Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah Madaniyah yang mendalam dan komprehensif dalam Al-Qur'an. Surah ini banyak membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan keluarga, wanita, anak yatim, dan tanggung jawab sosial. Di antara ayat-ayat yang sangat penting dan sarat makna adalah ayat 15 hingga 19. Ayat-ayat ini memberikan panduan jelas mengenai penanganan terhadap wanita yang melakukan perbuatan keji (fahisyah), serta konsekuensi dan tata cara penanganannya, yang mencerminkan keadilan, kebijaksanaan, dan kasih sayang dalam syariat Islam.
Ilustrasi Keadilan dan Kasih Sayang dalam Ayat-ayat An Nisa.
Ayat 15: Penanganan Pelaku Fahisyah
Ayat ke-15 dari Surah An Nisa berbunyi:
Ayat ini menetapkan sanksi awal bagi wanita yang terbukti melakukan perbuatan keji (dalam konteks ini sering diartikan sebagai perzinahan). Sanksi tersebut adalah pengurungan di rumah. Pengurungan ini bersifat penahanan, bukan hukuman mati atau hukuman fisik yang berat, dengan tujuan agar perbuatan tersebut tidak terulang dan sebagai bentuk penyesalan serta introspeksi. Terdapat pula harapan bahwa Allah akan memberikan jalan keluar atau solusi di kemudian hari, yang ditafsirkan oleh para ulama sebagai kemungkinan adanya perubahan hukum atau keringanan seiring waktu.
Ayat 16: Sanksi dan Taubat
Ayat ke-16 melanjutkan penjelasan dan memberikan jalan taubat:
Ayat ini berbicara mengenai sanksi bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perbuatan keji bersama-sama, atau lebih umum merujuk pada kedua jenis kelamin. Disebutkan adanya "hukuman", yang dalam interpretasi klasik sering dikaitkan dengan cambuk. Namun, yang terpenting adalah penekanan pada dua syarat penting: taubat dan perbaikan diri. Jika kedua hal ini terpenuhi, maka sanksi tersebut dihapuskan. Ini menunjukkan fleksibilitas dan penekanan pada aspek spiritual, yaitu kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dan pengampunan dari Allah SWT yang Maha Luas ampunan-Nya.
Ayat 17: Keutamaan Taubat Nasuha
Ayat ke-17 menegaskan bahwa taubat diterima bagi siapa saja yang berbuat dosa karena kejahilan:
Frasa "karena kebodohan" (bil-jahalah) tidak berarti pelaku tidak mengetahui hukumnya, tetapi lebih pada bagaimana hawa nafsu atau dorongan sesaat menguasai diri sehingga terjerumus dalam dosa. Kunci penerimaan taubat di sini adalah "segera bertaubat" (min qariibin). Ini menekankan pentingnya tidak menunda-nunda untuk memohon ampunan dan memperbaiki diri begitu menyadari kesalahan. Allah Maha Mengetahui niat hati dan Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum-Nya.
Ayat 18: Sanksi bagi yang Tidak Bertaubat
Ayat ke-18 menjelaskan konsekuensi bagi mereka yang tidak mau bertaubat:
Ayat ini mengklarifikasi bahwa taubat tidak akan diterima jika dilakukan di saat-saat terakhir menjelang kematian, ketika kesadaran akan dosa muncul karena ketakutan akan siksa, bukan karena penyesalan yang tulus. Juga, orang yang mati dalam keadaan kafir tidak akan mendapatkan manfaat dari taubatnya. Hal ini menegaskan pentingnya taubat yang ikhlas dan dilakukan selagi masih ada kesempatan di dunia.
Ayat 19: Akhlak Terhadap Wanita dan Hak Mereka
Ayat ke-19 memberikan panduan etika dan moral yang lebih luas terkait perlakuan terhadap wanita:
Ayat ini sangat revolusioner pada masanya, melarang praktek mewarisi wanita secara paksa seperti harta benda, dan juga melarang menahan wanita setelah perceraian untuk mengambil kembali mahar. Pergaulan harus dilakukan dengan baik (bil-ma'ruf), dengan menghormati hak-hak mereka. Jika ada ketidakcocokan atau rasa tidak suka, seorang suami diperintahkan untuk bersabar, karena di balik ketidakcocokan itu bisa jadi terdapat kebaikan yang besar dari Allah. Ayat ini menunjukkan ketinggian ajaran Islam dalam melindungi hak-hak wanita dan menegakkan keadilan dalam hubungan rumah tangga.
Secara keseluruhan, Surah An Nisa ayat 15-19 memberikan kerangka hukum dan moral yang kuat. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur sanksi atas perbuatan maksiat, tetapi juga sangat menekankan pada aspek pencegahan, taubat, perbaikan diri, serta pentingnya memperlakukan sesama, khususnya wanita, dengan adil dan penuh kasih sayang. Penegakan hukum harus selalu diiringi dengan pemahaman akan kebijaksanaan Ilahi dan kesempatan untuk mendapatkan ampunan-Nya.