Sefalosporin adalah salah satu kelas antibiotik yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, mencakup spektrum yang luas dan menawarkan profil keamanan yang umumnya baik. Kelompok obat ini termasuk dalam keluarga besar antibiotik beta-laktam, yang juga mencakup penisilin, karbapenem, dan monobaktam.
Penemuan sefalosporin bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Giuseppe Brotzu di Sardinia pada tahun 1948. Brotzu mengisolasi jamur Cephalosporium acremonium (sekarang dikenal sebagai Acremonium strictum) dari air limbah. Ia menemukan bahwa kultur jamur ini menghasilkan zat yang aktif melawan bakteri Gram-negatif, termasuk yang resisten terhadap penisilin yang tersedia saat itu. Hasil penelitian Brotzu kemudian diambil alih oleh peneliti di Universitas Oxford, yang berhasil mengisolasi dan memurnikan tiga senyawa utama: Sefalosporin P, Sefalosporin N, dan Sefalosporin C.
Dari ketiga senyawa tersebut, Sefalosporin C terbukti memiliki inti kimia yang unik dan stabilitas yang lebih baik terhadap enzim penisilinase (beta-laktamase). Struktur kimia Sefalosporin C yang terdiri dari cincin beta-laktam yang melekat pada cincin dihidrotiazin inilah yang menjadi dasar pengembangan semua sefalosporin yang dikenal saat ini. Modifikasi rantai samping pada inti 7-aminocefalosporanic acid (7-ACA) memungkinkan terciptanya berbagai turunan dengan spektrum aktivitas, farmakokinetik, dan resistensi beta-laktamase yang berbeda, yang kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa generasi.
Seperti semua antibiotik beta-laktam, sefalosporin bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri, yang pada akhirnya menyebabkan lisis dan kematian sel. Dinding sel adalah struktur penting bagi viabilitas bakteri, terutama bakteri yang hidup di lingkungan hipotonik. Karena sel manusia tidak memiliki dinding sel, sefalosporin menunjukkan toksisitas selektif yang sangat rendah terhadap inang, menjadikannya obat yang relatif aman.
Mekanisme spesifik melibatkan interaksi dengan enzim transpeptidase, yang dikenal secara kolektif sebagai Protein Pengikat Penisilin (PBP). PBP bertanggung jawab untuk tahap akhir pembentukan dinding sel bakteri, yaitu ikatan silang (cross-linking) pada rantai peptidoglikan.
Struktur kimia inti sefalosporin, khususnya cincin beta-laktam yang tegang, secara struktural menyerupai substrat alami PBP, yaitu D-Ala-D-Ala. Ketika sefalosporin memasuki ruang periplasma bakteri, cincin beta-laktamnya terbuka dan membentuk ikatan kovalen yang stabil dan permanen dengan situs aktif serin pada PBP. Ikatan ini menginaktivasi PBP, sehingga:
PBP tidak hanya ada satu jenis; bakteri memiliki beberapa jenis PBP (PBP1, PBP2, PBP3, dll.), yang masing-masing memiliki peran berbeda dalam elongasi atau septasi sel. Efektivitas suatu sefalosporin sering kali bergantung pada afinitasnya terhadap PBP tertentu. Misalnya, beberapa sefalosporin generasi terbaru dirancang khusus untuk memiliki afinitas tinggi terhadap PBP yang dimodifikasi, seperti PBP2a pada Staphylococcus aureus yang resisten metisilin (MRSA).
Inti dasar sefalosporin, yaitu cincin beta-laktam yang fusi dengan cincin dihidrotiazin. Rantai samping R1 dan R2 dimodifikasi untuk menghasilkan variasi generasi.
Sefalosporin secara tradisional diklasifikasikan menjadi lima generasi, berdasarkan pada pola aktivitas antimikroba dan stabilitas terhadap beta-laktamase. Perbedaan utama antar generasi terletak pada peningkatan aktivitas terhadap bakteri Gram-negatif, sambil mempertahankan (atau dalam beberapa kasus, kehilangan) aktivitas terhadap bakteri Gram-positif.
Generasi pertama dicirikan oleh aktivitas yang sangat baik terhadap kokus Gram-positif, seperti Staphylococcus yang peka metisilin (MSSA) dan Streptococcus. Aktivitas terhadap Gram-negatif terbatas pada patogen komensal seperti E. coli, K. pneumoniae, dan P. mirabilis (PEcK).
Generasi kedua menunjukkan sedikit penurunan aktivitas terhadap Gram-positif dibandingkan Generasi I, namun mendapatkan perluasan yang signifikan terhadap bakteri Gram-negatif, terutama H. influenzae dan beberapa spesies Neisseria. Generasi ini sering dibagi lagi menjadi dua subkelompok berdasarkan kemampuan mereka melawan anaerob.
Ini adalah generasi yang paling beragam dan paling sering digunakan. Sefalosporin Generasi III memiliki stabilitas yang jauh lebih baik terhadap beta-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya terhadap Gram-positif bervariasi; umumnya kurang efektif melawan MSSA dibandingkan Generasi I, tetapi tetap sangat aktif terhadap Streptococcus.
Ceftriaxone dan Ceftazidime sering kali salah disamakan; Ceftriaxone adalah pilihan untuk infeksi komunitas berat (misalnya meningitis pneumokokus), sedangkan Ceftazidime adalah pilihan untuk infeksi nosokomial yang dicurigai disebabkan oleh P. aeruginosa.
Sefalosporin Generasi IV (hanya diberikan secara IV) dirancang untuk menggabungkan cakupan Gram-positif yang baik (seperti Generasi I) dengan cakupan Gram-negatif yang unggul, termasuk P. aeruginosa, dan stabilitas tinggi terhadap beta-laktamase yang dihasilkan oleh Enterobacter. Mereka memiliki afinitas ikatan yang lebih cepat ke PBP dan mampu menembus membran luar bakteri Gram-negatif dengan lebih efisien.
Generasi terbaru ini dikembangkan secara eksplisit untuk mengatasi resistensi utama: Staphylococcus aureus yang resisten metisilin (MRSA). Mekanisme resistensi MRSA melibatkan PBP2a, yang memiliki afinitas rendah terhadap semua beta-laktam tradisional. Generasi V dirancang untuk mengikat PBP2a dengan kuat.
Diagram visualisasi spektrum aktivitas sefalosporin. Cakupan Gram-negatif (hijau) meningkat dari Generasi I ke IV. Generasi V (biru muda) khusus menargetkan MRSA.
Pemahaman mengenai Farmakokinetik (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi) sangat penting untuk menentukan rute pemberian, frekuensi dosis, dan penyesuaian pada pasien dengan gangguan organ. Sefalosporin menunjukkan variabilitas yang signifikan dalam sifat ADME mereka, yang membedakan penggunaannya secara klinis.
Banyak sefalosporin, terutama generasi awal (seperti Cefazolin dan Cefuroxime) dan yang paling akhir (Cefepime, Ceftriaxone), tidak diserap dengan baik dari saluran pencernaan dan harus diberikan secara parenteral (IV atau IM). Namun, sefalosporin oral (misalnya, Cephalexin, Cefuroxime axetil, Cefixime) sangat penting untuk melanjutkan terapi (step-down therapy) setelah kondisi pasien membaik dari terapi IV.
Semua sefalosporin umumnya berdistribusi baik ke cairan ekstraseluler. Namun, kemampuan penetrasi ke situs infeksi tertentu bervariasi:
Sebagian besar sefalosporin diekskresikan tidak berubah melalui ginjal (filtrasi glomerulus dan sekresi tubular), yang berarti dosis harus disesuaikan secara signifikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (gagal ginjal atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus/LFG).
Penggunaan sefalosporin harus selalu disesuaikan dengan spektrum yang dibutuhkan dan lokasi infeksi. Penggunaan yang tidak tepat dapat mendorong perkembangan resistensi.
Generasi ini merupakan agen garis depan untuk kondisi infeksi serius yang memerlukan cakupan Gram-negatif yang luas.
Meskipun sefalosporin adalah obat yang ampuh, penggunaan yang luas telah mendorong evolusi resistensi bakteri. Resistensi terhadap sefalosporin, terutama Generasi III dan IV, merupakan ancaman kesehatan global yang signifikan.
Mekanisme resistensi paling umum adalah produksi enzim beta-laktamase oleh bakteri, yang menghidrolisis ikatan amida pada cincin beta-laktam, menonaktifkan antibiotik. Ada berbagai jenis beta-laktamase yang memengaruhi sefalosporin:
ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis sebagian besar penisilin dan sefalosporin generasi I, II, dan III. ESBL sering ditemukan pada E. coli dan Klebsiella pneumoniae. Infeksi ESBL memerlukan penggunaan antibiotik yang sangat stabil terhadap enzim ini, yaitu karbapenem, atau dalam kasus tertentu, sefalosporin Generasi IV (Cefepime) atau kombinasi inhibitor beta-laktamase terbaru.
AmpC adalah beta-laktamase kromosomal yang dapat diinduksi. Enzim ini secara khusus menghidrolisis sefalosporin Generasi I, II, dan III. Bakteri yang sering menghasilkan AmpC meliputi Enterobacter cloacae, Serratia marcescens, Citrobacter freundii, dan Providencia stuartii (disingkat "ESCAPPM"). Penggunaan sefalosporin Generasi III pada infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme ini dapat menyebabkan induksi AmpC dan kegagalan pengobatan. Generasi IV (Cefepime) sering kali lebih stabil terhadap AmpC.
Meskipun KPC secara primer menargetkan karbapenem, enzim ini sering kali memberikan resistensi silang terhadap semua beta-laktam, termasuk sefalosporin Generasi III dan IV, menjadikan terapi sangat sulit.
Ini adalah mekanisme utama resistensi terhadap sefalosporin pada Gram-positif:
Pada bakteri Gram-negatif, penurunan porin (saluran di membran luar yang dilewati obat) atau peningkatan pompa efluks (pompa yang secara aktif membuang antibiotik keluar dari sel) juga berkontribusi pada resistensi terhadap sefalosporin, terutama pada Pseudomonas aeruginosa.
Reaksi alergi adalah efek samping yang paling penting dan paling dikhawatirkan dari sefalosporin, mengingat kesamaan strukturalnya dengan penisilin.
Beberapa sefalosporin, terutama yang memiliki rantai samping N-metiltiotetrazole (NMTT) (misalnya, Cefotetan, Moxalactam), dapat mengganggu metabolisme vitamin K.
Sefalosporin, khususnya pada dosis tinggi atau jika dikombinasikan dengan obat nefrotoksik lainnya (seperti aminoglikosida), dapat menyebabkan nefrotoksisitas tubular. Cefazolin dosis tinggi telah dikaitkan dengan risiko Nefritis Interstisial Akut.
Diare adalah efek samping yang umum terjadi. Semua antibiotik spektrum luas, termasuk sefalosporin Generasi III, dapat mengganggu flora usus normal, yang dapat memicu superinfeksi oleh Clostridioides difficile (C. diff) yang menyebabkan Kolitis Pseudomembranosa. Ceftriaxone dan Cefoperazone memiliki risiko relatif tinggi untuk memicu infeksi C. diff.
Pengembangan sefalosporin tidak berhenti pada Generasi V. Tantangan utama saat ini adalah mengatasi bakteri Gram-negatif yang resisten terhadap karbapenem (CRE) dan bakteri penghasil ESBL. Hal ini telah memicu pengembangan sefalosporin yang dikombinasikan dengan inhibitor beta-laktamase yang baru.
Kombinasi ini meningkatkan spektrum sefalosporin secara dramatis, menjadikannya pilihan untuk infeksi multiresisten yang sebelumnya hanya bisa diobati dengan karbapenem atau kolistin.
Pada pasien yang sakit kritis, seperti pasien sepsis di unit perawatan intensif (ICU), perubahan fisiologis (misalnya, peningkatan volume distribusi, peningkatan bersihan ginjal) dapat menyebabkan konsentrasi antibiotik di bawah Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yang diperlukan. Sefalosporin adalah antibiotik yang bergantung pada waktu (Time-Dependent Killing), artinya efektivitasnya sangat bergantung pada durasi konsentrasi plasma melebihi MIC.
Untuk mengatasi masalah ini, pemberian infus sefalosporin yang diperpanjang (Extended Infusion) atau infus berkelanjutan (Continuous Infusion) sering direkomendasikan untuk Cefepime atau Ceftriaxone, guna memastikan konsentrasi obat tetap tinggi selama periode pengobatan yang lebih lama, sehingga mengoptimalkan efek bakterisidal.
Kekuatan puncak terhadap Gram-positif (MSSA dan Streptococci) terdapat pada Generasi I (Cefazolin) dan Generasi V (Ceftaroline). Generasi II, III, dan IV relatif mempertahankan aktivitas Streptococcal yang baik, tetapi Generasi III dan IV umumnya memiliki aktivitas MSSA yang lebih lemah dibandingkan Generasi I.
Aktivitas terhadap Gram-negatif terus meningkat dari Generasi I hingga Generasi IV. Generasi III (Ceftriaxone) adalah yang paling sering digunakan untuk Gram-negatif spektrum luas (non-pseudomonas), sementara Generasi IV (Cefepime) menonjol karena stabilitasnya terhadap AmpC dan cakupan Pseudomonas.
Hanya sefalosporin Generasi II subkelompok sefamisin (Cefoxitin, Cefotetan) yang memiliki aktivitas anaerob yang cukup untuk menjadi agen tunggal dalam pengobatan infeksi intra-abdominal tertentu. Generasi lain tidak dapat diandalkan untuk cakupan anaerob.
Generasi III (Ceftriaxone, Cefotaxime) dan Generasi IV (Cefepime) adalah yang terpenting karena penetrasinya yang baik ke SSP, menjadikannya pilihan vital untuk meningitis.
Dalam menghadapi peningkatan resistensi antimikroba, pengelolaan yang bijaksana terhadap sefalosporin menjadi sangat penting, yang dipayungi oleh program Pengelolaan Penggunaan Antimikroba (Antimicrobial Stewardship Program/ASP).
Sefalosporin Generasi III dan IV sering digunakan sebagai terapi empiris awal yang luas untuk infeksi berat (misalnya, sepsis). Setelah hasil kultur dan sensitivitas tersedia (biasanya dalam 48-72 jam), terapi harus dipersempit (de-escalation) ke agen spektrum sesempit mungkin. Misalnya, mengganti Ceftriaxone (IV) menjadi Cephalexin (Oral) jika terbukti infeksi disebabkan oleh MSSA sensitif, atau menggantinya dengan penisilin jika disebabkan oleh Streptococci sensitif.
Karena sefalosporin generasi III, khususnya Ceftriaxone, merupakan pemicu utama infeksi C. difficile, penggunaan harus dibatasi durasinya. Profilaksis bedah harus dibatasi hingga 24 jam saja. Penggunaan yang rasional dan pendek dapat mengurangi risiko kolitis terkait antibiotik.
Pengembangan sefalosporin terus berlanjut. Penelitian difokuskan pada pengembangan molekul yang memiliki stabilitas lebih tinggi terhadap metallo-beta-laktamase (MBL) yang muncul pada bakteri Gram-negatif, serta meningkatkan penetrasi ke dalam bakteri yang menghasilkan mekanisme resistensi kompleks (seperti efluks dan kehilangan porin). Selain itu, kombinasi sefalosporin dengan inhibitor baru yang menargetkan berbagai kelas beta-laktamase akan terus menjadi ujung tombak dalam pertahanan melawan infeksi bakteri multiresisten.
Sefalosporin tetap menjadi landasan penting dalam arsenal antibiotik, menawarkan fleksibilitas yang jarang dimiliki oleh kelas obat lain, mulai dari pengobatan infeksi kulit sederhana hingga penyelamatan nyawa pada kasus meningitis dan sepsis yang kompleks.
Pemanfaatan penuh potensi terapeutik sefalosporin bergantung pada pemilihan generasi yang tepat, penyesuaian dosis yang cermat, dan integrasi dengan strategi pengelolaan antimikroba modern.