alt: Simbol Kitab Ilmu dan Pena, mewakili kewajiban mendalami agama (Tafaqquh Fiddin).
Di antara sekian banyak ayat Al-Qur'an yang membahas tatanan sosial, moral, dan kewajiban strategis umat, Surah At-Taubah Ayat 122 menduduki posisi yang sangat fundamental. Ayat ini bukan hanya sekadar instruksi moral, melainkan cetak biru (blueprint) metodologis bagi pembentukan struktur kepemimpinan dan transmisi pengetahuan dalam komunitas Muslim. Ia menegaskan prioritas strategis bahwa tidak semua orang harus bergerak ke medan jihad, melainkan harus ada sekelompok orang yang tinggal di pusat peradaban untuk mendalami ilmu agama secara intensif. Pemahaman mendalam (Tafaqquh Fiddin) yang diamanatkan dalam QS At-Taubah ayat 122 adalah pilar utama yang menentukan kelangsungan dan kualitas peradaban Islam.
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [9]: 122)
I. Tafsir dan Konteks Historis Ayat
Ayat ini diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad, setelah Perang Tabuk. Pada masa itu, terdapat kecenderungan di kalangan sahabat untuk ikut serta dalam setiap ekspedisi militer, dipicu oleh semangat jihad yang tinggi. Namun, jika seluruh umat bergerak ke medan tempur, pusat-pusat ilmu akan kosong dan tidak akan ada yang mampu mengajarkan ajaran agama kepada generasi selanjutnya, serta memberikan fatwa hukum bagi mereka yang membutuhkan di kota-kota besar.
A. Makna Kunci: Nafar, Tafaqquh, dan Indzar
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah tiga terminologi kunci yang menjadi fondasinya:
- An-Nafaru (النَّفْرُ): Secara harfiah berarti 'berangkat' atau 'bergerak cepat'. Dalam konteks awal, ia merujuk pada keberangkatan untuk berperang (jihad). Ayat ini mengajarkan bahwa nafar tidak boleh bersifat menyeluruh (كَآفَّةً - semuanya). Harus ada pembagian tugas yang strategis.
- Tafaqquh Fiddin (لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ): Ini adalah istilah sentral. Fiqh (فقه) adalah pemahaman yang mendalam, bukan sekadar pengetahuan permukaan. Tafaqquh adalah upaya intensif dan berkelanjutan untuk mencapai kedalaman pemahaman dalam semua aspek agama: akidah, syariat, akhlak, dan rahasia-rahasia hukum (hikmah tasyri'). Ini adalah tugas yang menuntut dedikasi penuh, meninggalkan kesibukan duniawi yang lain untuk sementara waktu demi mencapai kemahiran (spesialisasi).
- Al-Indzar (وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ): Berarti 'memberi peringatan' atau 'memberi nasihat'. Setelah mencapai tafaqquh, kewajiban selanjutnya adalah transmisi ilmu tersebut. Indzar bukan hanya sekadar transfer informasi, tetapi penyampaian yang disertai pemahaman akan konsekuensi spiritual dan hukum, sehingga audiens mampu menjaga diri (لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ).
B. Pandangan Ulama Klasik
Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam At-Thabari menekankan bahwa ayat ini merupakan penetapan Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) bagi umat Islam. Jika sebagian sudah melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, kewajiban ini sangat spesifik: sebagian bergerak untuk urusan dunia atau pertahanan, dan sebagian lagi harus berdedikasi untuk urusan ilmu.
Imam Ibn Katsir menafsirkan bahwa ketika sebuah ekspedisi militer (jihad) bersifat fardhu kifayah, maka lebih utama bagi sekelompok orang yang memiliki potensi keilmuan untuk tetap berada di pusat kota guna mempelajari dan mengajarkan agama. Ini menunjukkan bahwa pembangunan intelektual dan spiritual masyarakat memiliki bobot yang setara, bahkan terkadang lebih utama, dibandingkan keterlibatan fisik dalam konflik yang tidak bersifat wajib bagi semua individu.
Pesan utama dari tafsir klasik adalah bahwa masyarakat Islam yang sehat harus selalu memiliki tulang punggung keilmuan yang kuat. Ilmu bukan sekadar tambahan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjaga umat dari kesesatan dan penyimpangan hukum. Keseimbangan antara kegiatan praktis (jihad/pekerjaan) dan kegiatan teoretis (ilmu) adalah inti dari hukum tatanan masyarakat yang diajarkan oleh QS At-Taubah ayat 122.
II. Tafaqquh Fiddin: Lebih dari Sekadar Belajar
Istilah Tafaqquh menuntut tingkat kedalaman yang jauh melampaui pembelajaran biasa atau hafalan. Ia adalah proses holistik yang mencakup penguasaan metodologi (ushul), pemahaman komparatif (fiqh muqaran), dan kemampuan untuk merespons permasalahan kontemporer (istinbath hukum).
A. Dimensi Metodologis (Ushuliyah)
Tafaqquh yang otentik harus berbasis pada penguasaan ushul al-fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam). Seorang ahli agama tidak hanya tahu bahwa suatu hal itu halal atau haram, tetapi ia harus memahami:
- Sumber Primer (Nash): Kemampuan membaca dan menafsirkan Al-Qur'an dan Hadis sesuai kaidah bahasa Arab dan konteks historis.
- Ijma' dan Qiyas: Memahami konsensus ulama dan kemampuan melakukan analogi hukum terhadap isu-isu baru yang belum pernah disinggung nash secara eksplisit.
- Maqashid Syariah: Pemahaman mendalam tentang tujuan universal syariat (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Semua fatwa harus diarahkan untuk memenuhi tujuan-tujuan luhur ini.
- Penghargaan terhadap Khilaf: Memahami perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf) dan mengetahui argumen-argumen di balik setiap mazhab, sehingga tidak mudah menyalahkan pandangan lain yang masih berada dalam koridor syariat.
Tanpa penguasaan metodologis ini, ilmu yang diperoleh hanyalah kumpulan data, bukan fiqh sejati. Inilah yang membedakan seorang ulama yang ahli (faqih) dari seorang yang sekadar hafal (muhaddits atau qari) dalam konteks ayat 122.
B. Tafaqquh dan Spesialisasi Ilmu
Kewajiban Tafaqquh dalam ayat ini menunjukkan perlunya spesialisasi. Di zaman modern, kompleksitas ilmu pengetahuan dan isu-isu umat semakin besar. Tidak mungkin satu orang menguasai semua bidang (fiqh, hadits, tafsir, sejarah, ekonomi syariah, dll.). Oleh karena itu, mandat dari QS 9:122 terwujud dalam pendirian institusi pendidikan tinggi agama (pesantren, madrasah, universitas Islam) yang melahirkan para spesialis.
Ayat ini mengajarkan prinsip "pembagian kerja strategis." Sebagian umat mengurus ekonomi, sebagian politik, sebagian teknologi, namun harus ada kelompok inti yang fokus 100% pada ilmu agama agar landasan spiritual dan moral umat tidak goyah. Kelompok inilah yang memiliki otoritas untuk melaksanakan Indzar, karena mereka memiliki kedalaman ilmu yang diakui.
Dedikasi terhadap ilmu agama adalah sebuah pengorbanan yang setara dengan pengorbanan di medan perang. Mereka yang melakukan Tafaqquh melindungi benteng spiritual umat, sama pentingnya dengan mereka yang melindungi benteng fisik. Ayat ini menjamin bahwa peran akademisi agama adalah peran yang mulia dan sangat vital bagi kelangsungan peradaban.
III. Implementasi dan Konsekuensi Al-Indzar
Tujuan akhir dari Tafaqquh Fiddin bukanlah kepuasan intelektual pribadi, melainkan untuk melaksanakan Al-Indzar—memberikan peringatan dan pengajaran kepada masyarakat luas. Ilmu yang tidak dibagikan adalah ilmu yang terputus manfaatnya.
A. Kewajiban Transmisi Ilmu
Perintah “...untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya...” menunjukkan bahwa mereka yang telah mendalami ilmu wajib kembali ke masyarakat asal mereka. Ini mencegah terjadinya elit pengetahuan yang terisolasi dari realitas umat. Ilmu harus disalurkan ke akar rumput.
Indzar meliputi:
- Pendidikan (Ta’lim): Mengajarkan dasar-dasar agama.
- Nasihat (Nush): Memberikan panduan moral dan etika.
- Peringatan (Tahdzir): Menjelaskan bahaya-bahaya kesesatan, bid’ah, dan pelanggaran syariat.
- Fatwa (Ifta): Memberikan solusi hukum terhadap masalah-masalah kontemporer.
Proses ini memerlukan metodologi dakwah yang bijak (hikmah) dan santun (mau’izah hasanah). Indzar yang dilakukan oleh seorang faqih (orang yang tafaqquh) memiliki bobot dan otoritas karena didukung oleh pemahaman hukum yang solid dan komprehensif, berbeda dengan dakwah yang hanya didasarkan pada semangat emosional semata. Masyarakat yang menerima peringatan dari seorang faqih diharapkan dapat 'menjaga diri' (لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ) karena mereka yakin akan kebenaran sumbernya.
B. Indzar dalam Konteks Kekinian
Di era digital, Indzar tidak lagi terbatas pada majelis fisik. Ayat 122 menuntut para ahli agama modern untuk menguasai medium kontemporer. Jika di masa lalu Indzar adalah kembalinya sekelompok orang dari Madinah ke kabilah mereka, hari ini Indzar berarti:
1. Penguasaan Media: Menghadirkan konten keagamaan yang berkualitas dan mendalam di platform digital (internet, media sosial) untuk melawan arus informasi yang dangkal atau sesat.
2. Dialog Antar Peradaban: Para ahli fiqh harus mampu menjelaskan hukum dan moralitas Islam dalam bahasa yang dipahami oleh non-Muslim dan masyarakat sekuler, menjalankan peran sebagai duta peradaban.
3. Respon Cepat terhadap Krisis: Mampu mengeluarkan fatwa yang relevan dan memberikan bimbingan spiritual saat terjadi bencana, konflik, atau krisis moral global.
Kegagalan melaksanakan Indzar secara efektif akan menghasilkan kevakuman spiritual yang cepat diisi oleh ideologi-ideologi ekstrem, sekularisme yang berlebihan, atau pemahaman agama yang sempit dan literalis. Ayat ini adalah seruan untuk memelihara kepemimpinan intelektual umat secara berkelanjutan.
IV. Implikasi Fikih: Prioritas Tugas dan Pengorbanan
QS At-Taubah 122 memberikan landasan kuat bagi hukum Islam tentang prioritas (fiqh al-awlawiyat) dan pengorbanan yang diperlukan untuk ilmu.
A. Kedudukan Ilmu di Atas Jihad Fardhu Kifayah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika jihad yang dilakukan berstatus Fardhu Kifayah, maka tugas Tafaqquh Fiddin oleh sekelompok orang adalah lebih utama, atau setidaknya setara. Argumentasinya adalah bahwa jihad fisik hanya melindungi batas-batas negara, sedangkan ilmu (Tafaqquh) melindungi batas-batas akidah, syariat, dan moralitas umat—suatu benteng pertahanan internal yang lebih penting bagi eksistensi jangka panjang peradaban.
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, dalam konteks yang lebih luas, menekankan bahwa tanpa ilmu yang memadai, jihad itu sendiri bisa menjadi bumerang, mengarah pada tindakan sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan syariat tentang peperangan. Oleh karena itu, tugas Tafaqquh adalah prasyarat bagi semua aktivitas besar umat.
B. Konsep "Thoifah" (Kelompok Kecil)
Ayat ini menggunakan kata "طَآئِفَةٌ" (sekelompok kecil). Ini menyiratkan bahwa kewajiban Tafaqquh Fiddin bukanlah kewajiban bagi semua orang, tetapi harus diemban oleh sejumlah orang yang berkualitas dan mendedikasikan diri sepenuhnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas dalam pencapaian ilmu yang mendalam.
Konsep ‘Thoifah’ ini membuka ruang bagi umat Islam untuk profesionalisme dalam bidang lain. Seorang Muslim boleh menjadi insinyur, dokter, atau pengusaha. Namun, harus ada dukungan penuh bagi ‘Thoifah’ ilmuwan agama, baik dukungan moral, finansial, maupun struktural, agar mereka bisa fokus pada tugas sakral mereka.
Jika semua orang merasa cukup dengan ilmu dasar (Fardhu Ain) dan tidak ada yang beranjak menuju ilmu spesialisasi (Fardhu Kifayah), maka seluruh umat akan berdosa. Ketidakmampuan umat Islam modern untuk merespon tantangan baru secara hukum seringkali berakar pada kelalaian memenuhi tuntutan Tafaqquh yang strategis ini.
V. Membangun Ekosistem Tafaqquh di Masa Kontemporer
Relevansi QS At-Taubah ayat 122 hari ini bukan hanya masalah teori, melainkan masalah praktis tentang bagaimana umat Islam menyusun prioritas sumber daya dan pendidikan mereka. Dalam konteks Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, mandat ini menuntut investasi besar dalam infrastruktur keilmuan.
A. Tiga Pilar Pendidikan Tafaqquh
Pembangunan Tafaqquh harus didasarkan pada tiga pilar utama:
1. Kualitas Kurikulum (Maddah): Kurikulum harus komprehensif, mencakup ilmu alat (Nahwu, Shorof, Mantiq), ilmu inti (Tafsir, Hadits, Fiqh Muqaran), dan ilmu kontemporer (Ekonomi Islam, Fiqh Lingkungan, Bioetika). Kurikulum yang kaku dan tidak responsif akan gagal melahirkan faqih yang relevan.
2. Kualitas Pengajar (Ustadz/Kyai): Pengajar haruslah memiliki sanad keilmuan yang jelas dan penguasaan metodologi yang kuat. Kualitas guru adalah penentu utama kedalaman pemahaman murid. Harus ada mekanisme regenerasi guru yang fokus dan berdedikasi.
3. Lingkungan Intelektual (Biah Ilmiyah): Lingkungan pendidikan harus kondusif untuk penelitian mendalam, diskusi kritis, dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab. Budaya literasi, penelitian, dan penulisan menjadi ciri khas dari lingkungan yang mendukung Tafaqquh.
B. Bahaya Mengabaikan Tafaqquh Fiddin
Apabila kewajiban Tafaqquh diabaikan, masyarakat akan menghadapi beberapa ancaman serius:
- Kesalahan Interpretasi (Ta’wil): Umat akan mudah terjerumus dalam pemahaman agama yang salah karena didasarkan pada teks tanpa konteks (literalisme buta) atau, sebaliknya, interpretasi yang terlalu liberal tanpa kaidah.
- Kekosongan Kepemimpinan: Ketiadaan ahli fikih yang mumpuni menyebabkan umat mencari panduan dari mereka yang tidak memiliki kualifikasi (ulama dadakan atau 'selebriti agama'), yang seringkali menyesatkan.
- Kekalahan Peradaban: Masyarakat Islam tidak akan mampu menawarkan solusi syariah yang kredibel terhadap tantangan global seperti krisis iklim, utang internasional, atau konflik bioetika.
- Intoleransi dan Fanatisme: Fiqh yang dangkal sering melahirkan fanatisme mazhab dan intoleransi. Tafaqquh sejati justru menghasilkan keluasan pandangan (tasamuh) karena memahami bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang berdasar.
Oleh karena itu, kewajiban yang digariskan dalam QS At-Taubah ayat 122 adalah pertahanan strategis peradaban. Ia memastikan bahwa akal umat selalu diterangi oleh cahaya ilmu yang autentik dan mendalam, sehingga umat tidak hanya bersemangat dalam beribadah, tetapi juga cerdas dalam menjalankan syariat.
VI. Memperluas Cakupan Filosofis Tafaqquh Fiddin
Untuk mencapai bobot yang mendalam, kita harus melihat Tafaqquh Fiddin bukan hanya sebagai proses belajar-mengajar, tetapi sebagai orientasi hidup dan cara pandang filosofis.
A. Tafaqquh sebagai Pengembangan Akal dan Jiwa
Ayat ini mengajak kita untuk mengakui bahwa akal (intellect) yang dikembangkan melalui ilmu agama adalah alat utama untuk berinteraksi dengan wahyu. Tafaqquh Fiddin melatih akal untuk membedakan antara yang esensial (ushul) dan yang furu' (cabang), antara tujuan (maqashid) dan sarana (wasa'il). Proses ini membersihkan hati dari keraguan (syubhat) dan nafsu (syahwat).
Seorang yang tafaqquh akan memiliki pemahaman yang stabil tentang takdir dan pilihan manusia, tentang hakikat keadilan dan rahmat Allah. Ini bukan sekadar pemahaman teknis hukum, tetapi pemahaman eksistensial tentang mengapa Allah memerintahkan sesuatu dan melarang yang lain. Filosofi ini memberikan kedamaian batin dan kekuatan moral yang dibutuhkan saat berhadapan dengan fitnah dunia.
B. Peran Tafaqquh dalam Membangun Keadilan Sosial
Salah satu tujuan terbesar dari Indzar yang lahir dari Tafaqquh adalah terwujudnya keadilan sosial (al-adl wal ihsan). Fiqih yang mendalam akan menelurkan kebijakan publik dan hukum ekonomi yang berpihak pada kaum lemah, menolak eksploitasi, dan menjamin distribusi kekayaan yang merata.
Para faqih yang kembali ke masyarakat (melaksanakan Indzar) membawa serta bukan hanya ritual, tetapi juga panduan tentang zakat, wakaf, dan muamalat yang bertujuan menciptakan masyarakat madani. Jika Tafaqquh terabaikan, hukum akan dikuasai oleh kepentingan politik dan ekonomi, yang pada akhirnya merusak tatanan keadilan yang diimpikan oleh syariat.
Kewajiban menjaga keseimbangan antara aksi dan studi, seperti yang ditetapkan dalam QS At-Taubah 122, adalah warisan abadi yang menuntut umat Islam untuk selalu memelihara institusi keilmuan mereka sebagai jantung peradaban yang berdenyut.
VII. Analisis Sosiologis dan Psikologis Kewajiban Kolektif
Kajian mendalam terhadap QS 9:122 juga menyentuh aspek sosiologis dan psikologis kolektif umat. Ayat ini merancang strategi ketahanan sosial dan manajemen krisis pengetahuan.
A. Sosiologi Pembagian Tugas (Division of Labor)
Ayat ini secara eksplisit melegitimasi spesialisasi keilmuan sebagai bagian integral dari kewajiban sosial. Dalam ilmu sosiologi modern, pembagian kerja adalah indikator peradaban maju. Dalam konteks Islam, pembagian kerja ini tidak hanya ekonomis (siapa yang berdagang dan siapa yang bertani) tetapi juga spiritual dan intelektual: sebagian mengurus benteng fisik (dunia), sebagian mengurus benteng spiritual (ilmu).
Jika semua orang fokus pada satu hal—misalnya jihad atau mencari kekayaan—maka terjadi ketidakseimbangan sosial. Ketidakseimbangan ini menghasilkan kelemahan jangka panjang. Kewajiban Tafaqquh memastikan bahwa setiap generasi memiliki “bank pengetahuan” yang kaya, siap dicairkan dalam bentuk fatwa dan nasihat saat dibutuhkan. Ini adalah asuransi intelektual umat.
B. Implikasi Psikologis Tafaqquh dan Indzar
Bagi individu yang ditunjuk untuk Tafaqquh, ayat ini memberikan legitimasi spiritual atas dedikasi mereka yang panjang dan seringkali sunyi. Belajar ilmu agama mendalam adalah proses yang melelahkan dan penuh pengorbanan, seringkali jauh dari sorotan publik.
Secara psikologis, Tafaqquh menuntut ketekunan (istiqamah), kerendahan hati, dan penguasaan ego. Seorang faqih sejati harus selalu merasa kurang ilmunya. Kualitas ini sangat penting, karena saat ia melaksanakan Indzar, ia tidak didorong oleh kesombongan, tetapi oleh rasa tanggung jawab. Indzar yang dilakukan dengan dasar Tafaqquh menghasilkan ketenangan dan keyakinan, baik bagi pemberi nasihat maupun penerima nasihat.
Di sisi lain, bagi masyarakat umum, mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang mendedikasikan hidupnya untuk Tafaqquh memberikan rasa aman spiritual. Masyarakat merasa terjamin bahwa jika mereka menghadapi masalah rumit, ada rujukan yang solid dan kredibel.
VIII. Pergulatan Ilmu dan Aksi: Solusi QS 9:122
Sepanjang sejarah peradaban, terjadi dikotomi antara mereka yang menekankan aksi (amaliyah) dan mereka yang menekankan studi teoretis (nazhariyah). QS 9:122 memberikan resolusi ilahi terhadap dikotomi ini, menegaskan bahwa keduanya adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
A. Ilmu Tanpa Aksi adalah Hampa
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa tujuan Tafaqquh adalah Indzar (memberi peringatan). Ini berarti ilmu yang mendalam harus bermuara pada tindakan, yaitu transmisi dan implementasi dalam kehidupan nyata. Ilmu yang hanya tersimpan di perpustakaan atau di kepala individu tanpa diwujudkan dalam nasihat, fatwa, atau solusi sosial adalah ilmu yang tidak berkah. Ulama yang takut berbicara kebenaran atau yang memilih mengisolasi diri dari problematika umat telah gagal memenuhi amanat Indzar.
B. Aksi Tanpa Ilmu adalah Kesesatan
Sebaliknya, aksi—termasuk jihad, dakwah, atau gerakan sosial—tanpa dasar ilmu yang mendalam (Tafaqquh) berpotensi besar menyimpang. Emosi dan semangat membara harus dipandu oleh kaidah syariat yang ketat, yang hanya bisa dikuasai melalui Tafaqquh Fiddin.
Banyak kelompok ekstremis modern, misalnya, memiliki semangat aksi yang tinggi (berani berkorban), namun minimnya Tafaqquh (pemahaman ushul, maqashid, dan fiqh prioritas) menyebabkan mereka mudah menghalalkan darah dan melanggar etika perang. Ayat 122 menegaskan bahwa ilmu harus mendahului aksi besar, karena ilmu adalah kompas yang menjaga agar aksi tetap berada di jalur Allah.
Keseimbangan ini adalah rahasia kekuatan umat Islam. Ketika kaum Muslimin mengabaikan QS At-Taubah 122, mereka cenderung jatuh ke dalam salah satu dari dua jurang: entah menjadi kaum sufi yang pasif dan hanya beribadah tanpa peduli nasib umat, atau menjadi kaum aktivis yang fanatik dan bergerak tanpa panduan syariat yang benar.
IX. Peran Institusi Pendidikan Islam: Warisan Ayat 122
Institusi pendidikan Islam, mulai dari pesantren tradisional hingga universitas modern, adalah manifestasi fisik dari perintah ilahi dalam QS At-Taubah 122. Mereka adalah benteng-benteng Tafaqquh.
A. Pesantren sebagai Model Tafaqquh
Pesantren, dalam tradisi Nusantara, secara sempurna mereplikasi konsep Thoifah. Para santri (siswa) meninggalkan kampung halaman mereka (nafar) untuk berdiam di lingkungan pondok, mendedikasikan tahun-tahun terbaik mereka untuk mendalami kitab kuning (Tafaqquh Fiddin), dan setelah lulus, mereka kembali ke desa atau kota mereka untuk menjadi ulama, kiai, atau guru (Indzar).
Model pendidikan berbasis asrama ini sangat penting karena menuntut totalitas, isolasi sementara dari hiruk pikuk dunia, yang memang menjadi syarat untuk mencapai kedalaman ilmu (Tafaqquh) yang hakiki. Totalitas ini memastikan bahwa mereka tidak hanya belajar, tetapi menghayati ilmu tersebut.
B. Tantangan Modernisasi dan Tafaqquh
Tantangan terbesar institusi hari ini adalah bagaimana mempertahankan kedalaman Tafaqquh Fiddin (tradisi keilmuan klasik) sambil merespons tantangan modern. Ayat 122 tidak pernah membatasi ilmu hanya pada fiqh ibadah, tetapi mencakup seluruh aspek fiddin (dalam agama).
Oleh karena itu, Tafaqquh modern harus mencakup:
- Fikih Media dan Komunikasi.
- Fikih Keuangan dan Pasar Modal Syariah.
- Fikih Etika dan Teknologi (AI, Bioteknologi).
- Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif.
Jika lembaga pendidikan gagal memasukkan dimensi-dimensi ini, maka Indzar yang mereka laksanakan akan menjadi usang dan tidak relevan, sehingga umat tidak 'menjaga dirinya' (لا يحرصون) dari bahaya-bahaya modern yang tidak mereka pahami.
Intinya, QS 9:122 adalah panggilan abadi untuk pembaharuan intelektual (tajdid). Pembaharuan ini harus dipimpin oleh kelompok yang secara sadar mendedikasikan diri untuk mencapai pemahaman terdalam tentang wahyu Allah, sehingga mereka mampu menjadi mercusuar bagi seluruh umat, baik di masa damai maupun di masa konflik, baik di masa teknologi maju maupun di masa sederhana.
X. Penutup: Kewajiban Abadi Menjaga Cahaya Ilmu
Keseluruhan analisis terhadap QS At-Taubah ayat 122 menunjukkan bahwa perintah Tafaqquh Fiddin adalah salah satu perintah strategis paling penting dalam Al-Qur'an. Ia bukan hanya sekadar anjuran, tetapi perintah struktural yang harus dipenuhi oleh setiap komunitas Muslim di mana pun mereka berada.
Kewajiban ini memastikan bahwa umat Islam tidak pernah kehabisan ahli waris para nabi, yaitu para ulama yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara yang maslahat dan yang mudharat. Ketika umat berpegang teguh pada prinsip keseimbangan antara aksi dan ilmu ini, mereka akan mampu bertahan dan memimpin peradaban dunia dengan panduan wahyu yang murni.
Setiap Muslim, meskipun tidak menjadi 'Thoifah' yang fokus Tafaqquh, memiliki kewajiban untuk mendukung, menghormati, dan memfasilitasi peran mereka yang berdedikasi penuh. Dengan demikian, seluruh umat berpartisipasi dalam pahala Tafaqquh Fiddin dan Indzar, memastikan bahwa cahaya ilmu tidak pernah padam, sesuai janji Ilahi dalam ayat yang agung ini.