UF RAHIM Kasih Sayang dan Perlindungan
Ilustrasi visualisasi sifat kenabian: pusat kasih sayang yang memancarkan Rahmat (Ra'ūf dan Raḥīm) kepada umat.

II. Keagungan Ayat 129: Fondasi Tawakkul (Pasrah Mutlak)

Setelah menggambarkan sosok Rasulullah ﷺ dengan segala sifat mulia dan rahmat yang dimilikinya, ayat berikutnya (129) berfungsi sebagai jangkar keyakinan. Ayat ini mengarahkan umat, dan juga Rasulullah sendiri, untuk bersandar hanya pada satu sumber kekuatan di balik segala upaya dan rahmat kenabian.

فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Terjemahannya: "Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah: 'Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.'" (QS At-Taubah [9]: 129)

A. Konsekuensi Penolakan: 'Fa in Tawallau'

Ayat ini dimulai dengan skenario yang mungkin terjadi: فَإِن تَوَلَّوْا (Fa in tawallau), "Maka jika mereka berpaling." Mengingat upaya maksimal Rasulullah dalam menunjukkan kasih sayang (seperti yang dijelaskan dalam ayat 128) dan keinginan beliau agar umat mendapatkan hidayah (ḥarīṣun ‘alaikum), penolakan adalah hal yang sangat menyakitkan. Ayat ini memberikan petunjuk profetik (instruksi kenabian) tentang bagaimana menanggapi kegagalan dakwah atau penolakan massal.

Perintah ini bukan hanya untuk Rasulullah, tetapi juga untuk setiap da’i, ulama, dan mukmin yang berjuang di jalan Allah. Ketika usaha telah dimaksimalkan, ketika hati telah dikorbankan demi keselamatan orang lain, dan ternyata mereka tetap memilih jalan kesesatan, maka yang tersisa adalah kembali kepada Allah, Sumber segala Kekuatan.

B. Deklarasi Tauhid dan Kecukupan Ilahi: 'Ḥasbiyallāh'

Inti dari respons kenabian adalah kalimat agung: حَسْبِيَ اللَّهُ (Ḥasbiyallāh), "Cukuplah Allah bagiku." Ini adalah deklarasi keyakinan total bahwa Allah adalah Penjamin, Pelindung, dan Pahlawan yang Mahakuasa. Makna kata ḥasbī merangkum rasa aman, kecukupan, dan perlindungan dari segala ancaman, baik di dunia maupun di akhirat.

Kalimat ini dikenal sebagai salah satu dzikir terkuat dan termasyhur dalam Islam, yang diriwayatkan pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilemparkan ke dalam api. Ini mengajarkan bahwa ketika seluruh sebab material telah habis, ketika dukungan manusia telah lenyap, dan ketika ancaman musuh membesar, sandaran yang kekal dan tak pernah gagal adalah Allah.

Mengiringi deklarasi ini adalah penegasan Tauhid murni: لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Lā ilāha illā huwa), "Tidak ada tuhan selain Dia." Ini adalah fondasi iman. Mengapa Allah cukup? Karena Dia adalah satu-satunya entitas yang layak disembah dan memiliki otoritas absolut. Kecukupan Allah hanya dapat diraih oleh mereka yang telah membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan, baik yang besar maupun yang tersembunyi.

C. Pemasrahan Total: ‘Alaihi Tawakkaltu

Setelah mendeklarasikan kecukupan Allah dan keesaan-Nya, ayat ini menuju puncak spiritual: عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ (‘Alaihi tawakkaltu), "Hanya kepada-Nya aku bertawakkal." Tawakkal (pasrah) di sini bukan berarti pasif, melainkan penyerahan hasil akhir setelah melakukan upaya maksimal (seperti yang telah dilakukan Rasulullah dalam ayat 128).

Tawakkul adalah pekerjaan hati yang melibatkan penyerahan total urusan kepada Allah, disertai keyakinan teguh bahwa keputusan dan pengaturan-Nya adalah yang terbaik. Jika ayat 128 menekankan aksi kenabian (kasih sayang, upaya keras), ayat 129 menekankan mentalitas kenabian (kepercayaan penuh pada kekuatan Ilahi).

Dalam konteks akhir Surah At-Taubah, Tawakkul menjadi penutup yang sempurna. Setelah Surah ini membahas panjang lebar tentang pertempuran, munafik, dan ujian, Allah mengingatkan bahwa kemenangan sejati tidak terletak pada kekuatan senjata atau jumlah pasukan, tetapi pada Tawakkul. Semua sebab material hanyalah alat; Penggerak sejati adalah Allah.

D. Pengukuhan Kekuasaan: Rabbul ‘Arshil ‘Aẓīm

Ayat ditutup dengan penegasan identitas Allah: وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (Wa huwa rabbul ‘arshil ‘aẓīm), "Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung." Penyebutan ‘Arsy (Singgasana) adalah simbol paling agung dari kekuasaan, keagungan, dan kedaulatan mutlak Allah.

Mengaitkan Tawakkul dengan status Allah sebagai Rabbul ‘Arsyil ‘Aẓīm memberikan keyakinan yang luar biasa. Jika seseorang bertawakkal kepada Zat yang menguasai ‘Arsy—sesuatu yang meliputi seluruh alam semesta dan merupakan batas tertinggi penciptaan—maka tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat merugikannya. Ketakutan apapun menjadi tidak relevan di hadapan kedaulatan Sang Pemilik ‘Arsy.

III. Integrasi Dua Ayat: Harmoni Rahmat dan Kekuatan

Ayat 128 dan 129, meskipun berbeda fokus, saling melengkapi sebagai penutup Surah At-Taubah. Ayat 128 menjelaskan sifat ideal seorang da’i dan pemimpin (Rasulullah ﷺ) yang penuh kasih sayang dan pengorbanan, sementara Ayat 129 mengajarkan kepada Rasulullah dan umatnya bahwa usaha keras harus diakhiri dengan pasrah total kepada Allah. Mereka mewakili dua sayap keimanan: Syariat (aksi) dan Hakikat (keyakinan).

A. Kontras Rahmat Manusia dan Rahmat Ilahi

Ayat 128 menunjukkan rahmat Rasulullah yang terbatas, terikat pada kemanusiaan beliau dan upaya dakwah beliau. Namun, ayat 129 menegaskan bahwa rahmat sejati berasal dari Allah yang Mahakuasa, Pemilik ‘Arsy. Ini adalah pelajaran penting: Cinta dan kasih sayang Nabi adalah saluran, namun sumber kekuatan mutlak adalah Allah. Ketika manusia berpaling, Rasulullah tidak berputus asa, karena beliau tahu bahwa Rabbnya adalah sandaran sejati.

B. Sikap Ideal Seorang Mukmin

Kedua ayat ini menjadi panduan perilaku bagi mukmin:

  1. Berusaha Keras dengan Empati: Melakukan dakwah dan perbaikan sosial dengan sepenuh hati, merasakan penderitaan orang lain (mengambil sifat 128).
  2. Pasrah Penuh: Setelah usaha maksimal, hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, mengakui bahwa hidayah adalah milik-Nya semata (mengambil sifat 129).

IV. Analisis Linguistik dan Filosofis Mendalam

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah setiap elemen kunci dalam dua ayat ini dari sudut pandang filologi Arab dan teologi Islam, memperluas cakrawala pemahaman kita jauh melampaui terjemahan literal.

A. Mendalami Konsep ‘Azīz dan Ḥarīṣ

Dalam tafsir bahasa, kata ‘Azīz (berat terasa) bukan hanya berarti sulit, tetapi juga mengandung makna kehormatan dan kemuliaan. Penderitaan umat ‘Azīzun ‘alaihi karena penderitaan itu merendahkan harkat manusia. Nabi melihat penderitaan umat sebagai sesuatu yang tidak layak bagi kemuliaan yang telah Allah siapkan bagi mereka. Oleh karena itu, beliau berjuang dengan penuh martabat untuk menyelamatkan mereka.

Perbedaan antara Ḥarīṣ dan sekadar 'ingin' juga vital. Ḥarīṣ membawa konotasi ketamakan yang positif, yaitu ketamakan yang mulia untuk kebaikan orang lain. Dalam konteks dunia, ketamakan dicela, namun dalam konteks hidayah, ketamakan Nabi untuk melihat umatnya selamat adalah bukti cinta yang paling murni. Beliau menginginkan kebaikan bagi umatnya lebih dari yang umat inginkan bagi diri mereka sendiri.

Tingkat keintiman bahasa ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an secara cermat memilih kata-kata yang menggambarkan intensitas emosi seorang Nabi, membedakan beliau dari pemimpin atau guru biasa. Keberhasilan dakwah beliau tidak hanya didukung oleh mukjizat, tetapi juga oleh otentisitas emosional yang mendalam.

B. Kekuatan Eksklusivitas Tawakkul

Dalam ayat 129, frasa عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ (‘Alaihi tawakkaltu) meletakkan kata ‘alaihi (hanya kepada-Nya) di awal. Dalam tata bahasa Arab, penempatan kata depan seperti ini menunjukkan eksklusivitas atau qasr. Artinya, Tawakkul tidak hanya ditujukan kepada Allah, tetapi *hanya* kepada Allah dan tidak kepada yang lain sedikit pun—tidak kepada kekayaan, tidak kepada jabatan, tidak kepada manusia kuat, bahkan tidak kepada kecerdasan diri sendiri.

Eksklusivitas ini adalah ciri khas tauhid dalam tindakan. Tawakkul yang tidak eksklusif (yaitu masih menyandarkan hati kepada sebab-sebab lain di samping Allah) dianggap cacat dan mengurangi kesempurnaan iman. Melalui penempatan ini, ayat tersebut memberikan penekanan maksimum pada kemurnian Tawakkul yang dituntut dari seorang mukmin sejati.

C. ‘Arsyil ‘Aẓīm dan Ruang Kosmologis

Penyebutan ‘Arsyil ‘Aẓīm (Singgasana yang agung) dalam penutup ini memberikan dimensi kosmologis pada Tawakkul. Secara teologis, ‘Arsy adalah ciptaan terbesar Allah, yang berada di atas semua langit dan makhluk. Mengaitkan Tawakkul dengan Rabbul ‘Arsyil ‘Aẓīm memperluas pandangan mukmin dari urusan duniawi yang sempit menjadi kesadaran akan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas.

Setiap masalah yang dihadapi manusia, betapapun besarnya (penolakan, perang, kemiskinan), menjadi kecil dan remeh di hadapan Dzat yang menguasai ciptaan terbesar. Tafsir ini memberikan ketenangan yang tidak tergoncangkan. Ini adalah penegasan bahwa setiap mukmin memiliki dukungan dari Penguasa Kosmos, dan tidak ada yang perlu ditakutkan.

V. Warisan Praktis dan Aplikasi Kontemporer

Kedua ayat penutup ini, meskipun diwahyukan dalam konteks ujian Madinah pada masa Nabi, tetap relevan dan berfungsi sebagai piagam etika dan spiritualitas bagi umat Islam di setiap zaman.

A. Menghidupkan Sifat Ra’ūf dan Raḥīm dalam Kepemimpinan

Bagi pemimpin, pendidik, dan figur publik Muslim, ayat 128 adalah standar perilaku. Seorang pemimpin harus memiliki empati yang mendalam terhadap kesulitan rakyatnya (Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum). Kepemimpinan Islam yang ideal bukanlah tentang otoritas yang menindas, melainkan tentang pelayanan yang berlandaskan kasih sayang. Keringanan (rukhsah) dan memudahkan urusan harus menjadi prinsip utama, sepanjang tidak melanggar batasan syariat.

Dalam konteks dakwah, sifat ḥarīṣun ‘alaikum mengajarkan bahwa dai harus memiliki semangat yang membara untuk keselamatan audiensnya, bukan untuk popularitas pribadi. Dakwah harus dilakukan dengan kelembutan (Ra’ūf) agar pesan Rahmat Allah dapat diterima, dan dengan keteguhan (Raḥīm) untuk memastikan manfaatnya berkesinambungan.

B. ‘Ḥasbiyallāh’ dalam Menghadapi Krisis Modern

Dalam kehidupan modern yang penuh ketidakpastian—krisis ekonomi, bencana alam, tekanan politik—ayat 129 memberikan solusi spiritual yang tak tergantikan. Ketika seorang mukmin telah menggunakan segala kemampuan rasional dan materialnya (aspek kasb atau usaha), namun hasil yang diharapkan belum juga tercapai, ia harus kembali kepada Ḥasbiyallāh.

Ini adalah terapi psikologis Islam yang paling efektif, menghilangkan kecemasan dan keputusasaan. Keyakinan bahwa Allah adalah ‘Arsyil ‘Aẓīm berarti bahwa tidak ada kekuatan di Wall Street, di markas militer manapun, atau di laboratorium manapun yang dapat mengalahkan rencana Ilahi. Tawakkul adalah pilar kekuatan batin mukmin dalam menghadapi badai kehidupan.

Jika kita tinjau lebih lanjut, Tawakkul mencegah dua penyakit ekstrem:

VI. Penempatan Historis dan Signifikansi Penutup Surah

Surah At-Taubah, khususnya dua ayat penutup ini, memiliki latar belakang historis yang penting. Surah ini diwahyukan menjelang akhir masa kenabian, setelah banyak ujian berat, seperti perang Tabuk dan pengungkapan kaum munafik di Madinah. Suasana surah secara keseluruhan keras dan menuntut ketegasan iman. Namun, penutupnya memberikan sentuhan belas kasih dan ketenangan yang menyeimbangkan tuntutan tersebut.

A. Kesempurnaan Risalah

Penempatan ayat 128-129 di akhir Surah At-Taubah, yang merupakan salah satu surah terakhir yang diwahyukan secara kronologis, menegaskan bahwa pesan akhir Islam tidak pernah jauh dari Rahmat dan Tauhid. Seolah-olah, setelah semua aturan keras tentang peperangan dan munafik telah ditetapkan, Allah menutup risalahnya dengan mengingatkan umat pada hakikat Sang Rasul: kasih sayang. Ini adalah konfirmasi abadi bahwa Islam adalah agama Rahmat, yang didasarkan pada kasih sayang dan penyerahan diri.

B. Kekuatan Keyakinan dalam Menghadapi Ancaman

Pada masa itu, kaum Muslimin menghadapi ancaman dari Bizantium, internal dari kaum munafik, dan kesulitan ekonomi. Ayat 129 berfungsi sebagai penyuntik moral terbesar. Ia mengajarkan bahwa betapapun besar musuh di luar sana, jika sandaran hati adalah Rabbul ‘Arsyil ‘Aẓīm, maka umat tidak akan pernah hancur. Keyakinan ini mengikat hati para sahabat dalam periode paling kritis dalam sejarah Islam.

Para ulama tafsir klasik, seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir, sering membahas keistimewaan kedua ayat ini, bahkan ada yang menyarankan bahwa membaca keduanya dapat mendatangkan perlindungan dan kecukupan, karena mengandung nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Maha Tinggi serta manifestasi kasih sayang Nabi-Nya. Kekuatan ayat ini terletak pada rangkuman menyeluruhnya atas hubungan tripartit: Allah (Rabbul ‘Arsy), Rasul (Ra’ūf Raḥīm), dan Mukmin (yang Tawakkal).

VII. Menghadirkan Makna Ra’ūf dan Raḥīm dalam Kehidupan Sosial

Penerapan sifat Ra’ūf dan Raḥīm tidak berhenti pada level pemimpin spiritual. Setiap individu mukmin diwajibkan untuk meniru sifat-sifat ini sesuai dengan kapasitasnya. Bagaimana seorang mukmin menjadi ‘Ra’ūf’ dan ‘Raḥīm’ bagi lingkungannya?

A. Ra’ūf dalam Interaksi Keluarga

Seorang suami atau istri harus bersikap Ra’ūf terhadap pasangannya, artinya cepat merasakan beban dan kesulitan yang dialami oleh pasangan, dan berusaha meringankan beban tersebut. Ini adalah kasih sayang preventif. Dalam mendidik anak, sifat Ra’ūf berarti tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan anak dan memberikan keringanan ketika mereka menghadapi kesulitan.

B. Raḥīm dalam Kebaikan Jangka Panjang

Sifat Raḥīm diwujudkan dalam tindakan yang menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat. Ini bisa berupa pembangunan sekolah, sumbangan amal jariah, atau mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Ini adalah cinta yang berinvestasi pada masa depan, memastikan bahwa kebaikan terus mengalir meskipun individu yang melakukannya telah tiada.

Jika kita hanya fokus pada keadilan murni tanpa Ra’fah, masyarakat akan menjadi kaku dan kejam. Namun, dengan menggabungkan keadilan dengan Ra’ūf dan Raḥīm, seperti yang dicontohkan Rasulullah ﷺ, kita menciptakan masyarakat yang berlandaskan kekuatan spiritual dan kelembutan moral.

VIII. Pengujian Konsep Tawakkul (Pasrah)

Tawakkul dalam ayat 129 bukanlah sekadar mantra yang diucapkan, melainkan sebuah kondisi spiritual yang harus diuji dan dipertahankan. Konsep ini menuntut kesadaran penuh bahwa kekuasaan manusia memiliki batas, sementara kekuasaan Allah tak terbatas. Ujian Tawakkul terjadi saat seseorang dihadapkan pada situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar.

A. Tawakkul dan Ilmu Pengetahuan

Dalam bidang keilmuan, Tawakkul berarti bahwa ilmuwan dan peneliti harus berusaha maksimal dalam eksperimen mereka, namun harus mengakui bahwa hasil akhir dan penemuan besar adalah karunia (fadhilah) dari Allah. Penelitian adalah upaya (kasb), tetapi kebijaksanaan dan penyingkapan rahasia alam semesta adalah milik Rabbul ‘Arsyil ‘Aẓīm. Kesombongan intelektual adalah lawan dari Tawakkul.

B. Tawakkul dan Kekuatan Finansial

Dalam urusan harta, seorang mukmin bekerja keras dan merencanakan keuangan, namun hatinya tidak bersandar pada tabungan atau asetnya. Sebaliknya, ia menyandarkan diri pada Allah, yang merupakan Rāziq (Maha Pemberi Rezeki). Jika terjadi kerugian, ia tidak jatuh ke dalam keputusasaan karena ia memahami bahwa Allah adalah Ḥasbiyallāh—Dia yang mencukupi.

Dengan demikian, dua ayat penutup Surah At-Taubah berfungsi sebagai penutup yang monumental, memberikan keseimbangan sempurna antara etika tindakan manusia (Rahmat Kenabian) dan keutamaan penyerahan diri kepada kekuasaan Ilahi (Tauhid dan Tawakkul). Keduanya mengajarkan bahwa jalan menuju kesempurnaan iman adalah melalui upaya yang didorong oleh kasih sayang yang mendalam, yang kemudian dimahkotai dengan kepercayaan mutlak kepada Sang Pencipta ‘Arsy yang Agung.

Ayat-ayat ini adalah harta karun spiritual, mengundang setiap pembacanya untuk merenungkan kedalaman kasih sayang yang ditunjukkan oleh Nabi, dan menumbuhkan kepercayaan tak tergoyahkan pada kekuasaan Allah yang mencakup segala sesuatu di alam semesta. Inilah pesan abadi dari penutup Surah At-Taubah.

🏠 Homepage