Kajian mendalam tentang hukum dan konteks ayat.
I. Pendahuluan: Signifikansi Surah At-Tawbah
Surah At-Tawbah, atau sering disebut pula Surah Bara'ah, memegang posisi yang unik dalam tata urutan Al-Qur'an dan sejarah wahyu. Surah ini merupakan salah satu surah Madaniyah yang terakhir diturunkan, menandai transisi penting dalam kebijakan politik dan militer komunitas Muslim awal. Karakteristik utama surah ini adalah penetapan persyaratan baru dalam hubungan antara kaum Muslimin dengan berbagai kelompok, baik mereka yang sebelumnya terikat perjanjian, kaum musyrikin, maupun Ahl al-Kitab (Ahli Kitab), yaitu Yahudi dan Nasrani.
Berbeda dengan surah-surah sebelumnya yang seringkali menekankan toleransi dan kesabaran (terutama ayat-ayat Makkiyah), At-Tawbah diturunkan setelah konsolidasi kekuatan Islam di Jazirah Arab, terutama pasca Fathu Makkah (Penaklukan Mekah) dan Perang Tabuk. Ini adalah periode ketika Negara Islam di Madinah telah mapan dan siap menghadapi tantangan eksternal. Oleh karena itu, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya bersifat final dan menetapkan kerangka definitif bagi keamanan dan hubungan politik.
Ayat yang menjadi fokus utama kajian ini, Surah 9 Ayat 29, adalah salah satu ayat paling krusial yang membahas hubungan tersebut, khususnya terkait Ahli Kitab dan konsep Jizyah (pajak perlindungan). Ayat ini sering kali menjadi subjek diskusi intens, baik di kalangan ulama klasik maupun sarjana modern, karena implikasinya yang luas terhadap hukum perang, hubungan antaragama, dan status minoritas di bawah pemerintahan Islam.
Teks Ayat (At-Tawbah 9:29)
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Terjemahan (Kementerian Agama RI): Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, (yaitu) dari orang-orang yang telah diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Analisis yang mendalam terhadap ayat ini memerlukan pembongkaran lima komponen utama: (1) Identifikasi subjek yang diperangi (Ahli Kitab), (2) Justifikasi perlawanan (alasan teologis), (3) Tujuan perlawanan (sampai membayar Jizyah), (4) Mekanisme pembayaran ('an yadin), dan (5) Kondisi status mereka (ṣāghirūn).
II. Konteks Historis dan Kronologis (Asbabun Nuzul)
Penting untuk memahami bahwa Surah At-Tawbah diturunkan dalam suasana ketegangan geopolitik yang tinggi. Setelah umat Islam berhasil mengamankan Jazirah Arab dari kekuatan musyrikin (dengan pengecualian sisa-sisa kecil), perhatian bergeser ke perbatasan utara, yang didominasi oleh Kekaisaran Bizantium. Ekspedisi Tabuk, yang menjadi latar belakang utama penurunan surah ini, bertujuan untuk menghadapi ancaman Bizantium dan memastikan loyalitas suku-suku Arab Kristen di perbatasan.
Perubahan Kebijakan Luar Negeri
Sebelum Surah At-Tawbah, interaksi Nabi Muhammad ﷺ dengan Ahli Kitab di Madinah (seperti Yahudi Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah) didasarkan pada perjanjian damai (Mitsaq al-Madinah), meskipun perjanjian ini seringkali dilanggar oleh pihak Yahudi. Namun, setelah pengecualian total bagi kaum musyrikin yang diumumkan di awal surah ini (Ayat 1-4), Ayat 29 memberikan kerangka hukum yang berbeda untuk Ahli Kitab. Ahli Kitab tidak diwajibkan masuk Islam, tetapi diberikan opsi untuk hidup dalam perlindungan negara Islam (Dhimmah) dengan syarat membayar Jizyah.
Hubungan dengan Tabuk
Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi mencatat bahwa Ayat 29 diturunkan sebagai legitimasi untuk tindakan militer dan penetapan hukum setelah Perang Tabuk. Meskipun pertempuran besar tidak terjadi, ekspedisi tersebut menghasilkan perjanjian damai dengan beberapa komunitas Kristen di utara, seperti penduduk Ailah, Adzruh, dan Jarba', yang setuju membayar Jizyah kepada negara Islam. Ini menunjukkan bahwa ayat tersebut berfungsi tidak hanya sebagai perintah perang, tetapi juga sebagai penetapan status hukum permanen bagi Ahli Kitab yang berada di bawah kekuasaan Muslim.
Ayat ini secara eksplisit membedakan Ahli Kitab dari kaum musyrikin. Sementara musyrikin Jazirah Arab diberi tenggat waktu empat bulan untuk memilih Islam atau menghadapi perang (Ayat 5), Ahli Kitab diberikan pilihan yang ketiga: menjaga agama mereka, mendapatkan perlindungan, dan membayar Jizyah. Opsi ini menegaskan pengakuan Islam terhadap status monoteistik mereka, meskipun dianggap telah menyimpang dari ajaran tauhid yang murni.
III. Analisis Linguistik dan Semantik Kata Kunci
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus mengkaji tiga istilah sentral yang sering diperdebatkan dalam penafsiran dan fiqh.
A. Kata Kerja: قَاتِلُوا (Qātilū - Perangilah)
Kata Qātilū (bentuk III dari kata dasar Qatala) adalah kata kerja timbal balik yang berarti "berperang melawan" atau "melakukan pertempuran". Dalam konteks fiqh, para ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali secara konsisten menafsirkan perintah ini sebagai perintah untuk melancarkan serangan terhadap kelompok Ahli Kitab yang menolak tunduk pada otoritas politik Islam dan menolak membayar Jizyah. Ini bukan perintah untuk membunuh tanpa pandang bulu, melainkan perintah untuk berperang (melawan kekuatan militer atau politik yang menentang).
Namun, penafsiran modern sering menekankan bahwa perintah perang dalam Al-Qur'an selalu terikat pada konteks permusuhan atau ancaman. Sarjana kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi berargumen bahwa perintah qātilū ini ditujukan kepada Ahli Kitab yang memerangi umat Islam atau yang mendukung musuh-musuh Islam, dan bukan perintah umum untuk menyerang semua Ahli Kitab di mana pun mereka berada tanpa sebab permusuhan.
B. Konsep: الْجِزْيَةَ (Al-Jizyah - Pajak Perlindungan)
Jizyah adalah pajak kepala (poll tax) yang dibayarkan oleh laki-laki dewasa non-Muslim yang sehat dan mampu, sebagai imbalan atas hak mereka untuk: (1) mempertahankan agama dan hukum mereka sendiri, (2) mendapatkan perlindungan militer dari negara Islam, dan (3) dikecualikan dari dinas militer wajib yang berlaku bagi kaum Muslimin. Jizyah dipandang sebagai kompensasi atas ketiadaan mereka dalam barisan pembela negara.
Ibnu Qudamah, seorang ulama Hanbali, menjelaskan bahwa Jizyah adalah simbol perlindungan (dhimmī). Selama Jizyah dibayar, jiwa dan harta benda Ahli Kitab dijamin keamanannya oleh negara Islam. Jika negara gagal memberikan perlindungan, Jizyah harus dikembalikan (seperti yang terjadi dalam beberapa peristiwa sejarah, misalnya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz).
Frasa حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ (hingga mereka membayar Jizyah) menunjukkan bahwa tujuan peperangan bukanlah konversi, melainkan pengakuan kedaulatan politik dan kesediaan untuk hidup di bawah hukum Islam sebagai minoritas yang dilindungi.
C. Kondisi: وَهُمْ صَاغِرُونَ (Wa Hum Ṣāghirūn - Dalam Keadaan Tunduk)
Ini adalah frasa yang paling kontroversial. Ṣāghirūn (tunduk, merendah, atau terhina) telah diinterpretasikan secara luas:
- Penafsiran Keras (Mayoritas Klasik): Imam Al-Syafi’i dan sebagian ulama berpendapat bahwa ṣāghīrūn berarti harus ada elemen penghinaan visual atau ritual dalam pembayaran Jizyah. Ini termasuk berdiri saat membayar, dibayar langsung kepada petugas yang duduk, atau bahkan dipukul pelan di tengkuk. Namun, praktik ini tidak universal dan sering dikritik sebagai interpretasi yang terlalu harfiah dan kaku.
- Penafsiran Moderat (Hanafi/Maliki): Mayoritas ulama Hanafi dan Maliki menafsirkan ṣāghīrūn sebagai status politik dan hukum. Ini berarti Ahli Kitab harus mengakui supremasi politik negara Islam dan tunduk pada hukum negara tersebut. Status dhimmī itu sendiri menyiratkan ketundukan pada otoritas politik tanpa harus melibatkan penghinaan pribadi atau ritualistik. Ibnu Taimiyyah, meskipun terkenal ketat, lebih cenderung pada interpretasi bahwa ketundukan di sini adalah penerimaan terhadap hukum dan kewajiban mereka sebagai minoritas yang dilindungi.
- Penafsiran Kontemporer: Sarjana modern menafsirkan ṣāghīrūn sebagai keharusan untuk hidup sesuai dengan kesepakatan dhimmah, yakni patuh pada peraturan umum negara (seperti tidak menyerang Muslim, tidak memamerkan minuman keras/babi di depan umum Muslim, dll.) dan pengakuan bahwa mereka tidak lagi berstatus kekuatan politik yang independen dan bermusuhan dengan Islam.
Kesimpulannya, mayoritas ulama moderat dan kontemporer sepakat bahwa frasa ini merujuk pada ketundukan politik dan hukum, bukan penghinaan personal.
IV. Tafsir Klasik: Perspektif Para Mufassir Terkemuka
Kajian mendalam terhadap Ayat 29 tidak lengkap tanpa meninjau bagaimana para mufassir agung dari abad-abad awal Islam memahaminya. Interpretasi mereka membentuk dasar bagi hukum fiqh berikutnya.
Imam At-Tabari (W. 310 H)
Dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, At-Tabari mengaitkan ayat ini langsung dengan perintah untuk menaklukkan Ahli Kitab yang menolak masuk Islam dan yang secara politik menentang negara Muslim. Tabari mencatat bahwa empat kriteria yang disebutkan dalam ayat (tidak beriman kepada Allah, Hari Akhir, tidak mengharamkan yang diharamkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar) merujuk pada penyimpangan doktrinal yang dilakukan oleh Ahli Kitab (misalnya, kepercayaan Nasrani tentang Trinitas dan penyaliban). Bagi Tabari, ṣāghīrūn diartikan sebagai penerimaan aturan Muslim dan penghentian kebanggaan mereka, memastikan mereka tidak lagi memiliki kekuasaan atas kaum Muslimin.
Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, memberikan analisis yang sangat rinci mengenai hukum Jizyah. Ia menyajikan berbagai pendapat mazhab tentang tata cara pembayaran ṣāghīrūn. Qurtubi memasukkan narasi yang mendukung penafsiran keras, di mana pembayaran harus dilakukan dengan cara yang menunjukkan kerendahan hati. Namun, ia juga mencatat bahwa makna utamanya adalah penaklukan (al-qahr) politik, bukan penyiksaan atau penghinaan fisik yang berlebihan. Ia menekankan bahwa Jizyah adalah ganti rugi atas perlindungan dan pengecualian dari kewajiban militer.
Qurtubi juga membahas secara ekstensif status perempuan, anak-anak, orang sakit kronis, dan biarawan/pendeta dalam konteks Jizyah, menegaskan konsensus bahwa mereka dikecualikan dari kewajiban ini, yang menunjukkan bahwa Jizyah adalah kewajiban yang bersifat militer/politis, bukan hukuman agama.
Imam Ar-Razi (W. 606 H)
Fakhr ad-Din ar-Razi, dalam Mafatih al-Ghayb (Tafsir Kabir), lebih fokus pada dimensi teologis. Ia menganalisis mengapa Ahli Kitab disamakan dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, meskipun mereka memiliki kitab suci. Razi berpendapat bahwa ini karena interpretasi mereka terhadap kitab suci telah membawa mereka pada kesesatan, seperti klaim Yahudi bahwa Uzair adalah putra Allah atau klaim Nasrani tentang Trinitas, yang bagi Razi sama dengan tidak beriman pada tauhid yang murni. Dalam konteks Jizyah, Razi melihatnya sebagai jalan keluar yang penuh rahmat, karena Allah tidak memaksa mereka masuk Islam, tetapi memberikan solusi hidup berdampingan yang stabil.
Ibnu Katsir (W. 774 H)
Ibnu Katsir sangat menekankan konteks historis. Ia menghubungkan Ayat 29 secara langsung dengan perintah untuk menghadapi Bizantium. Ibnu Katsir berpendapat bahwa alasan utama perlawanan adalah ketidakpatuhan Ahli Kitab terhadap hukum Allah yang seharusnya mereka ikuti, seperti pengharaman riba atau daging babi. Ia menyimpulkan bahwa Jizyah berfungsi sebagai hukuman atas kesesatan mereka dan sebagai simbol ketundukan politik mereka kepada Islam, memastikan negara Islam aman dari pemberontakan atau aliansi mereka dengan musuh eksternal.
Kesamaan utama di antara para mufassir klasik adalah bahwa Ayat 29 memberikan kerangka hukum yang membedakan Ahli Kitab dari musyrikin dan menegaskan bahwa stabilitas politik dan keamanan umat Islam adalah prasyarat utama dalam interaksi, yang dicapai melalui sistem Jizyah dan status dhimmah.
V. Implikasi Fiqh: Hukum Jizyah dan Status Ahl al-Dhimmah
Ayat 9:29 adalah dasar hukum utama (dalil) bagi penetapan hukum Jizyah dalam Fiqh Islam. Para fuqaha (ahli hukum) merinci aplikasi ayat ini ke dalam sistem dhimmah (perlindungan).
Penentuan Kelompok yang Terkena Jizyah
Hampir semua mazhab sepakat bahwa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah kelompok utama yang wajib membayar Jizyah, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Namun, para fuqaha berbeda pendapat mengenai perluasan Jizyah ke kelompok non-Muslim lainnya:
- Mazhab Hanafi: Paling luas cakupannya. Mereka memperbolehkan Jizyah dikenakan pada hampir semua non-Muslim, termasuk Majusi (Zoroaster) dan bahkan penyembah berhala non-Arab (kecuali penyembah berhala Arab, yang harus memilih Islam atau perang).
- Mazhab Maliki: Membolehkan Jizyah dikenakan pada Majusi, tetapi tidak pada penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci.
- Mazhab Syafi'i: Paling ketat. Mereka membatasi Jizyah hanya pada Ahli Kitab dan Majusi. Non-Muslim lain harus memilih Islam atau diperangi.
- Mazhab Hanbali: Mirip dengan Maliki, mengakui Jizyah bagi Ahli Kitab dan Majusi, dan berpendapat bahwa Jizyah dapat diambil dari semua non-Arab.
Perbedaan ini muncul karena praktik Nabi Muhammad ﷺ yang mengambil Jizyah dari Majusi di Bahrain, yang kemudian dianalogikan oleh para fuqaha untuk kelompok non-Muslim lainnya, meskipun teks eksplisit Ayat 29 hanya menyebutkan "orang-orang yang telah diberikan Al Kitab kepada mereka".
Besaran dan Tata Cara Pembayaran
Jizyah tidak memiliki tarif tunggal yang ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, sehingga tarifnya ditentukan melalui Ijtihad (penalaran hukum) dan Sunnah. Dalam era Khalifah Umar bin Khattab, Jizyah ditetapkan berdasarkan kemampuan ekonomi:
- Orang Kaya: 48 dirham per tahun.
- Kelas Menengah: 24 dirham per tahun.
- Kelas Miskin/Pekerja: 12 dirham per tahun.
Jizyah adalah kewajiban kolektif untuk kelompok tersebut, tetapi dibayar secara individual. Pengecualian dari pembayaran Jizyah sangat luas, meliputi perempuan, anak-anak, lansia, biarawan/pendeta (yang hidup bertapa), orang cacat mental, dan budak. Jika seorang dhimmi masuk Islam, kewajiban Jizyah-nya langsung gugur.
Tanggung Jawab Negara Islam
Sistem dhimmah yang didasarkan pada pembayaran Jizyah menciptakan kontrak sosial dan keagamaan yang mengikat negara Muslim. Para fuqaha sepakat bahwa setelah menerima Jizyah, negara memiliki kewajiban mutlak (wājib) untuk melindungi dhimmī dari serangan internal maupun eksternal. Jika dhimmī diserang oleh musuh luar, tentara Muslim wajib membela mereka, dan jika Jizyah telah dikumpulkan, ia harus dikembalikan jika perlindungan tidak dapat diberikan, menegaskan bahwa Jizyah adalah harga perlindungan, bukan sekadar denda.
Ibnu Hazm, seorang ulama terkemuka dari mazhab Zahiri, menekankan bahwa jika seorang dhimmī menjadi tua atau miskin dan tidak mampu bekerja, mereka tidak hanya dikecualikan dari Jizyah tetapi juga berhak mendapatkan tunjangan sosial dari perbendaharaan negara (Baitul Mal) Muslim, menunjukkan aspek keadilan sosial dalam sistem ini.
VI. Perdebatan Modern dan Kontekstualisasi
Di era kontemporer, Ayat 9:29 sering digunakan, baik oleh kritikus Islam maupun oleh kelompok ekstremis, sebagai bukti intoleransi atau perintah peperangan permanen. Oleh karena itu, sarjana Muslim modern melakukan upaya ekstensif untuk merekontekstualisasikan ayat ini sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang lebih luas dan realitas hubungan internasional saat ini.
Jizyah dalam Konteks Ekonomi Modern
Banyak ulama modern berpendapat bahwa Jizyah adalah mekanisme ekonomi dan politik yang relevan untuk masanya, tetapi konsepnya dapat digantikan atau dimodifikasi dalam sistem negara-bangsa modern. Mereka menyoroti bahwa tujuan Jizyah adalah memastikan kontribusi non-Muslim terhadap biaya negara dan keamanan, sebagai imbalan atas pengecualian mereka dari dinas militer.
Dalam negara modern yang menerapkan kewarganegaraan (muwaṭanah) yang setara, non-Muslim membayar pajak umum yang sama seperti Muslim. Jika non-Muslim juga tunduk pada wajib militer (jika ada), maka dasar pembenaran Jizyah secara klasik sudah tidak berlaku. Oleh karena itu, Jizyah sering dianggap sebagai hukum yang dapat ditangguhkan atau diserap oleh sistem pajak modern yang setara bagi semua warga negara.
Sarjana terkemuka seperti Syaikh Mahmud Shaltut dan Muhammad Abduh berargumen bahwa semangat ayat ini adalah keadilan dan perlindungan minoritas, bukan pembedaan yang menghina. Ketika sistem pajak modern telah memenuhi tujuan ini (keadilan fiskal dan perlindungan), maka penerapan Jizyah secara harfiah tidak lagi wajib.
Kontroversi حول (Hul) "Wahun Ṣāghirūn"
Interpretasi modern hampir secara universal menolak penafsiran yang mengharuskan penghinaan ritualistik. Mereka berpendapat bahwa penghinaan personal bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Al-Qur'an tentang penghormatan terhadap manusia (karamah insaniyyah).
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer, menegaskan bahwa ṣāghīrūn berarti mereka harus tunduk pada hukum-hukum umum negara Islam dan mengakui otoritasnya, serta tidak melakukan tindakan yang melecehkan agama mayoritas. Ini adalah ketundukan politik dan hukum, bukan degradasi moral. Az-Zuhaili menekankan bahwa Islam mengajarkan perlindungan ('aṣim) dan keadilan ('adl) bagi dhimmī.
Interpretasi ini sangat penting karena ia memisahkan status politik yang inferior (tunduk pada kedaulatan) dari status kemanusiaan yang setara, sebuah pembedaan yang krusial untuk hubungan antaragama di zaman globalisasi.
Batasan Perintah Perang
Sarjana modern juga menempatkan perintah qātilū dalam konteks defensif dan historis. Mereka berpendapat bahwa perintah ini secara spesifik ditujukan kepada Ahli Kitab yang pada saat itu berada dalam posisi antagonis terhadap negara Madinah (terutama di perbatasan Bizantium) atau yang telah melanggar perjanjian. Perintah ini tidak dapat dijadikan dalil untuk menyerang populasi non-Muslim yang hidup damai atau untuk menyerang negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik dengan umat Islam.
Hukum Islam tentang perang (Jihad) selalu mensyaratkan adanya agresi (baghy) atau ancaman serius sebelum serangan ofensif diizinkan. Ayat 9:29, dilihat dalam kerangka Surah At-Tawbah secara keseluruhan (yang menegaskan bahwa perjanjian harus dipatuhi kecuali dilanggar), menunjukkan bahwa tindakan ini adalah bagian dari konsolidasi kekuasaan di tengah permusuhan yang meluas.
VII. Studi Kasus Historis Penerapan Jizyah
Kajian teoritis tentang Ayat 29 harus dilengkapi dengan bagaimana Jizyah benar-benar diterapkan sepanjang sejarah kekhalifahan Islam, yang menunjukkan variasi dan moderasi yang jauh dari gambaran penghinaan universal.
Masa Kekhalifahan Rasyidin dan Umayyah
Pada masa penaklukan awal, Jizyah diterapkan secara luas di wilayah Syam, Mesir, dan Persia. Khalifah Umar bin Khattab dikenal karena keadilannya dalam penerapan. Perjanjian yang dibuat dengan penduduk Yerusalem, misalnya (disebut ‘Kesepakatan Umar’), menjamin kebebasan beragama dan perlindungan penuh dengan imbalan pembayaran Jizyah. Dalam perjanjian ini, tidak disebutkan adanya ketentuan yang mengharuskan penghinaan ritualistik, melainkan penekanan pada stabilitas dan perlindungan gereja-gereja mereka.
Salah satu bukti paling kuat mengenai sifat Jizyah sebagai pertukaran perlindungan terjadi pada tahun 636 M. Sebelum Pertempuran Yarmouk, komandan Muslim Abu Ubaidah bin al-Jarrah memerintahkan agar seluruh Jizyah yang dikumpulkan dari kota Homs dan wilayah lain di Syam dikembalikan kepada penduduk setempat karena pasukan Muslim harus mundur untuk menghadapi serangan Bizantium, dan dengan demikian tidak dapat menjamin perlindungan mereka. Tindakan ini menunjukkan bahwa Jizyah dipahami sebagai kontrak, bukan denda.
Perkembangan di Masa Abbasiyah dan Spanyol Islam
Selama periode Abbasiyah, terutama di bawah khalifah yang toleran seperti Harun ar-Rasyid, Ahli Kitab (terutama Nestorian dan Yahudi) memainkan peran sentral dalam administrasi, penerjemahan ilmu pengetahuan, dan medis. Status dhimmī memungkinkan mereka mencapai posisi sosial yang tinggi asalkan mereka tidak menentang hukum dasar negara.
Di Al-Andalus (Spanyol Islam), komunitas Yahudi dan Kristen sering menikmati apa yang disebut "Zaman Keemasan" (Golden Age). Meskipun Jizyah diterapkan, toleransi dan kesempatan ekonomi yang diberikan sangat tinggi, sehingga pembayaran Jizyah dilihat sebagai harga untuk kebebasan budaya dan agama yang tidak mereka dapatkan di bawah rezim Kristen di Utara.
Kasus Kekerasan dan Ekstremisme
Meskipun mayoritas sejarah menunjukkan penerapan Jizyah yang didasarkan pada keadilan ekonomi dan perlindungan, harus diakui bahwa ada periode dan penguasa tertentu yang menyalahgunakan sistem Jizyah. Beberapa penguasa menetapkan tarif yang tidak adil atau menerapkan prosedur pembayaran yang menghina (sesuai dengan penafsiran keras ṣāghīrūn), biasanya didorong oleh krisis fiskal atau sentimen anti-minoritas yang bersifat politis, bukan teologis murni. Namun, para fuqaha terkemuka sering menentang praktik-praktik ekstrem ini, menegaskan bahwa niat syariah adalah perlindungan dan keadilan.
Oleh karena itu, ketika menilai Ayat 9:29, penting untuk membedakan antara prinsip hukum (yang berorientasi pada perlindungan) dan penyalahgunaan historis yang dilakukan oleh individu atau dinasti tertentu.
VIII. Sintesis Teologis dan Kesimpulan
Surah At-Tawbah Ayat 29 adalah salah satu ayat yang paling berbobot dalam Syariah Islam, menetapkan garis demarkasi yang jelas antara status kaum Muslimin dan Ahl al-Kitab dalam konteks kedaulatan politik Islam.
Tujuan Ayat 9:29
Tujuan utama ayat ini bukanlah konversi paksa atau pemusnahan, tetapi empat hal penting:
- Mengakhiri Kekuatan Musuh: Menghilangkan kekuatan politik Ahli Kitab yang berpotensi menjadi ancaman militer atau sekutu bagi Kekaisaran Bizantium.
- Pengakuan Status: Memberikan Ahli Kitab status hukum yang diakui (dhimmah) yang membedakan mereka dari musyrikin yang tidak berkitab.
- Kontrak Perlindungan: Memastikan kontribusi fiskal mereka (Jizyah) sebagai imbalan atas perlindungan negara Islam, pembebasan dari wajib militer, dan kebebasan menjalankan ritual agama mereka.
- Ketundukan Politik: Menuntut pengakuan atas supremasi negara Islam (ṣāghīrūn), yang berarti mereka tidak boleh menentang otoritas negara.
Ayat ini merupakan bagian integral dari hukum perang dan damai Islam yang berkembang pesat di masa Madinah. Ia menegaskan prinsip bahwa hidup berdampingan di bawah kedaulatan Islam dimungkinkan, tetapi memerlukan pengakuan dan kontribusi dari pihak minoritas non-Muslim.
Relevansi Abadi Ayat Tersebut
Meskipun sistem Jizyah secara harfiah mungkin tidak lagi diterapkan di banyak negara Muslim modern, prinsip-prinsip yang mendasari Ayat 29 tetap relevan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
- Keamanan Nasional: Kewajiban negara untuk memastikan bahwa minoritas tidak menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas.
- Keadilan Ekonomi: Prinsip bahwa semua warga negara harus berkontribusi pada keuangan negara berdasarkan kemampuan mereka.
- Toleransi Beragama: Meskipun ada perintah untuk memerangi mereka yang menentang, tujuannya diakhiri dengan penerimaan pembayaran, bukan konversi, yang secara implisit menjamin keberlangsungan agama non-Muslim.
Para ulama kontemporer menekankan bahwa semangat Ayat 9:29 di zaman ini harus diwujudkan dalam konsep Kewarganegaraan Penuh dan Setara (al-muwaṭanah al-kāmilah), di mana semua warga negara, terlepas dari agama, berbagi hak, kewajiban, dan perlindungan yang sama di bawah payung konstitusi yang adil. Interpretasi ini memastikan bahwa hukum Al-Qur'an tetap relevan, mengambil manfaat dari tujuan (maqāṣid) Syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, bagi semua penduduk negara.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa Surah At-Tawbah Ayat 29 adalah perintah yang terikat konteks historis dan politik yang sangat spesifik, tetapi yang pada intinya menetapkan kerangka hukum untuk koeksistensi yang stabil—koeksistensi yang dilindungi oleh negara Islam dengan imbalan pengakuan supremasi politik dan kontribusi finansial oleh Ahli Kitab. Pemahaman yang seimbang dan kontekstual mengenai ayat ini sangat penting untuk melawan polarisasi dan mempromosikan visi Islam yang adil dan inklusif.
Setiap analisis yang jujur harus mengakui kompleksitas semantik dan variasi interpretasi sepanjang sejarah. Ayat ini adalah landasan penting yang membentuk bagaimana peradaban Islam berinteraksi dan mengelola pluralitas agama di bawah kekuasaannya selama lebih dari seribu tahun. Kebijaksanaan dari perintah ini terletak pada pemberian pilihan ketiga—selain konversi atau perang—yaitu perlindungan berbayar, sebuah konsep yang mendefinisikan hubungan antara agama dan negara dalam sejarah Islam awal.
Analisis tentang implikasi teologis dari frasa yang merujuk pada ketidakberimanan Ahli Kitab kepada Allah dan Hari Akhir harus selalu disandingkan dengan pengakuan Al-Qur'an sendiri terhadap eksistensi mereka sebagai 'Ahli Kitab', yang menunjukkan derajat kedekatan teologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum musyrikin. Kontradiksi yang tampak ini diselesaikan melalui penetapan Jizyah, yang mengakui hak mereka untuk beribadah sambil menegaskan penyimpangan doktrinal mereka dari ajaran tauhid murni, sekaligus mengamankan batas-batas politik dan hukum negara Muslim.
Perluasan pembahasan ini mencakup perbandingan Jizyah dengan sistem pajak militer atau pembebasan pajak yang ada di peradaban kontemporer saat itu, seperti Romawi atau Persia, menegaskan bahwa Jizyah bukanlah inovasi yang sepenuhnya unik, melainkan adaptasi dari praktik regional yang diberikan legalitas ilahiah dan dibingkai dalam prinsip keadilan Islam. Dalam banyak kasus, beban Jizyah jauh lebih ringan dan lebih stabil dibandingkan dengan pajak yang dikenakan oleh kekuasaan Bizantium dan Sasaniyah kepada penduduk yang baru ditaklukkan.
Ketika merenungkan kondisi 'tunduk' (ṣāghīrūn), penting untuk dicatat bahwa dalam catatan sejarah yang luas, kerendahan hati yang dituntut lebih sering diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap perjanjian (termasuk tidak membangun gereja baru yang lebih tinggi dari masjid atau tidak memamerkan salib secara provokatif) daripada tindakan penghinaan pribadi. Penghormatan terhadap kontrak ('ahd) adalah ciri khas yang dituntut dari kedua belah pihak, Muslim dan dhimmī, yang memperkuat interpretasi bahwa 'tunduk' adalah pengakuan kedaulatan hukum dan politik.
Pada akhirnya, Surah 9 Ayat 29 berfungsi sebagai ayat yang menggarisbawahi pentingnya batas kedaulatan dan identitas dalam Islam. Meskipun pintu dakwah dan dialog tetap terbuka, ayat ini secara tegas menutup celah bagi subversi politik atau militer dari pihak yang tidak sepaham, melalui penetapan sistem Jizyah sebagai tanda pengakuan dan perdamaian yang terjamin. Ini adalah kerangka hukum yang kompleks, kaya akan sejarah, dan terus menjadi subjek interpretasi ulang yang adaptif di era modern yang menekankan kesetaraan kewarganegaraan universal.
Penelusuran ini menegaskan bahwa makna Ayat 29 terletak pada keseimbangan antara ketegasan politik dan rahmat teologis. Tegas dalam menghadapi ancaman dan menuntut pengakuan kedaulatan, tetapi penuh rahmat dalam memberikan opsi non-konversi dan perlindungan seumur hidup bagi Ahli Kitab, memungkinkan mereka untuk menjalankan keyakinan mereka di bawah naungan Islam. Sistem Jizyah, yang lahir dari ayat ini, adalah manifestasi hukum dari keseimbangan historis tersebut.
Implikasi yang lebih dalam menyangkut peran teologis Ahli Kitab dalam pandangan Islam. Meskipun dikritik karena penyimpangan doktrinal (yang menjadi alasan pertama perintah qātilū), fakta bahwa mereka memiliki kitab suci (Taurat dan Injil) memberikan mereka tempat yang berbeda dalam masyarakat Muslim, memastikan bahwa konflik bersenjata dapat dihindari melalui jalur negosiasi dan komitmen finansial. Ini adalah demonstrasi pragmatisme politik yang berakar pada hukum agama.
Diskusi mengenai Ayat 29 seringkali dipengaruhi oleh narasi politik kontemporer, namun kembali pada sumber tafsir klasik dan praktik historis yang beragam mengungkapkan bahwa ayat ini adalah pilar bagi prinsip keadilan (al-'adl) dan perlindungan (al-himayah). Keadilan dalam menuntut kontribusi yang setara untuk keamanan negara, dan perlindungan dalam menjamin hak-hak sipil, ekonomi, dan agama bagi mereka yang memilih untuk tidak masuk Islam dan menerima status dhimmah.
Sebagai penutup, pemahaman komprehensif tentang Surah At-Tawbah Ayat 29 harus menolak interpretasi yang sempit dan monolitik. Ayat ini harus dilihat sebagai respon hukum terhadap realitas geopolitik di abad ke-7, yang menghasilkan suatu mekanisme yang, meskipun unik bagi tatanan negara Islam, berhasil menciptakan ruang bagi pluralitas agama yang relatif stabil dan bertahan lama dalam peradaban Muslim, sebuah prestasi yang layak mendapat pengakuan dan analisis yang cermat.
Komitmen para ulama sepanjang zaman untuk menjamin bahwa Jizyah dipungut secara adil dan bahwa dhimmī dilindungi dari segala bentuk penindasan adalah bukti bahwa tujuan sejati dari ayat tersebut adalah penegakan tatanan yang adil dan stabil, bukan penghinaan atau pemaksaan keyakinan. Oleh karena itu, Ayat 9:29 tetap menjadi teks fundamental dalam studi Syariah, yang menuntut ketelitian historis dan kepekaan teologis dalam penafsirannya.