Ilustrasi Kaligrafi Rahmat dan Tawakkal.
Pendahuluan: Penutup Suci yang Penuh Makna
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki keunikan mendasar; ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan lafaz Basmalah. Secara umum, surah ini banyak membahas hukum jihad, pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin, dan sifat-sifat kaum munafik. Namun, di penghujung surah yang keras dan tegas ini, Allah SWT menyisipkan dua ayat penutup yang menenangkan, yang berfungsi sebagai puncak dari seluruh risalah kenabian.
Ayat 128 dan 129 merupakan mercusuar yang memancarkan hakikat keberadaan Nabi Muhammad SAW, mengubah nada ketegasan surah menjadi kelembutan dan kasih sayang yang tak terbatas. Ayat-ayat ini tidak hanya berisi pujian agung bagi Rasulullah, tetapi juga perintah tegas bagi setiap mukmin untuk menempatkan sandaran tertinggi hanya kepada Sang Pencipta.
Kajian mendalam terhadap kedua ayat ini, yang sering kali dianggap sebagai warisan spiritual terakhir dari Surah At-Taubah, mengungkap kedalaman sifat kenabian dan urgensi tawakkal dalam kehidupan umat Islam. Melalui analisis linguistik, komparasi tafsir klasik, dan refleksi filosofis, kita akan menelusuri bagaimana kedua ayat ini menjadi fondasi moral dan spiritual yang kokoh bagi seluruh umat.
I. Analisis Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
(Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.)
A. Struktur Linguistik dan Makna Kata Kunci
Ayat ini sarat dengan kata sifat yang mendefinisikan karakter kenabian yang paling mulia. Para mufasir membagi ayat ini menjadi tiga bagian utama yang menjelaskan hubungan Rasulullah SAW dengan umatnya:
1. “لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ” (Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri)
Frasa ini menekankan aspek kemanusiaan dan kedekatan Rasulullah. Kata مِّنْ أَنفُسِكُمْ (dari kaummu sendiri), menurut mayoritas ulama tafsir, mengandung arti bahwa Nabi berasal dari keturunan Arab yang paling murni (Quraisy), sehingga umatnya tidak dapat beralasan bahwa utusan tersebut asing atau tidak memahami kondisi sosial dan budaya mereka. Namun, penafsiran yang lebih mendalam, sebagaimana diutarakan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, adalah bahwa beliau adalah 'sejenis' manusia, yang berbagi sifat dasar dan kemanusiaan, sehingga segala perintahnya dapat dicontoh dan segala penderitaannya dapat dipahami sebagai penderitaan manusia biasa yang ditinggikan derajatnya.
2. Sifat Kenabian: Beban Penderitaan Umat
Terdapat dua kata kunci utama dalam menggambarkan empati Rasulullah:
- عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Berat terasa olehnya penderitaanmu)
- Kata عَزِيزٌ (Aziz) di sini bermakna 'berat' atau 'sukar'. مَا عَنِتُّمْ (Ma ‘anittum) merujuk pada segala hal yang menyusahkan, menyulitkan, atau menimbulkan kesulitan bagi umatnya, baik di dunia (ujian, musibah) maupun di akhirat (ancaman siksa). Rasulullah SAW merasakan kesulitan yang dialami umatnya seolah-olah kesulitan itu menimpa dirinya sendiri. Ini melampaui simpati; ini adalah empati profetik.
- حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Sangat menginginkan bagimu)
- Kata حَرِيصٌ (Haris) memiliki makna 'sangat bersemangat', 'serakah' atau 'sangat menginginkan'. Dalam konteks ini, kehendak beliau adalah agar umatnya memperoleh hidayah, iman, dan terhindar dari azab. Keinginan ini begitu kuat, hingga terkadang membuat beliau bersedih jika umatnya berpaling. Semangat ini bukanlah semangat duniawi, melainkan semangat untuk membawa umat menuju keselamatan abadi.
3. Puncak Rahmat: الرءوف الرحيم (Penyantun lagi Penyayang)
Pujian ini merupakan anugerah langsung dari Allah SWT kepada Rasul-Nya, di mana beliau disifati dengan dua nama agung yang juga merupakan nama-nama Allah (Asmaul Husna), namun dalam kadar yang disesuaikan dengan peran kenabian:
- رَءُوفٌ (Ra’uf – Penyantun/Sangat Lembut)
- Ra’uf adalah tingkat belas kasih yang lebih tinggi dari Rahmah, menurut beberapa ulama. Ra’fah adalah kasih sayang yang menghalangi datangnya bahaya atau kesulitan. Dalam konteks Nabi SAW, Ra’fah diwujudkan dalam upaya beliau meringankan beban syariat dan menolak hukuman bagi orang-orang yang bersalah jika ada celah untuk pengampunan.
- رَّحِيمٌ (Rahim – Penyayang)
- Rahim adalah kasih sayang yang membawa manfaat, kebaikan, dan kemudahan. Rahmat Nabi Rahim bersifat berkelanjutan, meliputi petunjuk, pengajaran, dan syafaat yang akan beliau berikan di akhirat. Kombinasi Ra’uf dan Rahim menunjukkan kesempurnaan kasih sayang kenabian yang bersifat preventif (menghalangi kesulitan) dan kuratif (memberi manfaat).
Penting untuk dicatat bahwa sifat Ra'uf dan Rahim ini secara spesifik disematkan بِالْمُؤْمِنِينَ (terhadap orang-orang mukmin). Sementara rahmat Nabi secara umum meliputi semua makhluk, intensitas dan manifestasi Ra’fah dan Rahim ini mencapai puncaknya bagi mereka yang telah menyatakan keimanan.
B. Tafsir Klasik dan Konteks Sejarah Ayat 128
1. Pandangan Imam At-Tabari
Imam At-Tabari, dalam Jami’ Al-Bayan, menekankan bahwa ayat ini diturunkan untuk menenangkan hati umat Islam setelah serangkaian peringatan keras dalam surah tersebut. At-Tabari menggarisbawahi bahwa penderitaan yang dirasakan Nabi adalah penderitaan yang disebabkan oleh ketidaktaatan umat, dan beliau tidak ingin seorang pun dari mereka binasa. Hal ini menunjukkan tanggung jawab moral dan emosional yang luar biasa yang dipikul oleh Rasulullah SAW.
2. Pandangan Imam Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menghubungkan ayat ini dengan hadis-hadis yang menunjukkan betapa mudahnya Nabi memaafkan dan betapa kerasnya beliau bekerja untuk kebaikan umat. Beliau mencatat bahwa Rasulullah SAW selalu memilih opsi yang paling ringan bagi umatnya selama itu bukan dosa. Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa pujian ini adalah bentuk pengakuan Ilahi atas sifat agung Nabi yang melampaui segala bentuk kepemimpinan duniawi.
3. Perdebatan Makki atau Madani
Meskipun Surah At-Taubah mayoritas adalah Madani (diturunkan di Madinah), terdapat pendapat kuat di kalangan sahabat (seperti Ubay bin Ka'b dan Ibnu Abbas) bahwa dua ayat terakhir (128-129) adalah pengecualian. Sebagian berpendapat bahwa kedua ayat ini adalah ayat Makki, diturunkan di Mekkah, atau bahwa keduanya adalah ayat terakhir yang diturunkan, menempatkannya sebagai penutup seluruh wahyu Al-Qur'an (walaupun ini adalah pandangan minoritas yang lebih cenderung ke ayat di Surah Al-Maidah).
Jika diterima bahwa ayat ini diturunkan belakangan, ia berfungsi sebagai kesimpulan agung: setelah semua perintah, larangan, dan peperangan, inti dari risalah adalah kasih sayang dan belas kasihan. Ini adalah pengingat bahwa tujuan akhir dari syariat adalah rahmat.
II. Analisis Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 129
فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
(Kemudian jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.")
A. Transisi dari Rahmat ke Tawakkal
Ayat 129 berfungsi sebagai penyeimbang spiritual bagi Ayat 128. Setelah Allah memuji kasih sayang Nabi yang mendalam dan kepeduliannya yang tak terbatas, Ayat 129 memberikan instruksi kepada Rasulullah SAW tentang bagaimana menyikapi hasil dari upaya dakwahnya. Jika manusia (termasuk kaum musyrikin atau munafik yang keras kepala) menolak atau berpaling, Nabi tidak boleh larut dalam kesedihan yang berlebihan (walaupun ayat 128 menunjukkan beliau bersedih), melainkan harus kembali kepada sumber kekuatan dan kepastian mutlak: Allah SWT.
1. فَإِن تَوَلَّوْا (Kemudian jika mereka berpaling)
Frasa ini mengakui kebebasan memilih manusia. Upaya maksimal telah dilakukan (sebagaimana ditunjukkan dalam Ayat 128), namun hasilnya berada di tangan Allah. Jika mereka memilih kesesatan, Nabi diperintahkan untuk melepaskan beban tersebut dan menyerahkannya kepada Yang Maha Mengatur.
B. Inti Akidah: Deklarasi Tawakkal
Ayat ini menyajikan deklarasi tauhid dan tawakkal yang paling kuat, terdiri dari tiga klausa utama:
2. “حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ” (Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia)
Frasa حَسْبِيَ اللَّهُ (Hasbiyallah) adalah pilar tawakkal. Maknanya adalah: Allah adalah Dzat yang mencukupi segala kebutuhanku, pelindungku, dan pembelaku. Ia adalah benteng terakhir dari segala kegundahan dan ancaman. Deklarasi ini diperkuat dengan pengakuan tauhid yang murni, لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tidak ada Tuhan selain Dia), yang meniadakan segala bentuk sandaran, kekuatan, dan kuasa lain di alam semesta.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa frasa ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilemparkan ke dalam api. Ini adalah ungkapan keyakinan absolut di tengah keputusasaan terbesar.
3. “عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ” (Hanya kepada-Nya aku bertawakkal)
التَّوَكُّل (Tawakkal) secara harfiah berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan. Dalam terminologi syariat, tawakkal adalah ketulusan hati dalam menyandarkan seluruh urusan kepada Allah, setelah melakukan upaya (ikhtiar) maksimal. Ayat 128 adalah bukti ikhtiar Nabi (kasih sayang dan usaha keras), sementara Ayat 129 adalah perintah untuk tawakkal atas hasil dari ikhtiar tersebut.
4. “وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ” (Dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung)
Ayat ini ditutup dengan penguatan sifat kekuasaan Allah yang tiada tara. الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (Al-'Arsy Al-'Azhim – 'Arsy yang Agung) adalah makhluk Allah yang paling besar, yang mencakup seluruh alam semesta. Dengan menyebut Allah sebagai Rabb (Tuhan/Pemilik) dari 'Arsy yang agung, ayat ini menegaskan bahwa Dzat yang dijadikan sandaran (Hasbiyallah) adalah Dzat yang menguasai totalitas kerajaan, kekuatan, dan takdir. Tidak ada kekuatan, baik di bumi maupun di langit, yang dapat menandingi kekuasaan-Nya. Pengagungan ini memberikan ketenangan tertinggi kepada hati yang bertawakkal.
III. Integrasi Dua Ayat: Prinsip Dasar Dakwah dan Hidup
Ayat 128 dan 129, meskipun berbeda fokus, adalah dua sisi mata uang yang sama dalam memahami risalah kenabian dan kehidupan seorang mukmin. Ayat 128 adalah Prinsip Berinteraksi (berkasih sayang, berempati, dan berjuang), sementara Ayat 129 adalah Prinsip Bersandar (tawakkal total atas hasil).
A. Keseimbangan Antara Upaya dan Penyerahan
Dua ayat ini mengajarkan keseimbangan sempurna dalam Islam:
- Sisi Kasih Sayang (Ayat 128): Mengharuskan kita untuk berbuat maksimal dalam menyeru kebaikan, merasakan penderitaan sesama, dan tidak mudah berputus asa dalam mendidik. Ini adalah dimensi amal dan etika sosial.
- Sisi Tauhid (Ayat 129): Mengingatkan bahwa hati tidak boleh terikat pada keberhasilan usaha manusia. Hasil akhir (hidayah, kemenangan, keamanan) adalah murni milik Allah. Ini adalah dimensi akidah dan ketenangan batin.
B. Dua Sifat Allah yang Ditanamkan dalam Nabi
Allah SWT mentransfer dua sifat keagungan-Nya kepada Nabi SAW:
- Rahmah dan Ra’fah: Sifat ini mencerminkan sifat Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, mengajarkan bahwa kekerasan hati dan kebencian tidak sesuai dengan karakter kenabian.
- Tawakkal Mutlak: Sifat ini mencerminkan sifat Allah Al-Wakil (Maha Mewakili) dan Rabbul Arsyil Azhim (Pemilik Singgasana yang Agung), mengajarkan bahwa di balik segala ikhtiar, kekuasaan tertinggi berada di tangan-Nya.
IV. Pendalaman Tafsir dan Penafsiran Multi-Dimensi
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dikehendaki, kita perlu mengeksplorasi penafsiran terhadap setiap frasa kunci secara lebih rinci, mencakup aspek hukum, spiritual, dan filosofis.
A. Kajian Mendalam Terhadap Sifat Ra’ufun Rahim
1. Perbedaan Ra’fah dan Rahmah Menurut Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa sebagian ulama membedakan secara halus antara Ra’fah dan Rahmah. Ra’fah adalah rahmat yang terkait dengan penghindaran bahaya dan kemudaratan di masa depan, sedangkan Rahmah adalah rahmat yang terkait dengan pemberian manfaat dan kebaikan yang sudah ada. Nabi SAW memiliki keduanya: beliau mencegah umat dari azab (Ra’uf) dan memberi petunjuk menuju surga (Rahim).
2. Implikasi Fiqih dari 'Azizun Alaihi Ma Anittum'
Frasa "Berat terasa olehnya penderitaanmu" adalah fondasi bagi salah satu kaidah utama dalam Fiqih Islam: Meringankan beban (Takhlif). Kaidah ini menghasilkan keringanan dalam hukum (rukhsah) bagi mereka yang dalam kesulitan, seperti izin untuk berbuka puasa bagi musafir atau salat jamak bagi yang sedang dalam perjalanan. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam, yang disampaikan oleh Rasulullah yang penyayang, dibangun atas kemudahan, bukan kesulitan.
B. Kekuatan dan Signifikansi ‘Hasbiyallah’
Dzikir حَسْبِيَ اللَّهُ adalah benteng spiritual. Ulama Sufi dan ahli tasawuf menekankan bahwa pengucapan kalimat ini harus disertai dengan kondisi hati yang sepenuhnya pasrah. Ini bukan sekadar ucapan lisan, tetapi perpindahan total dari ketergantungan pada sebab-akibat duniawi (asbab) menuju ketergantungan pada Dzat yang menciptakan sebab-akibat (Musabbibul Asbab).
1. Hasbiyallah sebagai Pengakuan Kegagalan Ego
Ketika seseorang mengatakan 'Hasbiyallah', ia mengakui bahwa kekuatan dirinya, kecerdasannya, atau upayanya mungkin tidak cukup. Ini adalah pembebasan dari belenggu kesombongan dan keterikatan pada hasil yang diinginkan, yang sering kali menjadi sumber kegelisahan manusia.
2. Mengapa Disebutkan Rabbul Arsyil Azhim
Penyebutan 'Arsy pada akhir ayat sangatlah strategis. 'Arsy adalah simbol kekuasaan tertinggi dan totalitas kerajaan Allah. Dalam kitab-kitab akidah, 'Arsy dipandang sebagai atap alam semesta. Dengan bersandar pada Rabbul Arsyil Azhim, seorang mukmin menyandarkan dirinya kepada Penguasa yang tidak terjangkau oleh segala bentuk kelemahan dan keterbatasan. Keyakinan ini menghilangkan rasa takut terhadap kekuatan fana apa pun di dunia.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas tawakkal, menjelaskan bahwa Rabbul Arsyil Azhim berarti bahwa Allah mengurus segala sesuatu yang ada di bawah 'Arsy, yaitu segala sesuatu yang wujud. Jika Dia yang mengurus, mengapa hati harus khawatir?
C. Kontroversi dan Klarifikasi Penempatan Ayat
Sebagian ulama kontemporer telah banyak membahas penempatan kedua ayat ini di akhir At-Taubah, terutama karena At-Taubah umumnya diturunkan di Madinah pada periode konflik dan peperangan, sementara nadanya sangat mirip dengan surah-surah Makkiyah awal (yang fokus pada sifat-sifat Nabi dan tauhid). Jawaban para ulama adalah bahwa penempatan ini adalah hikmah Ilahi:
- Penyempurnaan Akhlak: Setelah membahas perang dan hukuman, diperlukan pengingat bahwa pilar agama adalah kasih sayang.
- Peringatan Bagi Umat: Ayat ini mengingatkan umat bahwa jika Nabi yang penuh kasih (Ayat 128) telah berjuang maksimal, tugas umat selanjutnya adalah bertawakkal (Ayat 129).
V. Aplikasi Spiritual dan Praktis dalam Kehidupan Modern
Kedua ayat penutup Surah At-Taubah ini menawarkan panduan yang tak lekang oleh waktu bagi seorang Muslim dalam menghadapi tantangan zaman. Mereka membentuk kerangka kerja etika dan spiritual yang menyeimbangkan antara tindakan keras dan keheningan hati.
A. Mencontoh Karakter Ra’ufun Rahim di Era Digital
Bagaimana seorang Muslim menginternalisasi sifat Nabi di tengah interaksi global yang serba cepat dan sering kali penuh konflik di media sosial?
- Mengutamakan Meringankan Beban (Azizun Alaihi Ma Anittum): Dalam setiap keputusan, baik sebagai pemimpin, orang tua, atau pengajar, prioritas harus selalu pada kemudahan, bukan mempersulit. Ini menuntut empati yang mendalam terhadap kondisi nyata orang lain.
- Haris Alaikum (Semangat Kebaikan): Menjadi proaktif dalam menyebarkan manfaat dan menolak keburukan, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk komunitas secara keseluruhan. Semangat ini harus dilakukan tanpa memaksa, melainkan dengan ketulusan yang meniru semangat kenabian.
- Melawan Kanker Kekerasan Hati: Ayat 128 menjadi penawar terhadap fanatisme buta atau kekerasan dalam berdakwah. Kasih sayang Nabi adalah bukti bahwa kekuatan iman bersumber dari kelembutan, bukan tirani.
B. Tawakkal sebagai Strategi Ketahanan Mental
Di dunia yang penuh ketidakpastian ekonomi, politik, dan kesehatan, Tawakkal (Ayat 129) adalah obat penenang paling ampuh bagi jiwa:
1. Pelepasan Kecemasan (Anxiety)
Ketika seseorang telah mengerahkan seluruh usahanya (mencontoh upaya Nabi), namun hasilnya tidak sesuai harapan, kalimat "Hasbiyallah" adalah pembebasan psikologis. Kekhawatiran berlebihan adalah bentuk ketidaksempurnaan tawakkal. Tawakkal yang sempurna berarti menerima bahwa takdir Allah adalah yang terbaik, bahkan ketika terlihat pahit di mata manusia.
2. Tawakkal dalam Kepemimpinan dan Tanggung Jawab
Bagi para pemimpin dan pengemban amanah, Tawakkal setelah Ikhtiar adalah kunci Istiqamah (keteguhan). Mereka harus bekerja keras (Ayat 128) demi kemaslahatan rakyat, namun jika menghadapi penolakan atau kegagalan (Ayat 129), mereka tidak boleh runtuh. Mereka harus yakin bahwa keberhasilan mutlak datang dari Rabbul Arsyil Azhim.
C. Pengaruh Dzikir dalam Kehidupan Sehari-hari
Dua ayat ini juga menjadi bagian dari amalan dzikir harian yang dianjurkan oleh banyak ulama. Membaca dua ayat terakhir Surah At-Taubah secara rutin (terutama pada pagi dan sore hari) berfungsi sebagai penguatan iman dan perisai perlindungan, mengingatkan hati pada dua pilar: kelembutan terhadap sesama dan ketergantungan mutlak pada Allah.
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa keutamaan dua ayat ini sangat besar, bahkan diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b bahwa siapa yang membacanya, maka ia akan diberi pahala seakan-akan ia telah melaksanakan janjinya kepada Nabi Muhammad SAW, karena ayat ini menegaskan tugas Nabi dan kewajiban kita untuk bersandar.
Implikasi spiritualnya adalah bahwa kita diingatkan setiap hari untuk menjalani hidup dengan dua orientasi: Orientasi Horizontal (kasih sayang kepada manusia) dan Orientasi Vertikal (penyembahan dan tawakkal kepada Allah).
VI. Penutup: Warisan Abadi Sang Rasul
Surah At-Taubah ayat 128 dan 129 adalah penutup yang sempurna, merangkum esensi dari seluruh perjalanan kenabian. Ayat 128 mematrikan dalam ingatan umat sifat Rasulullah SAW yang penuh kasih, seorang utusan yang menderita karena penderitaan umatnya dan sangat berharap pada kebaikan mereka. Ayat ini menginspirasi kita untuk meneladani empati dan dedikasi beliau dalam berinteraksi sosial dan berdakwah.
Sementara itu, Ayat 129 memberikan penutup teologis yang tegas, memusatkan kembali fokus akidah kepada Allah Yang Maha Esa. Ia mengajarkan bahwa betapa pun besarnya upaya dan kasih sayang yang kita curahkan, sandaran terakhir haruslah kepada Rabbul Arsyil Azhim. Ketika dunia terasa berat, ketika penolakan menghantam, dan ketika segala sebab duniawi terasa runtuh, cukuplah Allah sebagai penolong dan pelindung.
Kombinasi kedua ayat ini menciptakan sebuah panduan hidup yang utuh: Berjuanglah dengan kasih sayang maksimal layaknya seorang nabi, namun serahkanlah hasil dan ketenangan hati sepenuhnya kepada Sang Pemilik 'Arsy yang Agung. Inilah warisan abadi yang memastikan kebahagiaan sejati bagi setiap mukmin.
Melalui pengkajian yang mendalam ini, kita semakin menyadari betapa agungnya kedudukan Nabi Muhammad SAW dan betapa vitalnya konsep Tawakkal dalam mencapai ketenangan jiwa dan kesuksesan abadi.