I. Pendahuluan: Ayat Penutup Penuh Rahmat
Surah At-Taubah adalah surah yang unik dalam Al-Qur'an, sering kali dikenal dengan nama ‘Bara'ah’ karena tidak diawali dengan Basmalah, menandakan permulaan perjanjian dan peringatan keras bagi kaum munafik dan musyrik. Namun, di tengah-tengah surah yang sarat dengan hukum perang, ketegasan, dan tuntutan kesetiaan akidah, Al-Qur'an menutupnya dengan dua ayat yang menyajikan potret paling indah dan paling mengharukan dari sosok pembawa risalah, Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat 128 dari Surah At-Taubah (Surah ke-9) merupakan puncak dari kasih sayang Ilahi yang dipersonifikasikan dalam diri Nabi. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan deklarasi teologis tentang hakikat kepemimpinan spiritual. Dengan kajian mendalam terhadap ayat ini, kita tidak hanya memahami sifat kenabian, tetapi juga menemukan fondasi etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ketegasan syariat dengan kelembutan rahmat, menegaskan bahwa inti dari Islam adalah kasih sayang, kepedulian, dan pengorbanan.
1.1. Posisi Strategis Ayat dalam Struktur Surah
At-Taubah 128 dan 129 sering dianggap sebagai penutup Al-Qur'an secara kronologis, meskipun penempatannya dalam mushaf adalah di Surah kesembilan. Penempatan ini sangat signifikan. Setelah Surah ini membahas ekspedisi Tabuk, pengungkapan kemunafikan, dan kerasnya hukuman bagi mereka yang melanggar janji, Al-Qur'an mengakhiri pembahasan ini dengan menyoroti bahwa semua ketegasan itu bersumber dari seorang Nabi yang sejatinya memiliki hati yang paling lembut dan paling peduli terhadap umatnya. Ini menyeimbangkan narasi, menunjukkan bahwa keadilan dan ketegasan syariat selalu dibungkus dalam selimut rahmat kenabian.
II. Teks Ayat dan Terjemahannya
Untuk memahami kedalaman pesan yang terkandung, penting untuk mengkaji lafaz aslinya dan terjemahan yang komprehensif.
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
III. Tafsir Tematik: Empat Pilar Kasih Sayang Kenabian
Ayat ini memuat empat deskripsi utama tentang sifat Nabi Muhammad ﷺ. Setiap deskripsi membawa bobot teologis dan etis yang luar biasa, menggambarkan hubungan unik antara Rasulullah dan umatnya. Kita akan membedah setiap frasa, merujuk pada tafsir klasik seperti Tafsir Al-Tabari, Ibn Katsir, dan Al-Qurtubi.
3.1. Sifat Pertama: Min Anfusikum (Dari Kalanganmu Sendiri)
Frasa ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia biasa, bukan malaikat atau makhluk dari dimensi lain. Ia tumbuh di tengah masyarakat Mekkah, berbagi bahasa, budaya, dan pengalaman hidup mereka. Ini memiliki implikasi ganda:
- Empati Total: Karena ia berasal dari jenis manusia yang sama, ia memahami betul perjuangan, kelemahan, dan godaan yang dihadapi oleh manusia. Ini menjadikannya teladan yang realistis (uswah hasanah).
- Kedekatan dan Kepercayaan: Keakraban asal usul ini menghilangkan potensi keraguan yang mungkin muncul jika Rasul diutus dari kalangan makhluk gaib. Mereka mengenali silsilahnya, kejujurannya (Al-Amin), dan kehidupannya sebelum kenabian.
Sebagian ulama seperti Az-Zamakhsyari menekankan bahwa ini juga berarti Rasulullah adalah yang terbaik (asyraf) dari kaum mereka, menolak penafsiran bahwa ini merujuk pada keturunan yang rendah. Penekanan pada ‘dari diri mereka’ memastikan bahwa ajaran yang dibawa relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks kehidupan manusia.
3.2. Sifat Kedua: Azizun Alaihi Ma Anittum (Berat Terasa Olehnya Penderitaanmu)
Kata kunci di sini adalah ‘azīzun’ yang berarti ‘berat,’ ‘sukar,’ atau ‘penting,’ dan ‘anittum’ yang berarti ‘penderitaan,’ ‘kesulitan,’ atau ‘kesusahan.’ Ayat ini menyatakan bahwa penderitaan umatnya merupakan beban yang sangat berat bagi Rasulullah ﷺ. Ini melampaui simpati biasa; ini adalah penderitaan yang dirasakan secara pribadi.
Menurut Ibn Katsir, makna dari frasa ini adalah bahwa kesulitan apa pun yang menimpa umat, baik di dunia maupun akhirat, membuat Rasulullah merasa sakit hati dan berdukacita. Inilah yang mendorong beliau selalu mencari keringanan (rukhsah) bagi umatnya dalam urusan syariat. Contohnya:
- Keringanan Ibadah: Beliau selalu memilih yang termudah dari dua pilihan dalam urusan ibadah, asalkan itu bukan dosa, karena khawatir memberatkan umatnya.
- Doa Malam: Kesungguhan beliau dalam shalat malam dan doanya di padang Arafah menunjukkan betapa beratnya beban keselamatan umat yang dipikulnya, hingga beliau menangis memohon ampunan bagi mereka.
Tafsir Al-Qurtubi menjelaskan bahwa perasaan ‘berat’ ini adalah manifestasi dari kasih sayang Ilahi yang ditanamkan ke dalam hati Nabi, yang membedakannya dari pemimpin duniawi biasa yang mungkin peduli, tetapi tidak merasakan kesakitan subyektif yang sama.
3.3. Sifat Ketiga: Harisun Alaikum (Sangat Menginginkan Kebaikanmu)
Kata ‘harīṣun’ berarti ‘sangat berambisi,’ ‘antusias,’ atau ‘terlalu bersemangat.’ Namun, dalam konteks kenabian, ambisi ini diarahkan semata-mata pada kebaikan umat, terutama keimanan dan petunjuk. Ini adalah semangat yang tak kenal lelah untuk memastikan keselamatan spiritual mereka.
Keinginan yang kuat (hirsh) ini terlihat dari upaya dakwah beliau yang gigih, bahkan ketika ditolak dan disakiti. Beliau tidak menginginkan kekayaan, kekuasaan, atau pujian dari umatnya, melainkan hanya agar mereka menerima petunjuk dan selamat dari siksa api neraka. Frasa ini mengaitkan langsung antara ambisi Nabi dengan keimanan umat.
Para mufasir menekankan bahwa ‘harisun alaikum’ adalah penjelasan praktis dari ‘azizun alaihi ma anittum’. Karena beliau merasa berat melihat penderitaan umat, maka beliau menjadi sangat bersemangat untuk menyelamatkan mereka. Ambisi ini adalah ambisi rahmat, bukan ambisi duniawi.
3.3.1. Manifestasi Keharisan Nabi
Keharisan ini diwujudkan dalam banyak aspek syariat dan perilakunya:
- Peringatan Terhadap Neraka: Nabi sering digambarkan sebagai seseorang yang menarik umatnya dari jurang api. Jika beliau melihat dosa atau kemungkaran, beliau bereaksi keras bukan karena marah pribadi, tetapi karena takut umatnya terjerumus.
- Doa Pengampunan: Bahkan terhadap mereka yang menentangnya di Mekkah, beliau tidak mendoakan kebinasaan total, melainkan petunjuk, menunjukkan harapannya yang mendalam agar mereka kembali kepada kebenaran.
3.4. Sifat Keempat dan Kelima: Bil Mu’minina Ra’ufur Rahim (Kepada Orang Mukmin, Sangat Penyantun lagi Penyayang)
Ini adalah klimaks dari ayat tersebut, memuat dua Asmaul Husna (Nama-Nama Allah) yang disandangkan kepada Rasulullah ﷺ. Ini adalah kehormatan besar, menunjukkan bahwa kasih sayang Nabi adalah pantulan langsung dari Rahmat Ilahi.
3.4.1. Analisis Kata ‘Ra’uf’ (Penyantun/Lembut)
Kata ‘Ra’ūf’ (رَءُوفٌ) menunjukkan tingkat kasih sayang yang sangat tinggi, sering diterjemahkan sebagai ‘belas kasih’ atau ‘kelembutan yang intens.’ Menurut para ahli bahasa, *Ra'ūf* adalah perhatian yang sangat cepat dan spesifik untuk menghilangkan bahaya atau kesulitan yang sedang menimpa. Ini adalah kemurahan hati yang proaktif.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas Nama-Nama Allah, menjelaskan bahwa *Ra'ūf* adalah Zat yang memberikan kebaikan secara berlebihan (intens) dan menghilangkan bahaya. Ketika sifat ini disematkan pada Nabi, itu berarti beliau memiliki belas kasihan yang sangat dalam dan sangat cepat bereaksi terhadap kebutuhan atau kesusahan orang mukmin. Beliau tidak menunggu permintaan, melainkan segera memberikan pertolongan dan keringanan.
3.4.2. Analisis Kata ‘Rahim’ (Penyayang/Penuh Rahmat)
Kata ‘Rahīm’ (رَّحِيمٌ) menunjukkan rahmat yang berkelanjutan, terus-menerus, dan luas cakupannya, terutama yang berfokus pada hasil akhir yang baik (keselamatan di akhirat). Jika *Ra'ūf* berfokus pada penghilangan kesulitan duniawi dan segera, *Rahīm* berfokus pada pemberian manfaat jangka panjang.
Penyebutan kedua sifat ini secara berurutan (*Ra'ūf* dan *Rahīm*) menunjukkan kedalaman dan kesempurnaan kasih sayang kenabian:
- Beliau bersifat Ra'ūf (penyantun) dalam menghadapi kesulitan sehari-hari umatnya.
- Beliau bersifat Rahīm (penyayang) dalam memikirkan nasib abadi mereka di Akhirat.
Penting untuk dicatat bahwa sifat *Ra’ufur Rahim* ini dalam ayat 128 dikhususkan ‘Bil Mu'minina’ (kepada orang-orang mukmin). Meskipun rahmat Nabi meluas kepada seluruh alam (sebagaimana firman: Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin), intensitas kelembutan dan perhatian yang spesifik dan langsung tertuju pada mereka yang telah menyatakan keimanan. Kepada mereka, beliau adalah tempat berlindung, penolong, dan sumber keringanan syariat.
IV. Analisis Linguistik dan Balaghah (Retorika)
Ayat 128 At-Taubah adalah mahakarya retorika Al-Qur'an, di mana setiap kata dipilih dengan presisi untuk membangun argumen tentang otoritas dan kasih sayang Nabi.
4.1. Kekuatan Kata 'Laqad' (Sungguh, Telah)
Ayat diawali dengan Lām at-tawkīd (lam penegasan) yang diikuti oleh qad (telah/sungguh). Kombinasi ‘Laqad’ (لَقَدْ) memberikan penekanan yang sangat kuat, setara dengan sumpah. Ini menegaskan kebenaran tanpa keraguan: sosok ini (Rasulullah) benar-benar telah datang kepada kalian dengan sifat-sifat yang luar biasa ini. Ini berfungsi untuk menghilangkan keraguan orang munafik dan memperkuat keyakinan kaum mukmin di akhir periode wahyu.
4.2. Penggunaan Bentuk Isim Fa’il (Kata Sifat Aktif)
Dalam deskripsi sifat-sifat kenabian, Al-Qur'an menggunakan bentuk Isim Fa’il (kata sifat aktif) yang menunjukkan sifat yang melekat, bukan hanya tindakan sesaat: ‘Azīz’ (berat), ‘Harīṣ’ (bersemangat), ‘Ra’ūf’ (penyantun), dan ‘Rahīm’ (penyayang). Ini menunjukkan bahwa kasih sayang bukanlah sesuatu yang Rasulullah paksakan, melainkan merupakan watak bawaan yang Allah tanamkan padanya.
4.3. Urutan Sifat dan Eskalasi Rahmat
Urutan sifat dalam ayat ini memiliki makna balaghah yang mendalam, menunjukkan eskalasi dari hubungan personal ke rahmat universal:
- 1. Asal Usul (Min Anfusikum): Menggarisbawahi identitas dan kedekatan sosial.
- 2. Beban Penderitaan (Azizun Alaihi): Manifestasi empati negatif (merasa sakit).
- 3. Dorongan Positif (Harisun Alaikum): Manifestasi proaktif (bersemangat menyelamatkan).
- 4. Pengakuan Ilahi (Ra’ufur Rahim): Puncak rahmat yang dilembagakan oleh Allah SWT.
Dengan demikian, ayat ini tidak hanya mendaftar sifat-sifat, tetapi membangun sebuah narasi psikologis dan teologis yang utuh tentang mengapa Nabi layak diikuti dan dicintai.
4.4. Kontras dalam At-Taubah
Retorika Al-Qur'an sering menggunakan kontras. Surah At-Taubah diwarnai dengan perintah jihad, pemutusan hubungan dengan musuh, dan disiplin yang keras. Penempatan ayat 128 yang penuh rahmat ini di akhir surah berfungsi sebagai penutup yang menenangkan (khatimatun syāfiyah). Ini mengingatkan bahwa bahkan dalam ketegasan syariat, sumbernya adalah rahmat, dan bahwa kekerasan itu hanya ditujukan kepada kemunafikan dan kejahatan, sementara hati Nabi selalu terbuka bagi kaum mukmin.
V. Konteks Historis dan Keunikan Nuzul
Surah At-Taubah secara umum, dan dua ayat terakhir khususnya, diyakini turun pada masa-masa akhir kenabian di Madinah, setelah Tabuk. Periode ini adalah periode konsolidasi negara Islam, di mana ujian terhadap keimanan sangatlah berat, melibatkan pengorbanan harta, waktu, dan nyawa.
5.1. Keterkaitan dengan Akhir Wahyu
Karena ayat ini muncul menjelang akhir masa wahyu, ia berfungsi sebagai ringkasan kenabian. Seolah-olah Allah berfirman: “Lihatlah semua yang telah kalian lalui—perang, pengorbanan, kesulitan. Semua ini dimungkinkan karena kalian dipimpin oleh sosok yang memiliki empat sifat fundamental ini.” Ayat ini adalah sertifikat kehormatan dan pengakuan atas pengorbanan dan cinta Nabi kepada umatnya selama dua puluh tiga tahun.
5.2. Isu Qira’at dan Penempatan Mushaf
Meskipun mayoritas mutawatir Al-Qur'an saat ini (Mushaf Utsmani) menempatkan ayat 128-129 di akhir Surah At-Taubah, sejarah kompilasi menunjukkan keunikan. Diriwayatkan bahwa dua ayat ini awalnya hanya ditemukan pada Zaid bin Tsabit (penyusun utama Mushaf) dari Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari, setelah sebagian besar Al-Qur'an selesai dikumpulkan. Meskipun keotentikannya disepakati secara mutawatir, kisah ini menambah bobot makna. Penemuan ayat ini di akhir proses kompilasi seolah menegaskan bahwa karakteristik Rauf dan Rahim inilah yang menjadi penutup sempurna bagi risalah kenabian yang begitu kompleks.
Para ulama seperti Imam As-Suyuti menjelaskan bahwa tidak ada keraguan sedikit pun mengenai status kedua ayat ini sebagai bagian dari Al-Qur'an. Kisah penemuan ini justru menyoroti betapa Allah menjaga setiap lafaz, bahkan yang tersembunyi, hingga ia ditemukan kembali untuk menyempurnakan Surah yang agung ini.
5.3. Dampak Ayat Terhadap Komunitas Awal
Bagi para Sahabat yang baru saja melewati ujian berat seperti perang Tabuk, ayat ini berfungsi sebagai penenang. Mereka diingatkan bahwa kesusahan dan perintah yang keras bukanlah wujud kebencian, melainkan merupakan tuntutan syariat yang dipikul oleh seorang pemimpin yang paling mencintai dan menyayangi mereka. Ini memperkuat loyalitas dan menghilangkan potensi keraguan yang mungkin ditanamkan oleh kaum munafik.
VI. Implikasi Akidah dan Hukum (Fiqh)
Ayat 128 Surah At-Taubah tidak hanya memberikan deskripsi moral, tetapi juga memiliki implikasi serius dalam akidah (teologi) dan fiqh (hukum Islam).
6.1. Akidah: Isbat an-Nubuwwah (Penegasan Kenabian)
Ayat ini adalah salah satu bukti terkuat kenabian Muhammad ﷺ. Bagaimana mungkin seseorang yang hidup dalam lingkungan keras Mekkah dan memimpin perang dapat memiliki tingkat empati dan kasih sayang yang sedalam ini, bahkan sampai disandangi sifat Ilahi (*Ra’ufur Rahim*)? Sifat-sifat ini adalah mukjizat moral yang menegaskan bahwa beliau adalah utusan yang dipilih, didukung, dan dicintai oleh Allah SWT.
Kalamullah (Al-Qur'an) tidak akan mungkin memuji seorang manusia dengan keutamaan sedemikian rupa kecuali manusia itu benar-benar murni dan memiliki kedudukan tertinggi di sisi Allah. Oleh karena itu, bagi Ahlu Sunnah wal Jama’ah, ayat ini menjadi dalil wajibnya mencintai Nabi melebihi diri sendiri, karena kecintaan beliau kepada umatnya bersifat total dan tanpa pamrih.
6.2. Fiqh: Prinsip Keringanan (Taisir)
Implikasi hukum yang paling mendasar dari ‘Azizun alaihi ma anittum’ (berat baginya penderitaanmu) adalah prinsip Taisir (kemudahan) dalam syariat. Banyak hukum fiqh didasarkan pada keinginan Nabi untuk meringankan umatnya, seperti:
- Waktu Shalat Isya: Penundaan shalat Isya karena takut memberatkan.
- Puasa Ramadhan bagi Musafir: Keringanan untuk berbuka bagi orang yang bepergian jauh atau sakit.
- Kesederhanaan Hukum: Secara umum, Nabi menghindari penambahan detail hukum yang tidak perlu, karena khawatir hal itu akan menjadi wajib dan memberatkan umatnya di masa depan.
Para ahli ushul fiqh (prinsip-prinsip hukum Islam) sering menggunakan ayat ini sebagai salah satu sumber utama (masdar) dalam menetapkan kaidah bahwa tujuan syariat adalah untuk menghilangkan kesulitan (raf'ul haraj) dan membawa kemudahan. Kasih sayang Nabi, yang disuarakan dalam ayat ini, menjadi justifikasi teologis bagi kaidah fiqh tersebut.
Analisis Syafi’i dan Hanafi mengenai Rahmat
Dalam Mazhab Syafi’i, prinsip kehati-hatian dalam menetapkan hukum baru yang memberatkan sangat dipengaruhi oleh semangat ayat ini. Sementara dalam Mazhab Hanafi, terutama dalam penetapan sanksi (hudud), prinsip Ra’ufur Rahim seringkali dijadikan alasan untuk mencari peluang keringanan (syubhat) demi menghindari hukuman yang keras jika ada keraguan, mencontohkan keengganan Nabi untuk menghukum kecuali dengan bukti yang sangat jelas.
Keringanan ini menunjukkan bahwa keadilan Ilahi tidak pernah terlepas dari rahmat, dan bahwa syariat Islam dirancang untuk memelihara kemaslahatan manusia (Maqasid Syari'ah), bukan untuk menyiksa atau mempersulit.
VII. Peran Ayat 128 dalam Kehidupan Muslim Kontemporer
Ayat ini bukan hanya catatan sejarah tentang sifat Nabi, tetapi juga pedoman abadi bagi setiap Muslim dan pemimpin Muslim.
7.1. Model Kepemimpinan Islami
Ayat 128 menetapkan standar kepemimpinan: seorang pemimpin sejati adalah ia yang merasakan penderitaan rakyatnya (azizun alaihi ma anittum) dan yang ambisinya hanyalah kebaikan serta keselamatan mereka (harisun alaikum). Dalam konteks modern, ini menuntut pemimpin, dai, dan pendidik untuk:
- Empati Struktural: Tidak hanya memberikan bantuan, tetapi memahami akar penderitaan dan berjuang untuk menghilangkannya.
- Dedikasi Non-Material: Ambisi kepemimpinan harus murni demi kemaslahatan umat, tanpa motivasi pribadi atau materi.
- Kasih Sayang dalam Hukum: Penegakan aturan harus dilakukan dengan kelembutan dan kebijaksanaan, mencontoh sifat Ra’ufur Rahim.
7.2. Landasan Akhlak Interaksi Sosial
Jika Nabi ﷺ bersikap *Ra’ufur Rahim* kepada orang mukmin, maka para pengikutnya wajib meniru sifat tersebut dalam interaksi sesama mukmin. Hubungan antar Muslim harus didasarkan pada belas kasihan, menghindari permusuhan yang tidak perlu, dan selalu bersemangat untuk melihat kebaikan pada orang lain. Semangat Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) secara langsung bersumber dari sifat kenabian yang dipuja dalam ayat ini.
7.3. Perlawanan Terhadap Fanatisme
Ayat ini menjadi penyeimbang terhadap interpretasi ekstrem yang mungkin muncul dari bagian-bagian lain Surah At-Taubah. Ayat 128 mengingatkan bahwa semangat jihad dan ketegasan syariat harus selalu disalurkan melalui hati yang dipenuhi rahmat kenabian. Fanatisme yang didasarkan pada kebencian atau permusuhan bertentangan langsung dengan hakikat *Ra’ufur Rahim* yang disandang oleh Rasulullah ﷺ.
7.3.1. Kasih Sayang Melintasi Batas
Walaupun frasa ‘Bil Mu’minina’ mengkhususkan perhatian intens kepada kaum mukmin, kita harus ingat konteks lain yang menyebut Nabi sebagai Rahmat bagi seluruh alam. Ayat 128 mengajarkan bahwa jika Nabi sangat menyayangi kaum mukmin, maka seharusnya umat Islam juga memperlakukan non-mukmin dengan keadilan, kelembutan, dan seruan kebaikan, meniru rahmat universal yang diajarkan Nabi, sambil mempertahankan intensitas khusus kasih sayang kepada sesama muslim.
VIII. Pembahasan Mendalam Tentang Rahmat dan Kekuatan Rohani
Untuk mencapai bobot pembahasan yang komprehensif, kita harus menelaah lebih jauh bagaimana sifat-sifat ini membentuk identitas rohani Rasulullah dan bagaimana hal itu mempengaruhi kapasitas beliau dalam memikul beban risalah.
8.1. Mengapa Sifat Ilahi Diberikan kepada Manusia?
Penyandangan gelar Ra’ufur Rahim (yang juga merupakan Nama Allah) kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah pengecualian yang sangat jarang dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan derajat kesempurnaan dan penyerahan diri Nabi yang luar biasa. Para ulama akidah menjelaskan bahwa Nabi menerima sifat ini bukan dalam makna hakiki (mutlak) seperti Allah, melainkan dalam makna majazi (metaforis) atau sebagai sifat yang diberikan dan dibentuk oleh Allah.
Ini adalah pengakuan bahwa perilaku dan akhlak Nabi telah mencapai puncak tertinggi dari manifestasi rahmat di muka bumi. Allah memberikannya untuk memastikan umat tidak merasa terintimidasi atau takut oleh keagungan risalah, melainkan merasa nyaman dan tertarik kepada pembawanya.
8.2. Kaitan Ayat 128 dengan Surah Ad-Dhuha
Sifat *Azizun Alaihi Ma Anittum* memiliki resonansi kuat dengan tema-tema yang diangkat dalam Surah Ad-Dhuha (Surah ke-93). Ketika Nabi merasa terbebani atau sedih (saat wahyu sempat terhenti atau ketika menghadapi penolakan), Allah menurunkan Ad-Dhuha untuk menghibur beliau, menegaskan bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Ayat 128 ini adalah sisi sebaliknya: ini menunjukkan bagaimana kesedihan dan beban Nabi berakar pada penderitaan umat, bukan hanya penderitaan pribadi. Kelembutan Nabi adalah respons langsung terhadap kelembutan Ilahi yang diterimanya.
8.3. Kekuatan di Balik Kelembutan (Al-Hilm)
Sifat Ra'ufur Rahim tidak berarti kelemahan. Sebaliknya, kelembutan Nabi (Al-Hilm) adalah sumber kekuatan. Seorang pemimpin yang berani menghadapi pasukan musuh (seperti dalam perang Badar atau Hunain) namun pada saat yang sama menangis karena penderitaan umatnya, menunjukkan keseimbangan sempurna antara keberanian spiritual (syaja'ah) dan kasih sayang (rahmah).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin menekankan bahwa sifat Al-Hilm (kesantunan dan pengendalian diri) adalah salah satu akhlak kenabian terpenting, yang memungkinkan beliau menyebarkan Islam bukan melalui paksaan, tetapi melalui keteladanan yang menarik hati. Ayat 128 merangkum seluruh aspek dari Al-Hilm ini.
8.3.1. Studi Kasus: Taif dan Kesabaran Nabi
Contoh klasik dari gabungan *Azizun* dan *Ra’uf* adalah peristiwa di Thaif. Setelah Nabi dilempari batu hingga berdarah dan merasa sangat sedih, Malaikat Jibril menawarkan untuk menjatuhkan gunung-gunung kepada penduduk Thaif. Nabi menolak tawaran tersebut, seraya berkata, "Justru aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata." Penolakan ini menunjukkan bahwa penderitaan pribadi beliau diredam oleh ambisi (Harisun) agar mereka atau keturunan mereka selamat—sebuah manifestasi dari *Ra’ufur Rahim* yang menolak pembalasan demi keselamatan jangka panjang.
IX. Penutup: Warisan Rahmat Kenabian
Surah At-Taubah ayat 128 adalah permata abadi dalam Al-Qur'an. Ia melukiskan Rasulullah Muhammad ﷺ bukan sekadar sebagai pembuat hukum, pemimpin perang, atau orator ulung, melainkan sebagai seorang ayah rohani, seorang pahlawan empati yang menanggung beban keselamatan setiap individu mukmin. Ayat ini adalah pengingat mendalam bahwa kenabian adalah jabatan yang diemban dengan cinta, pengorbanan, dan rahmat yang tiada batas.
Setiap Muslim, ketika membaca ayat ini, diingatkan akan hakikat sejati agama mereka: bahwa meskipun tuntutan syariat bisa terasa berat, ia disampaikan melalui tangan yang paling lembut dan hati yang paling penyayang. Kasih sayang Nabi adalah jaminan keselamatan umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Pemahaman yang benar terhadap ayat ini menuntun kita untuk meniru akhlak beliau, menjadikan empati sebagai prinsip hidup, dan menjadikan semangat (hirsh) untuk kebaikan sesama sebagai ambisi tertinggi. Dengan demikian, sifat *Ra’ufur Rahim* bukan hanya atribut sejarah, melainkan mandat etis bagi setiap generasi Muslim.
Oleh karena itu, ketika kita bersaksi bahwa "Muhammad adalah utusan Allah," kita bersaksi bahwa beliau adalah sosok yang berat baginya penderitaan kita, yang sangat menginginkan kebaikan kita, dan yang kepada orang-orang mukmin bersifat sangat penyantun lagi penyayang.
X. Elaborasi Kontekstual Sifat Ra’uf dan Rahim
Pendalaman terminologi *Ra’uf* dan *Rahim* memerlukan perbandingan dengan nama-nama Allah lainnya yang berhubungan dengan rahmat, seperti Al-Wadud (Yang Maha Mencintai) atau Al-Mannan (Yang Maha Pemberi Karunia). Perbedaan ini membantu kita menghargai keunikan penyebutan sifat ini secara spesifik bagi Nabi.
10.1. Rahmat sebagai Kapasitas Spiritual
Jika Allah adalah *Ar-Rahman* (Pemberi Rahmat Umum di dunia) dan *Ar-Rahim* (Pemberi Rahmat Khusus di akhirat), maka Rasulullah ﷺ memiliki kapasitas *Ra’ufur Rahim* dalam lingkup kenabiannya. Kapasitas ini adalah anugerah Ilahi yang memungkinkan beliau menyerap penderitaan umat (azizun alaihi) tanpa hancur secara spiritual. Kekuatan rohani Nabi terletak pada kemampuannya untuk mencintai dan peduli secara intens, sambil tetap teguh dalam menegakkan kebenaran.
Para sufi sering merenungkan ayat ini sebagai bukti bahwa Nabi adalah ‘Insan Kamil’ (Manusia Sempurna), yang jiwanya telah dimurnikan sehingga hanya memantulkan sifat-sifat kebaikan Allah. Cintanya kepada umatnya adalah cinta yang transenden, bebas dari hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Cinta ini adalah fondasi bagi ketaatan total umat kepada beliau, karena mereka tahu bahwa setiap perintah beliau berasal dari hati yang paling mencintai mereka.
10.2. Bukti Empati Kenabian dalam Hadis
Hadis-hadis Nabi penuh dengan contoh manifestasi Ra’ufur Rahim. Misalnya, larangan beliau untuk memanjangkan shalat ketika mendengar tangisan bayi, karena khawatir memberatkan ibu si bayi. Atau kisah beliau yang berlutut untuk meminum air dari bejana yang sama dengan yang digunakan oleh kaum lemah, menghapus batas-batas sosial. Semua tindakan ini adalah perwujudan praktis dari keengganan beliau untuk melihat umatnya dalam kesulitan.
Dalam hadis qudsi yang terkenal, Nabi digambarkan berdiri di tepi jurang api, memegang pinggang umatnya agar mereka tidak jatuh ke dalamnya. Ilustrasi ini secara puitis merangkum makna Harisun Alaikum, sebuah obsesi positif untuk keselamatan spiritual mereka.
10.3. Rahmat Terhadap Diri Sendiri
Ayat 128 juga memiliki implikasi psikologis yang penting. Seorang Muslim yang memahami bahwa nabinya sangat menyayangi dan menginginkan kebaikannya akan cenderung lebih mudah memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan masa lalu, selama ia bertaubat. Keyakinan pada Ra’ufur Rahim Nabi berfungsi sebagai penghubung antara keputusasaan dan harapan (raja’). Ia tahu bahwa pintu ampunan terbuka lebar karena Sang Rasul sendiri telah memohonkan keringanan dan rahmat bagi umatnya.
Ini adalah kontras dengan ajaran-ajaran spiritual yang menekankan hukuman dan ketakutan semata. Islam, melalui ayat ini, menyajikan keseimbangan: ada ketakutan akan azab (khauf), tetapi diimbangi oleh harapan akan syafaat dan kasih sayang kenabian yang melimpah.
10.3.2. Kesempurnaan Akhlak dalam Pandangan Mufasir Modern
Para mufasir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Quran, melihat ayat ini sebagai penekanan pada dimensi kemanusiaan Nabi. Ia bukan hanya figur otoritas, tetapi juga figur kehangatan dan kedekatan emosional. Dalam masyarakat yang semakin terasing dan individualistis, figur Nabi yang Ra’ufur Rahim menjadi kebutuhan mendesak, mengingatkan umat akan pentingnya komunitas yang didasarkan pada kasih sayang timbal balik.
Qutb berargumen bahwa tidak mungkin wahyu dapat diterima dan diterapkan secara total oleh umat jika pembawanya tidak menunjukkan tingkat empati yang sedemikian rupa. Ayat ini adalah jaminan Allah kepada umat bahwa mereka berada dalam tangan yang aman, baik secara spiritual maupun emosional.
10.4. Ayat 129: Penutup yang Memperkuat Tawakal
Meskipun fokus utama kita adalah ayat 128, ayat 129 yang mengikutinya adalah penutup yang sempurna:
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
Setelah Nabi mencurahkan seluruh kasih sayang dan ambisinya untuk keselamatan umat (Ayat 128), ayat 129 memberikan penegasan bahwa jika sebagian umat tetap menolak, tugas Nabi telah selesai, dan sumber kekuatan utamanya tetaplah Allah. Ini adalah ajaran tentang Tawakal: lakukan yang terbaik dengan cinta dan rahmat (128), tetapi serahkan hasilnya kepada Allah (129). Ini adalah resep sempurna untuk menghindari kelelahan spiritual dalam dakwah.
XI. Integrasi Etika Kenabian dalam Pendidikan dan Dakwah
Bagaimana seorang Muslim mengintegrasikan sifat-sifat yang begitu tinggi ini ke dalam praktiknya? Ini membutuhkan transformasi dalam metodologi dakwah dan pendidikan Islam.
11.1. Dakwah dengan Ruh Azizun Alaihi
Dai masa kini harus merefleksikan apakah mereka benar-benar merasakan penderitaan umat, atau hanya menghakimi dari kejauhan. Dakwah yang efektif, sebagaimana diajarkan oleh ayat 128, harus bersifat solutif dan empatik. Ketika berhadapan dengan dosa atau kelemahan, seorang dai harus mendekati dengan hati yang berat karena penderitaan orang tersebut, bukan dengan penghinaan atau kemarahan. Pendekatan ini adalah inti dari ajaran ‘Nasehat yang disalurkan melalui kasih sayang.’
Al-Qur'an dan Sunnah mengajarkan bahwa perubahan sejati berasal dari hati yang terbuka, dan hati terbuka oleh kelembutan, bukan paksaan. Para ulama salaf sering mengingatkan bahwa jika kita mengoreksi orang lain, kita harus merasa lebih prihatin terhadap nasib mereka daripada mereka sendiri, mencontoh Nabi.
11.2. Menerapkan Hirsh (Semangat Kebaikan)
Sifat Harisun Alaikum menuntut umat Islam untuk memiliki antusiasme yang sama dalam menyebarkan kebaikan, bukan hanya kepada sesama Muslim, tetapi kepada seluruh manusia. Semangat ini harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata, seperti mendirikan institusi sosial, membantu fakir miskin, dan memastikan keadilan. Keharisan ini adalah motor penggerak bagi setiap upaya perbaikan sosial.
Semangat ini juga relevan dalam konteks ilmu. Seorang guru atau pendidik harus memiliki semangat yang membara untuk melihat muridnya sukses, bahkan melebihi semangat murid itu sendiri. Inilah model pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulullah, di mana kasih sayang menjadi kurikulum inti.
11.3. Membangun Masyarakat yang Raufur Rahim
Jika setiap individu Muslim berusaha menjadi pantulan parsial dari sifat Ra’ufur Rahim, maka masyarakat Islam akan menjadi mercusuar keadilan dan kelembutan. Masyarakat yang Ra’ufur Rahim adalah masyarakat yang:
- Memberikan keringanan kepada yang lemah (orang tua, anak-anak, janda, yatim).
- Menghindari eksploitasi dan penindasan ekonomi.
- Mencari alasan untuk memaafkan, bukan mencari kesalahan.
- Mengutamakan perbaikan daripada penghukuman.
Ayat ini mengajak kita untuk merumuskan ulang konsep ‘kekuatan’ dalam Islam. Kekuatan sejati bukanlah dominasi fisik, melainkan dominasi moral dan spiritual yang diwujudkan melalui rahmat. Kekuatan yang paling abadi adalah kekuatan hati yang mampu menyayangi, meskipun dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Akhirnya, penafsiran mendalam terhadap Surah At-Taubah ayat 128 menegaskan kembali pesan inti Islam: bahwa agama ini adalah agama kemudahan, rahmat, dan kasih sayang yang berpusat pada kepemimpinan agung Nabi Muhammad ﷺ.
XII. Refleksi Filosofis: Kedudukan Rahmat dalam Kosmologi Islam
Dalam studi filosofi Islam, ayat 128 memiliki peranan sentral dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan, Nabi, dan alam semesta. Rahmat bukan hanya sifat moral, melainkan struktur dasar penciptaan.
12.1. Rahmat sebagai Koneksi Eksistensial
Filosof Al-Farabi dan Ibn Sina membahas bagaimana kebaikan dan rahmat (Khayr) adalah sifat yang mengalir dari Wujud Tertinggi (Allah) ke alam semesta. Nabi Muhammad ﷺ, sebagai Rahmat bagi seluruh alam, berfungsi sebagai saluran utama (al-barzakh) bagi kebaikan ini. Ayat 128 menjelaskan mekanisme transmisi rahmat ini: ia disampaikan melalui empati (azizun alaihi) dan keinginan tulus (harisun alaikum).
Tanpa sifat-sifat ini pada diri Nabi, risalah akan terasa dingin dan impersonal. Namun, karena rahmat kenabian, setiap hukum syariat terasa hangat dan relevan, menjadikannya sebuah perjanjian cinta, bukan sekadar kontrak ketaatan tanpa emosi.
12.2. Tafakur pada Kata ‘Anfusikum’ (Diri Kalian Sendiri)
Ibn Arabi, dalam kerangka metafisik, menafsirkan ‘min anfusikum’ tidak hanya sebagai asal-usul biologis, tetapi juga sebagai kedekatan spiritual yang terdalam. Nabi adalah ‘diri’ mereka dalam arti beliau adalah cerminan dari potensi spiritual tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Oleh karena itu, mencintai Nabi adalah mencintai versi terbaik dari diri sendiri yang mungkin dicapai. Ketika Nabi merasakan penderitaan umatnya, beliau merasakan penderitaan pada bagian dari dirinya sendiri yang lebih besar—komunitas mukmin.
Kedekatan ini menghasilkan obligasi spiritual yang tidak terputus. Kasih sayang (Ra’ufur Rahim) yang beliau tunjukkan adalah pengorbanan ego tertinggi, di mana kepentingan pribadi sepenuhnya tunduk pada kepentingan kolektif umat.
12.3. Rahmat dan Maqam Syafa’at
Ayat 128 adalah fondasi teologis bagi kedudukan Nabi Muhammad ﷺ sebagai pemegang Syafa’at Al-Uzhma (Syafaat Agung) di Hari Kiamat. Penderitaan umat yang dirasakannya di dunia (azizun alaihi) akan memuncak pada Hari Kebangkitan, di mana beliau akan menjadi satu-satunya yang diizinkan untuk memohon keringanan dan pengampunan bagi umat manusia. Ambisi beliau untuk kebaikan (harisun alaikum) mencapai realisasi tertingginya pada hari tersebut.
Oleh karena itu, ketika kita merenungkan sifat *Ra’ufur Rahim* dari Nabi, kita tidak hanya melihat masa lalu kenabian di Madinah, tetapi juga masa depan eskatologis kita. Ayat ini memberikan harapan dan keyakinan bahwa kita memiliki penolong yang paling peduli di sisi Allah SWT.
Ayat penutup surah At-Taubah ini tetap menjadi salah satu sumber kekayaan spiritual terbesar bagi umat Islam, mengikat hati kaum mukmin kepada utusan mereka dengan ikatan cinta, rasa hormat, dan rasa syukur yang abadi.