Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat awal dari surah ini, khususnya dari ayat 1 hingga 15, memuat ajaran fundamental yang membentuk landasan penting bagi kehidupan seorang Muslim. Surah ini tidak hanya memberikan panduan mengenai hubungan antarmanusia, tetapi juga menekankan pentingnya ketakwaan kepada Allah SWT sebagai sumber kebaikan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Memahami dan merenungkan makna di balik ayat-ayat ini adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, menciptakan masyarakat yang harmonis, dan menjaga kesejahteraan individu serta kolektif.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Dia menciptakan pasangannya (Hawa) dari (unsur) dirinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah hubungan) keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat pertama Surah An Nisa membuka dengan seruan universal kepada seluruh umat manusia untuk bertakwa kepada Allah. Penekanan pada penciptaan dari satu diri (Adam dan Hawa) mengingatkan kita akan kesatuan asal usul manusia, yang seharusnya menumbuhkan rasa persaudaraan dan kesetaraan. Ini adalah fondasi penting untuk menghindari prasangka, diskriminasi, dan konflik antar sesama. Konsep "pasangan" juga memberikan dasar bagi institusi keluarga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Ayat ini juga menekankan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi, baik hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama manusia, terutama keluarga. Allah Maha Mengawasi segala perbuatan kita, sehingga ketakwaan menjadi kunci utama.
وَاٰتُوا الْيَتٰمٰٓا اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۚ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (hak-hak) harta mereka; janganlah kamu menukar milikmu yang baik dengan milik mereka yang buruk; dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya perbuatan mengumpulkan itu, adalah dosa yang besar.
Melanjutkan pada ayat-ayat berikutnya, perhatian diarahkan pada perlindungan hak-hak anak yatim. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat peduli terhadap kelompok rentan dalam masyarakat. Mengelola harta anak yatim dengan jujur, tidak menukar yang baik dengan yang buruk, dan tidak mencampurkan harta mereka dengan harta sendiri adalah bentuk keadilan dan amanah yang sangat ditekankan. Pelanggaran terhadap amanah ini dianggap sebagai dosa besar.
وَلْتَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, (yang) mereka khawatir terhadap (keselamatan) mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Ayat ini memberikan perspektif tambahan mengenai pentingnya keadilan, terutama bagi mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap anak-anak atau keluarga. Ajaran untuk bersikap adil dan berkata benar menjadi prinsip yang kuat dalam mengelola dan mendistribusikan harta, terutama setelah seseorang meninggal dunia.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰٓى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka menelan api neraka ke dalam perut mereka; dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Perintah yang tegas mengenai larangan memakan harta anak yatim secara zalim dilanjutkan dengan peringatan keras di ayat ini. Menggambarkan perbuatan tersebut sebagai "menelan api neraka" menunjukkan betapa beratnya dosa ini di hadapan Allah SWT. Ini adalah pengingat yang kuat bagi setiap Muslim untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan, terutama dalam urusan harta benda.
Ayat 8 dan seterusnya mulai memberikan panduan yang lebih spesifik mengenai pembagian harta waris. Islam datang untuk mengatur kehidupan secara komprehensif, termasuk dalam hal waris-mewaris yang seringkali menjadi sumber perselisihan.
وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوْا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
Dan apabila pembagian itu dihadiri oleh kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sesuatu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Ayat ini menunjukkan kemurahan hati dan kepedulian terhadap kerabat, anak yatim, dan orang miskin ketika pembagian harta waris dilakukan. Islam menganjurkan untuk berbagi dan memberikan sesuatu kepada mereka, serta berbicara dengan perkataan yang baik dan santun.
Selanjutnya, ayat-ayat berikutnya (ayat 9-15) memberikan aturan rinci mengenai pembagian waris kepada berbagai pihak, termasuk anak-anak, orang tua, suami, istri, dan kerabat lainnya. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan dengan adil dan proporsional, memastikan bahwa hak setiap individu terpenuhi. Penegasan tentang perintah Allah dan Rasul-Nya dalam ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua aturan yang ditetapkan adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Pesan dalam ayat-ayat awal Surah An Nisa ini sangat relevan hingga kini. Ia mengingatkan kita tentang pentingnya:
Dengan merenungi dan mengamalkan ajaran-ajaran dari Surah An Nisa ayat 1 hingga 15 ini, diharapkan setiap Muslim dapat membangun kehidupan yang lebih baik, berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang adil, harmonis, dan penuh kasih sayang, serta meraih ridha Allah SWT.