Ayat Inti: Surah At-Taubah (9:103)
Ayat ini merupakan salah satu fondasi utama dalam tata kelola keuangan Islam, menghubungkan kewajiban fiskal dengan dimensi spiritual yang mendalam. Ia turun dalam konteks penerimaan taubat dari orang-orang yang terlambat ikut serta dalam Perang Tabuk dan mereka yang mengakui kesalahannya.
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Perintah dalam ayat ini sangat komprehensif, mencakup tiga pilar utama: kewenangan negara dalam menarik iuran (Zakat), fungsi spiritual dan sosial Zakat (pembersihan dan penyucian), serta peran spiritual pemimpin (doa sebagai penenang jiwa).
Pilar Pertama: Perintah Eksekutif ('Khudz') dan Kewajiban Kolektif Zakat
Makna Kata 'Khudz' (Ambillah)
Kata خُذْ (Khudz) adalah bentuk kata kerja perintah (fi'il amr) yang sangat tegas. Ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat. Perintah ini menunjukkan bahwa Zakat bukanlah semata-mata sedekah sukarela yang diserahkan atas kehendak individu, melainkan kewajiban yang harus dikelola dan ditarik oleh otoritas yang sah. Ini adalah landasan hukum bagi pendirian lembaga pengumpul dan penyalur Zakat (Baitul Mal atau sejenisnya).
Para ulama tafsir sepakat bahwa "Khudz" menegaskan peran sentral negara atau pemerintah Islam. Tanpa peran aktif ini, potensi Zakat untuk mencapai tujuan sosial ekonomi yang maksimal akan terhambat. Jika Zakat hanya diserahkan secara individu, ia akan kehilangan kekuatan kolektifnya dalam redistribusi kekayaan dan penjaminan sosial.
Hukum Zakat: Antara Ibadah dan Kewajiban Fiskal
Ayat ini memperkuat pandangan bahwa Zakat memiliki dua dimensi yang tak terpisahkan:
- Dimensi Ibadah (Rukun Islam): Kewajiban langsung kepada Allah SWT, yang pelaksanaannya menyempurnakan keislaman seseorang.
- Dimensi Kewajiban Fiskal/Hukum: Kewajiban yang ditegakkan oleh otoritas, dan negara berhak mengambilnya, bahkan, menurut mayoritas ulama, berhak memaksa mereka yang menolak membayarnya.
Konteks historis ayat ini sangat penting. Ayat ini turun setelah kisah tiga sahabat yang ditangguhkan taubatnya (Ka'b bin Malik dan dua lainnya). Setelah taubat mereka diterima, mereka datang membawa seluruh harta mereka sebagai sedekah. Nabi SAW menolak tawaran seluruh harta tersebut, dan hanya mengambil sebagian (seukuran Zakat), menunjukkan keseimbangan dalam ajaran Islam: wajib menunaikan Zakat, tetapi tidak boleh menzalimi diri sendiri dengan memberikan seluruh harta.
Konsep ‘Khudz’ menjadi sangat relevan dalam menghadapi penolakan membayar Zakat. Kisah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi orang-orang yang enggan membayar Zakat (kaum murtad Zakat) setelah wafatnya Nabi SAW membuktikan bahwa Zakat adalah hak negara (pemimpin) yang wajib ditunaikan. Abu Bakar berargumen, "Demi Allah, seandainya mereka menahan dariku seutas tali yang biasa mereka berikan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka atas penahanan itu." Ini menunjukkan bahwa penegakan Zakat adalah bagian tak terpisahkan dari penegakan syariat.
Batasan 'Min Amwālihim' (Dari Sebagian Harta Mereka)
Ayat ini menggunakan frasa مِنْ أَمْوَالِهِمْ (Min Amwālihim) yang berarti "dari sebagian harta mereka." Kata 'Min' (dari) di sini oleh para mufassir diartikan sebagai *tab'īḍ* (sebagian). Ini memastikan bahwa perintah mengambil Zakat hanya berlaku pada harta yang telah mencapai nisab (batas minimum) dan haul (batas waktu), dan hanya diambil sesuai kadarnya (2.5% atau yang ditentukan syariah), bukan seluruh harta. Ini melindungi hak kepemilikan individu sambil memastikan pemenuhan hak sosial.
Penerapan kontemporer dari 'Khudz' menuntut transparansi dan profesionalisme dalam pengelolaan Badan Amil Zakat. Otoritas harus memastikan bahwa proses pengambilan dilakukan dengan adil, profesional, dan akuntabel, menjamin bahwa kekuasaan untuk "mengambil" tidak disalahgunakan, tetapi murni demi pemenuhan hak-hak fakir miskin dan mustahik lainnya.
Implikasi sosial dari penarikan Zakat secara kolektif ini adalah mengurangi kesenjangan ekonomi. Ketika negara atau lembaga yang diamanahkan mengambil Zakat, mereka memiliki data yang lebih akurat dan kemampuan distribusi yang lebih luas, memastikan dana Zakat dialokasikan ke delapan asnaf (golongan penerima) yang paling membutuhkan, sesuai ketentuan syariat. Proses ini memerlukan sistem yang kuat, dari identifikasi wajib Zakat (muzakki) hingga penyaluran yang tepat sasaran, sehingga tujuan Zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan tercapai secara efektif.
Jika kita telaah lebih jauh, perintah "Khudz" juga membawa pesan tentang tanggung jawab kolektif. Kekayaan yang terakumulasi pada individu tidak sepenuhnya merupakan hak murni mereka, melainkan di dalamnya terdapat hak orang lain. Ketika muzakki menunaikan Zakat, mereka sedang melaksanakan kewajiban sosial yang diwajibkan oleh Tuhan. Otoritas Islam bertindak sebagai wakil Tuhan dan masyarakat dalam memastikan hak ini terpenuhi. Kegagalan dalam sistem Zakat sering kali bermula dari kegagalan dalam menegakkan perintah "Khudz" ini secara serius, baik karena kelemahan legislasi maupun penegakan hukum.
Filosofi di balik penarikan Zakat oleh negara juga mencerminkan pandangan Islam tentang harta. Harta dianggap sebagai amanah (titipan). Jika amanah tersebut tidak dikelola sesuai perintah Allah, maka negara berhak mengambil alih sebagian kecil darinya untuk dikembalikan kepada masyarakat yang berhak. Hal ini membedakan Zakat dari pajak modern, karena Zakat memiliki batasan syar'i yang jelas (nisab dan kadar), sementara pajak bersifat berubah-ubah dan tidak selalu terikat pada fungsi tazkiyah spiritual.
Dalam konteks modern, tantangan terbesar bagi lembaga Zakat adalah bagaimana mengintegrasikan perintah 'Khudz' ke dalam kerangka hukum yang berlaku, memastikan kepatuhan yang tinggi dari wajib Zakat tanpa menimbulkan konflik. Kerjasama antara ulama, pemerintah, dan profesional keuangan sangat dibutuhkan untuk mengembangkan sistem yang efisien, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip syariah, sehingga amanat dari ayat 103 ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pilar Kedua: Tujuan Utama Zakat – Tathhir dan Tuzakki
Bagian terpenting dari ayat ini, yang menjelaskan esensi Zakat, terkandung dalam frasa: تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا (Tuthahhiruhum wa Tuzakkīhim Bihā) – “Dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” Meskipun sering diterjemahkan serupa, para ahli bahasa dan tafsir membedakan makna antara Tathhir dan Tazkiyah, memberikan kedalaman spiritual luar biasa pada kewajiban Zakat.
A. Tathhir (Pembersihan – Menghilangkan Kotoran)
Kata Tuthahhiruhum (membersihkan mereka) berasal dari akar kata tahara, yang berarti menghilangkan kotoran, najis, atau dosa. Dalam konteks Zakat, Tathhir mencakup dua aspek:
- Pembersihan Harta: Zakat membersihkan sisa-sisa hak orang lain (hak fakir miskin) yang secara tidak sengaja atau sengaja bercampur dalam harta milik pribadi. Harta yang telah dikeluarkan Zakatnya menjadi suci, halal, dan berkah sepenuhnya bagi pemiliknya.
- Pembersihan Jiwa dari Dosa: Dengan menunaikan Zakat, muzakki membersihkan dirinya dari dosa kelalaian terhadap perintah Allah dan dosa sifat kikir (bakhil). Kekikiran adalah penyakit spiritual yang dapat merusak iman, dan Zakat berfungsi sebagai penawar yang efektif.
Jika Zakat tidak ditunaikan, harta tersebut dianggap mengandung 'kotoran' (hak orang lain) dan pemiliknya terancam siksa di akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat lain yang mengancam penimbun harta. Oleh karena itu, Tathhir adalah proses pemurnian dari potensi bahaya duniawi dan ukhrawi.
B. Tazkiyah (Penyucian dan Pengembangan – Menumbuhkan Kebaikan)
Kata Tuzakkīhim (menyucikan mereka/mengembangkan mereka) berasal dari akar kata zakā, yang berarti tumbuh, berkembang, atau bertambah baik. Tazkiyah jauh lebih dalam daripada sekadar pembersihan; ia adalah proses pengembangan spiritual dan moral:
- Pertumbuhan Spiritual: Zakat menumbuhkan sifat-sifat mulia dalam diri muzakki, seperti kemurahan hati, empati, dan rasa syukur. Ia meningkatkan keimanan dan keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah.
- Pertumbuhan Sosial: Zakat menyucikan masyarakat dari penyakit sosial seperti iri hati, kebencian, dan kesenjangan yang ekstrem. Ketika si kaya memberi, rasa hormat dan kasih sayang muncul; ketika si miskin menerima, mereka terangkat dari keterpurukan.
- Penyucian Penerima: Zakat tidak hanya menyucikan pemberi, tetapi juga penerima. Ketika fakir miskin menerima bantuan, mereka terhindar dari keterpaksaan untuk meminta-minta atau melakukan kejahatan, sehingga mereka dapat menjalani hidup yang lebih bermartabat.
Dapat disimpulkan bahwa Tathhir adalah membersihkan sesuatu yang negatif, sedangkan Tazkiyah adalah menanamkan dan mengembangkan sesuatu yang positif. Keduanya adalah satu kesatuan: Zakat pertama-tama membersihkan dosa dan kotoran (Tathhir), lalu menumbuhkan kebaikan dan berkah (Tazkiyah).
Zakat sebagai Mekanisme Antikikir
Salah satu fokus utama dari Tazkiyah adalah memerangi penyakit kikir. Dalam ajaran Islam, kekikiran adalah salah satu penghalang terbesar menuju kesuksesan spiritual. Ketika seseorang secara sadar melepaskan sebagian hartanya yang dicintai demi perintah Allah, ia sedang melatih jiwanya untuk tidak terikat pada materi dunia. Proses latihan spiritual inilah yang disebut Tazkiyah.
Para sufi dan ahli batin sering menekankan bahwa Zakat adalah terapi jiwa paling ampuh. Seseorang yang rutin menunaikan Zakat cenderung memiliki hati yang lebih lapang, tidak takut miskin, dan lebih mudah berempati. Sebaliknya, penimbun harta dan penolak Zakat cenderung hidup dalam kecemasan terus-menerus, takut kekayaannya berkurang, padahal justru Zakatlah yang melindunginya dari kehancuran.
Prinsip Berkah dan Pertumbuhan
Linguistik kata Zakat sendiri memiliki makna pertumbuhan dan keberkahan. Ketika harta dikeluarkan, secara lahiriah ia berkurang, namun secara hakikat dan spiritual ia bertambah dan diberkahi. Allah menghancurkan riba (pertumbuhan yang semu dan zalim) dan menyuburkan sedekah (pertumbuhan yang hakiki dan berkah), seperti firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah (2:276).
Penting untuk dipahami bahwa efek Tazkiyah tidak hanya berlaku pada individu muzakki, tetapi juga pada sistem ekonomi secara keseluruhan. Dalam pandangan makroekonomi Islam, Zakat memastikan bahwa uang berputar dan tidak menumpuk di tangan segelintir orang. Sirkulasi harta inilah yang menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Kekuatan Zakat sebagai instrumen Tazkiyah sosial adalah meyakinkan setiap individu bahwa mereka adalah bagian dari struktur sosial yang saling menopang.
Penyucian yang ditawarkan oleh Zakat juga mencakup pembersihan dari sifat sombong (takabbur). Seringkali, harta yang melimpah mendorong seseorang merasa diri lebih unggul dan lupa diri. Dengan mengeluarkan Zakat, ia diingatkan bahwa rezeki adalah karunia, dan ia memiliki kewajiban merendahkan diri serta membantu sesama. Tazkiyah ini mengubah pandangan hidup dari materialisme sempit menjadi spiritualitas yang meluas.
Sebaliknya, kegagalan dalam menunaikan Zakat, sebagaimana diisyaratkan oleh konteks turunnya ayat 103 (mengenai taubat yang terlambat), menghasilkan jiwa yang kotor dan terikat. Keterikatan pada harta menyebabkan dosa berantai, seperti pelit, menipu, dan bahkan ketidakadilan. Oleh karena itu, Zakat adalah garis pertahanan pertama umat Islam dalam menjaga integritas moral dan spiritual mereka dari bahaya kecintaan berlebihan terhadap dunia.
Dalam ranah ilmu jiwa, proses Tazkiyah ini dapat dianalogikan dengan pelepasan beban emosional. Memberi Zakat secara tulus adalah tindakan proaktif untuk mencapai kedamaian batin. Muzakki melepaskan beban rasa bersalah atas ketidakadilan sosial dan mendapatkan kepuasan karena telah memenuhi amanah. Pelepasan ini membuka ruang bagi pertumbuhan spiritual yang sesungguhnya.
Pilar Ketiga: Doa Pemimpin dan Ketenteraman Jiwa (Sakinah)
Ayat 103 Surah At-Taubah mencapai puncaknya pada instruksi spiritual: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ (Wa Shallī 'Alaihim, Inna Shalātaka Sakanun Lahum) – “Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.”
Perintah Mendoakan (Wa Shallī 'Alaihim)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi SAW (dan secara implisit kepada para pemimpin atau amil Zakat setelah beliau). Setelah menerima Zakat, pemimpin wajib mendoakan muzakki. Doa ini bukanlah sekadar formalitas, tetapi bagian integral dari proses penerimaan Zakat yang sah.
Doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah SAW (dan yang diteladani oleh amil) biasanya berisi permohonan keberkahan harta dan ampunan bagi mereka yang telah menunaikan kewajiban Zakat, seperti doa beliau: "Ya Allah, berilah berkah atas keluarga si Fulan."
Ketenteraman Jiwa (Sakinah)
Mengapa doa pemimpin begitu penting? Allah SWT sendiri menjawab: إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ (Inna Shalātaka Sakanun Lahum). Doa yang dipanjatkan oleh pemimpin (yang berwenang) menjadi sumber ketenangan (Sakinah) bagi muzakki.
Sakinah adalah konsep Qur’ani yang merujuk pada ketenangan, kedamaian, dan rasa aman yang ditanamkan Allah di dalam hati seorang mukmin. Sakinah yang dihasilkan dari doa ini adalah pengakuan spiritual atas keikhlasan mereka:
- Pengakuan Ilahi: Doa pemimpin menegaskan bahwa tindakan Zakat mereka telah diterima di sisi Allah. Hal ini menghilangkan keraguan atau kekhawatiran yang mungkin dirasakan setelah melepaskan harta.
- Dukungan Moral: Bagi masyarakat yang baru belajar menunaikan kewajiban ini (terutama di masa awal Islam), dukungan spiritual dari Rasulullah SAW adalah penjamin moral dan motivasi terbesar untuk terus berpegang teguh pada perintah agama.
- Penghargaan Spiritual: Doa tersebut berfungsi sebagai 'sertifikat' spiritual yang menjamin bahwa tindakan memberi telah menghasilkan penyucian diri (Tazkiyah) dan bukan hanya sekadar transfer uang.
Konsep Sakinah yang melekat pada doa ini menekankan bahwa hubungan antara pemberi Zakat dan otoritas Zakat harus bersifat spiritual dan suportif, bukan sekadar transaksional. Amil tidak hanya bertugas mengumpulkan, tetapi juga berfungsi sebagai fasilitator spiritual yang mendoakan keberkahan bagi wajib Zakat.
Relevansi Doa Amil Zakat Kontemporer
Dalam konteks lembaga Zakat modern, peran doa ini tetap krusial. Meskipun amil bukan Nabi, mereka tetap memegang amanah yang sama: menciptakan ketenangan bagi muzakki. Hal ini dapat diwujudkan melalui:
- Pelayanan Ikhlas: Profesionalisme yang dibarengi keikhlasan dalam pelayanan Amil.
- Ucapan Terima Kasih dan Doa: Setiap amil harus memastikan mereka mendoakan muzakki secara tulus, baik secara langsung maupun institusional.
- Akuntabilitas Transparan: Transparansi dalam pengelolaan Zakat memberikan ketenangan batin kepada muzakki, bahwa hartanya benar-benar digunakan untuk tujuan yang disyariatkan. Akuntabilitas adalah bentuk modern dari jaminan 'Sakinah'.
Ketenteraman jiwa yang dijanjikan dalam ayat ini adalah balasan instan di dunia, sebelum balasan yang lebih besar di akhirat. Ia adalah penawar bagi keserakahan, kekhawatiran masa depan, dan kecemasan finansial. Seseorang yang mengeluarkan Zakat dengan niat ikhlas dan didoakan oleh pemimpin atau amil yang jujur akan merasakan keringanan dan kedamaian yang melampaui kerugian material yang mungkin ia hitung.
Kekuatan doa pemimpin dalam konteks ini juga menegaskan pentingnya integritas kepemimpinan. Sakinah hanya akan hadir jika doa tersebut datang dari sumber yang dipercayai dan dihormati secara spiritual. Jika pemimpin atau lembaga Zakat tidak jujur, doa mereka akan kehilangan kekuatannya untuk memberikan ketenangan jiwa, bahkan sebaliknya, menimbulkan kegelisahan dan keraguan di hati muzakki. Oleh karena itu, ayat ini secara halus juga memberikan standar moral yang sangat tinggi bagi siapa pun yang bertugas mengelola harta umat.
Lebih jauh, Sakinah adalah hasil dari penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi. Ketika muzakki menyerahkan hartanya dan menerima doa, mereka secara psikologis melepaskan kekhawatiran akan takdir harta tersebut. Mereka menyerahkannya kepada Allah, dan sebagai imbalannya, Allah memberikan kedamaian. Ini adalah transaksi spiritual yang sempurna, di mana materi ditukar dengan ketenangan batin yang tak ternilai harganya.
Dalam konteks sosial, Sakinah yang dirasakan oleh individu muzakki akan menyebar ke komunitas. Ketika para hartawan merasa tenang dan yakin akan keberkahan harta mereka, mereka cenderung menjadi agen perubahan yang positif, bukan penimbun kekayaan yang eksploitatif. Hal ini menciptakan harmoni dan menghilangkan ketegangan kelas yang sering muncul dalam masyarakat yang tidak seimbang secara ekonomi. Dengan demikian, doa pemimpin bukan hanya urusan pribadi, melainkan mekanisme untuk menjaga kestabilan sosial melalui penyediaan ketenangan batin kolektif.
Penekanan pada Sakinah dalam ayat Zakat menunjukkan bahwa Islam tidak hanya peduli pada aspek hukum (fiqh) tetapi juga pada aspek batin (tasawwuf). Kewajiban ekonomi dihubungkan erat dengan kesehatan mental dan spiritual. Zakat, oleh karena itu, adalah jembatan antara dunia materi dan dunia spiritual, memastikan bahwa tindakan fisik didukung oleh niat yang bersih dan berakhir dengan hasil psikologis yang positif: ketenangan total.
Pilar Keempat: Penegasan Ilahi – Wallahu Samī’un ‘Alīm
Ayat 103 ditutup dengan dua asmaul husna: وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (Wallahu Samī’un ‘Alīm) – “Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Penutup ini berfungsi sebagai penegasan, peringatan, dan jaminan ilahi.
Samī’un (Maha Mendengar)
Allah Maha Mendengar segala ucapan. Dalam konteks ayat ini, ini berarti:
- Mendengar Doa Pemimpin: Allah mendengar doa yang dipanjatkan oleh Nabi SAW (atau amil Zakat) bagi muzakki, dan karena Dia Mendengar, Dia pasti akan mengabulkan Sakinah yang dimohonkan.
- Mendengar Permintaan Muzakki: Allah Mendengar niat, keraguan, dan ketulusan hati muzakki saat mereka menunaikan Zakat.
- Mendengar Penolakan: Allah juga Mendengar keluhan dan penolakan dari mereka yang enggan membayar Zakat. Ini berfungsi sebagai peringatan keras.
‘Alīm (Maha Mengetahui)
Allah Maha Mengetahui segala tindakan, niat, dan kondisi batin. Ini menjamin bahwa:
- Mengetahui Niat: Allah mengetahui niat sejati di balik pembayaran Zakat—apakah tulus karena ketaatan, atau hanya pamer, atau sekadar menghindari hukuman. Tazkiyah spiritual hanya terjadi jika niatnya benar.
- Mengetahui Kondisi Harta: Allah mengetahui jumlah Zakat yang sebenarnya wajib dikeluarkan oleh seseorang, bahkan jika ia mencoba menyembunyikannya dari amil.
- Mengetahui Kebutuhan Mustahik: Allah Mengetahui persis di mana Zakat harus disalurkan untuk mencapai keadilan sosial yang maksimal.
Dengan menggabungkan kedua sifat ini, Allah menjamin bahwa tidak ada aspek dari proses Zakat, baik yang bersifat fisik (pengambilan harta), spiritual (niat dan doa), maupun sosial (penyaluran), yang luput dari Pengawasan-Nya. Ini memberikan landasan keimanan yang kokoh bagi seluruh sistem Zakat.
Penegasan 'Samī’un ‘Alīm' di akhir ayat ini memperkuat akuntabilitas ganda: akuntabilitas di hadapan manusia (transparansi Amil) dan akuntabilitas di hadapan Tuhan (niat Muzakki). Ini adalah penutup yang kuat yang mengingatkan umat bahwa setiap tindakan dalam rangkaian proses Zakat, dari keputusan mengambil hingga doa penyucian, akan dicatat dan dipertimbangkan secara adil oleh Zat Yang Maha Sempurna Pengetahuan-Nya.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa keberhasilan Zakat bukan hanya terletak pada berapa banyak harta yang terkumpul, tetapi pada kualitas hati dan niat di balik pemberian tersebut. Karena Allah Maha Mengetahui, Zakat yang kecil namun tulus lebih bernilai daripada Zakat yang besar namun dipenuhi keangkuhan atau riya (pamer). Pengetahuan Allah menjamin bahwa nilai sejati dari Zakat diukur dari dimensi Tazkiyah yang dicapai oleh pelakunya.
Implikasi Fiqhiyah dan Sosial Ayat 103
Ayat 103 Surah At-Taubah tidak hanya memberikan panduan spiritual tetapi juga dasar hukum yang sangat penting yang menjadi referensi utama dalam fiqh Zakat di berbagai madzhab.
I. Peran Institusional Zakat
Perintah 'Khudz' menunjukkan bahwa Zakat idealnya dikelola oleh otoritas resmi. Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali secara umum menegaskan bahwa jika ada pemimpin Islam yang sah (imam atau khalifah), maka Zakat harta zahir (harta yang terlihat, seperti hasil pertanian dan ternak) wajib diserahkan kepada amil. Sementara Zakat harta batin (emas, perak, uang) bisa diserahkan kepada amil atau disalurkan langsung oleh muzakki, tergantung kondisi dan kebijakan setempat, namun menyalurkan melalui amil lebih utama untuk tujuan kolektif Tazkiyah.
Fungsi amil (pengurus Zakat) sendiri disebutkan secara eksplisit dalam daftar delapan asnaf (golongan penerima). Ini menegaskan bahwa mengurus Zakat adalah pekerjaan yang mulia dan profesional yang berhak mendapatkan imbalan dari dana Zakat itu sendiri. Tanpa amil yang profesional dan tulus, sistem Zakat tidak akan berjalan efektif.
II. Zakat sebagai Hak Mustahik
Pembersihan dan penyucian yang dijanjikan Zakat (Tathhir dan Tuzakki) hanya akan terjadi jika harta tersebut diserahkan kepada mereka yang berhak. Ayat ini secara implisit menuntut akurasi dalam penyaluran. Kesalahan dalam menyalurkan Zakat dapat membatalkan efek Tazkiyah yang diinginkan.
Zakat berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang memastikan setiap warga negara memiliki kebutuhan dasar terpenuhi. Ketika perintah Zakat ditegakkan secara menyeluruh, ia berpotensi menghilangkan kemiskinan struktural, bukan sekadar meringankan penderitaan sementara.
III. Zakat dan Etika Kepemilikan Harta
Ayat ini mereformasi etika kepemilikan. Dalam pandangan Islam, kepemilikan harta bukanlah hak absolut, tetapi bersifat relatif dan terikat oleh kewajiban sosial. Zakat adalah pengakuan formal bahwa dalam setiap kekayaan terdapat bagian yang bukan milik pemiliknya. Pengakuan ini adalah dasar moral untuk menumbuhkan solidaritas sosial.
Jika kita melihat lebih dekat pada konteks turunnya Surah At-Taubah, surah ini dikenal sebagai Fadhihah (pembongkar) karena mengungkap kemunafikan. Ayat 103, meskipun spesifik tentang Zakat, muncul sebagai bagian dari upaya untuk memurnikan barisan mukmin. Mereka yang tulus bertaubat menunaikan Zakat, membersihkan harta dan jiwa mereka. Ini menunjukkan bahwa Zakat adalah indikator paling jelas dari kejujuran iman seseorang.
Dalam sejarah peradaban Islam, penegakan Zakat yang efektif selalu berkorelasi dengan masa keemasan ekonomi dan sosial. Contoh paling nyata adalah masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Berkat penegakan Zakat yang adil dan merata, tercatat pada masa pemerintahannya sangat sulit menemukan mustahik (penerima Zakat) karena semua warga telah mencapai taraf kecukupan. Ini adalah bukti nyata bagaimana janji Tazkiyah dan Sakinah dalam Ayat 103 terwujud dalam skala sosial yang besar.
Perbedaan antara Zakat dan pajak modern sering kali disalahpahami. Meskipun keduanya adalah pungutan wajib, Zakat memiliki dasar teologis yang tidak dapat diganggu gugat, terikat pada nisab yang stabil, dan tujuannya spesifik untuk delapan asnaf serta fungsi Tazkiyah. Pajak, sebaliknya, bersifat fleksibel, untuk kepentingan umum yang luas, dan tidak membawa serta janji pembersihan spiritual yang ditawarkan oleh Zakat. Ayat 103 mengajarkan bahwa Zakat harus dipandang sebagai fondasi ekonomi spiritual, yang melengkapi, bukan menggantikan, sistem fiskal lainnya.
Implikasi bagi para pengusaha dan pemilik modal sangat besar. Ayat ini menekankan bahwa akumulasi harta tanpa kepedulian sosial adalah akumulasi kotoran spiritual. Pengusaha muslim didorong untuk menjadikan Zakat sebagai bagian terencana dari model bisnis mereka, memastikan bahwa setiap keuntungan yang diperoleh telah dibersihkan dan disucikan. Hal ini menumbuhkan budaya bisnis yang beretika, bertanggung jawab, dan berbasis spiritualitas.
Selain itu, konsep Tathhir dan Tazkiyah juga berlaku pada harta yang diperoleh melalui cara-cara yang meragukan (syubhat). Meskipun Zakat tidak menghalalkan yang haram, ia berfungsi sebagai mekanisme penebusan parsial bagi kesalahan-kesalahan kecil yang tak disengaja dalam proses memperoleh harta. Namun, penebusan ini harus diikuti dengan taubat dan niat kuat untuk menjauhi harta yang haram, karena Zakat hanya menyucikan harta yang pada dasarnya halal.
Penghayatan Spiritual dan Aplikasi Ayat 103
Untuk mencapai target spiritual yang dijanjikan oleh ayat 103—yaitu pembersihan, penyucian, dan ketenteraman jiwa—muzakki harus menghayati beberapa prinsip mendasar:
I. Menginternalisasi Niat Ikhlas
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya niat. Zakat yang dikeluarkan harus murni didorong oleh ketaatan kepada Allah, bukan karena tekanan sosial atau ingin dipuji. Jika niatnya murni, proses Tathhir dan Tazkiyah akan bekerja maksimal, dan Sakinah akan menyelimuti jiwa. Sebaliknya, Zakat yang dikeluarkan dengan niat riya hanya akan menjadi transfer uang tanpa nilai spiritual.
Para ulama tafsir kontemporer sering mengingatkan bahwa amal kebaikan, termasuk Zakat, adalah refleksi dari kondisi hati. Hati yang kikir atau sombong akan menghalangi manfaat Zakat, sementara hati yang lapang dan tunduk akan panen pahala dan ketenangan yang abadi.
II. Peran Zakat dalam Stabilitas Emosi
Stres dan kecemasan adalah penyakit modern. Ayat 103 menawarkan resep ilahi: Sakinah melalui Zakat. Kecemasan finansial seringkali berakar pada ketakutan kehilangan harta. Dengan menunaikan Zakat, muzakki secara sadar mengakui bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki (Ar-Razzaq) dan Penjamin harta yang sesungguhnya.
Tindakan melepaskan harta dengan tulus adalah tindakan tawakal (penyerahan diri) yang kuat. Penyerahan diri inilah yang secara otomatis mengurangi beban emosional dan membawa ketenangan (Sakinah) yang dijanjikan Allah, memvalidasi bahwa Zakat adalah ibadah yang memberikan manfaat psikologis secara langsung.
III. Tanggung Jawab Amil sebagai Pewaris Doa Nabi
Lembaga amil Zakat harus melihat peran mereka tidak hanya sebagai manajer keuangan tetapi juga sebagai pewaris amanah spiritual dalam konteks ayat 103. Mereka harus menjaga profesionalisme dan integritas agar doa mereka memiliki kekuatan untuk memberikan ketenangan jiwa kepada muzakki.
Oleh karena itu, amil wajib menyambut muzakki dengan keramahan, memberikan pelayanan yang transparan, dan memastikan bahwa dana disalurkan sesuai syariat. Ketika muzakki merasa yakin bahwa hartanya diurus oleh orang-orang yang jujur dan beriman, Sakinah akan mudah tercapai.
Pengamalan ayat ini dalam kehidupan sehari-hari menuntut sebuah perubahan paradigma dari sekadar membayar kewajiban menjadi proses transformasi diri. Muzakki didorong untuk tidak hanya menghitung nisab dan haul, tetapi juga merenungkan dampak spiritual dari tindakannya. Apakah pemberiannya menghilangkan kesombongan di hati? Apakah ia benar-benar merasa tenteram setelah menunaikannya? Refleksi ini adalah esensi dari Tazkiyah An-Nafs (penyucian jiwa) yang diisyaratkan oleh ayat tersebut.
Lebih jauh, Tathhir harta menuntut muzakki untuk senantiasa mencari sumber penghasilan yang halal dan bersih. Zakat menjadi ujian integritas finansial. Jika seseorang berupaya membersihkan hartanya melalui Zakat, seharusnya ia juga berupaya maksimal untuk memastikan bahwa keseluruhan hartanya berasal dari jalan yang diridhai Allah. Pembersihan adalah proses yang berkesinambungan, bukan hanya sekali setahun.
Dalam mengaplikasikan 'Khudz' di era digital, lembaga Zakat harus memanfaatkan teknologi untuk memudahkan penunaian Zakat sekaligus mempertahankan dimensi spiritualnya. Sistem yang mudah diakses, akuntabilitas real-time, dan komunikasi yang personal dapat meniru kemudahan dan ketenangan yang dirasakan para sahabat saat berinteraksi langsung dengan Nabi SAW. Teknologi harus menjadi alat untuk memperkuat, bukan melemahkan, aspek Sakinah dari Zakat.
Kesinambungan pengamalan Surah At-Taubah 103 terletak pada pemahaman bahwa Zakat adalah kontrak abadi antara individu, masyarakat, dan Tuhan. Ayat ini adalah peta jalan menuju kesejahteraan holistik—kesejahteraan finansial, sosial, dan spiritual. Selama umat Islam memegang teguh tiga pilar ini (pengambilan, penyucian, dan doa), mereka akan terus menuai buah dari ketenangan jiwa dan keberkahan harta.
Kesimpulan Mendalam
Surah At-Taubah ayat 103 adalah permata dalam Al-Qur'an yang merangkum keseluruhan filosofi Zakat. Ayat ini menegaskan bahwa Zakat adalah perintah wajib yang harus dieksekusi secara terinstitusi ('Khudz'), memiliki tujuan ganda, yaitu membersihkan dosa dan kotoran harta (Tathhir) serta menumbuhkan kebaikan dan berkah (Tazkiyah), dan bahwa proses ini dimahkotai dengan doa spiritual pemimpin yang membawa ketenteraman jiwa (Sakinah).
Ayat ini adalah jawaban tuntas bagi mereka yang memandang Zakat hanya sebagai beban finansial. Zakat adalah investasi, bukan pengeluaran. Ia adalah penukar kotoran duniawi dengan kedamaian abadi. Penutup ayat, "Wallahu Samī’un ‘Alīm", adalah janji abadi bahwa setiap niat dan tindakan, besar maupun kecil, dalam menunaikan kewajiban suci ini akan didengar dan diketahui oleh Zat Yang Maha Sempurna.
Pengamalan mendalam ayat 103 mengharuskan umat Islam hari ini untuk tidak hanya membayar Zakat, tetapi juga untuk menuntut transparansi dari lembaga Zakat, dan bagi amil Zakat untuk senantiasa menjaga integritas spiritual mereka, sehingga rantai keberkahan dan ketenangan yang dimulai dari perintah ilahi ini dapat terus mengalir di tengah-tengah masyarakat.
Penyucian yang dihasilkan oleh Zakat (Tazkiyah) adalah proses yang berkelanjutan, memerlukan introspeksi dan komitmen moral yang tinggi. Ia adalah cermin yang memantulkan kualitas iman seorang hamba. Setiap kali seseorang menunaikan Zakat dengan penuh kesadaran akan makna 'Tathhir' dan 'Tazkiyah', ia sedang merespons panggilan ilahi untuk kembali kepada fitrah yang bersih, menjauhi keserakahan, dan mendekatkan diri pada keridhaan Allah.
Inti dari pesan ayat ini adalah bahwa Islam menginginkan umatnya hidup dalam keadaan harta yang suci dan jiwa yang tenteram. Zakat adalah sarana utama untuk mencapai dualitas kesucian ini. Tanpa penegakan Zakat yang adil, masyarakat akan kehilangan sumber Sakinah kolektif, dan harta akan menjadi sumber konflik alih-alih keberkahan. Oleh karena itu, Surah At-Taubah 103 adalah seruan abadi untuk melaksanakan keadilan ekonomi yang berakar pada spiritualitas mendalam.