Surah An-Nisa: Ayat 1-6 Petunjuk Ilahi untuk Kehidupan Bermasyarakat
Ilustrasi Konseptual Surah An-Nisa Ayat 1-6

Surah An-Nisa Ayat 1-6: Fondasi Keadilan dan Kasih Sayang

Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat pembukanya, khususnya dari ayat 1 hingga 6, memuat prinsip-prinsip fundamental yang menjadi pedoman penting dalam Islam, mencakup hubungan antarmanusia, pengelolaan harta, dan tanggung jawab sosial. Pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat ini sangat krusial bagi setiap Muslim dalam menjalani kehidupan yang adil, harmonis, dan penuh berkah.

Ayat 1: Penciptaan Manusia dan Hubungan Keluarga

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."

Ayat pertama ini menjadi pengingat akan asal usul penciptaan manusia yang tunggal. Allah SWT menciptakan Adam dari satu jiwa, lalu dari Adam diciptakan Hawa sebagai pasangannya. Dari pasangan inilah kemudian lahir generasi manusia yang beraneka ragam. Penekanan pada kesatuan asal ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan menghilangkan kesombongan serta permusuhan berdasarkan perbedaan suku, ras, atau bangsa. Lebih lanjut, ayat ini memerintahkan untuk menjaga hubungan silaturahmi, baik antar sesama manusia maupun hubungan dengan Allah SWT, karena Allah Maha Mengawasi setiap perbuatan.

Ayat 2: Pengelolaan Harta Anak Yatim dan Perkawinan

وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya, menukar (barang yang baik dengan yang buruk) itu adalah dosa yang besar."

Ayat kedua menggarisbawahi pentingnya perlindungan terhadap anak yatim. Umat Islam diperintahkan untuk menyerahkan harta warisan mereka secara penuh ketika mereka telah dewasa dan mampu mengelolanya. Dilarang keras menukar harta yang baik milik yatim dengan harta yang buruk milik orang lain, apalagi memakan harta mereka secara zalim. Tindakan ini dianggap sebagai dosa besar. Ayat ini mencerminkan perhatian Islam terhadap kaum lemah dan pentingnya keadilan dalam pengelolaan harta.

Ayat 3: Perkawinan dan Batasan Jumlah Istri

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya."

Ayat ketiga melanjutkan pembahasan tentang perempuan, kali ini terkait masalah perkawinan. Allah SWT mengizinkan laki-laki untuk menikahi hingga empat orang perempuan, asalkan mereka mampu berlaku adil. Namun, jika dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan untuk mencukupkan diri dengan satu istri saja. Keadilan di sini mencakup nafkah, giliran, dan perlakuan lainnya. Jika tetap menikahi lebih dari satu dan khawatir tidak adil, maka jalan terbaik adalah menikah dengan satu orang atau cukup dengan kepemilikan tangan kanan (budak belian, yang kini sudah tidak relevan). Tujuan utama adalah untuk menghindari ketidakadilan dan kesulitan dalam rumah tangga.

Ayat 4: Mahar dan Harta yang Halal

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نُفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
"Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."

Ayat keempat menekankan kewajiban seorang suami untuk memberikan mahar kepada istrinya. Mahar adalah pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai tanda kesungguhan dalam pernikahan. Pemberian mahar ini harus dilakukan dengan tulus dan penuh kerelaan. Jika sang istri dengan sukarela memberikan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami, maka suami diperbolehkan menerimanya sebagai bentuk kehalalan rezeki. Ayat ini mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap hak-hak perempuan dalam pernikahan dan kehalalan dalam pengelolaan harta bersama.

Ayat 5: Larangan Menyerahkan Harta kepada Orang Bodoh

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."

Ayat kelima memberikan peringatan agar tidak menyerahkan harta yang menjadi penopang kehidupan kepada orang-orang yang belum matang akalnya atau orang yang boros dan tidak cakap mengelola keuangan. Ini bukan berarti harta tersebut diambil sepenuhnya, melainkan dikelola dengan bijak. Kepada mereka tetap harus diberikan nafkah, pakaian, dan perkataan yang baik. Tujuannya adalah melindungi harta tersebut agar tidak terbuang sia-sia dan memastikan kebutuhan dasar orang-orang yang tidak mampu mengelolanya tetap terpenuhi.

Ayat 6: Pengujian Harta dan Tanggung Jawab Pengasuh Anak Yatim

وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبَدَرًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
"Dan ujilah kedewasaan anak-anak yatim itu sampai mereka siap kawin, apabila menurut pertimbanganmu mereka sudah cerdas (dewasa) dan mampu mengurus harta mereka, maka serahkanlah kepada mereka harta mereka. Dan janganlah kamu memakannya (hartanya) dengan boros dan tergesa-gesa (mengharapkan) bahwa mereka akan besar (dewasa). Barangsiapa (di antara pemelihara yatim) yang mampu, maka hendaklah ia menjaga kehormatannya. Dan barangsiapa yang fakir, maka bolehlah ia makan harta anak yatim itu seperlunya, sekadar ia memperoleh manfaat (menurut apa yang patut), kemudian apabila kamu menyerahkan kepada mereka harta mereka, maka saksikanlah (sebagai bukti) atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan."

Ayat keenam kembali menegaskan tentang pengelolaan harta anak yatim. Pengasuh diuji untuk mengamati kedewasaan dan kemampuan anak yatim dalam mengelola harta mereka hingga mereka mencapai usia baligh dan siap menikah. Jika mereka terbukti cerdas dan mampu, maka harta mereka harus diserahkan sepenuhnya. Dilarang keras memakan harta yatim secara boros atau terburu-buru dengan harapan mereka cepat dewasa agar harta tersebut bisa diambil. Pengasuh yang berkecukupan dianjurkan untuk menahan diri dari memakan harta yatim, sementara yang fakir diperbolehkan mengambil secukupnya sesuai kadar kebutuhan yang patut dan wajar. Setelah harta diserahkan, disunnahkan untuk mengadakan saksi sebagai bukti pertanggungjawaban. Ayat ini menutup dengan penekanan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Menghisab setiap perbuatan.

Secara keseluruhan, Surah An-Nisa ayat 1-6 memberikan fondasi kuat bagi pembentukan masyarakat yang adil, harmonis, dan saling peduli. Prinsip-prinsip mengenai asal usul penciptaan, tanggung jawab terhadap anak yatim, aturan perkawinan, kewajiban mahar, serta pengelolaan harta telah menjadi panduan abadi bagi umat Islam dalam menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat, serta menegakkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan.

🏠 Homepage