Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan surah kedua puluh sembilan dalam Al-Qur'an dan menempati urutan keempat. Surah ini termasuk dalam golongan Madaniyyah, diturunkan di Madinah setelah Surah Al-Baqarah. Dikenal dengan cakupannya yang luas, Surah An-Nisa membahas berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan etika, dengan penekanan khusus pada pentingnya keadilan, hak-hak perempuan, dan pengurusan anak yatim.
Ayat-ayat awal dari Surah An-Nisa, khususnya dari ayat 1 hingga 10, meletakkan dasar yang kuat mengenai asal-usul penciptaan manusia, pentingnya menjaga hubungan kekerabatan, serta tanggung jawab terhadap sesama, terutama bagi mereka yang lemah dan rentan. Ayat-ayat ini menjadi panduan moral dan etika yang sangat relevan dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis.
1. Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa dan menciptakan pasangannya dari (jiwa) yang sama, lalu dari keduanya memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Ayat pertama ini mengingatkan kita akan satu sumber penciptaan kita, yaitu Allah SWT. Ini menegaskan kesatuan asal manusia, yang seharusnya mendorong rasa persaudaraan dan saling menghormati di antara seluruh umat manusia. Konsep 'satu jiwa' menekankan bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama, oleh karena itu tidak ada alasan untuk membeda-bedakan berdasarkan ras, suku, atau status sosial. Penciptaan pasangan juga menyoroti pentingnya institusi keluarga dan peran vital laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan keturunan manusia. Selain itu, ayat ini juga menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama, terutama menjaga hubungan silaturahmi antar kerabat.
2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar barang yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar.
Ayat kedua memberikan instruksi yang sangat jelas mengenai tanggung jawab terhadap anak yatim. Ini adalah salah satu amanah terbesar dalam Islam. Umat Muslim diperintahkan untuk menyerahkan harta warisan mereka kepada anak-anak yatim ketika mereka telah mencapai usia dewasa dan mampu mengelolanya sendiri. Penggunaan harta yatim secara tidak adil, baik dengan menukarnya dengan barang yang buruk maupun mencampurnya dengan harta sendiri, dilarang keras karena dianggap sebagai dosa besar. Perhatian terhadap anak yatim menunjukkan kepedulian Islam terhadap kelompok yang paling rentan dalam masyarakat.
3. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau perempuan yang kamu miliki. Begitulah agar kamu tidak berbuat aniaya.
Ayat ketiga membahas tentang pernikahan, terutama dalam konteks perwalian atas perempuan yatim. Ayat ini memberikan izin untuk berpoligami hingga empat istri, namun dengan syarat yang sangat ketat: mampu berlaku adil. Jika ada kekhawatiran untuk tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka dianjurkan untuk menikahi satu saja. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam pernikahan, dan jika keadilan tidak dapat ditegakkan, maka sebaiknya membatasi diri pada satu istri saja untuk menghindari ketidakadilan dan aniaya.
4. Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai suatu pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Selanjutnya, ayat keempat menekankan pentingnya pemberian mahar kepada istri sebagai haknya yang wajib diberikan. Mahar bukanlah harga dari seorang perempuan, melainkan simbol penghargaan dan komitmen suami. Jika sang istri dengan ikhlas memberikan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami, maka suami berhak menerimanya dan menikmatinya. Ini menunjukkan fleksibilitas dan keharmonisan dalam hubungan rumah tangga yang dibangun atas dasar suka sama suka.
5. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka memakan api di perut mereka dan kelak akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat kelima kembali menegaskan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang memakan harta anak yatim secara zalim. Perbuatan ini digambarkan setara dengan memasukkan api ke dalam perut, yang menunjukkan betapa besar bahayanya dan betapa buruknya konsekuensinya di dunia dan akhirat. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras agar umat Muslim menjauhi segala bentuk penzhaliman terhadap harta anak yatim.
6. Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua anak perempuan. Jika anak-anak perempuan itu dua orang atau lebih, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (yang meninggal) seorang perempuan saja, maka dia mendapat separuh harta. Dan untuk kedua ibu-bapaknya, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan jika ia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika ia tidak mempunyai anak dan diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia (yang meninggal) mempunyai saudara-saudara, maka ibunya mendapat seperenam setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (setelah dibayar) utangnya. (Tentang) bapak-bapakmu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat keenam merupakan rincian hukum waris yang sangat penting dalam Islam. Allah SWT menetapkan bagian warisan untuk anak-anak, orang tua, dan kerabat lainnya. Prinsip utama yang ditekankan adalah pembagian yang adil dan proporsional, dengan mempertimbangkan peran dan tanggung jawab masing-masing dalam keluarga. Pembagian ini bersifat fardhu, suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mencegah perselisihan dan memastikan keadilan. Ayat ini menunjukkan bagaimana Islam mengatur aspek finansial keluarga dengan detail dan kebijaksanaan.
7. Dan para perempuan mendapat seperdua dari apa yang ditinggalkan suami-suami mereka, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika suami mereka wafat sedang mereka (istri) mempunyai anak, maka istri-istri memperoleh seperempat dari peninggalan suaminya, setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuat suami atau (setelah dibayar) utangnya. Para perempuan memperoleh seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu wafat sedang kamu (suami) mempunyai anak, maka istri-istrimu mendapat seperdelapan dari apa yang kamu tinggalkan, setelah (dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (setelah dibayar) utangmu. Jika seseorang wafat, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari keduanya (saudara) seperenam harta. Jika mereka (saudara) lebih dari itu, maka mereka berbagi dalam satu pertiga harta, setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuat atau (setelah dibayar) utangnya; (wasiat itu) tidak boleh di — mudharatkan (oleh wasiat yang akan melemahkan ahli waris). (bagian-bagian ini) adalah ketetapan dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat ketujuh melanjutkan penjelasan tentang hukum waris, kali ini mengatur bagian warisan bagi istri. Bagian istri bervariasi tergantung apakah almarhum suami meninggalkan anak atau tidak. Ayat ini juga menetapkan bagian warisan bagi saudara-saudara kandung atau seibu jika pewaris tidak memiliki anak dan orang tua. Penjelasan ini menunjukkan kelengkapan hukum Islam dalam mengatur harta warisan untuk memastikan hak setiap anggota keluarga terpenuhi. Pengaturan ini dibuat agar tidak ada pihak yang dirugikan dan semua berjalan sesuai ketentuan Allah.
8. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itu adalah pelindung sebagian satu sama lain. Dan orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka sampai mereka berhijrah. Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan) agama, maka kamu wajib menolongnya kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya yang membahas hukum keluarga dan waris, ayat kedelapan mengalihkan fokus pada solidaritas di antara orang-orang beriman. Ayat ini membedakan antara orang beriman yang ikut berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan mereka yang beriman tetapi belum hijrah. Ikatan persaudaraan dan tanggung jawab saling melindungi adalah kuat di antara mereka yang telah berhijrah dan memberikan dukungan. Bagi yang belum hijrah, kewajiban perlindungan baru timbul setelah mereka ikut berhijrah. Namun, jika mereka meminta pertolongan dalam urusan agama, umat Islam wajib menolong, kecuali jika hal itu melanggar perjanjian damai dengan kaum lain. Ini menunjukkan pentingnya persatuan dan kesatuan umat dalam menghadapi tantangan.
9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan keadaan mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Ayat kesembilan kembali menekankan tanggung jawab terhadap keturunan, terutama jika mereka lemah dan rentan. Orang tua yang memiliki kesadaran tentang masa depan anak-anak mereka, terutama ketika mereka lemah, harus bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang baik. Ini mencakup tidak hanya memberikan bekal materi, tetapi juga mendidik mereka dengan akhlak yang mulia dan mempersiapkan mereka untuk menghadapi kehidupan di masa depan dengan ketangguhan. Perkataan yang benar juga bisa diartikan sebagai menjaga warisan dan harta mereka agar tidak dihabiskan atau disalahgunakan.
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka memakan api di perut mereka dan kelak akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat kesepuluh merupakan pengulangan dari ayat kelima, yang kembali menegaskan ancaman hukuman bagi siapa saja yang memakan harta anak yatim secara zalim. Pengulangan ini menunjukkan betapa pentingnya dan betapa beratnya dosa ini di hadapan Allah SWT. Kezaliman terhadap harta anak yatim adalah perbuatan yang sangat tercela dan akan dibalas dengan siksa api neraka.
Secara keseluruhan, ayat 1 hingga 10 Surah An-Nisa memberikan gambaran mendalam tentang prinsip-prinsip fundamental dalam Islam, mulai dari pengakuan akan kesatuan asal manusia, pentingnya menjaga hubungan kekerabatan, tanggung jawab sosial terhadap yang lemah (terutama anak yatim dan perempuan), pengaturan pernikahan dan keluarga, hingga hukum waris yang adil, serta solidaritas di antara kaum mukminin. Ayat-ayat ini merupakan panduan komprehensif untuk membangun masyarakat yang berkeadilan, harmonis, dan penuh kasih sayang.